Sepekan berlalu, kuliah umum yang direncanakan Khair dan kawan-kawan aktivis mahasiswa di kampusnya pun digelar. Sedari pagi pemuda itu sudah kebanjiran orderan kopi Kedai Khaira.
Sebagai panitia, Khair pun menjalankan tanggung jawab sembari tetap berdedikasi membantu sang kakak. Sebelum acara dimulai, kopi berhasil dia bagikan kepada para pemesan. Kebanyakan dari mereka adalah rekan panitia dan sebagian rekannya di Fakultas Tarbiyah.
Aula utama kampus jadi tempat perhelatan akbar kuliah umum pagi itu. Ratusan peserta yang terdiri dari mashasiswa fakultas Tarbiyah tingkat 1 dan beberapa orang perwakilan masing-masing tingkat, serta perwakilan mahasiwa dari fakultas lainnya bergabung memenuhi ruangan yang disekat menjadi dua itu. Bagian depan diisi mahasiswa, sementara bagian belakang diisi barisan mahasiswi.
Suara Khair yang bertindak sebagai moderator terdengar. Dia membacakan profil Ustaz Ahsan yang menjadi pembicara utama dalam kuliah umum bertajuk “Tradisi Literasi Muslim dalam Sejarah Peradaban Islam.”
“Nama lengkapnya Ahsanu Amala Zayyadien, MA. Beliau lahir di kota ini, tanggalnya dirahasiakan, mohon maaf ….” Khair berdehem setelahnya ditimpali beberapa keributan kecil di barisan peserta.
Orang yang namanya disebutkan tampak menyunggingkan senyum dari atas podium menanggapi reaksi audience yang mulai gaduh itu. Sebagai dosen baru, banyak warga kampus yang penasaran dengan sosok Ustaz Ahsan. Sosok yang ramah itu terutama memikat kalangan mahasiswi.
Selain karena kesantunannya, mereka mengidolakan Ustaz Ahsan karena penampilannya yang manarik. Dosen satu ini selalu mengenakan kurta dengan desain kekinian. Dipadukan celana kain rapi dan licin. Meski sederhana, outfitnya classy tapi tetap trendy karena jam tangan sporty dan pembawaannya yang easy going.
Dengan perawakannya sedang, wajah jernih dan sifatnya yang kalem, tidak ada satu penilaian buruk pun tampak dari sosok itu. Tutur katanya halus, selaras dengan auranya yang menyejukkan. Itu membuat para mahasiswi di kampus berebut ingin berteduh di hati dosen tersebut.
“Ustaz Ahsan itu sosok imam panutan para mahasiswi,” begitu jawaban beberapa mahasiswi di luar fakultas tarbiyah saat ditanya alasan kenapa ngotot ingin ikut berpartisipasi dalam kuliah umum ini.
Mereka berbondong-bondong mengajukan diri saat rencana menghadirkan Ustaz Ahsan dalam kuliah umum ini digulirkan beberapa waktu lalu.
Selain mengajar di Fakultas Tarbiyah, Ustaz Ahsan memang kerap mengisi kajian keislaman dan turut berperan dalam pembinaan organisasi mahasiswa.
“Saya lanjutkan,” kata Khair yang masih membacakan curriculum viatae dosen tersebut. “Beliau menamatkan pendidikan terakhirnya di The Aga Khan University: Institute for the Study of Muslim Civilisations (AKU-ISMC). Beliau menjabat sebagai dosen Sejarah Kebudayaan Islam pada fakultas Tarbiyah di kampus kita sejak satu setengah tahun lalu,” demikian penjelasan singkat Khair tentang Ustaz Ahsan.
Muncul perasaan kagum saat dirinya membaca profil singkat itu. Khair selaku moderator diminta Ustaz Ahsan untuk menyebutkan dua poin itu saja tentang dirinya. Padahal, Khair tahu, curriculum vitae pria itu tak sesingkat yang dia bacakan barusan.
Jika nama orang tua sang dosen idola tadi Khair sebut, sudah pasti barisan mahasiswi itu langsung menggelepar minta dijadikan mantu. Orang tua Ustaz Ahsan ini ternyata salah satu pengusaha property terbesar di Pulau Jawa. Apartemen dan villa yang dibangun dan dikembangkan Dean Yassa Realty Tbk, sudah tersebar kemana-mana.
Tak heran, Dean Yassa Atmaja, ayah Ustaz Ahsan bisa dibilang sudah setenar walikota. Bahkan terbersit di benak Khair, “Tak heran Rumaysha menerima perjodohan dengan Ustaz Ahsan ini.”
Selain dari keluarga terpandang, Ustaz Ahsan juga memiliki beberapa pencapaian yang sengaja dia tutupi dengan rendah hati. Selembar kertas di tangan Khair yang memuat CV lengkap sang Dosen, benar-benar jadi bahan tafakur pemuda itu.
Sungguh tak ada sebersit pun iri atau pun benci di hati Khair. Dia bahkan sangat kagum pada sosok calon suami dari wanita yang pernah jadi dambaan hatinya itu.
Berbeda dengan kekaguman di mata para mahasiswi, kekaguman Khair terhadap Ustaz satu ini justru menjadi pelecut semangatnya untuk maju, melangkah naik meningkatkan kualitas dirinya agar bisa sehebat orang yang dikaguminya tersebut.
♥♥♥
Kuliah umum berjalan lancar. Ustaz Ahsan menyampaikan paparannya tentang tradisi literasi di masa Nabi serta kaitannya dengan masa keemasan Islam era Abbasiyah dan Ummayah.
“Jika meneliti tradisi literasi bangsa Arab pra Islam, ada silang pendapat diantara kalangan intelektual muslim mengenai dimulainya tradisi literasi atau baca-tulis di tengah-tengah masyarakat Arab. Pendapat pertama mengatakan masyarakat Arab pada masa itu ummiyin, tidak mengenal baca dan tulis. Namun, ada juga pendapat lain yang menyebut bahwa sebagian orang Arab telah mengenal baca tulis sebagai pengaruh dari interaksi dan aktivitas perdagangan mereka pada masa itu.
Intinya, literasi pada masa itu belum berkembang sebagaimana masa setelah munculnya Islam. Ini ditandai dengan wahyu pertama, yakni Quran surat Al Alaq ayat satu sampai lima.
Rasulullah shalallau alaihi w* salam memang dikenal sebagai seorang yang ummi, artinya beliau tidak bisa membaca dan dan menulis. Ini dalam arti tekstual. Namun, secara konstektual, Rasulullah shalallahu alaihi w* salam adalah seseorang yang sesungguhnya mampu membaca. Itu salah satu hal yang tersirat dari wahyu Alquran yang petama kali diturunkan tersebut, yakni perintah untuk membaca.” Ustaz Ahsan mengisyaratkan sebuah tanda kutip pada kalimat ‘membaca’ yang dia ucapkan di akhir.
Audience terpaku mendengar pemaparan yang begitu runut. Apalagi disuguhi dengan presentasi menarik yang dihadirkan di screen proyektor. Pemandangan yang tak kalah menarik adalah ekspresi dan gestur sang dosen yang santai meski sedang menyampaikan materi berat.
“Rasulullah shalallau alaihi w* salam mampu membaca situasi dan kondisi di sekitarnya. Hal itu pula yang mengantarkannya melakukan uzlah ke gua Hira, tempat dimana akhirnya beliau mendapatkan wahyu Alquran.”
Ustaz Ahsan membacakan Quran Surat Al Alaq ayat 1-5 dari mushaf yang tergeletak di meja dekat podium. Bukan tak hafal, sengaja dia membaca dari mushaf untuk menyambung pemaparan materi selanjutnya.
“Saat ini kita bisa dengan mudah membaca Alquran dari mushaf, bahkan sudah ada terjemahannya. Bagaimana dengan di masa lalu?” tanya Ustaz Ahsan kepada audience-nya.
Tak tunggu lama, jawabannya langsung dia ungkap.
“Sekalipun kita tahu ide pengumpulan Alquran dicetuskan pada masa Khulafaur Rasyidin, sesungguhnya penulisan ayat Alquran telah dilakukan para sahabat sejak masa Rasulullah Shalallau alaihi w* salam. Di Mekah, Beliau menyeleksi orang-orang yang pandai baca-tulis.
Sahabat-sahabat penulis terbaik ini diperintahkan untuk mencatat berbagai macam urusan umat muslim, termasuk mencatat wahyu yang turun. Ada yang tahu, siapa saja sahabat yang bertugas menjadi juru tulis nabi?” tanya Ustaz Ahsan.
“Kalau ada yang bisa jawab dengan tepat, saya kasih hadiah, nih,” sambungnya disertai senyum khas.
Tak tunggu lama, umpan yang diberikan disambut antusias jajaran mahasiswa.
“Ijin menjawab, Ustaz.” Seorang mahasiswa dari fakultas jurnalistik berdiri di tengah barisan audience. “Sahabat yang jadi penulis di masa Nabi adalah Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab, Ustaz. Selain itu Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib pun membantu Nabi terkait penulisan untuk urusan kepentingan umat.”
“Benar,” timpal Ustaz Ahsan mantap, “Selesai acara kamu temui saya, ya, untuk ambil hadiahnya!”
Senyum sumringah pun terkembang di wajah sang mahasiswa.
Pembahasan tentang tradisi literasi di masa Nabi pun berlanjut. Dalam pemaparannya, Ustaz Ahsan mengutip beberapa sumber dan literatur.
“Sebenarnya banyak sahabat Nabi yang ditunjuk sebagai juru tulis. Bahkan, masing-masing punya jobdesk tertentu. Inilah kehebatan Rasulullah Shalallau alaihi w* salam. Beliau ummiy tapi mampu membaca kemampuan masing-masing sahabat bahkan mampu memberdayakan potensi mereka. Sementara para sahabat sendiri sungguh luar biasa dedikasinya terhadap Nabi dan syiar Islam ini. Sinergi yang dilandaskan pada keimanan dan ketakwaan inilah yang jadi pondasi berkembangnya tradisi literasi di masa itu.
Zaid bin Tsabit misalnya, dalam Siyar Alamun Nubala karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa selain diperintahkan oleh Nabi untuk menuliskan wahyu, Zaid bin Tsabit juga ditugaskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khattab dalam pengumpulan Alquran di masa kekhalifahan mereka. Jadi, tradisi menulis ini tidak putus, bahkan terus berkembang dan semakin meluas sepeninggal Nabi.” Demikian Ustaz Ahsan menjelasakan.
Dosen kharismatik yang tak hanya diidolakan mahasiswi, tapi juga dikagumi mahasiswa itu tak segan melempar pertanyaan, terutama sebelum memaparkan sesuatu terkait pengetahuan umum.
Dalam pendidikan, memang ada teori belajar yang dikenal sebagai teori konstruksivisme. Teori ini memandang bahwa pembelajar membangun pengetahuan untuk dirinya. Jadi, seorang pembelajar pada dasarnya sudah punya dasar pengetahuan, tidak polos atau kosong sama sekali. Mungkin saja mereka memiliki pengetahuan atau pemahaman yang sudah terbangun sebelumnya. Maka, pengetahuan tersebut harus dipantik untuk dimunculkan kembali sebelum dimasuki oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat menyempurnakannya. Inilah yang disebut perekonstruksian pengetahuan. Ustaz Ahsan mencoba menerapkannya.
Selain itu, dia memang ingin mendengar pendapat audiencenya tentang materi yang sedang dia paparkan. Sebab, pada dasarnya dia terbuka menerima pendapat dan senang bertukar pikiran.
“Lantas bagimana tradisi literasi yang dibangun Islam sampai pada kejayaan sebuah peradaban?” Itulah pertanyaan yang dia lempar kemudian.
Sebelum terjawab, seorang mahasiswi fakultas ekonomi syariah yang juga turut hadir di sana nyeletuk tak tahu malu, “Ada hadiahnya enggak, Ustaz?”
Hadirin ber-‘Huuuu’ ria menimpali itu. Sementara Ustaz Ahsan tersenyum maklum.
“Saya hadiahi senyum, mau?” candanya.
“Mauuuuu ….” Barisan mahasiswi riuh menyambut tawaran itu disusul sorak “Huuuuuu ….” dari barisan mahasiswa.
Khair yang bertugas sebagai moderator pun tak tinggal diam.
“Harap tenang,” Tegasnya, “Jika ada yang ingin mengutarakan pendapat atas pertanyaan Ustaz tadi, silakan acungkan tangan. Jika tidak ada, maka saya persilakan Ustaz Ahsan melanjutkan paparannya. Hadirin mohon tenang!”
Sekilas Khair menatap tajam ke arah mahasiswi yang memicu kegaduhan tadi. Sedangkan mahasiswi berhijab pashmina lilit tersebut malah membalasnya dengan cengiran sok imut.
Khair langsung mengalihkan pandangan ke arah lain sambil beristighfar berkali-kali.
Si gadis pashmina yang sesungguhnya memang mengincar Khaira itu bersorak dalam hati, “Akhirnya dia ngelirik ke sini.”
♥♥♥
“Perkembangan ilmu pengetahuan di segala bidang pada masa keemasan Islam, tak lepas dari tradisi literasi yang terus hidup di masa sahabat dan tabi’in. Bukan hanya terkait periwayatan hadis, melainkan juga penerjemahaan kitab-kitab.
Kitab apa? Banyak kitab yang diterjemahkan adalah kitab-kitab Yunani dan romawi era klasik. Dalam pembahasan filsafat umum, kita pasti sudah mengetahui bahwa era tersebut jadi periode awal munculnya pemikir dan filsuf. Apakah hal itu salah?” Ustaz Ahsan menjawab sendiri pertanyaan kali ini.
“Tidak,” katanya, “Justru berkembangnya filsafat itulah yang mendorong para pemikir menggali ilmu pengetahuan baru yang pada akhirnya memunculkan inovasi dan terobosan di berbagai bidang kehidupan. Jadilah peradaban Islam sebagai etafeta yang menjembatani era klasik Yunani hingga bisa sampai kepada era kebangkitan di Eropa yang dikenal dengan sebutan Ranaissance. Inilah yang kadang luput dari kesadaran kita semua.”
Semakin dalam Ustaz Ahsan mengupas tentang sejarah gemilang Islam, semakin para mahasiswa terbawa ke abad 8 Masehi hingga abad 13 Masehi, saat Khalifah Harun Ar Rasyid dan Al Ma’mun menyuburkan kehidupan dengan menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, sains, dan budaya. Ustaz Ahsan tak lupa menggambarkan kemegahan Bayt al Hikmah yang berdiri pada 750 sampai 1258. Bangunan yang didirikan sang Khalifah tersebut merupakan pusat studi, perpustakaan, sekaligus universitas terbesar di dunia pada saat itu.
“Selama 500 tahun pada periode keemasan Islam, bisa dikatakan tidak ada peradaban lain di muka bumi, termasuk Eropa, China, ataupun India, yang bisa menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam,” jelas Ustaz Ahsan.
Dia pun mengenalkan beberapa tokoh ilmuwan muslim yang popular bahkan kontribusinya di akui di dunia barat, mulai dari Bapak Bedah Al Zakhrawi, Bapak Kedokteran Ibnu Sina, Bapak Aljabar Al Khawarizmi, Pelopor optik dan Robotik Al Jazari, dan sederet ilmuwan lain yang tak kalah hebat.
“Melaui pemikiran dan penemuan mereka, ilmu pengetahuan bergulir dan berkembang dari masa ke masa hingga dapat dirasakan manfaatnya oleh semua orang saat ini,” kata Ustaz Ahsan.
“Tidak akan ada perubahan jika kita diam. Tidak akan berdiri sebuah peradaban gemilang tanpa upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Tidak akan berkembang ilmu pengetahuan tanpa hidupnya tradisi literasi,” pungkasnya.
Sebuah pertanyaan sengaja ia gantungkan di penghujung kuliahnya, “Apakah kita siap mengemban amanah peradaban ini?”
♥♥♥
Tak disangka, usai kuliah, sebuah kabar duka tersiar. Khair langsung menyampaikan kabar itu kepada rekan-rekan panitia saat mereka merapikan tempat acara. “Ustaz Rofiq meninggal sejam yang lalu,” ujar Khair diikuti kalimat “Innalillahi w* inna ilaihi rajiun” serempak dari semua orang yang mendengar, termasuk Ustaz Ahsan. Dosen muda itu belum meninggalkan tempat acara karena masih ngobrol ringan dengan mahasiswa yang mengambil hadiah darinya. Mereka pun sepakat melayat ke rumah duka. Ustaz Rofiq merupakan ketua prodi Fakultas Tarbiyah. Dia juga merupakan dosen pembimbing skripsi Khair. Sontak, kabar duka itu mebuat mahasiswa bimbingannya kaget. Sebab, beberapa hari lalu mereka masih bertemu dan berkonsultasi dengan beliau. Saat itu, beliau tampak sehat. “Kulu nafsin dza’iqatul maut,” ucap Ustaz Ahsan mengutip potongan ayat Alquran yang artinya, “Tiap-tiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.” “Kita h
Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan. “Kamu kenal Riang?” tanya dia. “Tidak, Ustaz.” “Tapi dia kenal kamu.” Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu. “Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!” Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen. “Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu. “Iya, Ustaz.” “Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar U
Siang tadi, saat Khair mengiriminya pesan bahwa dia akan pergi ke rumah duka, saat itu Khaira sedang di mini market membeli keperluan bulanannya. Dia pergi sendirian. Tidak lama, hanya sekitar 30 menit. Jarak dari kedai ke mini market pun tak jauh. Khaira hanya berjalan kaki sekitar 15 menit, melewati pangkalan ojol di depan Kampus Khair, lurus hingga ke perempatan jalan. Mini market itu berdiri di jajaran ruko-ruko di sebrang jalan setelah belokan. Ketika dia menyebrang menuju mini market tersebut, Khaira merasa seseorang menguntitnya. Namun, di tempat ramai itu dia tidak bisa mengidentifikasi orang-orang. Walhasil, selama 30 menit di mini market, dia merasakan was-was. Sampai akhirnya, dia membuka pesan w******p dari Khair ketika tepat berada di pojok rak etalase. Khaira tersentak. Seseorang menepuk bahunya dengan kasar. “Khaira!” Seru suara yang datang bersama sentakan di bahunya. Gadis itu langsung menoleh dan mematung seketika. Nanar mata
Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tant
Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden
Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se
“Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld
Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill