Khaira menemukan sebuah diary yang tergeletak begitu saja di lantai kedai kopi, tepatnya di bawah meja. Entah milik siapa, tapi dia memutuskan untuk menyimpannya. Dia pikir, mungkin besok atau lusa, pemilik diary itu akan datang mencarinya. Namun, sebelum orang itu datang, Khaira bermaksud mengintip isinya.
Dia buka sembarang halaman.
Ya Allah, aku melihatnya. Masya Allah … aku tidak percaya, gadis seperti itu ada di dunia. Aku pikir dia bidadari surga.
Dia tidak sedikitpun melihatku atau tahu keberadaanku, tapi tolong maafkan aku yang tidak bisa berpaling dari wajah itu. Aku khilaf ya, Allah ….
Buru-buru Khaira tutup diary bersampul kulit warna cream yang bentuknya menyerupai agenda berstyle klasik itu.
“Ini sih pasti punya cowok genit,” pikir dia.
Setelah menutup kedai, Khaira pulang ke rumah. Mandi, ganti baju, dan menyiapkan makanan untuk adiknya, Khair. Mereka biasa makan malam selepas Isya.
Herannya, malam ini Khair gedebak-gedebuk sendiri di dalam kamar.
“Teh, lihat buku aku yang sampul kulit enggak?” tanya dia sambil melongo di pintu kamar tepat saat Khaira lewat di depan situ.
“Yang isinya curhatan?” tembak gadis itu spontan.
Khair mengerutkan kening heran.
♥♥♥
Keesokan harinya, Khaira seperti biasa berdinas di kedai kopi miliknya. Kedai itu baru dia rintis beberapa bulan lalu. Tak cukup kata untuk menggambarkan panjangnya perjuangan wanita 27 tahun itu hingga mampu membuka kedai kopi yang dia harap bisa sekeren caffe shop beken itu.
Buku harian bersampul kulit warna cream yang dia temukan kemarin sore, tak lupa dibawa. Awalnya mau langsung dia kembalikan kepada adiknya. Tetapi dasar Khaira, otak jailnya ada-ada saja. Mau dia khatamkan dulu isinya, baru dia kembalikan. Begitu rencananya.
Sambil menunggu pelanggan datang, dia baca lagi buku yang tidak terlalu tebal itu. Kali ini dari halaman pertama.
Ini malam pertama aku tiba di kota. Rasanya tak bisa memejamkan mata. Mungkin karena suasana yang berbeda dari biasa. Tapi … sepertinya bukan juga.
Aku kok jadi ingat terus dia. Perempuan yang tadi pagi aku lihat tanpa sengaja. Rambut kepangnya mengingatkan aku pada seseorang di masa lalu yang juga aku lihat tanpa sengaja.
Mungkin itu karena momen yang terasa sama, manis dan sangat klasik.
Perempuan itu kudapati berbicara dengan kucing. Mungkin banyak orang yang berbica dengan kucing di luar sana, tapi perempuan ini tidak sekedar bicara. Dia ngobrol dengan kucing itu, bersahut-sahutan. Itu membuatku terpana. Sungguh terpana.
“Kamu lagi cari makan, ya?” kata dia kepada kucing yang berkeliaran di kakinya.
“Miaw.”
“Sama. Aku juga lagi cari makan ….” Setelahnya, dia dan kucing itu bicara panjang lebar sampai akhirnya dia mengeluarkan dua ikat bacang dari tasnya. Dia gigit bagian bacang yang terbuat dari beras, setelah itu isian bacangnya yang berupa suwiran daging, dia keruk keluar dan diberikan untuk kucing tadi.
Mereka berdua makan bacang bersama. Aku yang melihatnya jadi ingin ikut makan bersama mereka juga. Hehe …
Di tengah kota dan modernitas seperti ini, sulit menemukan seseorang berhati tulus. Alhamdulillah sejauh ini lingkunganku baik, banyak orang-orang baik dan tulus yang aku temui. Tapi perempuan yang aku lihat tadi … ciri-cirinya tidak termasuk kategori baik seperti pandanganku selama ini.
Dia tidak berjilbab. Dia bahkan pakai celana jeans yang sobek-sobek. Hati kecilku menyayangkan hal itu.
Apa karena hal itu aku jadi ingat dia terus sampai tidak bisa tidur? Hm ….
Cepat ditutupnya buku harian tersebut. Membaca kisah singkat itu, entah kenapa Khaira merasa tak enak badan. Jantungnya terasa berdegup lebih kencang dari biasa. Entah kenapa hati kecilnya merasa dia lah sosok perempuan yang dibicarakan di dalam buku itu.
“Apa benar Khair yang menulisnya?” itulah tanya yang terlintas seketika di benak Khaira.
♥♥♥
Sementara itu, di sebuah sudut perpustakaan, dekat jendela kaca yang menjdi dinding bangunan, tampak seseorang sedang tenggelam dalam bacaannya. Nun jauh di seberang perpustakaan, terhalang oleh bentang taman, disembunyikan perdu dan pepohonan rindang, aroma kopi menyeruak di dapur sebuah kedai.
Aromanya seakan turut meliuk diantara barisan huruf di sebuah buku bersampul kulit berwarna cream di tangan pria yang tengah duduk di perpustakaan itu.
Berembun mataku tiap kali mengingatnya. Seseorang yang menyalakan langit kelabuku dengan warna cahayanya. Sang pemilik senyum matahari. Dan, di saat yang sama mata rembulannya mampu meneduhkan segala penat dan risau. Hitam putih hidupku menjadi berwarna olehnya. Musim gugur dan musim dingin diisinya dengan semi.
Dia, lelaki biasa. Jauh lebih biasa dari sekedar biasa. Lebih sederhana dari yang paling sederhana. mengenangnya aku selalu berkaca-kaca.
Peliknya hidupku tak seberat beban yang dipikul bahunya selama puluhan tahun. Dia hanya 'rakyat jelata' yang tak pernah sepintas pun memimpikan jadi raja. Jemarinya yang kasar dan kulitnya yang terbakar, bagiku itu adalah ukiran terindah yang dipahatkan tuhan. Hingga hanya aliran do'a yang bisa kusembahkan seraya mencium tangannya. Tangan yang mulia, seperti kata nabi.
Sedikit sekali yang dia miliki. Sedikit sekali dibanding apa-apa yang kumiliki namun luput dari kusyukuri selama ini.
masih banyak mimpi yang belum bisa aku wujudkan kini, tapi dia. Dia bahkan rela untuk tidak bermimpi demi menghidupkan mimpi-mimpi orang lain di sekitarnya. Ibu, adiknya, dan aku.
Dia bukan seseorang yang gila harta dan hormat. Uang bukanlah sumber kebahagiaan sejati. Darinya aku melihat sebuah pertunjukkan nyata bahwa manusia bisa hidup tanpa harta yang berlimpah. Dan, dia selalu bahagia bahkan tanpa perlu memiliki apa-apa.
Belum pernah aku melihat manusia seperti dia. Yang tidak pernah mengaduh meski kakinya telah berdarah-darah diatas jalan hidup yang berduri. tidak pernah mengeluh meski lelah dan hanya dibayar murah. Justru dialah yang selalu mampu menghapus kabut dan hujan di sepanjang jalanku.
Dia malaikat di muka bumi. Bahkan lebih. Rasanya sembah sujud pun tak kan cukup untuk menunjukkan betapa berartinya dia bagiku.
Aa, aku mencintaimu karena Allah. Karena Allah yang selalu ada dalam hati dan jiwamu di sepanjang hidup.
Cinta yang tak terkata dengan bisikan, ataupun teriakan. Cinta yang tak bisa diwakilkan oleh simbol hati semerah jambu apapun itu. Cinta ini bening. Maka, hanya beningnya air mata yang bisa mengungkapkan itu padamu.
Air mata cinta yang muatannya adalah rasa syukur kepada Allah ... syukur tak terperi bahwa Dia menghadirkan malaikat sepertimu di bumi. Dan, Dia menuliskan takdir kita menjadi sepasang suami istri.
Aa, terima kasih atas semua keajaiban yang kau persembahkan di hidupku sehingga pahit dan sedih deritaku kau ubah menjadi kebahagiaan yang indah dan manis bagiku.
“Masya Allah…” gumam pria yang sedang tenggelam membaca catatan di buku harian itu.
Sungguh dia tak menduga bahwa buku harian berdesain klasik ala vintage di tangannya itu adalah milik seseorang wanita yang entah siapa identitasnya. Dia baru menyadari hal itu saat membuka halaman pertama, Didapatinya sebuah foto lawas wanita memakai toga bersama seorang pria. Wanita itu seperti menggendong bayi di pelukannya. Tidak begitu jelas, karena gambarnya sudah tampak pudar.
Kini muncul sebuah tanya dibenaknya. “Diary bersampul kulit warna cream ini milik siapa?”
♥♥♥
Tiga hari sebelumnya, pria itu duduk sendirian di perpustakaan. Setelah menyelesaikan bacaan beratnya berupa setumpuk jurnal, dia hendak menulis sesuatu di sebuah buku. Buku itu bersampul kulit warna cream. Berdesain klasik dan memang khusus menyimpan catatan pribadinya. Belum sempat membuka lembar halamannya, sekelompok mahasiswa datang menghampiri dan mengucapkan salam padanya, “Assalamualaikum, Ustaz.” “W*’alaikumsalam,” jawabnya, seperti biasa dengan santun dan senyum. Secara spontan dia letakkan buku berdesain klasik ala vintage itu di meja dekat tumpukan jurnal dan buku-buku ilmiah yang baru selesai dibacanya. “Apa kabar kalian?” sapanya. Masih tampak keramah-tamahan yang jadi ciri khasnya. “Alhamdulillah, Ustaz,” sahut mereka serempak. “Ada apa nih, ko kompak menemui saya?” tanya dia. “Afwan, Ustaz,” seseorang dari mereka langsung menyampaikan maksud dan tujuannya, “Terkait kuliah umum pekan depan, ada sedikit perubahan ag
Bruk. Khair meletakkan tas selempang berisi buku-buku dan diktat kuliah miliknya di meja caffe. Beberapa isinya bahkan tercecer. Tempat ngopi yang disebut kedai kopi Khaira itu memang rutin disambangi Khair. Entah pagi, siang, atau sore. Setiap hari, dia pasti menyempatkan waktu untuk mampir di sela-sela kesibukan kuliah, bimbingan, kajian dan kerja sampingannya sebagai guru les privat. Tak hanya penat pikiran, penat hati dan perasaan juga menyelimuti raut muka pemuda tingkat akhir yang sedang merampungkan skripsi itu. “Tumben cemberut?” Suara riang Khaira hadir bersama aroma secangkir cappuccino kesukaan Khair, “Kenapa?” tanya wanita itu dengan cueknya seraya mendudukan diri di kursi caffe. “Enggak apa-apa, Teh.” Khair mencoba mengatur gestur tubuhnya. “Cuma lagi banyak kerjaan aja.” “Banyak kerjaan atau banyak godaan?” canda Khaira. “Enggak apa-apa, tapi bibirnya mancung begitu. Kalah tuh curut ….” celoteh Khaira lagi sambil menopan
Sepekan berlalu, kuliah umum yang direncanakan Khair dan kawan-kawan aktivis mahasiswa di kampusnya pun digelar. Sedari pagi pemuda itu sudah kebanjiran orderan kopi Kedai Khaira. Sebagai panitia, Khair pun menjalankan tanggung jawab sembari tetap berdedikasi membantu sang kakak. Sebelum acara dimulai, kopi berhasil dia bagikan kepada para pemesan. Kebanyakan dari mereka adalah rekan panitia dan sebagian rekannya di Fakultas Tarbiyah. Aula utama kampus jadi tempat perhelatan akbar kuliah umum pagi itu. Ratusan peserta yang terdiri dari mashasiswa fakultas Tarbiyah tingkat 1 dan beberapa orang perwakilan masing-masing tingkat, serta perwakilan mahasiwa dari fakultas lainnya bergabung memenuhi ruangan yang disekat menjadi dua itu. Bagian depan diisi mahasiswa, sementara bagian belakang diisi barisan mahasiswi. Suara Khair yang bertindak sebagai moderator terdengar. Dia membacakan profil Ustaz Ahsan yang menjadi pembicara utama dalam kuliah umum bertajuk&n
Tak disangka, usai kuliah, sebuah kabar duka tersiar. Khair langsung menyampaikan kabar itu kepada rekan-rekan panitia saat mereka merapikan tempat acara. “Ustaz Rofiq meninggal sejam yang lalu,” ujar Khair diikuti kalimat “Innalillahi w* inna ilaihi rajiun” serempak dari semua orang yang mendengar, termasuk Ustaz Ahsan. Dosen muda itu belum meninggalkan tempat acara karena masih ngobrol ringan dengan mahasiswa yang mengambil hadiah darinya. Mereka pun sepakat melayat ke rumah duka. Ustaz Rofiq merupakan ketua prodi Fakultas Tarbiyah. Dia juga merupakan dosen pembimbing skripsi Khair. Sontak, kabar duka itu mebuat mahasiswa bimbingannya kaget. Sebab, beberapa hari lalu mereka masih bertemu dan berkonsultasi dengan beliau. Saat itu, beliau tampak sehat. “Kulu nafsin dza’iqatul maut,” ucap Ustaz Ahsan mengutip potongan ayat Alquran yang artinya, “Tiap-tiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.” “Kita h
Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan. “Kamu kenal Riang?” tanya dia. “Tidak, Ustaz.” “Tapi dia kenal kamu.” Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu. “Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!” Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen. “Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu. “Iya, Ustaz.” “Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar U
Siang tadi, saat Khair mengiriminya pesan bahwa dia akan pergi ke rumah duka, saat itu Khaira sedang di mini market membeli keperluan bulanannya. Dia pergi sendirian. Tidak lama, hanya sekitar 30 menit. Jarak dari kedai ke mini market pun tak jauh. Khaira hanya berjalan kaki sekitar 15 menit, melewati pangkalan ojol di depan Kampus Khair, lurus hingga ke perempatan jalan. Mini market itu berdiri di jajaran ruko-ruko di sebrang jalan setelah belokan. Ketika dia menyebrang menuju mini market tersebut, Khaira merasa seseorang menguntitnya. Namun, di tempat ramai itu dia tidak bisa mengidentifikasi orang-orang. Walhasil, selama 30 menit di mini market, dia merasakan was-was. Sampai akhirnya, dia membuka pesan w******p dari Khair ketika tepat berada di pojok rak etalase. Khaira tersentak. Seseorang menepuk bahunya dengan kasar. “Khaira!” Seru suara yang datang bersama sentakan di bahunya. Gadis itu langsung menoleh dan mematung seketika. Nanar mata
Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tant
Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill