Terlihat Ibu turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju sebuah rumah, yang terletak tepat di depan rumah Mbak Sintya, tak berapa lama seorang wanita paruh baya keluar membukakan gerbang, setelah aku perhatikan, ternyata wanita paruh baya itu adalah Tante Yanti.Terlihat Tante Yanti menyambut kedatangan Ibu dengan ramah, sampai di sini aku bisa menyimpulkan sendiri jika Ibu mengetahui masa laluku dengan Mas Yudi dari Tante Yanti, karena Tante Yanti ternyata tetangganya Mbak Sintya, apa mungkin Mbak Sintya pernah bercerita tentang masalah rumah tangganya dengan Tante Yanti itu.Aargghh! Sial! Aku berdecak kesal."Mbak! Sekarang kita kemana lagi? Tuh Ibu Dwi masuk ke rumah itu, apa Mbak mau samperin ke sana?" tanya tukang ojek itu sambil menunjuk ke rumah Tante Yanti."Ah, Nggak! Nggak! Kita pulang aja sekarang," jawabku ketus."Aneh. Mbak ini, katanya tadi mengkhawatirkan Ibu Dwi, kok sekarang minta pulang." Tukang ojek itu terdengar menggerutu."Heh! Aku nggak minta kamu komentar, ya
Aku kembali menatap layar pipihku, terlihat pesanan makanan sedang di antar, aku berjalan keluar agar begitu pesanan sampai, aku langsung bisa menerimanya.Benar saja, tak lama setelah aku duduk di teras, sebuah motor berhenti di depan rumah, membawa makanan yang kupesan.Aku menerimanya dan tak lupa memberikan uang sesuai nominal yang tertera di aplikasi pemesanan.Dengan langkah cepat aku menunju ke dapur, dan menempatkan semua makanan ke dalam piring, setelah semuanya selesai aku menutupnya dengan tudung saji.Dah beres deh, sekarang aku tinggal panggil Ibu mertuaku, untuk makan bersama."Bu! Makan siangnya udah siap, ayo makan dulu, Bu!" seruku setelah sebelumnya aku terlebih dahulu mengetuk pintu kamarnya.Beberapa saat tak terdengar suara dari dalam, kembali aku mengetuk pintu kamar beliau."Bu!—""Iya! Sebentar lagi ibu menyusul, kamu makan dulu, Va!" sahut Ibu dengan suara berat.Sepertinya Ibu sedang tidak baik-baik saja, terdengar suaranya sedikit serak, seperti habis menang
Malam semakin larut, di dalam kamar yang luas ini, aku meringkuk sendiri dalam keheningan malam, batuk dan flu juga menyertaiku. Biasanya aku jarang sekali sakit, hanya pusing sedikit kemudian sembuh dengan sendirinya.Tapi kali ini, tenggorokan ini juga terasa kering dan sangat sakit untuk menelan, sekujur tubuhku terasa lelah dan pegal-pegal. Ingin rasanya aku ke dokter, dan di temani Miko suamiku, tapi nampaknya bersenang-senang dengan teman-temannya lebih di pilihnya.Eva, ayo semangat, kamu harus sehat, kamu wanita kuat, gumamku menyemangati diri.Hingga menjelang pagi badan ini semakin tak enak, bahkan malam ini terasa begitu panas, hingga membuatku berkeringat.Pagi hari aku mencoba bangkit, tapi kepalaku terasa pusing, mencoba berdiri tapi sekeliling terasa berputar, hingga aku kembali terduduk di tepi ranjang.Bahkan Miko tidak pulang hingga pagi, aku mendengkus kesal, bagaimana aku ingin bermanja atau meminta di temani ke dokter, jika di rumah dia acuh, dan cuek, kemudian pe
Aku meremas ujung badcover yang menutupi setengah tubuh ini. Aku seperti istri yang tak di anggap, tanpa terasa bulir bening menetes membasahi pipi, kenapa rasanya begitu sesek dada ini, saat aku tekulai lemah dalam keadaan sakit tapi tak ada suami yang kubanggakan berada di sini menemaniku. Menyedihkan.Kepalaku semakin terasa pusing, bahkan siang ini aku juga belum makan, entah ibu kemana sejak tadi tidak terdengar suaranya.Aku putuskan untuk kembali meringkuk, hingga terdengar suara derap langkah kaki mendekati kamar ini, sepertinya Miko pulang, aku menyeka air mata yang membasahi pipi.Ceklek!Pintu pun terbuka dan Miko langsung duduk di tepi ranjang."Mas! Kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang," ucapku dengan suara parau. "Ibu saja tidak pernah tanya aku pulang atau nggak, kenapa kamu yang cerewet sih!" sungutnya kemudian membuang napas kasar."Mas, kamu kenapa sih! Jadi berubah gini! Aku sakit lho, kamu sama sekali nggak peduli, dan memilih bersenang-senang dengan teman-tema
Mendengar percakapan mereka membuat kepalaku semakin pusing, aku bersandar dinding, dan perlahan luruh terduduk di lantai, rasanya begitu tersayat.Aku meremas kuat pangkal rambut di kepalaku, aku memang mau menikah dengan Miko bukan karena cinta, tapi mengapa sekarang hati ini terasa nyeri saat aku mengetahui kenyataan bahwa Miko menikahiku sebagai pelampiasan."E–Eva! Kamu kenapa?" Tante Yanti sudah berdiri di hadapanku, dan mengerenyitkan keningnya melihatku terduduk di lantai, dan sedetik kemudian menarik sudut bibirnya."Owh, kamu mendengar percakapanku dengan Mbak Dwi, tadi ya?"Aku hanya terdiam, mencoba bangkit untuk berdiri."Jangan kira saya tidak tahu perangaimu terhadap keluarganya Shintya! memang Sintya tidak pernah cerita tentang keluarganya yang sudah berhasil kamu hancurkan, tapi sebagai tetangga depan rumahnya, semua kegaduhan yang sempat kau ciptakan, sudah cukup membuat saya tau, siapa kamu! Jadi jangan coba-coba untuk membuat kegaduhan di keluarga ini!" ancamnya.T
Mengambil simpati Ibu Dwi rasanya sudah tak mungkin lagi, satu-satunya kini yang bisa kuperjuangkan adalah Miko, semoga sikap cuek dan ketusnya perlahan bisa memudar dan kembali lembut dalam pelukanku. Kurebahkan tubuhku di samping suamiku yang kini masih terlelap, membelai lembut pipinya, merasakan hembusan napasnya yang teratur, ia pasti tengah mengarungi alam mimpinya. Kuusap lembut dada bidangnya, pikirku melayang, mencari cara untuk membuatnya kembali tertarik dan tergila-gila padaku. Semenjak aku di tuntut untuk diam di rumah, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, aku memang tak bisa berbuat banyak. Perawatan ke salon yang dulu rutin kulakukan pun kini hampir tiga bulan tak melakukannya. Aku bangkit mematutkan diri ke cermin, tak kupungkiri penampilanku kini begitu berantakan, rambut acak-acakan, wajah kusam dan berminyak, belum lagi ada sedikit beruntus jerawat di sekitar dahi. Ah, mungkin dengan aku kembali melakukan perawatan, Miko akan kembali menghangat, setidaknya den
Jika benar yang dikatakan Ibu kemarin, aku hanya pelampiasan, bagaimana jika Miko akan meninggalkanku karena Naya sudah berhasil ia hubungi."Aku tak sanggup berpisah darimu, Sayang! Betapa aku sangat tersiksa hidup tanpa kamu, Nay!" Kembali Miko bersuara parau, pada seseorang di seberang sana. Terdengar begitu pilu, seorang laki-laki gagah nan tampan seperti Miko bisa begitu terpuruk karena wanita yang di cintainya."....""Iya aku memang sudah menikah, tapi aku sama sekali tak bahagia dengan pernikahan ini, aku kira dengan menikahi wanita lain aku perlahan bisa melupakan kamu, tapi nyatanya aku justru makin tersiksa dengan keadaan ini, tak ada yang mampu menggantikanmu di hatiku, Nay!" Aku memberanikan diri membuka pintu kamar lebih lebar sedikit lagi, terlihat Miko masih duduk di bibir ranjang memunggungi pintu kamar, dengan ponsel masih digenggamnya dan di tempelkan ke telinganya, terlihat punggungnya bergetar.Hingga sambungan telepon mereka pun berakhir. Miko tertunduk dalam.
"Kamu keterlaluan, Miko!" Plak! Sepertinya sebuah tamparan keras yang kuhadiahkan di pipinya tidak sebanding dengan sakit yang ada di hatiku, dengan mudahnya dia membuangku begitu saja.Miko masih bergeming, tamparan di pipinya seakan tak berasa apapun."Sudahlah Eva! Kamu pikir aku nggak tau, kamu mau menikah denganku juga bukan karena cinta kan? Tapi karena harta! Tak perlu lah kamu sok-sokan seperti orang yang tersakiti seperti itu, aku tau semuanya.""Miko!" "Ada apa kalian pagi-pagi sudah ribut?" Tiba-tiba Ibu sudah ada di depan pintu. Ah, aku lupa menutup pintu tadi, jadi Ibu dengar kami ribut-ribut. Kami terdiam."Miko, ada apa sebenarnya?" tanya Ibu pada anak lelaki satu-satunya itu."Bu! Alhamdulillah Miko sudah bisa menghubungi Naya, Bu!" ucap Miko menghambur ke arah ibunya, dengan mata berbinar."Benarkah?" Ibu menyahut dengan raut bahagia di wajahnya.Sungguh adegan di depanku ini membuatku semakin muak."Iya, Bu! Miko mohon untuk kali ini Ibu mau merestui kami, Bu! Per