Mengambil simpati Ibu Dwi rasanya sudah tak mungkin lagi, satu-satunya kini yang bisa kuperjuangkan adalah Miko, semoga sikap cuek dan ketusnya perlahan bisa memudar dan kembali lembut dalam pelukanku. Kurebahkan tubuhku di samping suamiku yang kini masih terlelap, membelai lembut pipinya, merasakan hembusan napasnya yang teratur, ia pasti tengah mengarungi alam mimpinya. Kuusap lembut dada bidangnya, pikirku melayang, mencari cara untuk membuatnya kembali tertarik dan tergila-gila padaku. Semenjak aku di tuntut untuk diam di rumah, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, aku memang tak bisa berbuat banyak. Perawatan ke salon yang dulu rutin kulakukan pun kini hampir tiga bulan tak melakukannya. Aku bangkit mematutkan diri ke cermin, tak kupungkiri penampilanku kini begitu berantakan, rambut acak-acakan, wajah kusam dan berminyak, belum lagi ada sedikit beruntus jerawat di sekitar dahi. Ah, mungkin dengan aku kembali melakukan perawatan, Miko akan kembali menghangat, setidaknya den
Jika benar yang dikatakan Ibu kemarin, aku hanya pelampiasan, bagaimana jika Miko akan meninggalkanku karena Naya sudah berhasil ia hubungi."Aku tak sanggup berpisah darimu, Sayang! Betapa aku sangat tersiksa hidup tanpa kamu, Nay!" Kembali Miko bersuara parau, pada seseorang di seberang sana. Terdengar begitu pilu, seorang laki-laki gagah nan tampan seperti Miko bisa begitu terpuruk karena wanita yang di cintainya."....""Iya aku memang sudah menikah, tapi aku sama sekali tak bahagia dengan pernikahan ini, aku kira dengan menikahi wanita lain aku perlahan bisa melupakan kamu, tapi nyatanya aku justru makin tersiksa dengan keadaan ini, tak ada yang mampu menggantikanmu di hatiku, Nay!" Aku memberanikan diri membuka pintu kamar lebih lebar sedikit lagi, terlihat Miko masih duduk di bibir ranjang memunggungi pintu kamar, dengan ponsel masih digenggamnya dan di tempelkan ke telinganya, terlihat punggungnya bergetar.Hingga sambungan telepon mereka pun berakhir. Miko tertunduk dalam.
"Kamu keterlaluan, Miko!" Plak! Sepertinya sebuah tamparan keras yang kuhadiahkan di pipinya tidak sebanding dengan sakit yang ada di hatiku, dengan mudahnya dia membuangku begitu saja.Miko masih bergeming, tamparan di pipinya seakan tak berasa apapun."Sudahlah Eva! Kamu pikir aku nggak tau, kamu mau menikah denganku juga bukan karena cinta kan? Tapi karena harta! Tak perlu lah kamu sok-sokan seperti orang yang tersakiti seperti itu, aku tau semuanya.""Miko!" "Ada apa kalian pagi-pagi sudah ribut?" Tiba-tiba Ibu sudah ada di depan pintu. Ah, aku lupa menutup pintu tadi, jadi Ibu dengar kami ribut-ribut. Kami terdiam."Miko, ada apa sebenarnya?" tanya Ibu pada anak lelaki satu-satunya itu."Bu! Alhamdulillah Miko sudah bisa menghubungi Naya, Bu!" ucap Miko menghambur ke arah ibunya, dengan mata berbinar."Benarkah?" Ibu menyahut dengan raut bahagia di wajahnya.Sungguh adegan di depanku ini membuatku semakin muak."Iya, Bu! Miko mohon untuk kali ini Ibu mau merestui kami, Bu! Per
Miko melepaskan genggaman tangannya dan mendorong tubuhku, hingga terpental ke atas ranjang."Apa yang kamu katakan pada Naya? Hah?! Jangan kau coba-coba mengatakan yang tidak-tidak pada Naya, aku tak ingin kehilangan Naya untuk kedua kalinya, kau mengerti!"Miko berkata dengan tatapan nyalang, belum pernah aku melihatnya semarah ini, segitu bucinnya kah dia dengan Naya. "Aku tidak mengatakan apapun pada Naya, Aku cuma .... ""Cukup, Eva. Seperti perkataanku pagi tadi, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, aku ingin kita berpisah. Toh selama kita bersama beberapa bulan ini, tak ada rasa cinta yang tumbuh di hatiku."Miko duduk di Bibir ranjang, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Aku juga tau, kau perempuan seperti apa, dan aku yakin, kau pun tak akan sanggup harus lebih lama lagi di rumah ini, bukankah selama kau tinggal di rumah ini, kau begitu tertekan. Jadi mulai sekarang pergilah, aku melepaskan kamu. Evalina Yulianti mulai hari ini, kau bukan istriku lagi."Sebuah kalimat
"Nduk! Ibu sudah tau semuanya. Jujur Ibu kecewa sama kamu Nduk!""Maksud Ibu?""Status Yudi itu, dulu masih beristri kan, saat menikahi kamu? Makanya kalian hanya menikah secara siri. Kamu sadar nggak! Ada hati yang kamu lukai saat kamu merebut Yudi dari istrinya, apa kamu tau bagaimana perasaan istrinya, bagaimana nasib anaknya."Jleb!Aku meremas kuat pangkal rambut kepalaku. Ibu benar Mungkin yang aku alami saat ini adalah karma yang harus aku dapatkan karena sudah merebut suami orang."Eva, para tetangga di sini juga sudah ada beberapa yang ngomongin kamu, entah mereka denger kabar itu dari siapa, terus terang ibu malu, Nduk! Kamu di katain sebagai pelakor, rasanya sakit hati ibu, Nduk!""Maafkan Eva, Bu! Sudah bikin ibu malu." Kembali aku menyahut dengan isak tangis."Meskipun kita ini miskin, tapi tak seharusnya kita merebut yang bukan milik kita, Nduk! Kamu dari dulu selalu bercita-cita ingin jadi orang kaya, tapi tak harus dengan cara seperti ini, Nduk! Kamu itu perempuan, har
Aku sangat-sangat terkejut mendengar penuturan Dokter, seketika langit seakan runtuh. Aku meraung, berteriak sejadi-jadinya, duniaku terasa hancur lebur sudah.Aku goyang-goyangkan kakiku yang tak berdaya ini, sambil terus menangis sesegukan, teriakan yang begitu pilu. Tangan ini pun tak mau tinggal diam, mencoba berontak, berharap kaki ini bisa kembali bergerak.Sontak, para suster dengan sigap memegangi kedua tanganku yang terus berontak."Lepaskan tangan saya Sus, lepaskan!"Sungguh aku tak bisa menerima kondisi kaki ini lumpuh, rasanya ini seperti mimpi buruk dan berharap saat kubangun nanti, aku bisa berdiri dan berjalan seperti semula."Ya Tuhan bangunkan aku dari mimpi buruk ini," jeritku. Hingga akhirnya Dokter menyuntikan sesuatu pada selang infus yang di dekat punggung tanganku, perlahan namun pasti mata ini terasa berat dan aku tertidur begitu saja.*****"Alhamdulillah kamu sudah sadar, Eva," ucap seorang perempuan saat aku masih berusaha membuka kelopak mataku."Na–Naya.
Ceklek."Eva! Ya Allah Nduk! Kenapa jadi seperti ini." Ibu memasuki ruangan ini tergopoh-gopoh menghampiriku, dan tangisnya pun pecah saat berada di sampingku.Aku menatap lurus pada langit-langit kamar ini, pandanganku kosong, hanya air mata yang mampu bicara. "Eva kamu harus kuat, kamu harus tabah, Nduk! Ada Ibu di sini yang akan selalu menemani kamu," ucapnya lagi sambil berurai air mata, tatapannya sendu saat melihatku yang masih tak bergeming,Kemudian memeluk tubuhku dan kembali menangis."Ibu, Maafkan Eva, Bu," ucapku lirih, dalam pelukannya.Beliau hanya mengangguk, sambil mengusap lembut rambutku."Ibu akan selalu di sini, bersamamu, kamu harus kuat." Ibu melepaskan pelukannya, kemudian dan duduk di bangku."Sekarang Eva lumpuh, Bu. Hancur sudah duniaku, Bu. Aku hanya akan menjadi beban dalam hidup Ibu." Teriakku terisak, tangan ini memukul kedua pahaku."Sabar, Nduk. Sabar. Ini sudah takdir dari yang kuasa. Kamu harus ikhlas." Mendengar itu, aku kembali terisak."Istirahatl
POV Sintya5 bulan kemudian....Lima bulan sudah aku hidup sendiri menjadi single parent, beberapa kali Mas Yudi datang menemui kami, aku tetap mengijinkannya untuk menemui Rizki, karena bagaimanapun ia tetap ayah dari anakku.Mas Yudi juga sudah menyadari kesalahannya, ia bercerita bahwa dirinya sudah tidak bersama Eva lagi, mereka sudah bercerai karena Eva ternyata bukan wanita baik-baik.Aku hanya tersenyum getir mendengarnya. Penyesalan memang datang terlambat, di saat kita sudah kehilangan, kita baru menyadari bahwa betapa berharganya apa yang kita miliki.Beberapa kali juga Mas Yudi bersimpuh dan memohon untuk kembali, meski aku melihat ada ketulusan dari sorot matanya, tapi entah mengapa hati ini masih terasa sakit, bagaimana mungkin hati yang sudah hancur berkeping-keping, akan kembali utuh hanya dengan kata maaf.Aku tau diri ini egois, hanya memikirkan perasaanku saja tanpa memikirkan perasaan Rizki anakku, tapi aku pun hanya seorang wanita, rasanya masih sakit bila menginga