Ceklek."Eva! Ya Allah Nduk! Kenapa jadi seperti ini." Ibu memasuki ruangan ini tergopoh-gopoh menghampiriku, dan tangisnya pun pecah saat berada di sampingku.Aku menatap lurus pada langit-langit kamar ini, pandanganku kosong, hanya air mata yang mampu bicara. "Eva kamu harus kuat, kamu harus tabah, Nduk! Ada Ibu di sini yang akan selalu menemani kamu," ucapnya lagi sambil berurai air mata, tatapannya sendu saat melihatku yang masih tak bergeming,Kemudian memeluk tubuhku dan kembali menangis."Ibu, Maafkan Eva, Bu," ucapku lirih, dalam pelukannya.Beliau hanya mengangguk, sambil mengusap lembut rambutku."Ibu akan selalu di sini, bersamamu, kamu harus kuat." Ibu melepaskan pelukannya, kemudian dan duduk di bangku."Sekarang Eva lumpuh, Bu. Hancur sudah duniaku, Bu. Aku hanya akan menjadi beban dalam hidup Ibu." Teriakku terisak, tangan ini memukul kedua pahaku."Sabar, Nduk. Sabar. Ini sudah takdir dari yang kuasa. Kamu harus ikhlas." Mendengar itu, aku kembali terisak."Istirahatl
POV Sintya5 bulan kemudian....Lima bulan sudah aku hidup sendiri menjadi single parent, beberapa kali Mas Yudi datang menemui kami, aku tetap mengijinkannya untuk menemui Rizki, karena bagaimanapun ia tetap ayah dari anakku.Mas Yudi juga sudah menyadari kesalahannya, ia bercerita bahwa dirinya sudah tidak bersama Eva lagi, mereka sudah bercerai karena Eva ternyata bukan wanita baik-baik.Aku hanya tersenyum getir mendengarnya. Penyesalan memang datang terlambat, di saat kita sudah kehilangan, kita baru menyadari bahwa betapa berharganya apa yang kita miliki.Beberapa kali juga Mas Yudi bersimpuh dan memohon untuk kembali, meski aku melihat ada ketulusan dari sorot matanya, tapi entah mengapa hati ini masih terasa sakit, bagaimana mungkin hati yang sudah hancur berkeping-keping, akan kembali utuh hanya dengan kata maaf.Aku tau diri ini egois, hanya memikirkan perasaanku saja tanpa memikirkan perasaan Rizki anakku, tapi aku pun hanya seorang wanita, rasanya masih sakit bila menginga
"Kok Mamah malah nangis?""Nggak Sayang, Mamah bahagia memiliki Rizki, Mamah bahagia Rizki begitu sayang sama Mamah, terimakasih ya Nak," pungkasku dengan terisak.Rizki menyentuh pipiku dan menyeka air mata luruh membasahi pipi."Rizki juga sayang sama Mamah, Rizki janji akan selalu jagain Mamah." Rizki menatap lekat ke arahku. Aku mengangguk"Sekarang kita lanjut lagi bikin tugas mewarnai yang dari Bu guru ya, Sayang."Aku dekatkan lagi buku mewarnai miliknya, tugasnya mewarnai berbagai macam bentuk buah-buahan. Rizki mengangguk antusias.Setelah selesai semua tugas yang di kerjakan, aku menemaninya ke kamar, sudah waktunya ia tidur, tak lupa sebelumnya ia membereskan semua mainan yang berserakan.Tak butuh waktu lama Rizki sudah terlelap menjemput mimpi, kukecup lembut dahinya. Betapa aku sangat bersyukur memilikimu, Nak. Gumamku.Aku beranjak meninggalkannya dan melenggang ke kamarku, kini sebelum aku tidur aku punya rutinitas baru, yaitu mengecek data laporan yang sudah Rizal kir
Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki saat ini, karena bisa jadi setelah kita kehilangannya, hal itu akan menjadi penyesalan terdalam dalam hidup ini.Apa yang kita tabur, itu pula yang akan kita tuai. Jika sejak awal niat kita sudah tidak baik, maka jangan berharap akan berakhir dengan baik.🌺🌺🌺Pijar sinar orange telah muncul dengan gagahnya di ufuk timur, hembusan angin pagi yang begitu menyejukkan, kicauan burung yang mulai keluar dari sarangnya, menambah syahdu suasana sejuk pagi ini.Aku raih sapu lidi dan mulai membersihkan halaman rumah yang sudah nampak tertutup oleh dedaunan. Halaman ini memang tidak terlalu luas, hanya ada sebuah pohon mangga yang tak begitu besar, di sudut halaman, dan rerumputan hijau di bawahnya, beserta beberapa tanaman dalam pot yang berjejer rapi.Sebelum mulai masak, aku sempatkan untuk menyapu halaman, yang memang tidak setiap hari aku bersihkan.Setelah aku mengantar Rizki ke tempat belajarnya, aku langsung menuju ke galeri, sambil menunggu R
"Mbak mohon Sin, kembalilah rujuk dengan Yudi, kasihan Dia, semua ini kesalahan Mbak, Yudi tidak bersalah."Apa? Kembali rujuk dengan Mas Yudi, enak sekali dia berkata seperti itu, kasihan dengan Yudi, apa dia tak kasihan denganku saat diam-diam Mas Yudi menghianatiku, dan berselingkuh dengan wanita lain yang ia sodorkan. Bukankah dia juga seorang perempuan, di mana hatinya saat itu.Bermain serong hingga bertukar peluh dengan wanita lain, dia bilang Yudi tak bersalah, sungguh keterlaluan.Aku terdiam cukup lama menatap lurus ke depan, masih tertangkap oleh ekor mataku, Mbak Siska menatap iba ke arahku.Sekali lagi aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan."Maaf Mbak, Sintya nggak bisa. Sudah terlanjur sakit hati ini, Mbak. Bukankah ini yang Mbak mau?" tanyaku dengan senyum tersungging di bibir ini."Sin, sekali lagi Mbak minta maaf, coba kamu lihat Rizki, betapa dia masih sangat kecil dan masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ayah."Mendengar ucapannya, aku
"Sin dengerin dulu, Sin! Sekarang Mbak benar-benar minta maaf Sin, Mbak sungguh-sungguh ingin bertaubat Sin, Mbak sudah kehilangan semuanya sekarang, huhuhu...." Mbak Siska kembali tergugu, aku hanya menatapnya dengan kedua alis saling bertaut. "Minta maaf sama Allah Mbak, bertaubatlah dengan segenap hati dan jiwamu, Mbak. Maaf bukan maksud Sintya menggurui, tapi Sintya prihatin dengan hidup Mbak Siska," paparku, walaupun aku sendiri tak mengerti, apa maksud Mbak Siska bilang sudah kehilangan semuanya."Iya, Sin! Hati Mbak kotor, Mbak malu Sin."Mbak Siska tertunduk, walaupun masih ada rasa sedikit kesal, tapi jujur aku iba melihat orang-orang yang di hidupnya hanya memandang harta, bukankah semua itu hanya sebuah hal semu, yang tak kan abadi.Selain karena rasa sakit hatiku, semua yang aku lakukan memang bertujuan untuk memberi pelajaran untuk mereka, termasuk Mbak Siska dan wanita murahan itu."Sudah-sudah Mbak, Sintya udah maafin Mbak Siska, Sintya harap kedepannya Mbak Siska bisa
"Owh, kalau begitu biar Mbak pulang duluan gak apa-apa, Yud. Kalian bicara dulu gak apa-apa," sela Mbak Siska tiba-tiba.Mas Yudi pun mengangguk, dan memesankan ojek online untuk kakak perempuannya itu."Ada apa, Sin?" Aku dan Mas Yudi duduk di teras rumah, setelah Mbak Siska berlalu bersama pengemudi ojek onlinenya. Rizki juga masuk ke dalam bermain dengan kereta api dan mobil-mobilan miliknya."Sebenarnya Mbak Siska kenapa Mas, tadi Mbak Siska minta maaf sama aku, dia terlihat begitu sedih, dan dia bilang ... Dia sudah kehilangan semuanya, maksudnya apa Mas?" tanyaku penasaran.Mas Yudi menghela napas, sebelum menjawab pertanyaanku."Bukan hanya Mbak Siska yang kehilangan semuanya, Sin. Mas juga sudah kehilangan semuanya." Mas Yudi tertunduk dalamAku masih belum mengerti, dengan apa yang dikatakannya."Sin, apa tidak ada kesempatan untukku untuk memperbaiki semuanya?" Bukanya menjawab pertanyaan tentang Mbak Siska, namun Mas Yudi kembali menanyakan hal sudah pasti ia tau jawabann
"Hari sudah semakin Siang, sebaiknya kamu pulang Mas, aku dan Rizki mau istirahat," Aku mengusir halus laki-laki yang pernah merajai hati namun juga telah mencabik dan menyayat hati ini.Mas Yudi hanya memandangku, tanpa bisa berkata apapun lagi."Rizki, Sayang! Sini sebentar Nak, Ayah mau pamit nih," seruku dari luar, meskipun Mas Yudi belum berkata untuk pamit, sengaja aku seperti itu, menegaskan jika ia memang harus segera pulang."Iya, Mah!" sahutnya dari dalam dan datang tergopoh-gopoh menuju ke arah kami."Ayah pulang dulu ya, Nak! Nanti Insya Allah, Minggu depan baru ayah bisa main lagi," Mas Yudi berlutut, menyamakan tingginya dengan bocah lima tahun itu, kemudian tangannya mengusap lembut rambut hitamnya. "Iya Ayah, makasih ya Ayah," ucap Rizki kemudian memeluk tubuh Ayahnya."Baik-baik sama Mamah, yah! Rizki anak yang kuat, Rizki bisa kan jagain Mamah.""Bisa Donk!" sahutnya semangat, aku hanya mengulum senyum mendengar obrolan mereka.Mas Yudi akhirnya pamit pulang, setel