Share

Bab 105

Author: Tifa Nurfa
last update Last Updated: 2022-08-12 07:23:24

"Sin dengerin dulu, Sin! Sekarang Mbak benar-benar minta maaf Sin, Mbak sungguh-sungguh ingin bertaubat Sin, Mbak sudah kehilangan semuanya sekarang, huhuhu...." Mbak Siska kembali tergugu, aku hanya menatapnya dengan kedua alis saling bertaut.

"Minta maaf sama Allah Mbak, bertaubatlah dengan segenap hati dan jiwamu, Mbak. Maaf bukan maksud Sintya menggurui, tapi Sintya prihatin dengan hidup Mbak Siska," paparku, walaupun aku sendiri tak mengerti, apa maksud Mbak Siska bilang sudah kehilangan semuanya.

"Iya, Sin! Hati Mbak kotor, Mbak malu Sin."

Mbak Siska tertunduk, walaupun masih ada rasa sedikit kesal, tapi jujur aku iba melihat orang-orang yang di hidupnya hanya memandang harta, bukankah semua itu hanya sebuah hal semu, yang tak kan abadi.

Selain karena rasa sakit hatiku, semua yang aku lakukan memang bertujuan untuk memberi pelajaran untuk mereka, termasuk Mbak Siska dan wanita murahan itu.

"Sudah-sudah Mbak, Sintya udah maafin Mbak Siska, Sintya harap kedepannya Mbak Siska bisa
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 106

    "Owh, kalau begitu biar Mbak pulang duluan gak apa-apa, Yud. Kalian bicara dulu gak apa-apa," sela Mbak Siska tiba-tiba.Mas Yudi pun mengangguk, dan memesankan ojek online untuk kakak perempuannya itu."Ada apa, Sin?" Aku dan Mas Yudi duduk di teras rumah, setelah Mbak Siska berlalu bersama pengemudi ojek onlinenya. Rizki juga masuk ke dalam bermain dengan kereta api dan mobil-mobilan miliknya."Sebenarnya Mbak Siska kenapa Mas, tadi Mbak Siska minta maaf sama aku, dia terlihat begitu sedih, dan dia bilang ... Dia sudah kehilangan semuanya, maksudnya apa Mas?" tanyaku penasaran.Mas Yudi menghela napas, sebelum menjawab pertanyaanku."Bukan hanya Mbak Siska yang kehilangan semuanya, Sin. Mas juga sudah kehilangan semuanya." Mas Yudi tertunduk dalamAku masih belum mengerti, dengan apa yang dikatakannya."Sin, apa tidak ada kesempatan untukku untuk memperbaiki semuanya?" Bukanya menjawab pertanyaan tentang Mbak Siska, namun Mas Yudi kembali menanyakan hal sudah pasti ia tau jawabann

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 107

    "Hari sudah semakin Siang, sebaiknya kamu pulang Mas, aku dan Rizki mau istirahat," Aku mengusir halus laki-laki yang pernah merajai hati namun juga telah mencabik dan menyayat hati ini.Mas Yudi hanya memandangku, tanpa bisa berkata apapun lagi."Rizki, Sayang! Sini sebentar Nak, Ayah mau pamit nih," seruku dari luar, meskipun Mas Yudi belum berkata untuk pamit, sengaja aku seperti itu, menegaskan jika ia memang harus segera pulang."Iya, Mah!" sahutnya dari dalam dan datang tergopoh-gopoh menuju ke arah kami."Ayah pulang dulu ya, Nak! Nanti Insya Allah, Minggu depan baru ayah bisa main lagi," Mas Yudi berlutut, menyamakan tingginya dengan bocah lima tahun itu, kemudian tangannya mengusap lembut rambut hitamnya. "Iya Ayah, makasih ya Ayah," ucap Rizki kemudian memeluk tubuh Ayahnya."Baik-baik sama Mamah, yah! Rizki anak yang kuat, Rizki bisa kan jagain Mamah.""Bisa Donk!" sahutnya semangat, aku hanya mengulum senyum mendengar obrolan mereka.Mas Yudi akhirnya pamit pulang, setel

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 108

    "Mah, itu siapa Mah? Kok kaya Om Dhani Mah?" Rizki menggoyangkan pergelangan tanganku. "Iya, Nak. Itu Om Dhani," jawabku singkat. Saat aku melihat layar ponselku, ternyata sudah terputus panggilan teleponnya. Dhani berjalan semakin dekat, senyumnya terus merekah menatapku dan Rizki, aku berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain, dan membukakan gerbang untuknya. "Halo Rizki, masih inget sama Om?" Dhani sedikit menunduk dan menatap wajah Rizki. "Masih donk, Om!" jawab Rizki tersenyum." "Ini Mbak Sintya, Ya?" Seorang gadis di samping Dhani itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis terhadapku. "Iya, saya Sintya. Ehmm, pasti ini calon istrinya Dhani ya? Wah cantik. Mari masuk," selorohku basa basi. Mendengar celotehanku, mereka hanya saling pandang, kemudian tertawa kecil, membuatku sedikit bingung. Namun aku tak menanggapinya, Aku berjalan mendahului mereka, terlihat Rizki berjalan di belakangku, bergandengan dengan Dhani. Kembali kumasukkan anak kunci dan membuka pintu

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 109

    Badai pasti berlalu, akan ada pelangi setelah hujan. Seiring dengan rintik hujan yang perlahan menghilang, di gantikan oleh sang mentari yang berpijar, sinarnya begitu gagah menerangi bumi.Setelah semua ujian berat yang telah di lalui, kini sudah saatnya harus menata kembali hati yang remuk, menata kembali hati hancur berkeping-keping. Setiap insan memang tak kan luput dari sebuah kesalahan maupun dosa, mereka berhak untuk memperbaiki diri dan berubah menjadi insan yang lebih bermartabat.🌺🌺🌺Mobil Hond* HR-V berwarna putih yang di kemudikan Dhani mulai melaju membelah jalanan kota ini, sejak kedatangannya kemari aku bahkan belum sempat bertanya apa tujuannya datang ke rumahku. Apa ada suatu hal yang penting atau hanya ingin silaturahim biasa. Biarlah nanti aku tanyakan ketika sudah duduk bersama.Aku menoleh ke arah jalanan yang lumayan ramai. Menambah hiruk pikuk sibuknya kota ini. Sejenak kami terdiam dalam pikiran masing-masing.Aku melirik ke arah gadis manis yang duduk di s

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 110

    Lelaki di sampingku itu, justru tertawa geli, melihatku."Lagian, serius banget sih, bacanya." Aku lirik Rizki tengah asyik melihat-lihat cover buku resep masakan."Kok kamu tau, kami ada di sini?""Tau lah, tadi aku chat kamu, tapi nggak di balas, aku telpon Vina dia bilang kalian di sini, jadi aku langsung kemari, pantas saja chatku nggak di buka, sedang asyik cari novel rupanya," Ia kembali terkekeh."Hehe, maaf ya. Nggak denger suara pesan masuk." Aku tersenyum sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal."Iya, gak apa-apa. Biar aku temani Rizki cari buku buat dia, Ya?" izinya, aku mengangguk, tersenyum."Oke, terimakasih ya, Dhan." Lelaki itu hanya mengacungkan jempolnya."Rizki, ayo sama Om aja cari bukunya, Mamah lagi sibuk cari buku novel kesukaannya," bisiknya lirih, namun masih terdengar di telingaku, karena jarak kami tak begitu jauh."Siap, Om! Om aku mau buku dongeng baru, buku mewarnai...." Terdengar suara Rizki yang antusias perlahan menjauh dan tak terdengar lagi, mereka

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 111

    "Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kesabaran." (QS. Al-'Ashr: 1-3)🌺🌺🌺Sinar mentari senja mulai menyinari jalanan sore ini, terlihat begitu menawan, dengan hembusan angin sore yang menggoyangkan dahan dan ranting pohon, Menambah syahdu suasana sore ini. Aku memandang ke luar jendela mobil, menikmati perjalanan sore ini.Aku melirik gadis manis yang duduk di sebelahku, tampak pulas mendekap sebuah buku yang tadi baru saja dibelinya.Tak berapa lama mobil melaju dengan pelan memasuki gerbang perumahan tempat tinggalku. Aku turun dari mobil dan menuju ke pintu mobil bagian depan. Baru saja aku membuka pintu depan mobil, Dhani menutup mulutnya dengan jari telunjuknya, dan memberi kode padaku agar stop mengangkat Rizki."Biar aku saja, Sin yang gendong Rizki," ucap Dhani kemudian mengulum tersenyum.Aku menurutinya, karena memang tubuh Rizki yang lumayan berat.Aku mundur beber

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 112

    Aku hanya tersenyum memicing mendengar ucapan Dhani, yang seolah-olah seperti sang pujangga."Kau ini, sudahlah." Aku mengabaikan kata-katanya."Hari sudah semakin sore, aku pamit, ya!"Tak berapa lama Vina muncul dari dalam, sambil memegangi perutnya, yang sepertinya merasa lega."Woi, udah yuk pulang," seru Dhani pada adik perempuannya."Hehe, iya, ayo pulang. Mbak Sintya, aku pamit ya, kapan-kapan boleh kan aku main lagi kemari?" Vina mengulurkan tangannya, dan mencium takzim punggung tanganku."Boleh donk, main sini kalo libur kuliah, yah." "Aku pamit ya, Sin. Jaga kesehatan." Aku mengangguk. Aku mengantar mereka hingga ke depan gerbang, Dhani melempar senyum sekali lagi sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, aku balas dengan senyum tipis.Aku menatap mobil yang melaju pelan di hadapanku, kemudian kaca mobilnya perlahan turun di barengi dengan suara klakson, Vina dan Dhani melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun demikian."Hati-hati ya!" seruku pada mereka, kedua kakak beradik it

    Last Updated : 2022-08-12
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 113

    Janganlah menatap masa lalu, dengan berduka, ia tak kan kembali lagi. Hadapilah masa sekarang dengan bijaksana dan sambutlah bayangan masa depan dengan tanpa keraguan, dan dengan disertai keteguhan hati. [H.W. Longer Fellow]🌺🌺🌺Cukup lama kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.Hatiku berkecamuk, harus bertemu kembali dengan wanita ini, meskipun kondisinya kini memprihatinkan. Aku menarik napas panjang kemudian, menghembuskanya perlahan."Mbak, kedatanganku ke sini ... Aku ingin meminta maaf padamu," ucap wanita yang duduk di kursi roda itu dengan tenang.Aku tak tau, apa kata maaf yang terlontar dari mulut manisnya itu, sungguh-sungguh, atau karena kondisinya sekarang sudah seperti ini, kemudian ia meminta maaf.Sudah menjadi hal yang lumrah, seseorang yang telah menyakiti kita, kemudian kembali datang untuk meminta maaf, di saat dirinya sudah tak berdaya lagi."Mbaak ...." Dia memutar kedua roda pada kursi roda itu, dan mendekat ke arahku."Aku tak tau, apakah aku

    Last Updated : 2022-08-12

Latest chapter

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 150 (ending)

    Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 149

    Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 148

    Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 147

    Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 146

    "Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 145

    Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 144

    Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 143

    Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 142

    Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K

DMCA.com Protection Status