Lelaki di sampingku itu, justru tertawa geli, melihatku."Lagian, serius banget sih, bacanya." Aku lirik Rizki tengah asyik melihat-lihat cover buku resep masakan."Kok kamu tau, kami ada di sini?""Tau lah, tadi aku chat kamu, tapi nggak di balas, aku telpon Vina dia bilang kalian di sini, jadi aku langsung kemari, pantas saja chatku nggak di buka, sedang asyik cari novel rupanya," Ia kembali terkekeh."Hehe, maaf ya. Nggak denger suara pesan masuk." Aku tersenyum sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal."Iya, gak apa-apa. Biar aku temani Rizki cari buku buat dia, Ya?" izinya, aku mengangguk, tersenyum."Oke, terimakasih ya, Dhan." Lelaki itu hanya mengacungkan jempolnya."Rizki, ayo sama Om aja cari bukunya, Mamah lagi sibuk cari buku novel kesukaannya," bisiknya lirih, namun masih terdengar di telingaku, karena jarak kami tak begitu jauh."Siap, Om! Om aku mau buku dongeng baru, buku mewarnai...." Terdengar suara Rizki yang antusias perlahan menjauh dan tak terdengar lagi, mereka
"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kesabaran." (QS. Al-'Ashr: 1-3)🌺🌺🌺Sinar mentari senja mulai menyinari jalanan sore ini, terlihat begitu menawan, dengan hembusan angin sore yang menggoyangkan dahan dan ranting pohon, Menambah syahdu suasana sore ini. Aku memandang ke luar jendela mobil, menikmati perjalanan sore ini.Aku melirik gadis manis yang duduk di sebelahku, tampak pulas mendekap sebuah buku yang tadi baru saja dibelinya.Tak berapa lama mobil melaju dengan pelan memasuki gerbang perumahan tempat tinggalku. Aku turun dari mobil dan menuju ke pintu mobil bagian depan. Baru saja aku membuka pintu depan mobil, Dhani menutup mulutnya dengan jari telunjuknya, dan memberi kode padaku agar stop mengangkat Rizki."Biar aku saja, Sin yang gendong Rizki," ucap Dhani kemudian mengulum tersenyum.Aku menurutinya, karena memang tubuh Rizki yang lumayan berat.Aku mundur beber
Aku hanya tersenyum memicing mendengar ucapan Dhani, yang seolah-olah seperti sang pujangga."Kau ini, sudahlah." Aku mengabaikan kata-katanya."Hari sudah semakin sore, aku pamit, ya!"Tak berapa lama Vina muncul dari dalam, sambil memegangi perutnya, yang sepertinya merasa lega."Woi, udah yuk pulang," seru Dhani pada adik perempuannya."Hehe, iya, ayo pulang. Mbak Sintya, aku pamit ya, kapan-kapan boleh kan aku main lagi kemari?" Vina mengulurkan tangannya, dan mencium takzim punggung tanganku."Boleh donk, main sini kalo libur kuliah, yah." "Aku pamit ya, Sin. Jaga kesehatan." Aku mengangguk. Aku mengantar mereka hingga ke depan gerbang, Dhani melempar senyum sekali lagi sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, aku balas dengan senyum tipis.Aku menatap mobil yang melaju pelan di hadapanku, kemudian kaca mobilnya perlahan turun di barengi dengan suara klakson, Vina dan Dhani melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun demikian."Hati-hati ya!" seruku pada mereka, kedua kakak beradik it
Janganlah menatap masa lalu, dengan berduka, ia tak kan kembali lagi. Hadapilah masa sekarang dengan bijaksana dan sambutlah bayangan masa depan dengan tanpa keraguan, dan dengan disertai keteguhan hati. [H.W. Longer Fellow]🌺🌺🌺Cukup lama kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.Hatiku berkecamuk, harus bertemu kembali dengan wanita ini, meskipun kondisinya kini memprihatinkan. Aku menarik napas panjang kemudian, menghembuskanya perlahan."Mbak, kedatanganku ke sini ... Aku ingin meminta maaf padamu," ucap wanita yang duduk di kursi roda itu dengan tenang.Aku tak tau, apa kata maaf yang terlontar dari mulut manisnya itu, sungguh-sungguh, atau karena kondisinya sekarang sudah seperti ini, kemudian ia meminta maaf.Sudah menjadi hal yang lumrah, seseorang yang telah menyakiti kita, kemudian kembali datang untuk meminta maaf, di saat dirinya sudah tak berdaya lagi."Mbaak ...." Dia memutar kedua roda pada kursi roda itu, dan mendekat ke arahku."Aku tak tau, apakah aku
"Eva aku mohon, bangunlah! Naya tolong–" Aku berusaha membangunkan Eva tapi ia tak bergeming.Naya bangkit kemudian dengan tertatih ia berusaha menopang tubuh Eva dan mendudukkan kembali ke kursi rodanya.Kedua matanya sembab, Naya membenarkan anak rambut yang menutupi mata dan sebagian wajahnya. Kemudian Naya menatapnya dengan mengulas senyum di bibirnya. "Kamu harus tenang, Mbak Sintya bukanya tidak mau memaafkan kamu, tapi Mbak Eva hanya butuh waktu untuk menata hatinya. Kamu harus sabar," ucap Naya pelan, kemudian memeluknya. Aku masih terdiam. "Sebaiknya kita pulang sekarang, hari sudah mulai gelap, ini kurang baik untuk kesehatanmu, nanti lain waktu kita akan datang lagi ke sini, semoga di saat kita kembali nanti, Allah telah meluluhkan hati Mbak Sintya, dan mau memaafkanmu. Percayalah!" ucap Naya lirih di sela pelukannya, dengan lembut ia mengusap punggung Eva.Aku menjadi merasa tersindir, mendengar ucapan wanita berjilbab ini. Dalam hati aku pun mengamini ucapannya.Memang
Setelah selesai mengerjakan semuanya, aku menutup laptop, dalam hati aku tersenyum puas, Alhamdulillah usaha dekorku berjalan lancar, bahkan mengalami kemajuan yang signifikan dari saat di pegang oleh Mas Yudi dulu.Tak henti-hentinya aku terus mengucap rasa syukur atas nikmat dan rezeki yang telah Allah berikan. Perlahan aku bangkit dan beringsut menuju pembaringan.Aku terbaring di peraduan, hari ini terasa begitu melelahkan, sejenak aku termenung teringat kejadian sore tadi.Jariku mengurut pelan dahi yang terasa berdenyut ini. Teringat kejadian sore tadi, cukup menguras pikiran dan emosionalku.Kedatangan Eva kemari membuatku terkejut, sekaligus membuka kembali luka yang sedang kucoba sembuhkan sendiri.Kisahku dengan Mas Yudi memang sudah selesai, namun aku berusaha menekan egoku demi Rizki, karena ada Rizki sebagai pengikat benang merah antara aku dan Mas Yudi, sampai kapanpun itu tak dapat di pungkiri, karena tak akan ada yang namanya bekas anak. Sampai kapanpun Mas Yudi adalah
"Wa'alaikumsalam, Ya, sebentar!" seruku sambil berjalan cepat ke arah depan. Kuputar anak kunci dan membukanya, aku sudah biasa mengunci pintu dari dalam, karena aku tinggal hanya berdua dengan Rizki jadi untuk jaga-jaga, pintu selalu aku kunci. Sekitar jam tiga sore Ayah tiba di rumah.Tampak lelaki yang mulai menua, berdiri gagah diambang pintu, senyum hangat mengulas di bibirnya, tatapan teduh yang selalu kurindukan."Ayah!" Aku mengambil dan meraih tangannya yang mulai keriput, kemudian menciumnya dengan takzim."Gimana kabar kamu, Nduk? Cucu Ayah mana?" tanyanya sambil mengelus punggungku."Alhamdulillah, Sintya dan Rizki sehat, Ayah. Rizki masih tidur siang, mungkin sebentar lagi bangun." Terlihat Nuri sedang menutup kembali pagar rumahku, usai membayar taksi online. Aku menghampirinya. Kami saling memeluk."Kamu sehat, Nur?" "Iya, Mbak, Alhamdulillah sehat, Mbak Sintya sama Rizki, sehat? Mana Rizki Mbak?" tanyanya, sambil celingukan."Alhamdulillah sehat, Rizki masih tidur,
Tak terasa waktu sepekan berjalan begitu cepat, sudah satu Minggu Ayah dan Nuri di sini menemani hari-hariku dan Rizki, jika boleh memilih aku ingin terus seperti ini, berada di tengah kehangatan orang-orang yang sangat kucinta. Berada dekat dengan keluarga, membuatku tenang.Dhani semakin intens mencoba mendekatiku, meski aku sering mengabaikan dan cenderung bersikap cuek padanya.Hari ini hari Minggu, seperti biasa jadwal kunjungan Mas Yudi untuk menjenguk Rizki, hari Sabtu kemarin dia mengatakan tak bisa berkunjung karena ada urusan, dan mengusahakan untuk datang berkunjung di hari Minggu, aku hanya mengiyakan saja ucapannya melalui pesan WhatsApp.Namun hingga sore menjelang, sepertinya Mas Yudi sibuk dan tak dapat mengunjungi Rizki, aku pun tak mempermasalahkannya, mungkin memang ia sibuk.Sore ini aku bersama Nuri sedang membuat camilan pisang coklat di dapur, pisang yang Ayah bawa dari kampung baru matang, setelah di diamkan beberapa hari.Kami sibuk di dapur sambil berceloteh