Tak terasa waktu sepekan berjalan begitu cepat, sudah satu Minggu Ayah dan Nuri di sini menemani hari-hariku dan Rizki, jika boleh memilih aku ingin terus seperti ini, berada di tengah kehangatan orang-orang yang sangat kucinta. Berada dekat dengan keluarga, membuatku tenang.Dhani semakin intens mencoba mendekatiku, meski aku sering mengabaikan dan cenderung bersikap cuek padanya.Hari ini hari Minggu, seperti biasa jadwal kunjungan Mas Yudi untuk menjenguk Rizki, hari Sabtu kemarin dia mengatakan tak bisa berkunjung karena ada urusan, dan mengusahakan untuk datang berkunjung di hari Minggu, aku hanya mengiyakan saja ucapannya melalui pesan WhatsApp.Namun hingga sore menjelang, sepertinya Mas Yudi sibuk dan tak dapat mengunjungi Rizki, aku pun tak mempermasalahkannya, mungkin memang ia sibuk.Sore ini aku bersama Nuri sedang membuat camilan pisang coklat di dapur, pisang yang Ayah bawa dari kampung baru matang, setelah di diamkan beberapa hari.Kami sibuk di dapur sambil berceloteh
"Maksudnya?""Mbak, dia itu tau alamat rumah ini dari Ayah. Beberapa bulan setelah Mbak berangkat lagi ke sini, Dhani sempat pulang ke kampung dan dia datang menemui Ayah, Dia berbicara langsung dengan Bapak jika Dia ingin serius membina rumah tangga dengan Mbak Sintya.""Hah?! Kamu serius Nur?!" Perkataan Nuri barusan sontak membuatku terkejut, bersamaan dengan terdengarnya teko siul yang sedang kugunakan untuk merebus air. Segera kumatikan kompor.Nuri hanya mengangguk. Sambil tersenyum ke arahku."Kok Ayah nggak ada cerita apa-apa ke Mbak?" Nuri mengambil teko kecil dan menuangkan setengah bungkus teh serbuk ke dalamnya, kemudian menuangkan air panas ke dalamnya.Aku yang masih terkejut hanya berdiri melihat adikku yang mengambil alih kegiatanku tadi."Nuri sempat dengar Ayah bilang begini, Ayah setuju kalau Mbak sama Mas Dhani, tapi bagaimanapun semua keputusan ada di tangan Mbak Sintya, Ayah paham Mbak pasti masih trauma dengan pernikahan, jadi ayah bilang, jika Mas Dhani berhas
Mas Yudi masih mematung melihat ke arah kami, aku yakin, Mas Yudi juga melihat Eva, apa sebelumnya dia tidak tau keadaan Eva sekarang, sehingga ia terlihat begitu kaget.Perlahan, Mas Yudi berjalan ke arah kami, melihat kami berjabat tangan.Setelah menyalamiku, Eva menoleh ke arah Mas Yudi, mungkin ia tadi sempat tak mendengar aku menyebut nama Mas Yudi, karena ia masih berada di dalam mobil."Mas Yudi." Eva berbisik pelan, saat yakin yang di lihat adalah Mas Yudi. Tatapannya sendu menatap ke arah Mas yang berjalan pelan mendekat."Eva." Mas Yudi terlihat berusaha tenang melihat kondisi Eva yang kini tak seperti dulu."Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu, Mas. Ada yang ingin aku sampaikan," ucapnya pelan, dengan tatapan nanar ke arah mantan suamiku yang juga mantan suaminya.Hening."Ehmm!" Aku berdehem memecah keheningan, karena beberapa detik berlalu Mas Yudi tak bergeming."Mas, kenapa kamu tadi terlihat seperti balik lagi? Aku tadi sempat melihatmu sudah hampir sampai di depa
Aku dan Ayah masuk ke ruang tamu kami duduk memenuhi bangku ruang tamu."Rizki Sayang, ke dalam dulu ya, main sama Bulek Nuri. Ayah sama Mamah dan Tante mau bicara sebentar," bisikku pelan pada telinga kiri anak lelakiku, tanganku mengelus lembut belakang kepalanya.Ia pun mengangguk pelan mengikuti titahku."Mbak Sintya, seperti janjiku beberapa hari lalu, aku datang kembali mengharap kata maaf darimu, Mbak. Aku mohon maaf, sungguh hati ini rasanya tak tenang jika belum mendapatkan kata maaf darimu. Aku sungguh menyesal." Eva menunduk dalam dengan suara parau menahan sesak.Aku terdiam, berusaha tenang, dalam hati aku terus beristighfar agar aku benar-benar bisa memaafkannya dengan tulus."Aku tau, kesalahanku sangat sulit di maafkan bahkan mungkin tak bisa di maafkan, tapi .... Sungguh aku menyesali semuanya Mbak." Ia terisak menunduk dalam.Hening, semua larut dalam pikiran masing-masing.Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya."Aku sudah memaafkanmu, Va. Berjanjil
POV 3.Satu tahun kemudian ...Setelah hari itu, Sintya menjalani hari-harinya lebih tenang dan penuh semangat, rasa sakit yang dulu menyayat hatinya, sebisa mungkin di tepisnya, melihat perkembangan Rizki yang tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas membuatnya lebih cepat bisa berdamai dengan masa lalu.Hubungannya dengan Dhani masih terjalin dengan baik, beberapa kali Dhani mengungkapkan keseriusan ingin membina rumah tangga bersamanya, tapi Sintya masih saja mengatakan belum siap untuk membina rumah tangga baru.Jadi mereka hanya dekat sebatas teman, Dhani pun mengerti, dirinya tak ingin memaksakan kehendaknya, ia memilih sabar menunggu waktu itu tiba, entah mengapa hatinya yakin jika suatu saat nanti Sintya akan luluh dan membuka ruang hatinya, untuk dirinya melabuhkan cinta.Yudi setiap seminggu atau dua Minggu sekali masih tetap rutin mengunjungi Rizki, tak ada obrolan serius di antara mereka, Yudi cukup tau diri atas kesalahannya dulu, yang begitu menyakiti wanita istimewanya
"Nay, menikahlah dengan Miko, aku mohon. Hanya kamu yang ia butuhkan. Aku tau kau menolak menikah dengan Miko karena aku kan? Sekarang ini, aku yang memintamu untuk bersatu dengan Miko," ucapanya dengan penuh harap.'Aku tau betul pancaran cinta dari sudut matamu, pun dengan Miko, betapa hancurnya dia saat kehilanganmu dulu.' batinya berbisik.Hening.Sejenak kedua wanita itu saling diam, hati Naya membenarkan perkataan Eva, memang rasa cintanya pada Miko, di hatinya tetap utuh sejak dulu. Walaupun ia sempat merasakan patah hati saat mendengar kabar Miko telah menikah, tapi sebagai seorang muslimah ia tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan, segala aktivitas kesibukannya dalam menimba ilmu dan bekerja, mampu mengurangi dan mengesampingkan perasaannya. Selain kuliah, Naya juga bekerja di sana, sebagai mahasiswa cerdas dan berprestasi, tentu banyak tawaran pekerjaan menghampirinya, sehingga ia bisa bekerja sambil kuliah, pekerjaannya pada perusahaan asing dengan gaji yang cukup b
POV 3Langit pagi ini tampak cerah, sang sinar orange dengan gagahnya muncul dari peraduan, menyinari jagat yang fana ini. Tetesan embun pagi masih belum kering dari sisa hujan semalam. Begitu terasa hangat saat sang Surya kini terbit menggantikan malam yang dingin karena guyuran hujan.Hampir dua tahun sudah Sintya menjalani hidupnya sendiri memeluk luka atas Penghianatan yang di lakukan sang suami dulu, meski berusaha ikhlas rasa sakit itu masih ada, bahkan ia merasa begitu sulit melupakan semua itu. Hingga menjelang siang, wanita 37 tahun itu masih berkutat dengan layar laptop di meja kerjanya.Dering ponselnya mengagetkan dirinya yang sedang duduk termenung di meja kerjanya, ia hanya melirik sekilas ke lapar pipih yang tergeletak di sampingnya. Dhani. Seperti biasa Dhani selalu mengirim chat sebatas mengingatkan makan atau istirahat, ia tak ingin pujaan hatinya itu terus menerus terbelenggu dalam sebuah jerat masa lalu. Rasa cinta yang membumbung tinggi di dalam hatinya, segala
"Rizki mau ngucapin makasih sama Om Dhani. Dia baik banget ya Mah. Ini kan salah satu menu makanan di restorannya Om Dhani Mah." Sintya mengerutkan keningnya. Anak laki-lakinya itu memang sudah sangat dekat dengan Dhani, dan Rizki juga pernah di ajak Dhani jalan-jalan dan kemudian mampir ke restoran Dhani."Boleh Sayang, sebentar Mamah telpon Om Dhani ya." Sintya kemudian merogoh ponselnya yang tersemat di sakunya, kemudian memenuhi permintaan anak semata wayangnya.Tak berapa lama telepon panggilannya pun tersambung, terdengar suara laki-laki yang selalu menunggu hatinya, di seberang sana."Assalamualaikum, selamat siang, Dhan.""Wa'alaikumsalam, Sintya.""Terimakasih atas makanannya, ya. Ehm, ini Rizki ingin bicara denganmu."Sintya menekan tombol loud speaker pada ponselnya, sebelum memberikannya pada Rizki."Halo jagoan, lagi ngapain?""Lagi maem, Om. Om makasih ya, makanannya enak banget, Rizki suka," ucap bocah tujuh tahun itu dengan sumringah.Sesungguhnya di lubuk hati Sintya
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K