Aku hanya tersenyum memicing mendengar ucapan Dhani, yang seolah-olah seperti sang pujangga."Kau ini, sudahlah." Aku mengabaikan kata-katanya."Hari sudah semakin sore, aku pamit, ya!"Tak berapa lama Vina muncul dari dalam, sambil memegangi perutnya, yang sepertinya merasa lega."Woi, udah yuk pulang," seru Dhani pada adik perempuannya."Hehe, iya, ayo pulang. Mbak Sintya, aku pamit ya, kapan-kapan boleh kan aku main lagi kemari?" Vina mengulurkan tangannya, dan mencium takzim punggung tanganku."Boleh donk, main sini kalo libur kuliah, yah." "Aku pamit ya, Sin. Jaga kesehatan." Aku mengangguk. Aku mengantar mereka hingga ke depan gerbang, Dhani melempar senyum sekali lagi sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, aku balas dengan senyum tipis.Aku menatap mobil yang melaju pelan di hadapanku, kemudian kaca mobilnya perlahan turun di barengi dengan suara klakson, Vina dan Dhani melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun demikian."Hati-hati ya!" seruku pada mereka, kedua kakak beradik it
Janganlah menatap masa lalu, dengan berduka, ia tak kan kembali lagi. Hadapilah masa sekarang dengan bijaksana dan sambutlah bayangan masa depan dengan tanpa keraguan, dan dengan disertai keteguhan hati. [H.W. Longer Fellow]🌺🌺🌺Cukup lama kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.Hatiku berkecamuk, harus bertemu kembali dengan wanita ini, meskipun kondisinya kini memprihatinkan. Aku menarik napas panjang kemudian, menghembuskanya perlahan."Mbak, kedatanganku ke sini ... Aku ingin meminta maaf padamu," ucap wanita yang duduk di kursi roda itu dengan tenang.Aku tak tau, apa kata maaf yang terlontar dari mulut manisnya itu, sungguh-sungguh, atau karena kondisinya sekarang sudah seperti ini, kemudian ia meminta maaf.Sudah menjadi hal yang lumrah, seseorang yang telah menyakiti kita, kemudian kembali datang untuk meminta maaf, di saat dirinya sudah tak berdaya lagi."Mbaak ...." Dia memutar kedua roda pada kursi roda itu, dan mendekat ke arahku."Aku tak tau, apakah aku
"Eva aku mohon, bangunlah! Naya tolong–" Aku berusaha membangunkan Eva tapi ia tak bergeming.Naya bangkit kemudian dengan tertatih ia berusaha menopang tubuh Eva dan mendudukkan kembali ke kursi rodanya.Kedua matanya sembab, Naya membenarkan anak rambut yang menutupi mata dan sebagian wajahnya. Kemudian Naya menatapnya dengan mengulas senyum di bibirnya. "Kamu harus tenang, Mbak Sintya bukanya tidak mau memaafkan kamu, tapi Mbak Eva hanya butuh waktu untuk menata hatinya. Kamu harus sabar," ucap Naya pelan, kemudian memeluknya. Aku masih terdiam. "Sebaiknya kita pulang sekarang, hari sudah mulai gelap, ini kurang baik untuk kesehatanmu, nanti lain waktu kita akan datang lagi ke sini, semoga di saat kita kembali nanti, Allah telah meluluhkan hati Mbak Sintya, dan mau memaafkanmu. Percayalah!" ucap Naya lirih di sela pelukannya, dengan lembut ia mengusap punggung Eva.Aku menjadi merasa tersindir, mendengar ucapan wanita berjilbab ini. Dalam hati aku pun mengamini ucapannya.Memang
Setelah selesai mengerjakan semuanya, aku menutup laptop, dalam hati aku tersenyum puas, Alhamdulillah usaha dekorku berjalan lancar, bahkan mengalami kemajuan yang signifikan dari saat di pegang oleh Mas Yudi dulu.Tak henti-hentinya aku terus mengucap rasa syukur atas nikmat dan rezeki yang telah Allah berikan. Perlahan aku bangkit dan beringsut menuju pembaringan.Aku terbaring di peraduan, hari ini terasa begitu melelahkan, sejenak aku termenung teringat kejadian sore tadi.Jariku mengurut pelan dahi yang terasa berdenyut ini. Teringat kejadian sore tadi, cukup menguras pikiran dan emosionalku.Kedatangan Eva kemari membuatku terkejut, sekaligus membuka kembali luka yang sedang kucoba sembuhkan sendiri.Kisahku dengan Mas Yudi memang sudah selesai, namun aku berusaha menekan egoku demi Rizki, karena ada Rizki sebagai pengikat benang merah antara aku dan Mas Yudi, sampai kapanpun itu tak dapat di pungkiri, karena tak akan ada yang namanya bekas anak. Sampai kapanpun Mas Yudi adalah
"Wa'alaikumsalam, Ya, sebentar!" seruku sambil berjalan cepat ke arah depan. Kuputar anak kunci dan membukanya, aku sudah biasa mengunci pintu dari dalam, karena aku tinggal hanya berdua dengan Rizki jadi untuk jaga-jaga, pintu selalu aku kunci. Sekitar jam tiga sore Ayah tiba di rumah.Tampak lelaki yang mulai menua, berdiri gagah diambang pintu, senyum hangat mengulas di bibirnya, tatapan teduh yang selalu kurindukan."Ayah!" Aku mengambil dan meraih tangannya yang mulai keriput, kemudian menciumnya dengan takzim."Gimana kabar kamu, Nduk? Cucu Ayah mana?" tanyanya sambil mengelus punggungku."Alhamdulillah, Sintya dan Rizki sehat, Ayah. Rizki masih tidur siang, mungkin sebentar lagi bangun." Terlihat Nuri sedang menutup kembali pagar rumahku, usai membayar taksi online. Aku menghampirinya. Kami saling memeluk."Kamu sehat, Nur?" "Iya, Mbak, Alhamdulillah sehat, Mbak Sintya sama Rizki, sehat? Mana Rizki Mbak?" tanyanya, sambil celingukan."Alhamdulillah sehat, Rizki masih tidur,
Tak terasa waktu sepekan berjalan begitu cepat, sudah satu Minggu Ayah dan Nuri di sini menemani hari-hariku dan Rizki, jika boleh memilih aku ingin terus seperti ini, berada di tengah kehangatan orang-orang yang sangat kucinta. Berada dekat dengan keluarga, membuatku tenang.Dhani semakin intens mencoba mendekatiku, meski aku sering mengabaikan dan cenderung bersikap cuek padanya.Hari ini hari Minggu, seperti biasa jadwal kunjungan Mas Yudi untuk menjenguk Rizki, hari Sabtu kemarin dia mengatakan tak bisa berkunjung karena ada urusan, dan mengusahakan untuk datang berkunjung di hari Minggu, aku hanya mengiyakan saja ucapannya melalui pesan WhatsApp.Namun hingga sore menjelang, sepertinya Mas Yudi sibuk dan tak dapat mengunjungi Rizki, aku pun tak mempermasalahkannya, mungkin memang ia sibuk.Sore ini aku bersama Nuri sedang membuat camilan pisang coklat di dapur, pisang yang Ayah bawa dari kampung baru matang, setelah di diamkan beberapa hari.Kami sibuk di dapur sambil berceloteh
"Maksudnya?""Mbak, dia itu tau alamat rumah ini dari Ayah. Beberapa bulan setelah Mbak berangkat lagi ke sini, Dhani sempat pulang ke kampung dan dia datang menemui Ayah, Dia berbicara langsung dengan Bapak jika Dia ingin serius membina rumah tangga dengan Mbak Sintya.""Hah?! Kamu serius Nur?!" Perkataan Nuri barusan sontak membuatku terkejut, bersamaan dengan terdengarnya teko siul yang sedang kugunakan untuk merebus air. Segera kumatikan kompor.Nuri hanya mengangguk. Sambil tersenyum ke arahku."Kok Ayah nggak ada cerita apa-apa ke Mbak?" Nuri mengambil teko kecil dan menuangkan setengah bungkus teh serbuk ke dalamnya, kemudian menuangkan air panas ke dalamnya.Aku yang masih terkejut hanya berdiri melihat adikku yang mengambil alih kegiatanku tadi."Nuri sempat dengar Ayah bilang begini, Ayah setuju kalau Mbak sama Mas Dhani, tapi bagaimanapun semua keputusan ada di tangan Mbak Sintya, Ayah paham Mbak pasti masih trauma dengan pernikahan, jadi ayah bilang, jika Mas Dhani berhas
Mas Yudi masih mematung melihat ke arah kami, aku yakin, Mas Yudi juga melihat Eva, apa sebelumnya dia tidak tau keadaan Eva sekarang, sehingga ia terlihat begitu kaget.Perlahan, Mas Yudi berjalan ke arah kami, melihat kami berjabat tangan.Setelah menyalamiku, Eva menoleh ke arah Mas Yudi, mungkin ia tadi sempat tak mendengar aku menyebut nama Mas Yudi, karena ia masih berada di dalam mobil."Mas Yudi." Eva berbisik pelan, saat yakin yang di lihat adalah Mas Yudi. Tatapannya sendu menatap ke arah Mas yang berjalan pelan mendekat."Eva." Mas Yudi terlihat berusaha tenang melihat kondisi Eva yang kini tak seperti dulu."Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu, Mas. Ada yang ingin aku sampaikan," ucapnya pelan, dengan tatapan nanar ke arah mantan suamiku yang juga mantan suaminya.Hening."Ehmm!" Aku berdehem memecah keheningan, karena beberapa detik berlalu Mas Yudi tak bergeming."Mas, kenapa kamu tadi terlihat seperti balik lagi? Aku tadi sempat melihatmu sudah hampir sampai di depa