Janganlah menatap masa lalu, dengan berduka, ia tak kan kembali lagi. Hadapilah masa sekarang dengan bijaksana dan sambutlah bayangan masa depan dengan tanpa keraguan, dan dengan disertai keteguhan hati. [H.W. Longer Fellow]🌺🌺🌺Cukup lama kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.Hatiku berkecamuk, harus bertemu kembali dengan wanita ini, meskipun kondisinya kini memprihatinkan. Aku menarik napas panjang kemudian, menghembuskanya perlahan."Mbak, kedatanganku ke sini ... Aku ingin meminta maaf padamu," ucap wanita yang duduk di kursi roda itu dengan tenang.Aku tak tau, apa kata maaf yang terlontar dari mulut manisnya itu, sungguh-sungguh, atau karena kondisinya sekarang sudah seperti ini, kemudian ia meminta maaf.Sudah menjadi hal yang lumrah, seseorang yang telah menyakiti kita, kemudian kembali datang untuk meminta maaf, di saat dirinya sudah tak berdaya lagi."Mbaak ...." Dia memutar kedua roda pada kursi roda itu, dan mendekat ke arahku."Aku tak tau, apakah aku
"Eva aku mohon, bangunlah! Naya tolong–" Aku berusaha membangunkan Eva tapi ia tak bergeming.Naya bangkit kemudian dengan tertatih ia berusaha menopang tubuh Eva dan mendudukkan kembali ke kursi rodanya.Kedua matanya sembab, Naya membenarkan anak rambut yang menutupi mata dan sebagian wajahnya. Kemudian Naya menatapnya dengan mengulas senyum di bibirnya. "Kamu harus tenang, Mbak Sintya bukanya tidak mau memaafkan kamu, tapi Mbak Eva hanya butuh waktu untuk menata hatinya. Kamu harus sabar," ucap Naya pelan, kemudian memeluknya. Aku masih terdiam. "Sebaiknya kita pulang sekarang, hari sudah mulai gelap, ini kurang baik untuk kesehatanmu, nanti lain waktu kita akan datang lagi ke sini, semoga di saat kita kembali nanti, Allah telah meluluhkan hati Mbak Sintya, dan mau memaafkanmu. Percayalah!" ucap Naya lirih di sela pelukannya, dengan lembut ia mengusap punggung Eva.Aku menjadi merasa tersindir, mendengar ucapan wanita berjilbab ini. Dalam hati aku pun mengamini ucapannya.Memang
Setelah selesai mengerjakan semuanya, aku menutup laptop, dalam hati aku tersenyum puas, Alhamdulillah usaha dekorku berjalan lancar, bahkan mengalami kemajuan yang signifikan dari saat di pegang oleh Mas Yudi dulu.Tak henti-hentinya aku terus mengucap rasa syukur atas nikmat dan rezeki yang telah Allah berikan. Perlahan aku bangkit dan beringsut menuju pembaringan.Aku terbaring di peraduan, hari ini terasa begitu melelahkan, sejenak aku termenung teringat kejadian sore tadi.Jariku mengurut pelan dahi yang terasa berdenyut ini. Teringat kejadian sore tadi, cukup menguras pikiran dan emosionalku.Kedatangan Eva kemari membuatku terkejut, sekaligus membuka kembali luka yang sedang kucoba sembuhkan sendiri.Kisahku dengan Mas Yudi memang sudah selesai, namun aku berusaha menekan egoku demi Rizki, karena ada Rizki sebagai pengikat benang merah antara aku dan Mas Yudi, sampai kapanpun itu tak dapat di pungkiri, karena tak akan ada yang namanya bekas anak. Sampai kapanpun Mas Yudi adalah
"Wa'alaikumsalam, Ya, sebentar!" seruku sambil berjalan cepat ke arah depan. Kuputar anak kunci dan membukanya, aku sudah biasa mengunci pintu dari dalam, karena aku tinggal hanya berdua dengan Rizki jadi untuk jaga-jaga, pintu selalu aku kunci. Sekitar jam tiga sore Ayah tiba di rumah.Tampak lelaki yang mulai menua, berdiri gagah diambang pintu, senyum hangat mengulas di bibirnya, tatapan teduh yang selalu kurindukan."Ayah!" Aku mengambil dan meraih tangannya yang mulai keriput, kemudian menciumnya dengan takzim."Gimana kabar kamu, Nduk? Cucu Ayah mana?" tanyanya sambil mengelus punggungku."Alhamdulillah, Sintya dan Rizki sehat, Ayah. Rizki masih tidur siang, mungkin sebentar lagi bangun." Terlihat Nuri sedang menutup kembali pagar rumahku, usai membayar taksi online. Aku menghampirinya. Kami saling memeluk."Kamu sehat, Nur?" "Iya, Mbak, Alhamdulillah sehat, Mbak Sintya sama Rizki, sehat? Mana Rizki Mbak?" tanyanya, sambil celingukan."Alhamdulillah sehat, Rizki masih tidur,
Tak terasa waktu sepekan berjalan begitu cepat, sudah satu Minggu Ayah dan Nuri di sini menemani hari-hariku dan Rizki, jika boleh memilih aku ingin terus seperti ini, berada di tengah kehangatan orang-orang yang sangat kucinta. Berada dekat dengan keluarga, membuatku tenang.Dhani semakin intens mencoba mendekatiku, meski aku sering mengabaikan dan cenderung bersikap cuek padanya.Hari ini hari Minggu, seperti biasa jadwal kunjungan Mas Yudi untuk menjenguk Rizki, hari Sabtu kemarin dia mengatakan tak bisa berkunjung karena ada urusan, dan mengusahakan untuk datang berkunjung di hari Minggu, aku hanya mengiyakan saja ucapannya melalui pesan WhatsApp.Namun hingga sore menjelang, sepertinya Mas Yudi sibuk dan tak dapat mengunjungi Rizki, aku pun tak mempermasalahkannya, mungkin memang ia sibuk.Sore ini aku bersama Nuri sedang membuat camilan pisang coklat di dapur, pisang yang Ayah bawa dari kampung baru matang, setelah di diamkan beberapa hari.Kami sibuk di dapur sambil berceloteh
"Maksudnya?""Mbak, dia itu tau alamat rumah ini dari Ayah. Beberapa bulan setelah Mbak berangkat lagi ke sini, Dhani sempat pulang ke kampung dan dia datang menemui Ayah, Dia berbicara langsung dengan Bapak jika Dia ingin serius membina rumah tangga dengan Mbak Sintya.""Hah?! Kamu serius Nur?!" Perkataan Nuri barusan sontak membuatku terkejut, bersamaan dengan terdengarnya teko siul yang sedang kugunakan untuk merebus air. Segera kumatikan kompor.Nuri hanya mengangguk. Sambil tersenyum ke arahku."Kok Ayah nggak ada cerita apa-apa ke Mbak?" Nuri mengambil teko kecil dan menuangkan setengah bungkus teh serbuk ke dalamnya, kemudian menuangkan air panas ke dalamnya.Aku yang masih terkejut hanya berdiri melihat adikku yang mengambil alih kegiatanku tadi."Nuri sempat dengar Ayah bilang begini, Ayah setuju kalau Mbak sama Mas Dhani, tapi bagaimanapun semua keputusan ada di tangan Mbak Sintya, Ayah paham Mbak pasti masih trauma dengan pernikahan, jadi ayah bilang, jika Mas Dhani berhas
Mas Yudi masih mematung melihat ke arah kami, aku yakin, Mas Yudi juga melihat Eva, apa sebelumnya dia tidak tau keadaan Eva sekarang, sehingga ia terlihat begitu kaget.Perlahan, Mas Yudi berjalan ke arah kami, melihat kami berjabat tangan.Setelah menyalamiku, Eva menoleh ke arah Mas Yudi, mungkin ia tadi sempat tak mendengar aku menyebut nama Mas Yudi, karena ia masih berada di dalam mobil."Mas Yudi." Eva berbisik pelan, saat yakin yang di lihat adalah Mas Yudi. Tatapannya sendu menatap ke arah Mas yang berjalan pelan mendekat."Eva." Mas Yudi terlihat berusaha tenang melihat kondisi Eva yang kini tak seperti dulu."Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu, Mas. Ada yang ingin aku sampaikan," ucapnya pelan, dengan tatapan nanar ke arah mantan suamiku yang juga mantan suaminya.Hening."Ehmm!" Aku berdehem memecah keheningan, karena beberapa detik berlalu Mas Yudi tak bergeming."Mas, kenapa kamu tadi terlihat seperti balik lagi? Aku tadi sempat melihatmu sudah hampir sampai di depa
Aku dan Ayah masuk ke ruang tamu kami duduk memenuhi bangku ruang tamu."Rizki Sayang, ke dalam dulu ya, main sama Bulek Nuri. Ayah sama Mamah dan Tante mau bicara sebentar," bisikku pelan pada telinga kiri anak lelakiku, tanganku mengelus lembut belakang kepalanya.Ia pun mengangguk pelan mengikuti titahku."Mbak Sintya, seperti janjiku beberapa hari lalu, aku datang kembali mengharap kata maaf darimu, Mbak. Aku mohon maaf, sungguh hati ini rasanya tak tenang jika belum mendapatkan kata maaf darimu. Aku sungguh menyesal." Eva menunduk dalam dengan suara parau menahan sesak.Aku terdiam, berusaha tenang, dalam hati aku terus beristighfar agar aku benar-benar bisa memaafkannya dengan tulus."Aku tau, kesalahanku sangat sulit di maafkan bahkan mungkin tak bisa di maafkan, tapi .... Sungguh aku menyesali semuanya Mbak." Ia terisak menunduk dalam.Hening, semua larut dalam pikiran masing-masing.Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya."Aku sudah memaafkanmu, Va. Berjanjil
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K