"Sin dengerin dulu, Sin! Sekarang Mbak benar-benar minta maaf Sin, Mbak sungguh-sungguh ingin bertaubat Sin, Mbak sudah kehilangan semuanya sekarang, huhuhu...." Mbak Siska kembali tergugu, aku hanya menatapnya dengan kedua alis saling bertaut. "Minta maaf sama Allah Mbak, bertaubatlah dengan segenap hati dan jiwamu, Mbak. Maaf bukan maksud Sintya menggurui, tapi Sintya prihatin dengan hidup Mbak Siska," paparku, walaupun aku sendiri tak mengerti, apa maksud Mbak Siska bilang sudah kehilangan semuanya."Iya, Sin! Hati Mbak kotor, Mbak malu Sin."Mbak Siska tertunduk, walaupun masih ada rasa sedikit kesal, tapi jujur aku iba melihat orang-orang yang di hidupnya hanya memandang harta, bukankah semua itu hanya sebuah hal semu, yang tak kan abadi.Selain karena rasa sakit hatiku, semua yang aku lakukan memang bertujuan untuk memberi pelajaran untuk mereka, termasuk Mbak Siska dan wanita murahan itu."Sudah-sudah Mbak, Sintya udah maafin Mbak Siska, Sintya harap kedepannya Mbak Siska bisa
"Owh, kalau begitu biar Mbak pulang duluan gak apa-apa, Yud. Kalian bicara dulu gak apa-apa," sela Mbak Siska tiba-tiba.Mas Yudi pun mengangguk, dan memesankan ojek online untuk kakak perempuannya itu."Ada apa, Sin?" Aku dan Mas Yudi duduk di teras rumah, setelah Mbak Siska berlalu bersama pengemudi ojek onlinenya. Rizki juga masuk ke dalam bermain dengan kereta api dan mobil-mobilan miliknya."Sebenarnya Mbak Siska kenapa Mas, tadi Mbak Siska minta maaf sama aku, dia terlihat begitu sedih, dan dia bilang ... Dia sudah kehilangan semuanya, maksudnya apa Mas?" tanyaku penasaran.Mas Yudi menghela napas, sebelum menjawab pertanyaanku."Bukan hanya Mbak Siska yang kehilangan semuanya, Sin. Mas juga sudah kehilangan semuanya." Mas Yudi tertunduk dalamAku masih belum mengerti, dengan apa yang dikatakannya."Sin, apa tidak ada kesempatan untukku untuk memperbaiki semuanya?" Bukanya menjawab pertanyaan tentang Mbak Siska, namun Mas Yudi kembali menanyakan hal sudah pasti ia tau jawabann
"Hari sudah semakin Siang, sebaiknya kamu pulang Mas, aku dan Rizki mau istirahat," Aku mengusir halus laki-laki yang pernah merajai hati namun juga telah mencabik dan menyayat hati ini.Mas Yudi hanya memandangku, tanpa bisa berkata apapun lagi."Rizki, Sayang! Sini sebentar Nak, Ayah mau pamit nih," seruku dari luar, meskipun Mas Yudi belum berkata untuk pamit, sengaja aku seperti itu, menegaskan jika ia memang harus segera pulang."Iya, Mah!" sahutnya dari dalam dan datang tergopoh-gopoh menuju ke arah kami."Ayah pulang dulu ya, Nak! Nanti Insya Allah, Minggu depan baru ayah bisa main lagi," Mas Yudi berlutut, menyamakan tingginya dengan bocah lima tahun itu, kemudian tangannya mengusap lembut rambut hitamnya. "Iya Ayah, makasih ya Ayah," ucap Rizki kemudian memeluk tubuh Ayahnya."Baik-baik sama Mamah, yah! Rizki anak yang kuat, Rizki bisa kan jagain Mamah.""Bisa Donk!" sahutnya semangat, aku hanya mengulum senyum mendengar obrolan mereka.Mas Yudi akhirnya pamit pulang, setel
"Mah, itu siapa Mah? Kok kaya Om Dhani Mah?" Rizki menggoyangkan pergelangan tanganku. "Iya, Nak. Itu Om Dhani," jawabku singkat. Saat aku melihat layar ponselku, ternyata sudah terputus panggilan teleponnya. Dhani berjalan semakin dekat, senyumnya terus merekah menatapku dan Rizki, aku berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain, dan membukakan gerbang untuknya. "Halo Rizki, masih inget sama Om?" Dhani sedikit menunduk dan menatap wajah Rizki. "Masih donk, Om!" jawab Rizki tersenyum." "Ini Mbak Sintya, Ya?" Seorang gadis di samping Dhani itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis terhadapku. "Iya, saya Sintya. Ehmm, pasti ini calon istrinya Dhani ya? Wah cantik. Mari masuk," selorohku basa basi. Mendengar celotehanku, mereka hanya saling pandang, kemudian tertawa kecil, membuatku sedikit bingung. Namun aku tak menanggapinya, Aku berjalan mendahului mereka, terlihat Rizki berjalan di belakangku, bergandengan dengan Dhani. Kembali kumasukkan anak kunci dan membuka pintu
Badai pasti berlalu, akan ada pelangi setelah hujan. Seiring dengan rintik hujan yang perlahan menghilang, di gantikan oleh sang mentari yang berpijar, sinarnya begitu gagah menerangi bumi.Setelah semua ujian berat yang telah di lalui, kini sudah saatnya harus menata kembali hati yang remuk, menata kembali hati hancur berkeping-keping. Setiap insan memang tak kan luput dari sebuah kesalahan maupun dosa, mereka berhak untuk memperbaiki diri dan berubah menjadi insan yang lebih bermartabat.🌺🌺🌺Mobil Hond* HR-V berwarna putih yang di kemudikan Dhani mulai melaju membelah jalanan kota ini, sejak kedatangannya kemari aku bahkan belum sempat bertanya apa tujuannya datang ke rumahku. Apa ada suatu hal yang penting atau hanya ingin silaturahim biasa. Biarlah nanti aku tanyakan ketika sudah duduk bersama.Aku menoleh ke arah jalanan yang lumayan ramai. Menambah hiruk pikuk sibuknya kota ini. Sejenak kami terdiam dalam pikiran masing-masing.Aku melirik ke arah gadis manis yang duduk di s
Lelaki di sampingku itu, justru tertawa geli, melihatku."Lagian, serius banget sih, bacanya." Aku lirik Rizki tengah asyik melihat-lihat cover buku resep masakan."Kok kamu tau, kami ada di sini?""Tau lah, tadi aku chat kamu, tapi nggak di balas, aku telpon Vina dia bilang kalian di sini, jadi aku langsung kemari, pantas saja chatku nggak di buka, sedang asyik cari novel rupanya," Ia kembali terkekeh."Hehe, maaf ya. Nggak denger suara pesan masuk." Aku tersenyum sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal."Iya, gak apa-apa. Biar aku temani Rizki cari buku buat dia, Ya?" izinya, aku mengangguk, tersenyum."Oke, terimakasih ya, Dhan." Lelaki itu hanya mengacungkan jempolnya."Rizki, ayo sama Om aja cari bukunya, Mamah lagi sibuk cari buku novel kesukaannya," bisiknya lirih, namun masih terdengar di telingaku, karena jarak kami tak begitu jauh."Siap, Om! Om aku mau buku dongeng baru, buku mewarnai...." Terdengar suara Rizki yang antusias perlahan menjauh dan tak terdengar lagi, mereka
"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kesabaran." (QS. Al-'Ashr: 1-3)🌺🌺🌺Sinar mentari senja mulai menyinari jalanan sore ini, terlihat begitu menawan, dengan hembusan angin sore yang menggoyangkan dahan dan ranting pohon, Menambah syahdu suasana sore ini. Aku memandang ke luar jendela mobil, menikmati perjalanan sore ini.Aku melirik gadis manis yang duduk di sebelahku, tampak pulas mendekap sebuah buku yang tadi baru saja dibelinya.Tak berapa lama mobil melaju dengan pelan memasuki gerbang perumahan tempat tinggalku. Aku turun dari mobil dan menuju ke pintu mobil bagian depan. Baru saja aku membuka pintu depan mobil, Dhani menutup mulutnya dengan jari telunjuknya, dan memberi kode padaku agar stop mengangkat Rizki."Biar aku saja, Sin yang gendong Rizki," ucap Dhani kemudian mengulum tersenyum.Aku menurutinya, karena memang tubuh Rizki yang lumayan berat.Aku mundur beber
Aku hanya tersenyum memicing mendengar ucapan Dhani, yang seolah-olah seperti sang pujangga."Kau ini, sudahlah." Aku mengabaikan kata-katanya."Hari sudah semakin sore, aku pamit, ya!"Tak berapa lama Vina muncul dari dalam, sambil memegangi perutnya, yang sepertinya merasa lega."Woi, udah yuk pulang," seru Dhani pada adik perempuannya."Hehe, iya, ayo pulang. Mbak Sintya, aku pamit ya, kapan-kapan boleh kan aku main lagi kemari?" Vina mengulurkan tangannya, dan mencium takzim punggung tanganku."Boleh donk, main sini kalo libur kuliah, yah." "Aku pamit ya, Sin. Jaga kesehatan." Aku mengangguk. Aku mengantar mereka hingga ke depan gerbang, Dhani melempar senyum sekali lagi sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, aku balas dengan senyum tipis.Aku menatap mobil yang melaju pelan di hadapanku, kemudian kaca mobilnya perlahan turun di barengi dengan suara klakson, Vina dan Dhani melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun demikian."Hati-hati ya!" seruku pada mereka, kedua kakak beradik it