Share

Gadis yang Mengerikan

Rafa melangkah masuk ke kamarnya, raut wajahnya kecewa setelah percakapan dengan ayahnya tentang keinginannya untuk pindah sekolah ditolak. Hatinya gelisah, perasaan cemas terus mengusik pikirannya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju balkon, tempat ia sering merenung.

Angin malam menyapa wajahnya ketika ia berdiri di sana, memandang ke langit yang kelabu. Tiba-tiba, ingatan masa kecilnya kembali menyeruak. Teringat bagaimana ia dulu dengan ceroboh menyakiti orang-orang di sekitarnya, terutama Alexa.

Dialah yang dulu sering mengganggu dan bahkan memukul Alexa. Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi, tetapi dengan keadaan yang berbeda. Alexa, yang dulunya lemah dan selalu menjadi korban, kini berdiri di hadapannya sebagai sosok yang lebih kuat dan tak terhentikan.

Ia selalu menjadi sumber penderitaan bagi Alexa, mengejek, mengganggu, dan bahkan memukulnya. Tangisan Alexa dulu hanya dianggapnya angin lalu. Tak peduli dengan Alexa kecil memohon padanya agar tidak mengganggunya lagi.

Rafa tidak bisa menghindari kenyataan sekarang ini, orang yang pernah ia sakiti kini berubah menjadi seseorang yang jauh lebih tangguh. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur dalam pikirannya, menghantui setiap pandangan yang ia arahkan pada Alexa.

Sekarang, Rafa yakin bahwa Alexa takkan pernah memaafkannya. Ia bisa merasakan kemarahan dan kekecewaan yang terpendam dalam diri Alexa, yang seolah siap meledak kapan saja. Dalam hatinya, Rafa bertanya-tanya apakah ada harapan untuk ia berbaikan dengan Alexa atau akankah ia akan terjebak dalam kemarahan Alexa selama di sekolah. 

Pagi hari, Rafa bersiap-siap berangkat sekolah, ibunya menemaninya hingga sampai di gerbang sekolah. Meski Rafa tersenyum lembut, hatinya tetap tak tenang. Ia takut bertemu dengan Alexa. 

Saat mereka tiba di sekolah, Rafa keluar dari mobil diikuti oleh ibunya.

"Rafa, telepon Mama pulang sekolah ya? Jangan pulang sendiri.", ucap ibunya dengan nada khawatir, seolah ingin memastikan Rafa aman sampai di sekolah.

Mendengar itu, orang-orang di sekitar menoleh, beberapa di antaranya tersenyum meledek. Rafa merasakan wajahnya memanas, malu dengan perhatian ibunya yang berlebihan. 

"Mama, jangan bilang begitu! Rafa malu!" serunya, berusaha menahan suara agar tidak terlalu keras, tapi tetap cukup untuk membuat ibunya mengangkat alis.

"Mama cuma nggak mau kamu diganggu orang lagi. Ingat, Mama selalu ada untukmu," ucap ibunya dengan nada lembut, menekankan betapa pedulinya dia terhadap Rafa.

"Iya, iya, Rafa tahu!" Rafa menjawab, mencoba mengusir rasa malu. 

"Baiklah. Dah sayang!" Ibu Rafa melambaikan tangan dengan senyuman hangat sebelum kembali masuk ke mobil dan pergi.

Rafa berdiri di depan gerbang sekolah, merasakan campuran rasa cemas. Dengan menghela napas, ia melangkah memasuki sekolah.

Tak jauh dari gerbang sekolah, ia menyadari bahwa Alexa sudah menatapnya dari tadi. Wajahnya dingin, penuh dengan amarah yang terpendam. Ia melihat bibir Alexa bergerak, meski tak mendengar suaranya, Rafa tahu persis apa yang diucapkannya: "Dasar anak manja!"

Rafa menghindari tatapan itu, memegang erat tali tasnya seolah bisa memberi rasa aman. Ia tak ingin ada konfrontasi lagi. Namun, Alexa tidak tinggal diam. Langkah kakinya semakin dekat, dan suara gertakannya terdengar semakin keras. Ketakutan mulai menyelimuti Rafa. 

Dengan cepat, Rafa memutuskan untuk lari. Kakinya bergerak secepat mungkin, sementara bayangan Alexa dibelakang membuatnya gemetar.. 

Rafa akhirnya tiba di kelas dengan napas tersengal, merasa lega karena berhasil menjauh dari Alexa. Namun, rasa lega itu hanya sementara. Geng Tiga Mawar, tiga siswi yang selalu mengerubunginya sejak ia pindah ke sekolah ini, langsung menghampirinya begitu ia duduk.

"Hei Rafa, kamu kelihatan capek. Apa kamu habis lari maraton, ya?" Tanya Erika, pura-pura khawatir sambil menyentuh bahunya.

"Kalau capek, duduk aja di sebelahku, Rafa. Biar aku yang urut punggungmu." goda Mia. 

"Eh, jangan dengar dia, Rafa. Kamu lebih cocok duduk sama aku. Aku udah siap kasih kamu semangat buat hari ini," tambah Lena. 

Rafa hanya tersenyum canggung, merasa semakin tak nyaman dengan situasi yang dihadapinya. "Uh... makasih, tapi aku baik-baik aja," jawabnya pelan, sambil mencoba menjaga jarak dari mereka.

"Ah, jangan begitu dong, Rafa. Kita kan cuma pengen bikin kamu senang. Apalagi, kamu tuh cowok paling cute di sekolah ini," ujar Erika.

Erika nyaris berhasil mengulurkan tangannya untuk mengelap keringat di dahi Rafa ketika tiba-tiba saja Alexa muncul dari belakang, menarik kuncir rambut Erika dengan kasar.

"Argh, Brengsek! Siapa yang berani menarik rambutku?!" teriak Erika, matanya berkilat penuh amarah saat dia berbalik dan menatap Alexa.

Alexa melipat tangan di depan dada, wajahnya datar namun matanya tajam. "Aku yang narik. Masalah buatmu?" tantangnya, suaranya rendah namun penuh kekuatan.

Erika terdiam sejenak, masih terkejut. Namun, begitu matanya bertemu dengan tatapan dingin Alexa, keberaniannya seakan menguap. "A-apa sih masalahmu, Alexa? Padahal kita cuma bantuin Rafa, kok!" jawab Erika, suaranya agak gemetar.

Alexa mengangkat alis, skeptis. "Bantu? Orang seperti dia nggak perlu dibantu." Dia melirik ke arah Rafa, yang hanya bisa diam dan merasakan ketegangan di antara mereka.

Rafa, merasa terjebak di tengah situasi yang tidak nyaman, mencoba mengubah topik. "Eh, aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir," ujarnya pada geng Tiga Mawar. 

"Tapi, Rafa, kamu kelihatan lelah," ujar Erika, kembali duduk disamping Rafa. 

"Ya, mungkin dia lelah karena harus menghindari masalah yang dia buat sendiri." Cibir Alexa, sambil berlalu.

Alexa melempar tasnya ke tempat duduk dengan gerakan yang keras, suaranya menggelegar di tengah keheningan kelas. Semua orang terdiam, menahan napas seolah merasakan aura menakutkan yang mengelilingi Alexa.

Mereka tahu betul bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman. Tatapan tajam Alexa membuat siapa pun yang berani bergerak merasa seolah sedang berjalan di atas pecahan kaca.

Ketika pelajaran Olahraga dimulai, kelas 11.3 berada di lapangan basket. Guru olahraga, berdiri di tengah lapangan dengan nada tegas.

"Baik, semua! Hari ini kita akan bermain dodgeball!" serunya, menarik perhatian semua siswa. "Kita bagi menjadi dua kelompok, dan yang kena bola akan keluar dari permainan. Siap?"

Beberapa siswa berteriak penuh semangat, sementara yang lain terlihat cemas. Guru olahraga membagi siswa menjadi dua kelompok, suasana di lapangan basket semakin memanas. Siswa-siswa bersemangat, bersiap untuk bermain dodgeball. Beberapa di antara mereka berdiskusi tentang strategi dan saling menantang.

"Ayo, kita pasti bisa menang!" seru Jodi, semangat menggenggam bola yang baru saja dia ambil. "Siapa yang mau maju dulu?"

Namun, di sudut lapangan, Alexa berdiri dengan wajah datar, memandang sekeliling dengan ekspresi bosan. Baginya, permainan seperti ini hanya membuang-buang tenaga dan waktu. "Kenapa sih mereka bersemangat banget? gumamnya dalam hati.

"Baiklah, semua! Ayo mulai semuanya, bersiap? Satu, dua, tiga!" teriak guru olahraga dengan semangat.

"Mulai!" sorak siswa-siswa, antusias menunggu peluitnya berbunyi.

Bola-bola mulai dilemparkan ke tengah lapangan, dan siswa-siswa berlarian ke berbagai arah, berusaha menghindari lemparan sambil merebut bola yang jatuh.

"Awas, Jodi!" teriak Beni, melompat untuk menghindari bola yang meluncur cepat ke arahnya.

"Nggak ada yang bisa mengenaiku!" jawab Jodi dengan percaya diri sambil berlari, berusaha menghindari serangan dari tim lawan.

Tanpa disadari bola mengarah ke Alexa yang berdiri di sudut garis. Dengan sigap ia menangkap bola. Semua orang terdiam, dan suasana menjadi mencekam. Ketegangan menyelimuti lapangan, dan beberapa siswa tampak takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Alexa tersenyum bangga dengan refleksnya tapi bagi orang lain senyumnya terlihat mengerikan seolah menandakan bahwa dia sedang merencanakan sesuatu.

"Waduh, Alexa dapat bolanya!" seru salah satu siswa, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran.

"Bagaimana ini? Aku takut kena lemparan Alexa.", gumam temannya yang lain, wajahnya pucat.

"Tahun kemarin, ketua kelas kita pingsan gara-gara dia!" lanjut mereka, mengingat kembali kejadian itu. 

Semua mata tertuju pada Alexa saat dia bersiap melempar bola. Dengan ketepatan dan tenaga yang mengerikan, dia melempar bola itu dan... Bukk! 

Rafa tidak sempat menghindar. Bola mengenai wajahnya. 

"Tidak!" teriak beberapa siswa bersamaan, tetapi sudah terlambat.

"Ugh!" suara teredam Rafa, yang langsung merasa pusing. Ia terhuyung sejenak sebelum akhirnya jatuh pingsan.

Suasana menjadi hening sejenak, semua orang terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Rafa!" seru beberapa siswa, panik berlari ke arahnya.

"Rasain" Gumam Alexa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status