Saat jam istirahat, suasana di sekitar Rafa berubah menjadi ramai. Para siswi mulai berkumpul di sekelilingnya, senyum penuh harap menghiasi wajah mereka. Dia adalah geng Tiga Mawar, Erika, Lena dan Mia.
Erika, dengan nada manis, membuka percakapan, "Rafa, kamu sudah punya pacar?" Mia dengan cepat menambahkan, "Kamu suka tipe gadis seperti apa?" Sementara Lena tak sabar untuk ikut berbicara, "Beritahu nomor HP-mu, dong." Rafa yang duduk di bangkunya merasa tak nyaman. Ketakutan menyelimuti dirinya akibat semua pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. "Aku... Aku nggak punya pacar.", jawabnya pelan, wajahnya masih menunduk, tak berani menatap orang lain. Alexa, yang merasa ada keanehan dalam diri Rafa, langsung menghampirinya. "Hei, aku ingin bicara denganmu.", ucap Alexa. Tiga Mawar segera menjauh dari Rafa. Mereka terlihat kesal, tapi tak berani melawan Alexa. Sedangkan Rafa terlihat kebingungan. "Mau... bicara apa?" Suaranya bergetar, tak yakin dengan situasi ini. "Ikut aku!" perintah Alexa. "Aku nggak mau!" jawab Rafa, menolak. "Kau..." Alexa meraih kerah baju Rafa dengan kuat, menariknya menuju toilet cowok agar yang lain tidak mendengar obrolan mereka. Di luar, Geng tiga mawar mulai bergosip. "Apa yang mau dibicarakan Alexa dengan Rafa?" tanya Erika. "Aku rasa Alexa menyukai Rafa." komentar lainnya, terdengar penasaran. "Ah, nggak mungkin. Alexa kan tahunya cuma tonjok-tonjokkan." "Kalau Alexa, berani macam-macam, geng Tiga Mawar akan siap melindungi Rafa!", ucap Erika. "Ya, kami siap melindungi Rafa!" seru dua temannya. Di sepanjang koridor, tatapan setiap siswa tertuju pada Alexa yang tanpa ampun menyeret Rafa melewati mereka. Bisikan-bisikan mulai terdengar, namun tak ada yang berani menghentikan Alexa. Saat tiba di depan toilet, Alexa mendorong pintu dengan kasar, suaranya menggelegar hingga membuat beberapa laki-laki di dalamnya tersentak. "Woi, keluar semuanya!" teriaknya dengan nada tegas, membuat mereka langsung meninggalkan tempat itu tanpa berpikir dua kali, ketakutan pada sosoknya yang sudah terkenal galak di sekolah. Rafa tetap berdiri di tempat, tubuhnya kaku, takut akan apa yang akan dilakukan Alexa. "B-baik, bos!" Mereka langsung menyelesaikan urusannya dan buru-buru keluar. Berita Alexa menyeret anak baru semakin menyebar, dan rasa ingin tahunya kian bertambah seiring dengan hilangnya Alexa dan Rafa ke dalam toilet cowok. Keributan di depan toilet cowok membuat suasana di koridor sekolah mendadak riuh. Beberapa siswa yang sedang berlalu-lalang menghentikan langkah mereka dan melihat ke arah sumber suara. "Wah, ada apa nih rame-rame?" "Kayaknya ada ribut di toilet cowok deh." "Siapa?" "Bos The Thunder Crew." "Alexa? Ngapain dia di toilet cowok?" "Kayaknya dia mau menghajar anak baru." Rasa penasaran membuat beberapa siswa mulai menempelkan telinga mereka ke dinding toilet, berusaha menguping percakapan di dalam. Beberapa murid yang lain berbisik-bisik, membuat berbagai spekulasi tentang apa yang sedang terjadi. Di dalam toilet, Alexa mendorong kasar Rafa yang tampak ketakutan. "Kau kenal aku, kan?" "Nggak, aku nggak kenal." Suara Rafa bergetar, pandangannya tetap terpaku pada lantai toilet yang kotor, seolah-olah itu satu-satunya tempat aman di ruangan itu. "Jangan bohong! Lihat aku baik-baik!" bentak Alexa, suaranya memantul di dinding sempit, penuh tekanan. Rafa ragu-ragu, akhirnya perlahan mengangkat wajahnya. Saat pandangan mereka bertemu, matanya membesar karena terkejut. "A-Alexa?" ujarnya, hampir tak percaya. "Ya! Aku Alexa! Anak perempuan yang dulu kau bully!" serunya, mengangkat tangannya seolah hendak memukul Rafa. Namun, saat melihat ekspresi ketakutan yang tertera di wajah Rafa, Alexa mengurungkan niatnya. "Maaf... Maafkan aku. Jangan pukul aku." Rafa memohon, mengangkat kedua telapak tangannya dengan wajah ketakutan. Alexa terdiam sejenak, perasaan marah dan dendam yang membara di dalam dirinya mendadak surut. Kini, di hadapannya berdiri sosok yang sama sekali berbeda dari ingatan masa kecilnya. Alexa mengerutkan keningnya, bingung melihat sikap Rafa yang jauh berbeda dari yang ia ingat. "Apa-apaan ini? Kenapa dia jadi cowok pengecut?" batinnya penuh dengan kebingungan dan kemarahan. Dalam pikirannya, Alexa teringat pada Rafa yang dulu, sosok yang selalu berani dan menyerang tanpa rasa takut. "Dulu kau sangat percaya diri saat menggangguku. Sekarang, kenapa malah ketakutan?" desaknya, suaranya berubah tajam. "Aku... nggak akan melakukannya lagi. Tolong maafkan aku." Rafa berlutut, matanya penuh ketakutan. Alexa sangat terkejut melihatnya. "Apa dia berakting? Nggak mungkin. Dia kelihatan sangat ketakutan," pikirnya, kebingungan. "Alexa!" Kepala sekolah datang, memecah suasana di antara mereka. "Beraninya kamu mengganggu anak baru!" "Pak, ini bukan apa yang Anda pikirkan!" Alexa mencoba menjelaskan. "Saya hanya...memberi dia sedikit pelajaran.", ucap Alexa. "Kamu seharusnya memberikan contoh yang baik, bukan malah mengancam siswa baru seperti ini!" "Alexa tidak melakukan apa-apa, Pak.", ucap Rafa, pelan. Pak kepala sekolah mengalihkan perhatian ke Rafa, mengerutkan alisnya. "Kamu seharusnya melaporkannya jika ada yang mengganggumu." "Ma-maaf.", jawab Rafa. "Ya sudah, sekarang kamu kembali ke kelas. Dan kamu, Alexa, ikut saya ke kantor!" perintah Kepala Sekolah dengan tegas, suaranya menggelegar di dalam toilet yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan. Alexa merasa kesal, namun tidak bisa membantah. Dia melirik Rafa, yang masih berlutut di lantai, wajahnya penuh ketakutan. "Ini belum selesai, Rafa," ancamnya pelan sebelum mengikuti langkah Kepala Sekolah keluar dari toilet, meninggalkan Rafa yang masih dalam keadaan terkejut. Rafa kembali ke kelas dengan perasaan yang tidak menentu. Begitu dia masuk, Tiga Mawar langsung mengerubunginya, penasaran dengan apa yang terjadi di toilet. "Apa yang dilakukan Alexa padamu?" tanya Erika, tidak sabar menunggu jawabannya. "Apa dia memukulmu?" tambah Mia, tampak khawatir. "Untung kami segera melaporkannya pada kepala sekolah.", kata Erika, berusaha membela Rafa. Rafa mengangkat tangan, berusaha menenangkan mereka. "Dia nggak melakukan apa-apa, hanya mengobrol sebentar.", jawabnya. "Kamu baik sekali, Rafa. Jangan berurusan dengannya, dia cewek bermasalah," bisik Lena, matanya melirik ke arah pintu kelas seolah takut kalau Alexa akan muncul tiba-tiba. Rafa tersenyum tipis. "Siapa sangka, gadis yang berkelahi di taman tadi malam ternyata adalah Alexa," batin Rafa. Ingatannya kembali ke kejadian tadi malam. Dia sedang berjalan melewati taman ketika tanpa sengaja melihat sebuah perkelahian antar geng. Salah satu dari kelompok itu ada seorang gadis, tubuhnya terlihat lemah tapi dia bergerak dengan lincah, menangkis dan membalas serangan lawan dengan tangkas. Rafa terpesona melihat keberanian dan ketangkasan gadis itu, tanpa menyadari bahwa gadis itu adalah Alexa. "Dia begitu berbeda dengan Alexa yang kukenal," pikir Rafa. "Dia kuat, berani, dan... mengagumkan." Perasaan aneh menyeruak di hati Rafa. Rasa kagum yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia mulai melihat Alexa dengan sudut pandang yang berbeda. Bukan lagi sebagai gadis lemah yang mudah ditindas, tapi sebagai seorang gadis yang kuat dan tangguh. "Alexa..." gumam Rafa lirih. Sementara itu, Alexa berjalan dengan langkah santai, aura kepemimpinannya terpancar jelas. Beni dan Jodi, dua anak buah setianya, langsung berdiri tegak saat melihat Alexa mendekat. Mereka berdiri di dekat pintu masuk ruang kepala sekolah, menunggu dengan wajah tegang. "Kayaknya Bos kena hukuman berat deh.", bisik Beni. "Ssstt, diam Ben! Jangan sampai Bos dengar. Bisa abis kita." Alexa berhenti di depan mereka, tatapan matanya yang tajam menyapu wajah Beni dan Jodi. Keduanya langsung menunduk, tak berani menatap langsung sang ketua geng. "Apa yang kalian bicarakan?" "Ti-tidak ada apa-apa, Bos!" Jawab mereka serentak. "Baguslah. Kalian pikir aku dipanggil Pak Kepala Sekolah bakalan kena hukum? Kalian salah besar.", ujar Alexa, menyeringai sinis. Alexa melangkah melewati mereka, Beni dan Jodi segera mengikuti di belakangnya seperti dua ekor anak ayam yang mengikuti induknya. "Lalu, kenapa Bos dipanggil Pak Kepala Sekolah?" Alexa berhenti dan berbalik, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Karena Pak Kepala Sekolah ingin aku kembali mengharumkan nama sekolah ini lagi.", ucap Alexa, ia pun melanjutkan. "Ada pertandingan Taekwondo antar SMA se-provinsi. Dan kalian tahu apa? Akulah yang akan mewakili SMA untuk kota ini!" Raut wajah Beni dan Jodi berubah dari terkejut menjadi kagum. Mereka tahu betul kemampuan Alexa dalam Taekwondo. Kemenangan seolah sudah ada dalam genggaman. "Wah, serius Bos? Keren banget! Kita pasti menang nih!", seru Beni. Jodi mengangguk setuju, "Betul, Bos! Sekolah lain mana ada yang bisa ngalahin Bos Alexa!" Alexa tersenyum puas. "Tentu saja! Aku tidak akan mengecewakan kalian dan sekolah kita. Kalian dan anggota The Thunder Crew harus datang dan saksikan bagaimana aku menghajar mereka semua!" Beni dan Jodi bersorak sorai kegirangan. Mereka sudah tidak sabar menyaksikan Alexa beraksi di arena pertandingan dan membawa pulang medali emas untuk SMA mereka lagi. Namun, di tengah kemeriahan itu, Alexa tiba-tiba terdiam. Wajahnya yang tadinya berseri-seri kini diliputi gurat penasaran. Bayangan Rafa kembali muncul di benaknya. "Aku harus memastikan satu hal pada Rafa. Apa yang membuatnya berubah drastis?" gumamnya dalam hati. Dia harus mencari kesempatan untuk berbicara dengan Rafa, untuk mengungkap misteri di balik perubahan sikapnya.Tatapan Alexa tajam mengunci Rafa. Rafa yang merasakan aura intens itu menjadi gelisah dan tak fokus. Dia menghindari kontak mata dengan Alexa, namun sesekali mencuri pandang ke arah bos The Thunder itu dengan hati-hati. Degup jantung Rafa semakin kencang setiap kali tatapan mereka bertemu. Dia tak bisa menghilangkan perasaan bersalah dan takut yang menyelimuti dirinya. Alexa yang sekarang sangat berbeda dengan Alexa yang dulu dikenalnya. Gadis itu, kini terlihat kuat, percaya diri, dan... mengintimidasi. Bel pertanda usainya pelajaran berbunyi. Rafa segera merapikan bukunya dan berlari keluar kelas, berharap bisa menghindari Alexa. "Sial! Dia menghindariku!" gerutu Alexa kesal. Tanpa ragu, Alexa mengejar Rafa dan menarik ujung kerah belakang seragam cowok itu. "Kau mau lari kemana, hah?! Urusan kita belum selesai.", ucap Alexa dengan tegas. Rafa terkejut dan berbalik menghadap Alexa. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. "Ka-kamu mau apalagi? Aku sudah minta maaf padamu." "Ugh
Rafa melangkah masuk ke kamarnya, raut wajahnya kecewa setelah percakapan dengan ayahnya tentang keinginannya untuk pindah sekolah ditolak. Hatinya gelisah, perasaan cemas terus mengusik pikirannya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju balkon, tempat ia sering merenung. Angin malam menyapa wajahnya ketika ia berdiri di sana, memandang ke langit yang kelabu. Tiba-tiba, ingatan masa kecilnya kembali menyeruak. Teringat bagaimana ia dulu dengan ceroboh menyakiti orang-orang di sekitarnya, terutama Alexa. Dialah yang dulu sering mengganggu dan bahkan memukul Alexa. Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi, tetapi dengan keadaan yang berbeda. Alexa, yang dulunya lemah dan selalu menjadi korban, kini berdiri di hadapannya sebagai sosok yang lebih kuat dan tak terhentikan. Ia selalu menjadi sumber penderitaan bagi Alexa, mengejek, mengganggu, dan bahkan memukulnya. Tangisan Alexa dulu hanya dianggapnya angin lalu. Tak peduli dengan Alexa kecil memohon padanya agar tidak mengganggun
Di klinik sekolah, Rafa terbaring di ranjang dengan wajah pucat, sementara dahinya memerah akibat lemparan bola dari Alexa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menambah kesan lemah di wajahnya. Di sudut ruangan, kepala sekolah berdiri dengan ekspresi tegas."Alexa, kamu harus menjaga Rafa sampai dia bangun!" ucapnya dengan nada serius, menatap Alexa yang berdiri di dekat pintu dengan sikap santai."Kenapa harus saya, Pak?" Sahut Alexa tidak setuju dengan ide kepala sekolah. Karena kamu yang membuat Rafa pingsan," tegas kepala sekolah, suaranya mengandung penekanan."Bukan salah saya! Dia yang lemah!" jawab Alexa dengan nada defensif, berusaha mempertahankan dirinya sambil menyilangkan tangan di dada, tampak kesal."Kamu ini! Pokoknya, Bapak tidak mau tahu. Kamu harus merawat dan menjaga Rafa.", ucap kepala sekolah sambil menunjuk ke wajah Alexa. "Saya nggak mau!""Kalau kamu nggak mau, Bapak akan batalkan pertandingan kamu bulan depan." Ancam kepala sekolah, nadanya penuh peneka
Anak buah Darko mengepung Alexa, wajah mereka dipenuhi kebencian dan tekad untuk mengalahkannya. Tanpa menunggu aba-aba, Alexa segera melancarkan serangan pertama, tinjunya melesat cepat ke arah lawan yang terdekat. Tindakan yang mendadak itu mengejutkan mereka, tetapi hanya sebentar. Dalam hitungan detik, mereka kembali menyerang, beramai-ramai mengeroyok Alexa.Pertarungan yang tidak adil itu membuat Alexa terpojok. Jumlah lawan yang jauh lebih banyak membuatnya kesulitan untuk bertahan. Pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya meringis, dan satu lagi menghantam wajah cantiknya, membuatnya terhuyung mundur. Ia merasakan darah hangat mengalir di sudut bibirnya.Namun, Alexa bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan, kemudian kembali melawan. Pukulan demi pukulan ia layangkan tanpa ampun, kakinya berputar cepat, melayangkan tendangan ke arah perut salah satu anak buah Darko yang membuatnya terjatuh. Meskipun tubuhnya mulai memar dan
“Ah, ini benar-benar menyebalkan!” Alexa menggerutu sambil melangkah cepat menuju sekolah. Rasa kesalnya memuncak—tangannya patah, memaksanya absen dari latihan taekwondo. Saat Alexa masuk ke kelas, suasana yang semula riuh mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya, terutama pada gips di tangannya dan memar di wajahnya. Alexa mengabaikan tatapan mereka dan langsung duduk di kursinya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Bos! Apa yang terjadi?” Jodi dan Beni segera menghampiri, terlihat khawatir.Alexa hanya mendesah pelan, masih menahan rasa kesal. “Darko dan anak buahnya... mereka menyerangku kemarin malam.”, katanya, matanya menyipit seolah mengingat kejadian itu.“Dasar brengsek! Dia sudah kalah, tapi tak mengakui kekalahannya! Seharusnya kita hajar habis-habisan mereka sampai tak berani untuk melawanmu lagi, Bos.” Jodi memaki dengan marah, mengepalkan tinjunya.“Kita harus membalas mereka, Bos!” ujar Beni penuh semangat, matanya menyala-nyala dengan dorongan balas dendam.Alexa
Di dalam kelas 11.3, suasana masih riuh meskipun bel berbunyi sebentar lagi. Siswa siswi asyik bercakap-cakap tentang berita terbaru dari dunia olahraga sekolah. Di salah satu kelompok, pembicaraan hangat terjadi. “Dia memenangkan pertandingan lagi? Gila!” seru seorang siswa dengan antusias. “Ya, dan meskipun dia sering berantem dengan siswa sekolah lain, pihak sekolah nggak bisa mengeluarkannya karena dia berprestasi.”, jawab temannya yang lain sambil terkekeh. Tiba-tiba, percakapan mereka terhenti sejenak ketika Alexa Quinn, ketua geng The Thunder Crew, memasuki kelas. Wajahnya terlihat kacau, rambutnya berantakan, seolah baru bangun tidur, namun tetap terlihat menawan. “Selamat pagi, Bos!” teriak beberapa siswa dengan nada cemas. Semua murid di kelas segera berdiri, terkesima oleh aura ketegasan yang dimiliki Alexa. “Pagi semua!” Jawab Alexa, dengan sikap santai dan sedikit senyuman, melangkah ke mejanya. Kegembiraan di wajahnya masih samar, mungkin karena euforia kemena
Dua kelompok geng sudah berkumpul di taman yang sepi saat malam hari, diselimuti suasana yang tegang. Di satu sisi, Alexa dan anggota The Thunder Crew berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Di sisi lain, pemimpin SMA 32, seorang lelaki dengan tubuh besar dan wajah yang sangar bernama Darko, membawa seluruh anggotanya untuk berhadapan dengan mereka. Saat Darko melihat Alexa, ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya. Dia tidak menyangka bahwa gadis secantik dan kelihatan lemah itu adalah pemimpin geng yang selama ini ditakuti anak-anak sekolah di kota ini. Pikirannya berkelana, mengingat reputasi geng The Thunder Crew yang melampaui batas sekolah mereka, dan betapa cerobohnya dia menantang gengnya."Jadi, ini dia bos The Thunder Crew," ucapnya, penuh sinis. "Aku tidak percaya seorang gadis bisa memimpin geng. Harusnya kau lebih baik di rumah, menyiapkan makanan atau semacamnya."Alexa tidak terpengaruh oleh ejekan itu. Dia tetap berdiri dengan penuh percaya diri
“Ah, ini benar-benar menyebalkan!” Alexa menggerutu sambil melangkah cepat menuju sekolah. Rasa kesalnya memuncak—tangannya patah, memaksanya absen dari latihan taekwondo. Saat Alexa masuk ke kelas, suasana yang semula riuh mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya, terutama pada gips di tangannya dan memar di wajahnya. Alexa mengabaikan tatapan mereka dan langsung duduk di kursinya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Bos! Apa yang terjadi?” Jodi dan Beni segera menghampiri, terlihat khawatir.Alexa hanya mendesah pelan, masih menahan rasa kesal. “Darko dan anak buahnya... mereka menyerangku kemarin malam.”, katanya, matanya menyipit seolah mengingat kejadian itu.“Dasar brengsek! Dia sudah kalah, tapi tak mengakui kekalahannya! Seharusnya kita hajar habis-habisan mereka sampai tak berani untuk melawanmu lagi, Bos.” Jodi memaki dengan marah, mengepalkan tinjunya.“Kita harus membalas mereka, Bos!” ujar Beni penuh semangat, matanya menyala-nyala dengan dorongan balas dendam.Alexa
Anak buah Darko mengepung Alexa, wajah mereka dipenuhi kebencian dan tekad untuk mengalahkannya. Tanpa menunggu aba-aba, Alexa segera melancarkan serangan pertama, tinjunya melesat cepat ke arah lawan yang terdekat. Tindakan yang mendadak itu mengejutkan mereka, tetapi hanya sebentar. Dalam hitungan detik, mereka kembali menyerang, beramai-ramai mengeroyok Alexa.Pertarungan yang tidak adil itu membuat Alexa terpojok. Jumlah lawan yang jauh lebih banyak membuatnya kesulitan untuk bertahan. Pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya meringis, dan satu lagi menghantam wajah cantiknya, membuatnya terhuyung mundur. Ia merasakan darah hangat mengalir di sudut bibirnya.Namun, Alexa bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan, kemudian kembali melawan. Pukulan demi pukulan ia layangkan tanpa ampun, kakinya berputar cepat, melayangkan tendangan ke arah perut salah satu anak buah Darko yang membuatnya terjatuh. Meskipun tubuhnya mulai memar dan
Di klinik sekolah, Rafa terbaring di ranjang dengan wajah pucat, sementara dahinya memerah akibat lemparan bola dari Alexa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menambah kesan lemah di wajahnya. Di sudut ruangan, kepala sekolah berdiri dengan ekspresi tegas."Alexa, kamu harus menjaga Rafa sampai dia bangun!" ucapnya dengan nada serius, menatap Alexa yang berdiri di dekat pintu dengan sikap santai."Kenapa harus saya, Pak?" Sahut Alexa tidak setuju dengan ide kepala sekolah. Karena kamu yang membuat Rafa pingsan," tegas kepala sekolah, suaranya mengandung penekanan."Bukan salah saya! Dia yang lemah!" jawab Alexa dengan nada defensif, berusaha mempertahankan dirinya sambil menyilangkan tangan di dada, tampak kesal."Kamu ini! Pokoknya, Bapak tidak mau tahu. Kamu harus merawat dan menjaga Rafa.", ucap kepala sekolah sambil menunjuk ke wajah Alexa. "Saya nggak mau!""Kalau kamu nggak mau, Bapak akan batalkan pertandingan kamu bulan depan." Ancam kepala sekolah, nadanya penuh peneka
Rafa melangkah masuk ke kamarnya, raut wajahnya kecewa setelah percakapan dengan ayahnya tentang keinginannya untuk pindah sekolah ditolak. Hatinya gelisah, perasaan cemas terus mengusik pikirannya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju balkon, tempat ia sering merenung. Angin malam menyapa wajahnya ketika ia berdiri di sana, memandang ke langit yang kelabu. Tiba-tiba, ingatan masa kecilnya kembali menyeruak. Teringat bagaimana ia dulu dengan ceroboh menyakiti orang-orang di sekitarnya, terutama Alexa. Dialah yang dulu sering mengganggu dan bahkan memukul Alexa. Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi, tetapi dengan keadaan yang berbeda. Alexa, yang dulunya lemah dan selalu menjadi korban, kini berdiri di hadapannya sebagai sosok yang lebih kuat dan tak terhentikan. Ia selalu menjadi sumber penderitaan bagi Alexa, mengejek, mengganggu, dan bahkan memukulnya. Tangisan Alexa dulu hanya dianggapnya angin lalu. Tak peduli dengan Alexa kecil memohon padanya agar tidak mengganggun
Tatapan Alexa tajam mengunci Rafa. Rafa yang merasakan aura intens itu menjadi gelisah dan tak fokus. Dia menghindari kontak mata dengan Alexa, namun sesekali mencuri pandang ke arah bos The Thunder itu dengan hati-hati. Degup jantung Rafa semakin kencang setiap kali tatapan mereka bertemu. Dia tak bisa menghilangkan perasaan bersalah dan takut yang menyelimuti dirinya. Alexa yang sekarang sangat berbeda dengan Alexa yang dulu dikenalnya. Gadis itu, kini terlihat kuat, percaya diri, dan... mengintimidasi. Bel pertanda usainya pelajaran berbunyi. Rafa segera merapikan bukunya dan berlari keluar kelas, berharap bisa menghindari Alexa. "Sial! Dia menghindariku!" gerutu Alexa kesal. Tanpa ragu, Alexa mengejar Rafa dan menarik ujung kerah belakang seragam cowok itu. "Kau mau lari kemana, hah?! Urusan kita belum selesai.", ucap Alexa dengan tegas. Rafa terkejut dan berbalik menghadap Alexa. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. "Ka-kamu mau apalagi? Aku sudah minta maaf padamu." "Ugh
Saat jam istirahat, suasana di sekitar Rafa berubah menjadi ramai. Para siswi mulai berkumpul di sekelilingnya, senyum penuh harap menghiasi wajah mereka. Dia adalah geng Tiga Mawar, Erika, Lena dan Mia. Erika, dengan nada manis, membuka percakapan, "Rafa, kamu sudah punya pacar?" Mia dengan cepat menambahkan, "Kamu suka tipe gadis seperti apa?" Sementara Lena tak sabar untuk ikut berbicara, "Beritahu nomor HP-mu, dong." Rafa yang duduk di bangkunya merasa tak nyaman. Ketakutan menyelimuti dirinya akibat semua pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. "Aku... Aku nggak punya pacar.", jawabnya pelan, wajahnya masih menunduk, tak berani menatap orang lain. Alexa, yang merasa ada keanehan dalam diri Rafa, langsung menghampirinya. "Hei, aku ingin bicara denganmu.", ucap Alexa. Tiga Mawar segera menjauh dari Rafa. Mereka terlihat kesal, tapi tak berani melawan Alexa. Sedangkan Rafa terlihat kebingungan. "Mau... bicara apa?" Suaranya bergetar, tak yakin dengan situasi ini.
Dua kelompok geng sudah berkumpul di taman yang sepi saat malam hari, diselimuti suasana yang tegang. Di satu sisi, Alexa dan anggota The Thunder Crew berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Di sisi lain, pemimpin SMA 32, seorang lelaki dengan tubuh besar dan wajah yang sangar bernama Darko, membawa seluruh anggotanya untuk berhadapan dengan mereka. Saat Darko melihat Alexa, ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya. Dia tidak menyangka bahwa gadis secantik dan kelihatan lemah itu adalah pemimpin geng yang selama ini ditakuti anak-anak sekolah di kota ini. Pikirannya berkelana, mengingat reputasi geng The Thunder Crew yang melampaui batas sekolah mereka, dan betapa cerobohnya dia menantang gengnya."Jadi, ini dia bos The Thunder Crew," ucapnya, penuh sinis. "Aku tidak percaya seorang gadis bisa memimpin geng. Harusnya kau lebih baik di rumah, menyiapkan makanan atau semacamnya."Alexa tidak terpengaruh oleh ejekan itu. Dia tetap berdiri dengan penuh percaya diri
Di dalam kelas 11.3, suasana masih riuh meskipun bel berbunyi sebentar lagi. Siswa siswi asyik bercakap-cakap tentang berita terbaru dari dunia olahraga sekolah. Di salah satu kelompok, pembicaraan hangat terjadi. “Dia memenangkan pertandingan lagi? Gila!” seru seorang siswa dengan antusias. “Ya, dan meskipun dia sering berantem dengan siswa sekolah lain, pihak sekolah nggak bisa mengeluarkannya karena dia berprestasi.”, jawab temannya yang lain sambil terkekeh. Tiba-tiba, percakapan mereka terhenti sejenak ketika Alexa Quinn, ketua geng The Thunder Crew, memasuki kelas. Wajahnya terlihat kacau, rambutnya berantakan, seolah baru bangun tidur, namun tetap terlihat menawan. “Selamat pagi, Bos!” teriak beberapa siswa dengan nada cemas. Semua murid di kelas segera berdiri, terkesima oleh aura ketegasan yang dimiliki Alexa. “Pagi semua!” Jawab Alexa, dengan sikap santai dan sedikit senyuman, melangkah ke mejanya. Kegembiraan di wajahnya masih samar, mungkin karena euforia kemena