Tatapan Alexa tajam mengunci Rafa. Rafa yang merasakan aura intens itu menjadi gelisah dan tak fokus. Dia menghindari kontak mata dengan Alexa, namun sesekali mencuri pandang ke arah bos The Thunder itu dengan hati-hati.
Degup jantung Rafa semakin kencang setiap kali tatapan mereka bertemu. Dia tak bisa menghilangkan perasaan bersalah dan takut yang menyelimuti dirinya. Alexa yang sekarang sangat berbeda dengan Alexa yang dulu dikenalnya. Gadis itu, kini terlihat kuat, percaya diri, dan... mengintimidasi. Bel pertanda usainya pelajaran berbunyi. Rafa segera merapikan bukunya dan berlari keluar kelas, berharap bisa menghindari Alexa. "Sial! Dia menghindariku!" gerutu Alexa kesal. Tanpa ragu, Alexa mengejar Rafa dan menarik ujung kerah belakang seragam cowok itu. "Kau mau lari kemana, hah?! Urusan kita belum selesai.", ucap Alexa dengan tegas. Rafa terkejut dan berbalik menghadap Alexa. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. "Ka-kamu mau apalagi? Aku sudah minta maaf padamu." "Ugh! Rasanya aku benar-benar ingin menghajarmu." Desis Alexa sambil menjitak kepala Rafa. "Aduh!" Rafa meringis kesakitan, hampir menangis. "Maafkan aku... Maafkan aku." Melihat Rafa hampir menangis, Alexa sedikit terkejut. Dia tidak menyangka reaksi Rafa akan sehebat ini. Dia memang kesal dan ingin memberi Rafa pelajaran, tapi dia tidak berniat membuatnya menangis. Tiba-tiba, seorang siswi muncul dari kerumunan dan membentak Alexa. "Hei, Alexa, jangan mengganggu Rafa terus!" Alexa menoleh dan melihat Erika dari geng Tiga Mawar, berdiri dengan sikap menantang. Suasana menegang. Konflik antara Alexa dan Rafa belum selesai, dan sekarang geng Tiga Mawar ikut campur tangan. "Jangan ikut campur, Geng Bunga Bangkai!" ejek Alexa. Ejekan Alexa yang menohok membuat Erika dan geng Tiga Mawar meradang. Wajah mereka memerah karena marah. "Kau..." Erika mengepalkan tangannya, giginya terkatup rapat. "Jangan mentang-mentang kamu bos The Thunder, kami tak berani melawanmu, hah?!" Suasana semakin panas. Perseteruan antara Alexa, sang ketua geng The Thunder, dan Erika, ketua Geng Tiga Mawar, semakin memuncak. Para siswa yang menyaksikan mulai mundur, memberi ruang bagi kedua geng yang berseteru. Beni dan Jodi bersiaga di belakang Alexa, siap membela ketua mereka jika perlu. "Cih, Geng Bunga Bangkai? Nama yang cocok untuk kalian yang hanya bisa bergosip dan mencari gara-gara!" timpal Jodi dengan sinis. "Kalian mau apa sebenarnya?" tanya Alexa dengan tajam, matanya menatap Erika dan anggota gengnya satu per satu. "Apa kalian mau melindungi Rafa yang penakut ini?" "Rafa bukan penakut!" teriak salah satu anggota Geng Tiga Mawar. "Dia... dia hanya sedang beradaptasi dengan lingkungan sekolah." "Beradaptasi? Kalian tidak tahu dia ini siapa, sekarang pergilah jangan ikut campur." Alexa melemparkan tatapan tajam pada Geng Tiga Mawar, suaranya dingin dan penuh ancaman. Tanpa menunggu jawaban, ia menarik Rafa dengan kasar, menyeretnya melewati kerumunan siswa yang ternganga. Rafa tersentak kesakitan, langkahnya terseret-seret mengikuti Alexa yang berjalan dengan cepat. Wajahnya pucat, matanya menatap lantai dengan nanar. Bisikan-bisikan dan tatapan penuh rasa ingin tahu mengikuti mereka sepanjang koridor. Rafa merasa malu, terhina, dan tak berdaya. Di gerbang sekolah, sesosok pria bersandar pada motor besarnya dengan santai. Kevin, ketua geng The Vipers, mengamati kedatangan Alexa dan Rafa dengan senyum kecut. "Wah, kemana perginya motto hidupmu, tidak menindas yang lemah?" sapanya dengan nada mengejek. "Sekarang kau mau membuat cowok itu hampir kencing di celana." "Bukan urusanmu!" jawab Alexa ketus, matanya menyipit tajam. "Mau apa datang kesini?" Kevin tersenyum miring, "Santai dong, Ratu Sekolah. Aku hanya menawarkan tontonan menarik." Dia menepuk tempat duduk di belakang motornya. "Geng kami akan bertarung dengan geng kota sebelah. Kau mau ikut?" Tawaran Kevin membuat Alexa girang. Ia menatap Kevin dengan penuh selidik, mencoba menebak maksud sebenarnya. Pertarungan antar geng bukanlah hal yang asing baginya, namun ia jarang ikut campur dalam urusan The Vipers. Alexa berpikir sejenak, menimbang tawaran Kevin. Di satu sisi, ia ingin memberi pelajaran pada Rafa yang telah berani menyakitinya dulu. Namun di sisi lain, ia juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyaksikan aksi The Vipers. Akhirnya, ia menoleh ke arah Rafa yang masih tertunduk ketakutan. "Kau beruntung hari ini aku ada urusan," ujarnya dingin. "Lain kali, kau tidak akan seberuntung ini." Alexa kemudian berbalik dan menghampiri Kevin. "Baiklah, aku ikut.", katanya singkat. Ia melompat ke atas motor Kevin dengan lincah, dan keduanya melesat meninggalkan halaman sekolah yang semakin sepi. Rafa terpaku di tempatnya, menyaksikan kepergian Alexa dengan perasaan campur aduk. Ia lega karena lolos dari hukuman Alexa hari ini, namun ia juga merasa takut dengan ancaman Alexa. Ia tahu, ia tidak akan bisa bersembunyi dari Alexa selamanya. Deru mesin motor Kevin memecah kesunyian sore itu. Alexa dan Kevin tiba di sebuah gudang tua terpencil di pinggiran kota, tempat yang sering digunakan untuk pertarungan antar geng. Di sana, anggota The Vipers sudah berkumpul, wajah-wajah keras dan penuh semangat berkumpul menyambut kedatangan mereka. "Lama tidak bertemu, Alexa," sapa Dion wakil ketua The Vipers. "Siap menyaksikan pertunjukan menarik?" Alexa hanya mengangguk kecil, matanya menjelajahi sekitar. Ia melihat sekelompok orang berpakaian seragam SMA Jaya 13 berdiri di seberang gudang. Mereka adalah Geng Vortex, musuh bebuyutan The Vipers. "Oh, kalian akan bertarung dengan Geng Vortex?" tanya Alexa pada Kevin. "Ya," jawab Kevin singkat. "Tapi ini one by one. Pertarungan antar bos." Alexa mengangkat sebelah alisnya. "Jadi, kau akan melawan bos mereka?" Kevin tersenyum percaya diri. "Tentu saja. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengalahkannya." Di seberang gudang, bos Geng Vortex, seorang pria bertubuh kekar dengan rambut mohawk, melangkah maju. Ia menatap Kevin dengan tatapan penuh permusuhan. "Siap kalah, Kevin?" tantangnya dengan suara lantang. "Kita lihat saja nanti," jawab Kevin tenang. "Kamu tunggu disana. Aku pasti akan memenangkan pertarungan ini." Kevin menyuruh Alexa sedikit menjauh. Ia pun mengikuti arahan Kevin. "Cepatlah! Aku harus pulang.", ucap Alexa. Kevin hanya tersenyum. Lalu, kembali fokus pada orang di depannya. Suasana semakin tegang. Kedua bos geng bersiap untuk bertarung. Pertarungan ini bukan hanya menentukan siapa yang terkuat, tetapi juga menentukan nasib kedua geng. Pertarungan antara Kevin dan bos Geng Vortex berlangsung sengit. Kedua pemimpin geng itu saling adu jotos dan tendangan, debu beterbangan di sekitar mereka. Anggota The Vipers dan Geng Vortex menyaksikan dengan tegang, teriakan penyemangat dan ejekan bersahutan memecah keheningan gudang tua itu. Kevin, dengan kelincahan dan kekuatannya, akhirnya berhasil mengalahkan bos Geng Vortex. Sebuah tendangan mematikan mengenai rahang lawannya, membuatnya terkapar tak berdaya. Anggota The Vipers meledak dalam sorak sorai kemenangan. Namun, sorak sorai itu terhenti mendadak, saat beberapa anggota Geng Vortex, yang geram melihat kekalahan bos mereka, tiba-tiba berbalik malah menyerang Alexa yang berdiri didekat mereka. "Kalian pikir, kalian menang, hah? Aku akan buat pacarmu yang cantik ini menangis!" Ucapnya, mencekik leher Alexa dari belakang. Melihat Alexa dikepung, Kevin tertawa terbahak-bahak. "Kalian memilih lawan yang salah!" serunya di antara tawanya. Anggota Geng Vortex tertegun sesaat, bingung dengan reaksi Kevin. Mereka belum tahu siapa Alexa sebenarnya. Alexa sendiri menyambut serangan mereka dengan sikap tenang. "Sepertinya aku perlu sedikit pemanasan," gumamnya dengan senyum dingin. Dalam sekejap, ia berubah menjadi monster. Gerakannya cepat dan mematikan, pukulan dan tendangannya menghujani para penyerang dengan bertubi-tubi. Kevin yang sudah pulih dari tawanya ikut melompat ke arena. "Jangan salah menilai bos The Thunder.", katanya sambil menendang salah satu anggota Geng Vortex hingga terpelanting. Pertarungan pun kembali berkobar, lebih kacau dan brutal. Alexa dan Kevin bergerak seperti satu kesatuan, saling melindungi dan mendukung. Anggota Geng Vortex yang awalnya meremehkan Alexa kini terkejut dan kewalahan menghadapi keganasan gadis itu. "Kau kena pukulan," ucap Kevin dengan nada khawatir. Matanya tertuju pada pipi Alexa yang memar setelah pertarungan itu. Alexa menyentuh pipinya yang berdenyut sakit, meringis kesal. "Mereka mengeroyokku, brengsek!" Umpatnya dengan napas tersengal-sengal. "Tapi kurasa aku memberi mereka balasan yang setimpal." Kevin tersenyum kecil, bangga dengan keberanian Alexa. "Kamu memang hebat," pujinya tulus. "Ayo, kuantar kau pulang. Kamu perlu istirahat." "Oh, tunggu sebentar," Alexa menahan tangan Kevin yang terulur, mencegahnya untuk menariknya berdiri. Ia meringis pelan saat merasakan denyut nyeri di pipinya. Dengan gerakan cepat, Alexa membuka resleting jaketnya, lalu melepas celana olahraga panjang yang selalu ia kenakan di balik rok sekolah. Lalu, merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah concealer. Dengan terampil, ia menutupi bekas pukulan lawannya tadi hingga nyaris tak terlihat. "Aku tidak mau membuat gempar satu rumah." jelasnya sambil menatap Kevin dengan senyum nakal. Kevin tertawa lepas, "Hahaha, orangtuamu masih belum tahu kalau anak semata wayangnya berandalan, ya?" "Aku bukan berandalan, aku ini petarung!" ralat Alexa dengan nada bangga, menekankan kata 'petarung'. "Oke, oke. Ayo pulang." ajak Kevin. Alexa mengikutinya, duduk di belakang ketua The Vipers. Sejam kemudian, mereka sampai di rumah Alexa. Kevin mematikan mesin motornya di depan gerbang rumah mewah itu. Pagar besi yang tinggi menjulang, menghalangi pandangan ke dalam. Alexa turun dari motor. "Makasih udah antar aku pulang," ucap Alexa. Kevin menyeringai, "Oke, sampai jumpa besok, Bos The Thunder." Alexa melotot, jari-jarinya mengepal. Ingin rasanya ia meninju Kevin saat itu juga, tapi ia menahan diri. Jalanan di depan rumah mewah itu tidak sepenuhnya sepi. Beberapa mobil melesat lewat, dan ia tidak ingin aksi kekanak-kanakannya menjadi tontonan. Lagipula, ia ingin menjaga mertabat ayahnya sebagai seorang pengusaha. Setelah Kevin pulang, Alexa membuka pintu rumah dengan hati-hati, mengendap-endap seperti seorang pencuri. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. "Semoga Papa belum pulang.", batinnya cemas. Ia berjalan jinjit-jinjit melewati ruang tamu yang remang-remang. Langkahnya terhenti saat mendengar suara batuk dari arah ruang keluarga. "Alex sayang, kamu kenapa baru pulang sekarang?" Alexa tersentak. Papanya duduk di sofa, membaca koran dengan kacamata bertengger di hidungnya. "Papa?" Alexa tergagap, "Alex tadi latihan taekwondo." Ia berusaha terlihat setenang mungkin agar ayahnya tak curiga. Papa menatap Alexa dengan lembut dari balik kacamatanya. "Latihan taekwondo sampai jam segini? Biasanya kamu pulang jam lima sore." Alexa menelan ludah. Ia harus mencari alasan yang masuk akal. "Tadi ada latihan khusus, Pa. Untuk persiapan kejuaraan bulan depan." "Oh, begitu," Papa Alexa mengangguk-angguk, namun kerutan di dahinya masih belum hilang. "Lain kali kabari Papa kalau kamu pulang terlambat, ya. Mama khawatir." "Iya, Pa. Maaf," jawab Alexa dengan patuh. Ia berjalan menuju kamarnya, berharap Papanya tidak mencurigainya. "Fiuh, selamat!" batin Alexa lega saat ia akhirnya tiba di kamarnya. Ia menutup pintu dan bersandar di baliknya, menarik napas dalam-dalam. Hari ini benar-benar melelahkan. Ia melepas jaket dan tasnya, lalu berjalan ke arah cermin. Memar di wajahnya sudah tersamarkan dengan baik oleh concealer, namun ia masih bisa merasakan nyerinya. Alexa tersenyum kecil. Ia tidak menyesal terlibat dalam pertarungan itu. Ia telah membantu Kevin dan The Vipers, dan ia telah membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bukanlah gadis lemah yang mudah ditindas. Sementara itu, di sebuah rumah yang berbeda, Rafa duduk berhadapan dengan ayahnya. Wajahnya tertunduk lesu, kedua tangannya saling meremas gelisah. "Ayah," suaranya lirih, hampir tak terdengar, "Rafa ingin pindah sekolah." Ayah Rafa meletakkan cangkir kopinya, menatap putranya dengan sorot mata tajam. "Rafa, ini sudah ketiga kalinya dalam tahun ini kamu meminta pindah sekolah." suaranya tegas, namun terdengar nada kecewa. "Apa lagi masalahnya kali ini?" Rafa menggeleng, air matanya mulai menetes. "Ada.. yang mengganggu Rafa.", jawabnya terbata-bata. Ayah Rafa mendengarkan dengan seksama. Setelah Rafa selesai bercerita, ia menghela napas panjang. "Rafa," katanya lembut, "Ayah mengerti kamu ketakutan. Tapi kamu tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari masalah." "Tapi Ayah, Rafa takut," isak Rafa. "Dia jahat, dia mengancam Rafa." "Rafa, kamu harus belajar untuk berani menghadapi masalahmu. Kabur bukanlah solusi. Justru dengan menghadapinya, kamu akan menjadi lebih kuat." Rafa menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi bagaimana caranya, Ayah? Rafa takut." "Ayah akan membantumu," janji Ayah Rafa. "Kita akan cari solusi bersama. Mungkin kamu bisa belajar bela diri, atau kita bisa bicarakan masalah ini dengan guru di sekolah." Rafa mengangguk perlahan. Ia masih merasa takut, namun kata-kata ayahnya memberinya sedikit kekuatan. Mungkin ia memang harus belajar untuk berani.Rafa melangkah masuk ke kamarnya, raut wajahnya kecewa setelah percakapan dengan ayahnya tentang keinginannya untuk pindah sekolah ditolak. Hatinya gelisah, perasaan cemas terus mengusik pikirannya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju balkon, tempat ia sering merenung. Angin malam menyapa wajahnya ketika ia berdiri di sana, memandang ke langit yang kelabu. Tiba-tiba, ingatan masa kecilnya kembali menyeruak. Teringat bagaimana ia dulu dengan ceroboh menyakiti orang-orang di sekitarnya, terutama Alexa. Dialah yang dulu sering mengganggu dan bahkan memukul Alexa. Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi, tetapi dengan keadaan yang berbeda. Alexa, yang dulunya lemah dan selalu menjadi korban, kini berdiri di hadapannya sebagai sosok yang lebih kuat dan tak terhentikan. Ia selalu menjadi sumber penderitaan bagi Alexa, mengejek, mengganggu, dan bahkan memukulnya. Tangisan Alexa dulu hanya dianggapnya angin lalu. Tak peduli dengan Alexa kecil memohon padanya agar tidak mengganggun
Di klinik sekolah, Rafa terbaring di ranjang dengan wajah pucat, sementara dahinya memerah akibat lemparan bola dari Alexa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menambah kesan lemah di wajahnya. Di sudut ruangan, kepala sekolah berdiri dengan ekspresi tegas."Alexa, kamu harus menjaga Rafa sampai dia bangun!" ucapnya dengan nada serius, menatap Alexa yang berdiri di dekat pintu dengan sikap santai."Kenapa harus saya, Pak?" Sahut Alexa tidak setuju dengan ide kepala sekolah. Karena kamu yang membuat Rafa pingsan," tegas kepala sekolah, suaranya mengandung penekanan."Bukan salah saya! Dia yang lemah!" jawab Alexa dengan nada defensif, berusaha mempertahankan dirinya sambil menyilangkan tangan di dada, tampak kesal."Kamu ini! Pokoknya, Bapak tidak mau tahu. Kamu harus merawat dan menjaga Rafa.", ucap kepala sekolah sambil menunjuk ke wajah Alexa. "Saya nggak mau!""Kalau kamu nggak mau, Bapak akan batalkan pertandingan kamu bulan depan." Ancam kepala sekolah, nadanya penuh peneka
Anak buah Darko mengepung Alexa, wajah mereka dipenuhi kebencian dan tekad untuk mengalahkannya. Tanpa menunggu aba-aba, Alexa segera melancarkan serangan pertama, tinjunya melesat cepat ke arah lawan yang terdekat. Tindakan yang mendadak itu mengejutkan mereka, tetapi hanya sebentar. Dalam hitungan detik, mereka kembali menyerang, beramai-ramai mengeroyok Alexa.Pertarungan yang tidak adil itu membuat Alexa terpojok. Jumlah lawan yang jauh lebih banyak membuatnya kesulitan untuk bertahan. Pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya meringis, dan satu lagi menghantam wajah cantiknya, membuatnya terhuyung mundur. Ia merasakan darah hangat mengalir di sudut bibirnya.Namun, Alexa bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan, kemudian kembali melawan. Pukulan demi pukulan ia layangkan tanpa ampun, kakinya berputar cepat, melayangkan tendangan ke arah perut salah satu anak buah Darko yang membuatnya terjatuh. Meskipun tubuhnya mulai memar dan
“Ah, ini benar-benar menyebalkan!” Alexa menggerutu sambil melangkah cepat menuju sekolah. Rasa kesalnya memuncak—tangannya patah, memaksanya absen dari latihan taekwondo. Saat Alexa masuk ke kelas, suasana yang semula riuh mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya, terutama pada gips di tangannya dan memar di wajahnya. Alexa mengabaikan tatapan mereka dan langsung duduk di kursinya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Bos! Apa yang terjadi?” Jodi dan Beni segera menghampiri, terlihat khawatir.Alexa hanya mendesah pelan, masih menahan rasa kesal. “Darko dan anak buahnya... mereka menyerangku kemarin malam.”, katanya, matanya menyipit seolah mengingat kejadian itu.“Dasar brengsek! Dia sudah kalah, tapi tak mengakui kekalahannya! Seharusnya kita hajar habis-habisan mereka sampai tak berani untuk melawanmu lagi, Bos.” Jodi memaki dengan marah, mengepalkan tinjunya.“Kita harus membalas mereka, Bos!” ujar Beni penuh semangat, matanya menyala-nyala dengan dorongan balas dendam.Alexa
Di dalam kelas 11.3, suasana masih riuh meskipun bel berbunyi sebentar lagi. Siswa siswi asyik bercakap-cakap tentang berita terbaru dari dunia olahraga sekolah. Di salah satu kelompok, pembicaraan hangat terjadi. “Dia memenangkan pertandingan lagi? Gila!” seru seorang siswa dengan antusias. “Ya, dan meskipun dia sering berantem dengan siswa sekolah lain, pihak sekolah nggak bisa mengeluarkannya karena dia berprestasi.”, jawab temannya yang lain sambil terkekeh. Tiba-tiba, percakapan mereka terhenti sejenak ketika Alexa Quinn, ketua geng The Thunder Crew, memasuki kelas. Wajahnya terlihat kacau, rambutnya berantakan, seolah baru bangun tidur, namun tetap terlihat menawan. “Selamat pagi, Bos!” teriak beberapa siswa dengan nada cemas. Semua murid di kelas segera berdiri, terkesima oleh aura ketegasan yang dimiliki Alexa. “Pagi semua!” Jawab Alexa, dengan sikap santai dan sedikit senyuman, melangkah ke mejanya. Kegembiraan di wajahnya masih samar, mungkin karena euforia kemena
Dua kelompok geng sudah berkumpul di taman yang sepi saat malam hari, diselimuti suasana yang tegang. Di satu sisi, Alexa dan anggota The Thunder Crew berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Di sisi lain, pemimpin SMA 32, seorang lelaki dengan tubuh besar dan wajah yang sangar bernama Darko, membawa seluruh anggotanya untuk berhadapan dengan mereka. Saat Darko melihat Alexa, ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya. Dia tidak menyangka bahwa gadis secantik dan kelihatan lemah itu adalah pemimpin geng yang selama ini ditakuti anak-anak sekolah di kota ini. Pikirannya berkelana, mengingat reputasi geng The Thunder Crew yang melampaui batas sekolah mereka, dan betapa cerobohnya dia menantang gengnya."Jadi, ini dia bos The Thunder Crew," ucapnya, penuh sinis. "Aku tidak percaya seorang gadis bisa memimpin geng. Harusnya kau lebih baik di rumah, menyiapkan makanan atau semacamnya."Alexa tidak terpengaruh oleh ejekan itu. Dia tetap berdiri dengan penuh percaya diri
Saat jam istirahat, suasana di sekitar Rafa berubah menjadi ramai. Para siswi mulai berkumpul di sekelilingnya, senyum penuh harap menghiasi wajah mereka. Dia adalah geng Tiga Mawar, Erika, Lena dan Mia. Erika, dengan nada manis, membuka percakapan, "Rafa, kamu sudah punya pacar?" Mia dengan cepat menambahkan, "Kamu suka tipe gadis seperti apa?" Sementara Lena tak sabar untuk ikut berbicara, "Beritahu nomor HP-mu, dong." Rafa yang duduk di bangkunya merasa tak nyaman. Ketakutan menyelimuti dirinya akibat semua pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. "Aku... Aku nggak punya pacar.", jawabnya pelan, wajahnya masih menunduk, tak berani menatap orang lain. Alexa, yang merasa ada keanehan dalam diri Rafa, langsung menghampirinya. "Hei, aku ingin bicara denganmu.", ucap Alexa. Tiga Mawar segera menjauh dari Rafa. Mereka terlihat kesal, tapi tak berani melawan Alexa. Sedangkan Rafa terlihat kebingungan. "Mau... bicara apa?" Suaranya bergetar, tak yakin dengan situasi ini.
“Ah, ini benar-benar menyebalkan!” Alexa menggerutu sambil melangkah cepat menuju sekolah. Rasa kesalnya memuncak—tangannya patah, memaksanya absen dari latihan taekwondo. Saat Alexa masuk ke kelas, suasana yang semula riuh mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya, terutama pada gips di tangannya dan memar di wajahnya. Alexa mengabaikan tatapan mereka dan langsung duduk di kursinya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Bos! Apa yang terjadi?” Jodi dan Beni segera menghampiri, terlihat khawatir.Alexa hanya mendesah pelan, masih menahan rasa kesal. “Darko dan anak buahnya... mereka menyerangku kemarin malam.”, katanya, matanya menyipit seolah mengingat kejadian itu.“Dasar brengsek! Dia sudah kalah, tapi tak mengakui kekalahannya! Seharusnya kita hajar habis-habisan mereka sampai tak berani untuk melawanmu lagi, Bos.” Jodi memaki dengan marah, mengepalkan tinjunya.“Kita harus membalas mereka, Bos!” ujar Beni penuh semangat, matanya menyala-nyala dengan dorongan balas dendam.Alexa
Anak buah Darko mengepung Alexa, wajah mereka dipenuhi kebencian dan tekad untuk mengalahkannya. Tanpa menunggu aba-aba, Alexa segera melancarkan serangan pertama, tinjunya melesat cepat ke arah lawan yang terdekat. Tindakan yang mendadak itu mengejutkan mereka, tetapi hanya sebentar. Dalam hitungan detik, mereka kembali menyerang, beramai-ramai mengeroyok Alexa.Pertarungan yang tidak adil itu membuat Alexa terpojok. Jumlah lawan yang jauh lebih banyak membuatnya kesulitan untuk bertahan. Pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya meringis, dan satu lagi menghantam wajah cantiknya, membuatnya terhuyung mundur. Ia merasakan darah hangat mengalir di sudut bibirnya.Namun, Alexa bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan, kemudian kembali melawan. Pukulan demi pukulan ia layangkan tanpa ampun, kakinya berputar cepat, melayangkan tendangan ke arah perut salah satu anak buah Darko yang membuatnya terjatuh. Meskipun tubuhnya mulai memar dan
Di klinik sekolah, Rafa terbaring di ranjang dengan wajah pucat, sementara dahinya memerah akibat lemparan bola dari Alexa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menambah kesan lemah di wajahnya. Di sudut ruangan, kepala sekolah berdiri dengan ekspresi tegas."Alexa, kamu harus menjaga Rafa sampai dia bangun!" ucapnya dengan nada serius, menatap Alexa yang berdiri di dekat pintu dengan sikap santai."Kenapa harus saya, Pak?" Sahut Alexa tidak setuju dengan ide kepala sekolah. Karena kamu yang membuat Rafa pingsan," tegas kepala sekolah, suaranya mengandung penekanan."Bukan salah saya! Dia yang lemah!" jawab Alexa dengan nada defensif, berusaha mempertahankan dirinya sambil menyilangkan tangan di dada, tampak kesal."Kamu ini! Pokoknya, Bapak tidak mau tahu. Kamu harus merawat dan menjaga Rafa.", ucap kepala sekolah sambil menunjuk ke wajah Alexa. "Saya nggak mau!""Kalau kamu nggak mau, Bapak akan batalkan pertandingan kamu bulan depan." Ancam kepala sekolah, nadanya penuh peneka
Rafa melangkah masuk ke kamarnya, raut wajahnya kecewa setelah percakapan dengan ayahnya tentang keinginannya untuk pindah sekolah ditolak. Hatinya gelisah, perasaan cemas terus mengusik pikirannya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju balkon, tempat ia sering merenung. Angin malam menyapa wajahnya ketika ia berdiri di sana, memandang ke langit yang kelabu. Tiba-tiba, ingatan masa kecilnya kembali menyeruak. Teringat bagaimana ia dulu dengan ceroboh menyakiti orang-orang di sekitarnya, terutama Alexa. Dialah yang dulu sering mengganggu dan bahkan memukul Alexa. Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi, tetapi dengan keadaan yang berbeda. Alexa, yang dulunya lemah dan selalu menjadi korban, kini berdiri di hadapannya sebagai sosok yang lebih kuat dan tak terhentikan. Ia selalu menjadi sumber penderitaan bagi Alexa, mengejek, mengganggu, dan bahkan memukulnya. Tangisan Alexa dulu hanya dianggapnya angin lalu. Tak peduli dengan Alexa kecil memohon padanya agar tidak mengganggun
Tatapan Alexa tajam mengunci Rafa. Rafa yang merasakan aura intens itu menjadi gelisah dan tak fokus. Dia menghindari kontak mata dengan Alexa, namun sesekali mencuri pandang ke arah bos The Thunder itu dengan hati-hati. Degup jantung Rafa semakin kencang setiap kali tatapan mereka bertemu. Dia tak bisa menghilangkan perasaan bersalah dan takut yang menyelimuti dirinya. Alexa yang sekarang sangat berbeda dengan Alexa yang dulu dikenalnya. Gadis itu, kini terlihat kuat, percaya diri, dan... mengintimidasi. Bel pertanda usainya pelajaran berbunyi. Rafa segera merapikan bukunya dan berlari keluar kelas, berharap bisa menghindari Alexa. "Sial! Dia menghindariku!" gerutu Alexa kesal. Tanpa ragu, Alexa mengejar Rafa dan menarik ujung kerah belakang seragam cowok itu. "Kau mau lari kemana, hah?! Urusan kita belum selesai.", ucap Alexa dengan tegas. Rafa terkejut dan berbalik menghadap Alexa. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. "Ka-kamu mau apalagi? Aku sudah minta maaf padamu." "Ugh
Saat jam istirahat, suasana di sekitar Rafa berubah menjadi ramai. Para siswi mulai berkumpul di sekelilingnya, senyum penuh harap menghiasi wajah mereka. Dia adalah geng Tiga Mawar, Erika, Lena dan Mia. Erika, dengan nada manis, membuka percakapan, "Rafa, kamu sudah punya pacar?" Mia dengan cepat menambahkan, "Kamu suka tipe gadis seperti apa?" Sementara Lena tak sabar untuk ikut berbicara, "Beritahu nomor HP-mu, dong." Rafa yang duduk di bangkunya merasa tak nyaman. Ketakutan menyelimuti dirinya akibat semua pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. "Aku... Aku nggak punya pacar.", jawabnya pelan, wajahnya masih menunduk, tak berani menatap orang lain. Alexa, yang merasa ada keanehan dalam diri Rafa, langsung menghampirinya. "Hei, aku ingin bicara denganmu.", ucap Alexa. Tiga Mawar segera menjauh dari Rafa. Mereka terlihat kesal, tapi tak berani melawan Alexa. Sedangkan Rafa terlihat kebingungan. "Mau... bicara apa?" Suaranya bergetar, tak yakin dengan situasi ini.
Dua kelompok geng sudah berkumpul di taman yang sepi saat malam hari, diselimuti suasana yang tegang. Di satu sisi, Alexa dan anggota The Thunder Crew berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Di sisi lain, pemimpin SMA 32, seorang lelaki dengan tubuh besar dan wajah yang sangar bernama Darko, membawa seluruh anggotanya untuk berhadapan dengan mereka. Saat Darko melihat Alexa, ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya. Dia tidak menyangka bahwa gadis secantik dan kelihatan lemah itu adalah pemimpin geng yang selama ini ditakuti anak-anak sekolah di kota ini. Pikirannya berkelana, mengingat reputasi geng The Thunder Crew yang melampaui batas sekolah mereka, dan betapa cerobohnya dia menantang gengnya."Jadi, ini dia bos The Thunder Crew," ucapnya, penuh sinis. "Aku tidak percaya seorang gadis bisa memimpin geng. Harusnya kau lebih baik di rumah, menyiapkan makanan atau semacamnya."Alexa tidak terpengaruh oleh ejekan itu. Dia tetap berdiri dengan penuh percaya diri
Di dalam kelas 11.3, suasana masih riuh meskipun bel berbunyi sebentar lagi. Siswa siswi asyik bercakap-cakap tentang berita terbaru dari dunia olahraga sekolah. Di salah satu kelompok, pembicaraan hangat terjadi. “Dia memenangkan pertandingan lagi? Gila!” seru seorang siswa dengan antusias. “Ya, dan meskipun dia sering berantem dengan siswa sekolah lain, pihak sekolah nggak bisa mengeluarkannya karena dia berprestasi.”, jawab temannya yang lain sambil terkekeh. Tiba-tiba, percakapan mereka terhenti sejenak ketika Alexa Quinn, ketua geng The Thunder Crew, memasuki kelas. Wajahnya terlihat kacau, rambutnya berantakan, seolah baru bangun tidur, namun tetap terlihat menawan. “Selamat pagi, Bos!” teriak beberapa siswa dengan nada cemas. Semua murid di kelas segera berdiri, terkesima oleh aura ketegasan yang dimiliki Alexa. “Pagi semua!” Jawab Alexa, dengan sikap santai dan sedikit senyuman, melangkah ke mejanya. Kegembiraan di wajahnya masih samar, mungkin karena euforia kemena