"Bu. Yang tadi itu siapa sih?" Ais, bertanya setelah sarapan paginya habis."Yang mana, Sayang?" Aku memang tak mengerti, siapa yang ditanyakan oleh putriku itu.Setelah pulang dari pasar tadi, aku langsung memasak dan kini kami baru saja selesai sarapan pagi. Karena memang rencananya , setelah ini kami akan berangkat ke kebun binatang, sesuai dengan keinginan Ais."Nenek yang nangis di pasar itu loh, Bu."Kedua sudut bibirku tertarik, kukira Ais tak akan menanyakan tentang hal itu tadi. Ternyata dia penasaran juga.Sepertinya dia tak begitu mendengarkan perbincangan dengan Bu Ratna tadi, karena tadi dia begitu aktif bermain game.Jika memang seperti itu, maka kebetulan sekali. Karena Itu adalah masalah orang dewasa."Oh itu. Itu ibunya Tante Eka." Kukatakan saja, seperti apa adanya.Raut wajah putri kecilku itu, nampak langsung berubah. Wajahnya terlihat pias."Tante Eka yang jahat itu ya?"Ternyata, trauma terhadap Eka, masih dirasakan oleh Ais. Berarti memang luka yang ditorehkan
"Maaf, Ryan. Sepertinya kami tidak bisa."Seperti yang kukatakan tadi, aku tak bisa menerima ajakan Ryan itu. "Oke."Kata itu yang dipilih Ryan, sebelum akhirnya mengakhiri obrolan melalui sambungan telepon ini. Memasukkan ponsel ke kantung baju, dan kini beralih pada Ais, yang cemberut. Gadis kecil itu duduk lagi di meja makan, menaruh kepalanya di meja. Dia tak protes, tetapi tentu saja aku mengerti dengan gerak geriknya itu."Ais marah?" tanyaku lembut sambil mengusap pucuk kepalanya.Dia menggeleng, tapi matanya tak menatap mataku. Bibirnya pun nampak masih mengerucut. "Ais mau lihat hewan di kebun binatang hari ini?" Kuulas senyum terbaik dan tetap bertanya dengan lembut.Putriku itu mengangkat kepalanya. " Ais mau banget Bu. Ais pingin naik gajah." Masih kulihat raut kesedihan disana. Tapi memang itu adalah harapan besarnya. "Ayo berangkat." Ais melongo mendengar ucapanku tadi. "Berangkat? Bukannya tadi ibu tidak mau saat diajak Om Ryan?" Nah benar bukan? Pikiran Ais past
"Ya ampun, Asep!" Bu Rika menepuk jidatnya sambil berteriak. "Ini sudah jam berapa? Kenapa kamu masih tidur saja!"Wanita setengah baya yang baru saja pulang dari bersih bersih rumah tetangga itu, kini berkacak pinggang. "Asep! Bangun!"Ditarik kerudung yang dia pakai lalu dipukul pukulkan pada tubuh putranya yang dari tadi masih molor di kursi ruang tamu."Bangun nggak kamu, Sep! Atau ibu siram kamu pakai seember Air!" Suara perempuan itu makin melengking saja."Duh, Ibu ... ganggu orang tidur saja." Badan Asep menggeliat seperti ulat, pria yang wajahnya tampak makin kusut itu, mencoba meregangkan ototnya. "Masih pagi kok sudah teriak teriak."Bu Rika mendengus kasar, perkataan anaknya itu, sepertinya malah membuat dia semakin murka saja."Masih pagi kamu bilang?" Bu Rika menarik dagu Asep agar menoleh ke arah jam dinding. "Buka mata kamu lebat lebar, ini sudah jam dua belas siang!"Asep mengerjap ngerjapkan matanya dan menguceknya karena terasa masih berat. "Hah, iya. Sudah jam dua
"Iya kan, jika dia nggak pulang cepat. Kita masih punya banyak uang dan bisa hidup enak lagi!" Bu Rika telah kembali seperti semula. Mengolok sang menantu, adalah hal yang menyenangkan. Tok tok tok Tiba tiba saja pintu yang terbuka itu diketuk oleh petugas dari kantor pos."Pak Asep, ada surat untuk Anda."Kedua manusia itu pun langsung menoleh ke arah sumber suara."Surat, surat dari siapa ya Pak?" Asep langsung berdiri sembari merapikan rambutnya yang semrawut. Si pak pos malah langsung tersenyum menunjukkan giginya yang tidak Rata. "Surat panggilan cinta, Pak." Surat dengan amplop coklat kecil memanjang itu pun diberikan fan diterima oleh Asep. "Hah, surat cinta?"Si pak pos langsung pergi. Sementara Asep langsung membaca pengirim yang tertera di amplop. "Kurang ajar!" Spontan Asep mengumpat dengan raut wajah yang sudah penuh emosi. Pria itu pun menjatuhkan bobot tubuhnya dengan kasar kembali ke sofa. Bu Rika yang sejak tadi memperhatikan, tentu sangat penasaran. "Surat dari s
"Kalau sudah begini, kita harus gimana, Sep? Pokoknya ibu nggak mau tahu ya, kamu harus bisa membuat Nisa membatalkan gugatan ce----""Diam!"Asep yang begitu frustasi, membentak sang ibu dengan lantang. "Ibu bisa diam nggak sih, capek aku dengarnya!" Ditatapnya lekat sang ibu dengan mata bulat sempurna.Demi mendengar hardikan dari anaknya yang begitu keras, Bu Rika langsung memegang dadanya. "K-kamu membentak ibu, Sep?" Suara perempuan itu terdengar bergetar. Memang, ini adalah untuk pertama kalinya, saat tidak dalam keadaan mabuk, Asep membentak sang ibu. Karena memang sejak dulu, dia dikenal sebagai seorang anak yang penurut, lebih tepatnya anak mama. Yang akan selalu memakan mentah mentah apa yang diucapkan oleh sang ibu, tanpa menelaah dulu lebih lanjut. Ini terbukti sekali dalam hubungan rumah tangganya bersama dengan Nisa.Asep mendengus kasar dan kemudian mengalihkan pandangan. Tanpa berkata sepatah pun."Kamu berani membentak ibu, hanya karena si Nisa ini?" Bu Rika kembali
"Hidup itu nggak hanya makan cinta, Sep. Tapi uang! Kita itu butuh uang! Apa lagi kamu sekarang kan punya dua anak. Kalau memang memang mau mendekati Nisa lagi, jangan pakai hati, tapi kamu harus pintar memanfaatkan dia lagi."Ibu macam apa yang menyuruh anaknya melakukan hal yang buruk seperti ini?Bukankah seharusnya seorang ibu itu menjadi pendidik yang baik untuk anak anaknya. Ketika sang anak melakukan hal yang salah, ibu tentu harus mengingatkan dan menunjukan mana hal yang benar. Tapi ini apa?Bukannya menyuruh Asep untuk mencari pekerjaan agar bisa menyokong ekonomi keluarga, tetapi malah disuruh merampok ke Nisa lagi. Dasar!Asep mendengus kasar dan kembali menatap sang ibu."Sudah, Bu. Mulai sekarang, ibu nggak usah ngatur ngatur hidup Asep lagi." Surat cerai itu, sepertinya telah membuat Asep sedikit berubah pikiran. "Asep ingin benar benar berubah. Menjadi seorang suami yang baik untuk Nisa, dan ayah yang baik untuk Ais. Aku ingin memperbaiki Semuanya, Bu. Sudah cukup sela
"Terima kasih banyak, Pak." Dengan wajah yang terlihat puas dan dengan senyuman yang berkembang, Nisa akan segera mengakhiri obrolan melalui sambungan telepon itu."Tentu, saya akan lakukan sebaik mungkin." "Pokoknya saya juga masih terus butuh bantuan dari Pak Hendra. Semoga segera menghasilkan keputusan yang baik.Telepon akhirnya diakhiri.Nisa memejamkan matanya untuk beberapa saat."Akhirnya ... mudahkanlah segalanya ya Allah."Ternyata yang menelepon tadi adalah Pak Hendra, pengacara yang disewa oleh Nisa untuk mengurus perceraiannya. Hendra adalah pengacara yang sudah punya nama di kota ini. Saat pulang kampung dan mendengar cerita dari Bu Endang, dulu, Nisa pun langsung saat itu juga menelpon si pengacara. Banyak bukti yang dikumpulkan, tentu akan sangat memudahkan jalannya untuk berpisah dengan Asep. Kabar jika sidang pertama untuk kasus perceraian itu, sudah membuat Nisa amat senang."Mudahkanlah ya Allah. Tolong undangan." Masih sambil memejamkan mata sesaat, Nisa berdo
"Ehemm."Si sopir sekaligus assisten pribadi Ryan, Dio, berdehem ketika sejak beberapa saat yang lalu, menengok dari kaca spion bagian dalam, si bos nampak menghadap ke luar jendela sambil tersenyum.Tetapi nyatanya hal itu sama sekali tak menganggu Ryan."Apa pemandangan di luar sana begitu indah? Sehingga Tuan dari tadi terus tersenyum?" Dio kembali bertanya dengan senyum dikulum.Bukan berlaku kurang ajar, tetapi memang keduanya sekarang lebih dekat dari seorang majikan dan pekerja. Karena itu memang yang diinginkan Ryan, menganggap Dio sebagai teman Kali ini, ternyata kalimat itu mengusik Ryan. Pria berwajah tegas itu nampak sedikit terkejut, lalu tersenyum."Ya ... Begitu indah." Ryan sesaat menoleh pada Dio, tapi kembali menatap ke arah luar.Dio semakin melebarkan senyumannya. Meski dia tak puas dengan jawaban yang diberikan Ryan, tentu saja tak sopan rasanya jika harus bertanya lagi. Karena dia sudah tahu sebenarnya jawaban yang pasti.Setiap hari bersama, membuat dia tahu pe
“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak