"Ayo kita berangkat, mumpung masih pagi. Enak banyak embun dan masih segar udaranya."Selepas Subuh ini, aku mengajak Ais ke pasar. Letak pasar tradisional sekitar tiga puluh menit dari sini. "Ais sudah siap, Bu!" Putriku pun sama antusiasnya denganku.Seperti biasa, setiap akan ke luar rumah di pagi hari, aku akan menjadi orang yang paling was was. Mengintip dulu dari jendela, memastikan kondisi luar aman. Aman dari orang jahat yang masih mengintai dan aman dari paket paket misterius yang acap kali masih sering datang. Segera kami pun berangkat, menembus pagi yang masih lumayan gelap dengan embun dan kabut. Seperti mengenang memori, dulu saat aku masih kecil, ibu dan bapak sering mengajakku ke pasar selepas subuh seperti ini.Dulu juga, sebelum aku berangkat kerja ke luar negeri, aku pun sering berangkat ke pasar sendiri, sepagi ini.Sekarang aku seorang single parent, aku harus berani menghadapi semuanya seorang diri. Jika masih bisa diatasi, maka aku tak akan membutuhkan bantuan
Seorang wanita paruh baya dengan tubuh kurus kering dan terlihat kuyu. Dia juga sedang mengantri daging ayam sama seperti aku, dengan wajah murung dan nampak bersedih."Ibu ... "Lirih aku memanggilnya, wanita yang tepat berada di sampingku itu pun langsung menoleh. Sebuah senyum manis beliau berikan, dengan wajah kuyu."Siapa ya Neng?" Ramah dan halus sekali tutur bicaranya.Kuperhatikan lekat wajah itu, mencoba lagi mengingat jika aku tak salah tebak siapa wanita yang ada di depanku ini."Ibu Ratna, ya?"Wanita itu pun mengangguk lemah, "Neng ini siapa?"Ada rasa bahagia saat mendengar ucapan beliau itu. Langsung saja kuraih tangannya dan mencium punggung tangan tersebut."Ini Nisa, Bu. Masih ingat kan?"Ya, wanita tua di hadapanku ini, tak lain adalah Bu Ratna, ibu dari Eka. Sahabat yang kini menjadi pelakor itu."N-nak Nisa?" Wajah Bu Ratna, malah terlihat pias setelah aku mengatakan hal itu. "Temannya Eka?"Aku pun kembali mengangguk. "Ini Ais, Bu, putri saya. Apa masih ingat?"
"Eka itu keterlaluan, dia begitu jahat pada bayinya. Bahkan dia ingin melenyapkan nyawa bayi tak berdosa itu."Mulutku mengangga, kaget seketika. "Eka ... ingin menghabisi nyawa bayinya sendiri, Bu?" Aku segera bertanya.Merasa jika perbincangan ini akan sedikit panjang, aku memberikan ponsel pada Ais. Kubiarkan putriku itu bermain game sebentar, agar tak mendengarkan perbincangan kami.Bu Ratna mengangguk, sembari menghapus air mata dengan pucuk kerudungnya. "Ya Allah," ucapku sambil tak sadar mengusap dada. "Kenapa, Bu?"Jahat pada orang lain, seperti yang dilakukan Eka padaku, rasanya tak terlalu menjadi masalah. Sudah biasa hal seperti itu terjadi. Tetapi pada anaknya sendiri, darah daging yang dikandung bahkan dilahirkan dengan mempertaruhkan nyawa, adalah hal yang sangat mustahil bagiku.Hewan saja yang tak punya hati dan pikiran, sangat menyayangi anak anaknya, jadi manusia pun tak mungkin menyakiti anaknya sendiri.Bu Ratna masih menunduk dan menangis tanpa memberikan jawaba
"Bu. Yang tadi itu siapa sih?" Ais, bertanya setelah sarapan paginya habis."Yang mana, Sayang?" Aku memang tak mengerti, siapa yang ditanyakan oleh putriku itu.Setelah pulang dari pasar tadi, aku langsung memasak dan kini kami baru saja selesai sarapan pagi. Karena memang rencananya , setelah ini kami akan berangkat ke kebun binatang, sesuai dengan keinginan Ais."Nenek yang nangis di pasar itu loh, Bu."Kedua sudut bibirku tertarik, kukira Ais tak akan menanyakan tentang hal itu tadi. Ternyata dia penasaran juga.Sepertinya dia tak begitu mendengarkan perbincangan dengan Bu Ratna tadi, karena tadi dia begitu aktif bermain game.Jika memang seperti itu, maka kebetulan sekali. Karena Itu adalah masalah orang dewasa."Oh itu. Itu ibunya Tante Eka." Kukatakan saja, seperti apa adanya.Raut wajah putri kecilku itu, nampak langsung berubah. Wajahnya terlihat pias."Tante Eka yang jahat itu ya?"Ternyata, trauma terhadap Eka, masih dirasakan oleh Ais. Berarti memang luka yang ditorehkan
"Maaf, Ryan. Sepertinya kami tidak bisa."Seperti yang kukatakan tadi, aku tak bisa menerima ajakan Ryan itu. "Oke."Kata itu yang dipilih Ryan, sebelum akhirnya mengakhiri obrolan melalui sambungan telepon ini. Memasukkan ponsel ke kantung baju, dan kini beralih pada Ais, yang cemberut. Gadis kecil itu duduk lagi di meja makan, menaruh kepalanya di meja. Dia tak protes, tetapi tentu saja aku mengerti dengan gerak geriknya itu."Ais marah?" tanyaku lembut sambil mengusap pucuk kepalanya.Dia menggeleng, tapi matanya tak menatap mataku. Bibirnya pun nampak masih mengerucut. "Ais mau lihat hewan di kebun binatang hari ini?" Kuulas senyum terbaik dan tetap bertanya dengan lembut.Putriku itu mengangkat kepalanya. " Ais mau banget Bu. Ais pingin naik gajah." Masih kulihat raut kesedihan disana. Tapi memang itu adalah harapan besarnya. "Ayo berangkat." Ais melongo mendengar ucapanku tadi. "Berangkat? Bukannya tadi ibu tidak mau saat diajak Om Ryan?" Nah benar bukan? Pikiran Ais past
"Ya ampun, Asep!" Bu Rika menepuk jidatnya sambil berteriak. "Ini sudah jam berapa? Kenapa kamu masih tidur saja!"Wanita setengah baya yang baru saja pulang dari bersih bersih rumah tetangga itu, kini berkacak pinggang. "Asep! Bangun!"Ditarik kerudung yang dia pakai lalu dipukul pukulkan pada tubuh putranya yang dari tadi masih molor di kursi ruang tamu."Bangun nggak kamu, Sep! Atau ibu siram kamu pakai seember Air!" Suara perempuan itu makin melengking saja."Duh, Ibu ... ganggu orang tidur saja." Badan Asep menggeliat seperti ulat, pria yang wajahnya tampak makin kusut itu, mencoba meregangkan ototnya. "Masih pagi kok sudah teriak teriak."Bu Rika mendengus kasar, perkataan anaknya itu, sepertinya malah membuat dia semakin murka saja."Masih pagi kamu bilang?" Bu Rika menarik dagu Asep agar menoleh ke arah jam dinding. "Buka mata kamu lebat lebar, ini sudah jam dua belas siang!"Asep mengerjap ngerjapkan matanya dan menguceknya karena terasa masih berat. "Hah, iya. Sudah jam dua
"Iya kan, jika dia nggak pulang cepat. Kita masih punya banyak uang dan bisa hidup enak lagi!" Bu Rika telah kembali seperti semula. Mengolok sang menantu, adalah hal yang menyenangkan. Tok tok tok Tiba tiba saja pintu yang terbuka itu diketuk oleh petugas dari kantor pos."Pak Asep, ada surat untuk Anda."Kedua manusia itu pun langsung menoleh ke arah sumber suara."Surat, surat dari siapa ya Pak?" Asep langsung berdiri sembari merapikan rambutnya yang semrawut. Si pak pos malah langsung tersenyum menunjukkan giginya yang tidak Rata. "Surat panggilan cinta, Pak." Surat dengan amplop coklat kecil memanjang itu pun diberikan fan diterima oleh Asep. "Hah, surat cinta?"Si pak pos langsung pergi. Sementara Asep langsung membaca pengirim yang tertera di amplop. "Kurang ajar!" Spontan Asep mengumpat dengan raut wajah yang sudah penuh emosi. Pria itu pun menjatuhkan bobot tubuhnya dengan kasar kembali ke sofa. Bu Rika yang sejak tadi memperhatikan, tentu sangat penasaran. "Surat dari s
"Kalau sudah begini, kita harus gimana, Sep? Pokoknya ibu nggak mau tahu ya, kamu harus bisa membuat Nisa membatalkan gugatan ce----""Diam!"Asep yang begitu frustasi, membentak sang ibu dengan lantang. "Ibu bisa diam nggak sih, capek aku dengarnya!" Ditatapnya lekat sang ibu dengan mata bulat sempurna.Demi mendengar hardikan dari anaknya yang begitu keras, Bu Rika langsung memegang dadanya. "K-kamu membentak ibu, Sep?" Suara perempuan itu terdengar bergetar. Memang, ini adalah untuk pertama kalinya, saat tidak dalam keadaan mabuk, Asep membentak sang ibu. Karena memang sejak dulu, dia dikenal sebagai seorang anak yang penurut, lebih tepatnya anak mama. Yang akan selalu memakan mentah mentah apa yang diucapkan oleh sang ibu, tanpa menelaah dulu lebih lanjut. Ini terbukti sekali dalam hubungan rumah tangganya bersama dengan Nisa.Asep mendengus kasar dan kemudian mengalihkan pandangan. Tanpa berkata sepatah pun."Kamu berani membentak ibu, hanya karena si Nisa ini?" Bu Rika kembali