Bab 2
Sejak Kapan Kamu Selingkuh, Mas?"Mas Gilang?!" Suaraku bergetar.
Tanpa bisa kutahan tubuhku luruh ke lantai. Beruntung Keisha begitu erat dalam dekapanku, sehingga tubuhnya tidak bergeser sedikitpun, meski tubuhku terduduk di lantai keramik yang dingin.
"Tega sekali kamu, Mas. Mengapa kamu bercinta dengan wanita lain? Sejak kapan kamu selingkuh, Mas?" Suaraku tiba-tiba saja serak lantaran butiran air mata yang lolos dari sudut mataku.
Mas Gilang bangkit dan melepaskan penyatuannya dari wanita itu. Masih dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, pria itu menghampiriku kemudian berjongkok.
"Kamu sudah datang, Kayla? Baguslah! Dengan begitu, aku tidak perlu lagi mengurus Keisha. Kamu ini ya, kerjanya merepotkan suami. Sudah tahu punya bayi, masih maksa-maksa ikut reuni juga. Mending jika ada duitnya, ini malah buang-buang ongkos...." Ekspresi bicaranya sangat dingin dan datar.
"Mas!" pekikku tertahan. Netraku seketika tertuju pada sosok wanita yang juga masih tanpa busana. Wanita yang akhirnya menutupi tubuhnya dengan selimut, sementara pakaian mereka berceceran di sekitar ranjang.
"Tega sekali kamu bilang begitu, Mas! Keisha itu putri kita. Dan... ini siapa?" tunjukku pada wanita yang tengah duduk santai di ranjang.
"Namanya Anggita. Dia rekan kerjaku ke kantor. Ada yang salah?!" Ekspresi wajah tanpa dosa itu mengiringi suaranya yang masih dalam mode datar.
"Ya, tentu saja salah, karena kamu sudah mengkhianatiku! Dan perempuan ini...." Emosiku memuncak.
"Dasar perempuan nggak benar! Perebut suami orang!" Aku bermaksud akan mendekati perempuan itu, tapi tangan mas Gilang lebih dulu mencekalku sehingga aku kembali terduduk.
"Tutup mulutmu, Kayla!" Lelaki itu membentak seraya mendaratkan telapak tangannya di pipiku hingga tubuhku oleng untuk sesaat.
"Mas, kamu berani menamparku?" Ucapanku tersendat-sendat.
Rasa tak percaya mas Gilang tega menamparku. Bukannya minta maaf karena telah membuat kesalahan besar, dia malah menyakiti fisikku. Air mataku kembali jatuh berguguran, bahkan menitik di wajah Keisha yang bahkan sampai saat ini juga belum berhenti menangis.
Kami berdua bertangisan dengan sebab yang berbeda. Suara tangis kami begitu menyayat hati. Namun itu tak cukup membuat dua manusia yang sempat mempertonronkan live adegan 21+ itu merasakan iba di dalam hatinya.
Mas Gilang begitu tega melakukan ini, bahkan di hadapan wanita yang merupakan partner ranjangnya. Selama ini sikap Mas Gilang memang tidak begitu manis padaku, tetapi aku mengira kekakuan Mas Gilang selama ini hanya lantaran dia bukan pria romantis. Tapi ternyata....
Mata hatiku terbuka mulai saat ini. Kenyataannya dia bisa begitu mesra saat menggauli wanita lain.
"Kamu pikir aku banci?!" Lagi-lagi suaranya membentak dan itu membuat nyaliku ciut.
"Aku tidak bermaksud begitu." Aku tergagap. Lidahku bagai ada yang memegangi, sulit untuk digerakkan.
"Tapi apa yang kamu lakukan ini sudah keterlaluan. Kamu tega menodai pernikahan kita. Kenapa kamu bawa perempuan ini ke ranjang kita, Mas?" Susah payah aku bangkit, berusaha menegakkan tubuh, menantang wanita yang kini sudah kembali berpakaian, meskipun caranya berpakaian sungguh membuatku muak. Dia dengan sengaja memamerkan tubuhnya yang kotor, lantaran habis dicicipi oleh suamiku.
Aku berani taruhan, permainan panas itu bukan cuma kali ini saja. Entah kapan mereka mulai menjalin hubungan di luar urusan pekerjaan dan kantor.
"Apa salahku, Mas? Kenapa kamu tega membawa perempuan ini bercinta di ranjangku? Kamu kejam! Kamu bahkan membiarkan Keisha menangis lantaran kehausan. Dan... ini apa?!" Aku mengacungkan kotak bekas kemasan susu yang kutemukan tak sengaja di bawah meja tadi.
"Ya, memang aku yang meminta Mas Gilang untuk mengganti susu dan popok anak kalian. Kamu itu ya, jadi istri terlalu boros," sergah Anggita.
"Susu dan popok yang kamu beli itu barang premium. Mahal! Makanya jadi wanita itu harus tahu diri. Dasar nggak bisa mengatur uang suami! Pantas saja Mas Gilang sering mengeluh di kantor, karena belum apa-apa sudah kehabisan uang, padahal dia selalu bilang jika seluruh gajinya dikasihkan kepada istrinya. Oh, ternyata ini penyebabnya!" Wanita bernama Anggita itu berkacak pinggang sembari berbicara panjang lebar.
"Apa? Mas Gilang bilang begitu?" Dadaku seperti dipukul palu godam.
Aku menatap mas Gilang yang balas menatapku dengan senyum sinis. Seringainya sungguh mengerikan.
"Kamu pikir aku berbohong?" Anggita melangkah maju.
"Makanya jadi istri itu harus hemat. Kamu harus bisa menghemat uang suami agar kalian segera punya tabungan. Ini nggak! Bahkan Mas Gilang seringkali kasbon di kantor. Benar-benar memalukan! Kamu itu emang nggak becus! Jangan salahkan Mas Gilang jika ia berpaling kepadaku. Aku lebih mampu memuaskannya, termasuk...." Wanita itu memutar tubuhnya. Dia menunjuk ranjang yang barusan mereka gunakan untuk bercinta.
"Oh... jadi kamu merasa bangga karena bisa membuat suamiku berpaling dariku?" Tiba-tiba saja aku merasa muak dan entah keberanian apa yang membuatku bisa berkata seperti itu. Aku mengeratkan dekapanku kepada Keisha. Suara bayiku mulai melemah. Mungkin karena lelah menangis, sehingga ia akhirnya memejamkan mata dan tertidur.
"Tentu saja, Kayla. Anggita bisa memuaskanku di ranjang. Dan asal kamu tahu, kamu itu sekarang benar-benar membosankan!" Mas Gilang kembali mendorongku dengan keras, sehingga tubuhku mundur dan akhirnya merapat ke salah satu bidang dinding.
"Aku ini pria normal dan dipaksa puasa selama lebih dari 40 hari sejak kamu melahirkan. Mana kuat, Kayla?! Jangan salahkan aku jika menjalin hubungan dengan Anggita, lagi pula dibandingkan dengan Anggita, kamu itu nggak ada apa-apanya. Anggita itu cantik, terpelajar, dia juga wanita karir dan berpenghasilan sendiri. Nggak kayak kamu yang malah menjadi benalu!" sembur suamiku.
Sakit, tapi tak berdarah. Suamiku justru memilih membela wanita selingkuhannya.
"Aku menjadi benalu?!" Nafasku turun naik tak beraturan di barengi dengan sesak di dadaku.
"Kalau kamu memberikan nafkah untukku, itu adalah kewajibanmu, Mas. Kenapa kamu menganggap aku sebagai benalu?!"
Terlihat pria itu mendengus.
"Ya! Jika saja aku tidak membawa Anggita ke rumah ini untuk membantu mengurus Keisha, aku juga tidak tahu bahwa ternyata kamu benar-benar wanita boros! Susu dan popok Keisha saja habis jutaan setiap bulannya, belum lagi keperluan rumah yang lain. Kamu itu mikir nggak sih, gimana susah nyari uang?! Pantas saja kamu suka mengeluh kekurangan uang. Tahu begini, menyesal aku menikahimu!" Pria itu terus menceracau.
"Mas...." Aku meraih tangan mas Gilang
Namun pria yang bergelar suamiku itu malah menepisnya dengan kasar.
"Kalau kamu memang tidak suka denganku, kenapa dulu menikahiku?" Aku kembali berusaha menata emosi.
Apa yang diucapkan oleh Mas Gilang memang benar. Pengeluaran susu dan popok Keisha saja menyentuh angka jutaan setiap bulan, belum keperluan lain. Meskipun sebenarnya khusus untuk dua keperluan itu dibeli dengan uangku sendiri.
Aku hanya dijatah sama mas Gilang lima ratus ribu sebulan. Uang sisa gajinya diberikan kepada ibu dan adik perempuannya. Mas Gilang masih harus membiayai Gita yang kuliah di universitas swasta, yang tentu saja biayanya cukup mahal.
Kepalaku menggeleng. Entah apa yang diucapkan Mas Gilang kepada Anggita, sehingga Anggita bisa menuduhku seperti itu. Aku menatap Anggita. Wanita yang nampak tersenyum pongah. Dia mengibaskan rambutnya yang tergerai, lalu berkacak pinggang
"Anggita, silahkan kamu tanya kepada lelaki yang barusan mencicipi tubuhmu ini, berapa ia memberikan uang bulanan kepada istrinya?" Aku tersenyum pahit.
"Benar sekali, pengeluaran susu dan popok Keisha memang menyentuh angka jutaan rupiah setiap bulan, belum lagi keperluan rumah yang lain." Suaraku bergetar. Netraku melirik tajam Mas Gilang yang kembali mengangkat tangan.
"Silahkan tampar aku, Mas. Aku masih bisa terima jika kamu menamparku. Aku masih bisa terima jika kamu dan wanita selingkuhanmu ini menuduhku sebagai wanita boros. Aku masih bisa terima jika kamu mengkhianati kesucian pernikahan kita dan menggunakan ranjangku untuk bercinta dengan selingkuhanmu. Akan tetapi, aku nggak bisa terima jika kamu menelantarkan Keisha selama tiga hari ini dan jangan bilang jika kalian berdua lah yang membuat stok persediaan keperluan Keisha menghilang dari lemari. Apa kalian sudah menjualnya?" Aku menggelengkan kepala, berharap kali ini dugaanku salah.
Namun harapan tinggal harapan. Mas Gilang malah mengangguk.
"Memang iya. Kalau kamu sudah tahu, kenapa? Mau marah? Oh, silahkan!" tantang Anggita.
"Dan asal kamu tahu ya, Kayla, anak kamu itu nggak pantas memakai susu dan popok premium. Kamu itu cuma orang miskin yang beruntung bisa dinikahi oleh Gilang yang sekarang posisinya saja sudah menjadi manajer. Mas Gilang aja yang gampang kamu bodohi," imbuh perempuan itu menukas. Dia merapatkan tubuhnya kepada Gilang.
Hilang sudah rasa hormatku kepada suamiku. Apa yang ia lakukan sudah melampaui batas. Dia sudah menelantarkan Keisha, membawa wanita selingkuhannya ke rumah dan bercinta dengannya di ranjang kami, sementara buah hati kami menangis karena kehausan dan kelaparan. Dia benar-benar tak pantas disebut sebagai suami dan ayah.
Merasakan dadaku semakin sesak, aku lantas membuka mulut, dan meraup udara sebanyak-banyaknya hingga akhirnya aku merasa sedikit lebih lega.
"Baiklah, Mas. Setelah apa yang kamu lakukan selama tiga hari ini dan sambutan spesial yang kudapat ketika aku pulang dari acara reuni teman-teman angkatanku dulu, sekarang kamu mau apa?"
Rasa sakit dan kecewa yang menggunung kurasakan membuatku nekat menantangnya.
Mas Gilang dan Anggita saling berpandangan. Anggita mengedipkan sebelah matanya yang disambut anggukan kepala oleh mas Gilang.
"Aku ingin kita bercerai, Kayla...."
Bab 3Mari Kita Bercerai, MasTak ada lagi rasa sakit atas kalimat yang barusan meluncur dari mulut suamiku. Mungkin karena aku sudah terlanjur kecewa dengan semua pengkhianatan ini. Aku yang sudab terlanjur menantangnya dan aku harus siap dengan semua konsekuensinya.Lagi pula, siapa sudi menerima barang bekas?Lelaki yang sudah berkhianat, tak ubahnya seperti barang bekas yang seharusnya dimasukkan ke dalam tong sampah!"Mari kita bercerai, Mas! Kalau kamu menganggap aku sebagai wanita yang membosankan, baiklah. Aku rasa semuanya sudah final." Aku membawa tubuhku bergerak menuju pintu keluar dan segera keluar dari tempat itu.Tujuanku adalah kamar tidur utama yang biasa ditempati oleh mertuaku. Bukankah sekarang kami sudah bercerai? Ibu mertuaku dan adik perempuan Mas Gilang sudah tidak pantas lagi untuk tinggal di rumah ini.Aku bermaksud untuk membereskan barang-barang di sana. Sementara untuk Mas Gilang, pastinya dia masih punya tangan dan kaki untuk membereskan sendiri barang-ba
Bab 4 Suami Zalim? Icha menyambut kedatanganku dengan wajah keruh. Mungkin dia sudah menebak kedatanganku kali ini pasti dengan membawa masalah. Pasti terlihat jelas dari penampilanku yang kusut dengan travel bag dan buntalan yang berada di tangan kanan dan kiriku, sementara Keisha melekat erat dalam gendonganku. "Masuk dulu, Kayla. Kamu butuh tempat untuk membaringkan Keisha," ujar Icha yang lantas menggiringku ke kamar Gian, putranya yang baru berumur setahun. Aku hanya mengangguk lemah. Icha merebut travel bag dan buntalan kain dari tanganku, yang membuat bebanku seketika lebih ringan. kami melangkah beriringan masuk kamar Giant. Kamar bayi yang cukup luas. Di samping tempat tidur bayi, ada juga tempat tidur berukuran besar yang biasanya digunakan Icha untuk menyusui bayinya. Sahabatku itu sangat beruntung, karena ASI-nya mengalir cukup lancar, sehingga bisa memberikan ASI eksklusif, berbeda dengan diriku yang harus berurusan dengan susu formula. Berhubung tidak membawa stok s
Bab 5Bekerja Di Cafe"Kamu yakin mau kerja di cafe, Kay?" tanya pria itu padaku. Dicky menatapku lurus sembari menaikturunkan alisnya tanda keheranan. Lewat Icha, tentu saja dia tahu apa pekerjaanku sekarang."Aku hanya ingin punya penghasilan tetap, Mas. Penghasilan sebagai pembuat konten cerita itu tidak menentu. Ya, kalau performa ceritanya naik terus. Kalau jeblok, ya wassalam." Aku mengakhiri kalimat sembari tersenyum kecut. Dicky dan Icha tidak perlu tahu bagaimana sebenarnya lika-liku pembuat konten cerita sepertiku. Sekarang aku boleh dikatakan beruntung, karena beberapa novelku yang booming di beberapa aplikasi sekaligus, sehingga bisa meraih penghasilan yang cukup lumayan. Namun semua itu tidak menjamin. Salah satu novelku bahkan ada yang performanya jeblok dan sama sekali tidak mendapat penghasilan. Jadi semuanya bergantung pada banyaknya pembaca."Tapi sampai saat ini penghasilan kamu setiap bulan kan lumayan?" kejar Dicky. Dia melirik istrinya sekilas. Icha hanya memuta
Bab 6Kepergok Mantan MertuaTingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha. Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman
Bab 7TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. Tentu saja pria itu tersinggung. Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. "Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 10Perhatian KhususDia tidak mungkin memberitahu Kayla secepat ini atau Kayla akan lari darinya. Dari awal Ibra tertarik dengan Kayla karena paketnya. Bayi mungil bernama Keisha itu begitu menggemaskan. Dia bahkan ingin mengadopsinya andai boleh. Tapi tentu saja tidak boleh. Kayla pasti tidak akan merelakan bayinya untuk diasuh oleh siapapun. Jalan satu-satunya untuk bisa menjadi ayah Keisha adalah menikahi ibunya. Pria itu tersenyum samar, lalu bangkit dari kursi kebesarannya, keluar dari ruang rapat itu. Ya, Ibra keluar paling akhir bersama dengan Evan. "Kenapa Tuan tidak menempatkan Nona Kayla di ruangan terbaik kita di hotel ini?" usik Evan. Saat ini mereka telah berpindah masuk ke dalam ruang kerja Ibra."Karena aku tidak mau membuat wanita itu curiga. Dia belum boleh tahu siapa sebenarnya aku, Evan.""Tapi seandainya Nona Kayla tahu siapa Tuan, pasti dia akan senang sekali karena disukai oleh lelaki sehebat Tuan," sahut Evan.Namun Ibra justru menggeleng."Jika wanita lai
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan