Bab 4
Suami Zalim?Icha menyambut kedatanganku dengan wajah keruh. Mungkin dia sudah menebak kedatanganku kali ini pasti dengan membawa masalah. Pasti terlihat jelas dari penampilanku yang kusut dengan travel bag dan buntalan yang berada di tangan kanan dan kiriku, sementara Keisha melekat erat dalam gendonganku."Masuk dulu, Kayla. Kamu butuh tempat untuk membaringkan Keisha," ujar Icha yang lantas menggiringku ke kamar Gian, putranya yang baru berumur setahun.Aku hanya mengangguk lemah. Icha merebut travel bag dan buntalan kain dari tanganku, yang membuat bebanku seketika lebih ringan. kami melangkah beriringan masuk kamar Giant.Kamar bayi yang cukup luas. Di samping tempat tidur bayi, ada juga tempat tidur berukuran besar yang biasanya digunakan Icha untuk menyusui bayinya. Sahabatku itu sangat beruntung, karena ASI-nya mengalir cukup lancar, sehingga bisa memberikan ASI eksklusif, berbeda dengan diriku yang harus berurusan dengan susu formula.Berhubung tidak membawa stok susu dan popok Keisha, akhirnya aku meminta Icha untuk membeli kedua barang keperluan vital bayiku ini lewat layanan pesan antar."Tenanglah, Kay. Sebentar lagi barangnya akan sampai," beritahu Icha seraya menggeleng. Prihatin.Aku sudah menceritakan sekilas soal perceraianku dengan Mas Gilang kepada Icha saat kami berjalan dari ruang depan ke kamar bayi ini."Iya, Cha. Makasih banyak ya, udah mau direpotkan sama aku dan Keisha. Padahal kamu juga baru sampai, kan?" sahutku.Sama sepertiku, Icha pun juga menghadiri reuni itu, meninggalkan Gian yang di urus oleh suaminya. Hanya saja, nasib Gian tentu lebih baik, karena mendapatkan seorang ayah yang penyayang dan telaten mengurusnya. Sekilas aku menatap bayi berumur setahun itu yang tengah lelap dalam tidur di dalam box bayi."Iya, Kay. Nggak usah sungkan gitu. Kayak sama orang lain saja." Perempuan muda itu menepuk pundakku, lalu mengusap kepala bayiku.Keisha tidak rewel, meskipun belum menyusu sama sekali sejak dari rumah. Aku berinisiatif membuka pakaiannya. Beruntung, ada beberapa potong pakaian yang sempat terbawa yang bisa digunakan Keisha untuk pakaian ganti, meskipun kondisinya sudah tidak terlalu baik.Setelah selesai melepas pakaian bayiku, aku segera membawanya ke dalam kamar mandi."Astaga... kasihan sekali kamu, Nak!" pekikku tertahan. Mataku terbelalak melihat bercak kemerahan yang sangat banyak di selangkangan putri mungilku, bahkan sampai ke bokongnya.Keisha ruam parah, bahkan ada pup di popoknya. Kondisi popoknya pun sudah sangat penuh oleh pipis. Aku sampai tidak menyadarinya, karena waktu itu terbakar emosi melihat perselingkuhan Mas Gilang."Maafkan Mama, Nak. Mama nggak menyangka jika papa kamu setega itu. Padahal uang yang digunakan untuk membeli keperluan kamu berasal dari Mama, bukan dari Papa. Kenapa papa kamu sampai tega mengganti susu sama popokmu, bahkan menjual semua perlengkapan kamu?!" Aku menggigit bibirku hingga terasa sakit. Lebih sakit lagi di dalam hatiku melihat bayiku yang terlantar. Mas Gilang bukannya mengurus Keisha dengan baik saat kutinggalkan, malah membawa selingkuhannya ke rumah kami.Bukan tanpa alasan Keisha harus menggunakan susu dan popok premium. Sebab jika tidak menggunakan susu dan popok merk tertentu, maka Keisha akan menderita ruam parah dan diare berkepanjangan. Terbukti aku melihat pup-nya yang encer, padahal aku hanya meninggalkan Keisha selama tiga hari.Dan tampaknya, bayi kecilku itu sudah pup berkali-kali di dalam popoknya tanpa diganti oleh mas Gilang. Pantas saja akhirnya Keisha dehidrasi, kekurangan cairan.Aku menyabuni Keisha dengan hati-hati, terutama di bagian selangkangannya. Setelah memastikan tubuh bayiku bersih, aku mengangkat tubuh mungil itu, menyelimutinya dengan handuk, lalu keluar dari kamar mandi."Pesanan kamu belum datang, Kay. Keisha pakai popok punya Gian dulu ya. Nggak papa sedikit kebesaran, karena size-nya di atas Keisha. Daripada nggak pakai popok, kan repot. Takut dia pipis di mana-mana," ucap Icha memberikan sebuah popok kepadaku.Aku menerimanya sembari mengucapkan terima kasih.Aku menatap sekilas popok itu, kemudian tersenyum. Merk popok yang biasa dipakai Gian dan Keisha memang sama, hanya saja Gian sudah menggunakan size L, sementara Keisha baru size M.Tak masalah. Keisha bisa memakainya untuk sementara. aku memakaikan popok dengan cepat, kemudian memakaikannya pakaian. Bayiku terlihat lebih nyaman setelah selesai mandi dan berpakaian, hanya saja seringkali menjulurkan lidah.Aku tahu Keisha sangat kehausan."Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi susu buat kamu datang." Bibirku bergetar sembari mendaratkan ciuman di pipi bayiku."Habis berapa tadi, Cha?" tanyaku pada Icha yang nampak tengah sibuk mengutak-atik ponselnya."Ah, nggak usah lah, Kay. Kamu itu ya, udah kayak sama siapa aja," tolak Icha. Dia menaruh ponsel di atas ranjang, kemudian segera membawaku ke dalam pelukannya."Jangan gitu dong, Cha. Kita kan sama-sama ngerasain bagaimana memenuhi keperluan si kecil," ujarku tersenyum kecut.Aku meraih tas, mengeluarkan dompet, lalu mengambil empat lembar uang kertas berwarna merah. Aku mengangsurkan kepada Icha. Namun wanita itu mendorong tanganku, lalu menggeleng dengan tegas."Aku ikhlas kok bantu kamu. Nggak apa-apa, cuma satu kaleng susu dan satu ball popok. Sedikit itu, Kay." Icha terkekeh.Aku menggelengkan kepala. Bagi Icha, uang empat ratus ribu rupiah memang sedikit, tapi bagiku itu besar nilainya."Kamu ini, Cha. Jadinya aku kan nggak enak," keluhku. Mulutku seketika mengerucut. Diam-diam aku menyesal sudah menyuruh Icha untuk membeli susu dan popok Keisha. Tahu gini, mending aku beli sendiri menggunakan akun milikku.Tapi aku tak memaksa, takut Icha tersinggung. Akhirnya aku mengembalikan empat lembar uang itu ke dalam dompet, dan dompet itu kembali ku masukkan ke dalam tas."Jangan merasa nggak enak, Kay. Kita kan sudah lama temenan.""Oh, ya, sebaiknya kamu istirahat dulu di sini. Aku mau cek ke muka. Ada suara bel. Sepertinya Om kurir sudah datang mengantarkan pesanan kita." Wanita muda itu segera beranjak dari tempat tidur. Dan masih dengan menggenggam ponselnya, dia melangkah keluar dari kamar.***Keisha benar-benar tenang setelah aku memberinya susu yang biasa ia minum. Bayi kecil itu nampak lahap menyusu dari botol dot, kemudian akhirnya kembali tertidur dengan perut yang sedikit menggembung, mungkin lantaran kekenyangan.Aku menghela nafas lega. Kutatap wajah putriku yang terlihat begitu damai dalam tidurnya, sembari tanganku menggenggam ponsel. Mengingat kondisi Keisha yang masih rawan, aku memutuskan untuk membeli obat anti diare dan salep untuk mengobati ruam popok Keisha. Lagi-lagi melalui layanan pesan antar.Selesai bertransaksi, aku segera menutup aplikasi itu, lalu menggulir layar, masuk ke beberapa aplikasi tempat aku mengais rezeki selama tiga tahun terakhir ini. Senyumku seketika terbit melihat saldo yang terpampang di sana. Bulan ini penghasilanku mencapai sekitar sepuluh juta rupiah. Aku mengucap syukur dengan suara lirih. Bagi orang kaya, mungkin uang seperti itu tidak ada apa-apanya. Namun bagiku, ini sangat besar, mengingat kini aku hanya sendiri, ah, berdua dengan Keisha.Tapi beberapa detik kemudian aku menggeleng. Bukankah selama ini aku memang hanya berdua dengan Keisha?Dulu aku memang memiliki suami, tetapi suamiku sendiri tidak pernah ada untukku. Dia tidak peduli dengan semua pengeluaran di rumah. Selalu aku yang menutupi kekurangannya, bahkan seluruh pengeluaran Keisha full aku yang urus.Mungkin ini memang jalan yang terbaik, karena dengan begitu semua uang penghasilanku hanya untukku saja dan Keisha, tidak akan ada ceritanya berbagi dengan ibu mertua, adik ipar dan suami. Memang aku tidak pernah memberi mereka uang, tetapi tanpa sadar mereka numpang hidup di rumah, yang hampir semua keperluannya aku tanggung sendiri. Mas Gilang hanya memberi uang lima ratus ribu sebulan, padahal gajinya sebagai manajer di sebuah perusahaan berpuluh kali lipat dari itu.Suami zalim?Iya, puluhan detik kemudian aku menyadari, mungkin ini jalan Tuhan yang sudah diatur olehNya agar aku bisa terlepas dari laki-laki seperti itu.Namun ada sebuah pekerjaan yang harus aku selesaikan, menyangkut soal rumah. Aku harus segera menyelesaikannya dan merebut kembali rumah itu.Akan tetapi untuk satu dua bulan ke depan, mungkin aku harus menata hidupku dulu. Tidak mungkin aku mengandalkan Icha terus-menerus, apalagi harus menumpang di rumahnya. Aku harus segera mendapatkan tempat tinggal baru.Aku segera mengecek m-banking dan mendapati saldo rekeningku masih cukup untuk menyewa sebuah rumah. Syukurlah.Ada baiknya mas Gilang tidak tahu apa pekerjaanku yang sebenarnya, karena dengan begitu dia akan menganggap aku akan terpuruk setelah bercerai darinya. Dan yang lebih membuatku senang, aku berhasil menyelamatkan barang-barang berharga yang kumiliki, walaupun barang-barang bermerek seperti pakaian, tas, sepatu dan aksesoris wanita lainnya tidak bisa kubawa, karena Anggita melarangnya. Namun, aku bisa membawa sebuah kotak perhiasan emas, tiga kartu debit milikku dan ponsel berlogo apel digigit yang keberadaannya memang tidak diketahui oleh Mas Gilang. Lelaki itu memang tidak memperhatikan barang apa saja yang aku miliki.Sepertinya Tuhan memang begitu baik kepadaku, karena di saat akan berangkat menghadiri acara reuni itu, aku membawa barang-barang berharga itu dan kumasukkan ke dalam travel bag. Itulah kenapa aku bisa membawa barang-barang itu tanpa sepengetahuan Anggi ataupun Mas Gilang."Mas, di Gian Parfum atau di cafe, ada lowongan pekerjaan nggak buat Kayla?" tanya Icha kepada sang suami. Saat ini kami bertiga tengah makan malam.Bab 5Bekerja Di Cafe"Kamu yakin mau kerja di cafe, Kay?" tanya pria itu padaku. Dicky menatapku lurus sembari menaikturunkan alisnya tanda keheranan. Lewat Icha, tentu saja dia tahu apa pekerjaanku sekarang."Aku hanya ingin punya penghasilan tetap, Mas. Penghasilan sebagai pembuat konten cerita itu tidak menentu. Ya, kalau performa ceritanya naik terus. Kalau jeblok, ya wassalam." Aku mengakhiri kalimat sembari tersenyum kecut. Dicky dan Icha tidak perlu tahu bagaimana sebenarnya lika-liku pembuat konten cerita sepertiku. Sekarang aku boleh dikatakan beruntung, karena beberapa novelku yang booming di beberapa aplikasi sekaligus, sehingga bisa meraih penghasilan yang cukup lumayan. Namun semua itu tidak menjamin. Salah satu novelku bahkan ada yang performanya jeblok dan sama sekali tidak mendapat penghasilan. Jadi semuanya bergantung pada banyaknya pembaca."Tapi sampai saat ini penghasilan kamu setiap bulan kan lumayan?" kejar Dicky. Dia melirik istrinya sekilas. Icha hanya memuta
Bab 6Kepergok Mantan MertuaTingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha. Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman
Bab 7TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. Tentu saja pria itu tersinggung. Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. "Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 10Perhatian KhususDia tidak mungkin memberitahu Kayla secepat ini atau Kayla akan lari darinya. Dari awal Ibra tertarik dengan Kayla karena paketnya. Bayi mungil bernama Keisha itu begitu menggemaskan. Dia bahkan ingin mengadopsinya andai boleh. Tapi tentu saja tidak boleh. Kayla pasti tidak akan merelakan bayinya untuk diasuh oleh siapapun. Jalan satu-satunya untuk bisa menjadi ayah Keisha adalah menikahi ibunya. Pria itu tersenyum samar, lalu bangkit dari kursi kebesarannya, keluar dari ruang rapat itu. Ya, Ibra keluar paling akhir bersama dengan Evan. "Kenapa Tuan tidak menempatkan Nona Kayla di ruangan terbaik kita di hotel ini?" usik Evan. Saat ini mereka telah berpindah masuk ke dalam ruang kerja Ibra."Karena aku tidak mau membuat wanita itu curiga. Dia belum boleh tahu siapa sebenarnya aku, Evan.""Tapi seandainya Nona Kayla tahu siapa Tuan, pasti dia akan senang sekali karena disukai oleh lelaki sehebat Tuan," sahut Evan.Namun Ibra justru menggeleng."Jika wanita lai
Bab 11Nggak Suka Barang BekasIcha terkekeh. Suara derai tawanya sontak mengalihkan perhatian dua bayi kami. Dua pasang mata bulat dan bening itu menatap Icha. Mungkin mereka kebingungan karena melihat ibu dan tantenya tertawa-tawa. Gaya berbicara Icha memang ceplas-ceplos, tapi itu tak masalah buatku. Icha tipe perempuan yang hangat. Dia pun selalu tanggap menghadapi keluh kesahku."Aku tidak sedang berasumsi, Kay, tapi biasanya dugaanku ini menjadi kenyataan. Aku berani taruhan deh, Mas Ibra memang menaruh hati kepadamu. Hanya saja aku melihatnya kok seperti ragu-ragu gitu." Kali ini suara Icha dipelankan. Mungkin tak mau suaranya kembali menarik perhatian Keisha dan Gian."Kok ragu-ragu? Dilihat dari sisi mana yang membuat kamu menduga seperti itu?" Terus terang saja, di cafe aku memang jarang berbicara panjang lebar dengan mas Ibra. Interaksi kami hanya terjadi saat Mas Ibra akan membayar tagihan makanan dan minumannya. Selebihnya Mas Ibra lebih sering mengajak Keisha ngobrol.
Bab 12Jangan Coba-coba Mengguruiku! "Enggak, Kay. Tapi aku punya keponakan. Namanya Eva. Dia anak Kak Elif. Kak Elif itu saudara tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku dengan mantan istri pertamanya."Meski mas Ibra menjelaskan secara perlahan, tapi kepalaku pusing dibuatnya. Aku hanya bisa mengangguk dan tak bertanya lagi. Tidak etis rasanya menanyakan soal kehidupan pribadi pria di dekatku ini secara mendetail. Kami belum terlalu dekat dan hubungan kami hanya sebatas karyawan cafe dengan pengunjung. Kebetulan saja dia memang terlihat menyukai Keisha. Namun bukan berarti dia menyukai ibunya, kan?Analisa Icha memang ngawur!Aku selalu mensugesti diriku bahwa mas Ibra memang menyukai anak kecil, sehingga dia pun menyukai Keisha yang memang tiap hari aku bawa dan ada di cafe ini. Bukan cuma mas Ibra, tetapi para pengunjung lain pun juga terlihat menyukai Keisha yang memang cantik dan menggemaskan. Aku patut bersyukur, meskipun ayah kandungnya tidak peduli, tetapi Keisha menerima
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan