Bab 7
TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam.Tentu saja pria itu tersinggung.
Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang
"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin.
"Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang disini tahu bagaimana buruknya mantan suami dan mertua memperlakukanku.
Namun suara tawa itu terdengar begitu membahana.
"Saya adalah ibunya dan sangat wajar jika seorang anak laki-laki menafkahi ibunya sendiri. Bukankah apa yang kita berikan kepada seorang ibu akan menjadi jalan rezeki kita berikutnya?" balas mama Kumala tak mau kalah.
Wanita itu maju selangkah, mendekat kepadaku. Nafasku seketika turun naik. Dan dengan tangan gemetar, aku mendekap erat Keisha yang akhirnya terbangun lantaran keributan yang terjadi di teras, atau mungkin juga karena udara dingin yang tiba-tiba saja menyergap, meskipun tubuhnya dibalut oleh jaket dan selimut.
"Maaf Bu, jangan menuduh seseorang tanpa bukti. Memangnya ada buktinya jika Kayla ini perempuan yang nggak benar? Setahu saya, Kayla ini bekerja di sebuah cafe milik temannya dan saya adalah pengunjung di cafe itu yang kebetulan melihat dia gelisah lantaran tak bisa pulang. Saya menawarkan tumpangan karena kasihan dengan bayinya. Ibu bayangkan saja jika Kayla harus pulang dengan menggunakan motor, hujan-hujanan dengan membawa bayinya...." Suara mas Ibra kembali terdengar setelah cukup lama pria itu diam.
"Tutup mulutmu! Maling mana ada yang mau ngaku?!" bentak mama Kumala. Perempuan tua itu spontan menghadap mas Ibra lalu menunjuk-nunjuk pria itu. "Kamu itu juga lelaki enggak benar. Lagaknya sudah seperti pahlawan, padahal kamu baru saja dipuasin sama Kayla. Iya, kan?"
"Jangan coba-coba turut campur urusan keluarga saya. Saya ini sedang memberikan pelajaran kepada mantan menantu saya ini agar menjadi janda yang baik, bukan malah jadi janda kegatalan seperti ini!"
"Benarkah?" Aku mengangkat wajah.
"Kenapa ya aku jadi berpikiran jika Mama tengah berusaha mempermalukanku di hadapan semua orang?"ucapku lagi.
"Tetapi asal Mama tahu, aku tidak seburuk yang Mama pikirkan. Apa yang dikatakan oleh Mas Ibra itu benar. Sekarang aku bekerja di sebuah Cafe. Jika aku memang memiliki barang-barang yang bagus, itu karena aku bekerja, tetapi bukan melakukan pekerjaan haram seperti yang Mama tufuhkan." Aku menghela nafas.
"Lagi pula, semua barang-barang itu aku tinggal di rumahku yang lama. Selingkuhan anak mama itu yang melarangku untuk membawa barang-barangku sendiri. Jangan mencoba memutar balikkan fakta, Ma. Sebaiknya Mama memberi pelajaran kepada anak mama sendiri, kenapa dia bisa sampai selingkuh, bahkan tega menelantarkan anaknya sendiri!"
Kalimat demi kalimat meluncur dari mulutku dan itu membuat mama Kumala menggeram. "Kurang ajar! Dasar tidak tahu sopan santun! Sudah salah, masih ngeles lagi! Kamu itu sudah salah karena jadi perempuan nggak bener, nggak punya moral, malah menuduh Gilang yang enggak-enggak!"
"Aku tidak menuduhnya, tetapi aku menyaksikan sendiri Mas Gilang bergumul bersama Anggi, rekan kerjanya di ranjang kami dan aku percaya itu bukan pertama kalinya terjadi. mereka sudah menjalin hubungan sejak lama." Kali ini suaraku sengaja dibuat lantang, biar semua orang tahu perselingkuhan Mas Gilang. Tidak ada gunanya aku menutup aib itu Ibunya saja begitu keterlaluan kepadaku, apa aku salah jika membalas kebusukannya dengan membeberkan fakta perselingkuhan anaknya?
"Tidak mungkin! Anak saya adalah pria setia. Justru kamu yang selingkuh, mencari para pria kaya untuk di poroti uangnya!" Mama Kumala menunjuk mobil mas Ibra, lalu beralih menatap pria itu, memindai penampilannya dari atas sampai bawah.
"Diam! Mau sampai kapan perdebatan ini terus berlangsung?! Kaki saya sudah pegal dari tadi!" lerai Bu RT seraya menatap ibu Riana, pemilik rumah kontrakan yang aku tempati saat ini
"Saya tidak mau ada perempuan yang nggak benar tinggal di lingkungan ini, karena akan membawa dampak buruk. Dia memang baru sekali diantar oleh laki-laki, tapi bukan berarti ini tidak akan terjadi lagi!" Bu RT menunjuk kepadaku.
Aku menatap Mas Ibra. Pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun selain hanya tersenyum samar.
"Iya, Bu RT. Saya juga tidak mau ada perempuan yang nggak benar tinggal di tempat ini. Saya baru tahu siapa Kayla dari cerita Ibu Kumala yang kebetulan memang menginap di rumah Bu Susi, tetangga sebelah rumah saya. Saya nggak nyangka saja jika selama ini saya menerima perempuan nggak bener untuk menempati rumah kontrakan saya. Kemarin saya terima karena penampilannya yang seperti perempuan baik-baik. Eh, nggak tahunya...."
Aku sebenarnya masih ingin protes, tetapi aku tahan. Netraku menatap mantan ibu mertuaku yang tampak tersenyum, senyum sinis. Sesaat kemudian aku menyadari, tampaknya ini memang sudah direncanakannya. Apakah mama Kumala punya mata-mata di lingkungan ini, mengingat posisi rumah kontrakan ini dengan rumahku yang lama jaraknya cukup jauh?
Ibu Riana menatapku dalam-dalam.
"Saya tidak ingin berbuat jahat sama kamu, tetapi tolong kerjasamanya. Tolong segera kemasi bareng-bareng kamu dan segera angkat kaki dari rumah kontrakan saya malam ini juga. Saya tidak mau bermasalah dengan orang-orang yang tinggal di lingkungan ini," putus perempuan setengah baya itu.
"Tapi Bu!" Aku tersentak kaget. Hujan masih belum berhenti, bahkan pakaianku sudah basah karena aku berdiri di pinggir teras dan kena terpaan air hujan.
"Tidak ada bantahan, Kayla. Tolong segera pergi dari rumah kontrakan saya malam ini juga. Saya beri waktu kamu satu jam untuk berkemas, setelah itu pergilah. Uang yang kamu berikan untuk mengontrak rumah ini akan saya kembalikan separuh." Ibu Riana segera mengambil dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepadaku.
Dan lantaran aku tidak kunjung menerimanya, beliau menjejalkan lembaran merah itu ke dalam selimut Keisha.
Aku menatap nanar. Aku menghitung sekilas, lembaran uang itu hanya beberapa lembar, padahal aku sudah membayar uang sewa selama 6 bulan ke depan. Sementara aku baru menempati rumah ini selama dua bulan dan ibu Riana hanya memberikan uang beberapa ratus ribu kepadaku dari harga sewa yang ditetapkan oleh beliau dulu.
Ini tidak adil!
Janjinya memberikan separuh uangku. Tapi kenapa hanya mengembalikan beberapa ratus ribu?
Tampaknya ibu Riana dan mantan ibu mertuaku ini sama saja!
"Sudahlah, Kayla. Lingkungan disini tampaknya bukan lingkungan yang baik untuk kamu dan Keisha. Ada baiknya kamu memang harus meninggalkan tempat ini. Aku akan membantumu mencari tempat tinggal yang baru." Suara mas Ibra terdengar lagi di saat bibirku bergetar ingin mengucapkan sesuatu untuk memprotes keputusan ibu Riana yang sepihak dan uang yang beliau berikan.
"Mohon izin untuk masuk ke rumahmu. Mas akan bantu membawa barang-barangmu, bawa barang yang penting saja ya. Nanti di tempat yang baru kita bisa membelinya lagi," ujar mas Ibra.
Tanpa menunggu persetujuanku, Mas Ibra menadahkan tangan, meminta kunci. Aku terpaksa memberikan kunci yang ku ambil dari dalam tas selempangku.
Orang-orang itu, termasuk mama Kumala masih saja berdiri di teras sampai akhirnya Mas Ibra keluar lagi dari rumah dengan membawa beberapa koper. Setelah Mas Ibra keluar, aku segera masuk ke dalam rumah, menuju kamar tidur kami dan membuka sebuah lemari. Lemari itu memang terkunci, sehingga Mas Ibra tidak bisa membukanya. Masih dengan menggendong Keisha, aku mengambil satu tas dari dalam lemari. Aku memasukkan satu kotak perhiasan emas dan barang-barang berharga lainnya milikku ke dalam tas. Setelah menutup tas berukuran sedang itu, akhirnya aku pun keluar.
"Sudah siap, Kayla?" tanya Mas Ibra.
Aku mengangguk. Diiringi dengan derasnya hujan, akhirnya mobil pun keluar dari halaman rumah. Sempat kulihat dari balik kaca mobil, orang-orang yang menatap kepergianku, terutama mama Kumala yang nampak tersenyum puas.
Kedua tanganku seketika mengepal.
"Jangan merasa menang dulu, Ma. Ingat, karma itu akan berlaku," ucapku dalam hati.
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 10Perhatian KhususDia tidak mungkin memberitahu Kayla secepat ini atau Kayla akan lari darinya. Dari awal Ibra tertarik dengan Kayla karena paketnya. Bayi mungil bernama Keisha itu begitu menggemaskan. Dia bahkan ingin mengadopsinya andai boleh. Tapi tentu saja tidak boleh. Kayla pasti tidak akan merelakan bayinya untuk diasuh oleh siapapun. Jalan satu-satunya untuk bisa menjadi ayah Keisha adalah menikahi ibunya. Pria itu tersenyum samar, lalu bangkit dari kursi kebesarannya, keluar dari ruang rapat itu. Ya, Ibra keluar paling akhir bersama dengan Evan. "Kenapa Tuan tidak menempatkan Nona Kayla di ruangan terbaik kita di hotel ini?" usik Evan. Saat ini mereka telah berpindah masuk ke dalam ruang kerja Ibra."Karena aku tidak mau membuat wanita itu curiga. Dia belum boleh tahu siapa sebenarnya aku, Evan.""Tapi seandainya Nona Kayla tahu siapa Tuan, pasti dia akan senang sekali karena disukai oleh lelaki sehebat Tuan," sahut Evan.Namun Ibra justru menggeleng."Jika wanita lai
Bab 11Nggak Suka Barang BekasIcha terkekeh. Suara derai tawanya sontak mengalihkan perhatian dua bayi kami. Dua pasang mata bulat dan bening itu menatap Icha. Mungkin mereka kebingungan karena melihat ibu dan tantenya tertawa-tawa. Gaya berbicara Icha memang ceplas-ceplos, tapi itu tak masalah buatku. Icha tipe perempuan yang hangat. Dia pun selalu tanggap menghadapi keluh kesahku."Aku tidak sedang berasumsi, Kay, tapi biasanya dugaanku ini menjadi kenyataan. Aku berani taruhan deh, Mas Ibra memang menaruh hati kepadamu. Hanya saja aku melihatnya kok seperti ragu-ragu gitu." Kali ini suara Icha dipelankan. Mungkin tak mau suaranya kembali menarik perhatian Keisha dan Gian."Kok ragu-ragu? Dilihat dari sisi mana yang membuat kamu menduga seperti itu?" Terus terang saja, di cafe aku memang jarang berbicara panjang lebar dengan mas Ibra. Interaksi kami hanya terjadi saat Mas Ibra akan membayar tagihan makanan dan minumannya. Selebihnya Mas Ibra lebih sering mengajak Keisha ngobrol.
Bab 12Jangan Coba-coba Mengguruiku! "Enggak, Kay. Tapi aku punya keponakan. Namanya Eva. Dia anak Kak Elif. Kak Elif itu saudara tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku dengan mantan istri pertamanya."Meski mas Ibra menjelaskan secara perlahan, tapi kepalaku pusing dibuatnya. Aku hanya bisa mengangguk dan tak bertanya lagi. Tidak etis rasanya menanyakan soal kehidupan pribadi pria di dekatku ini secara mendetail. Kami belum terlalu dekat dan hubungan kami hanya sebatas karyawan cafe dengan pengunjung. Kebetulan saja dia memang terlihat menyukai Keisha. Namun bukan berarti dia menyukai ibunya, kan?Analisa Icha memang ngawur!Aku selalu mensugesti diriku bahwa mas Ibra memang menyukai anak kecil, sehingga dia pun menyukai Keisha yang memang tiap hari aku bawa dan ada di cafe ini. Bukan cuma mas Ibra, tetapi para pengunjung lain pun juga terlihat menyukai Keisha yang memang cantik dan menggemaskan. Aku patut bersyukur, meskipun ayah kandungnya tidak peduli, tetapi Keisha menerima
Bab 13Ke Kantor Pengacara Pemikiran macam apa ini? Bahkan aku sangsi, apakah mantan suamiku ini masih waras atau tidak. Dia yang seenaknya menceraikanku dan seenaknya pula mengajakku kembali. Memangnya aku barang, yang bisa seenaknya di buang, lalu dipungut kembali?! Aku mengupat dalam hati sembari menatap horor pria yang pernah menghalalkanku atas nama Tuhan itu. "Mas pikir aku mau menerima ajakan Mas?! Mas pikir aku bisa menerima perselingkuhanmu dengan Anggi?! Bahkan Mas dengan gampangnya bilang akan bersikap adil. Keadilan macam apa yang ada di dalam versi Mas? Ini bukan poligami, Mas. Ini perselingkuhan, perzinahan, dan kalaupun Mas menikahi Anggi, tetap saja apa yang Mas lakukan sebelum menikahi Anggi adalah sebuah kesalahan besar. " Tenggorokanku terasa tercekat. Namun kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Kamu benar-benar nggak bisa di ajak baik-baik, Kayla. Aku bilang pulang ke rumah, ya pulang!" Pria itu maju selangkah demi selangkah, kian mendekat. Ta
Bab 14Selangkah Lebih Maju "Nikah sama Om ganteng. Ehem ehem...."Aku memukul pelan lengan sahabatku. Aku tahu siapa yang dimaksud oleh Icha. Kedekatanku dengan mas Ibra membuat sahabatku ini berpikiran yang berbeda. Padahal aku meyakini jika mas Ibra hanya menyukai Keisha. Mas Ibra adalah penyuka anak kecil. Aku pun menceritakan pada Icha bahwa pria itu sudah terbiasa mengurus keponakannya, satu-satunya informasi yang aku dapat dan itu menguatkan dugaanku, bahwa Mas Ibra tidak menyukaiku. Dia hanya menyukai Keisha."Kamu itu terlalu polos, Kay. Tapi tidak apa-apa. Suatu saat kamu akan mengerti." Wanita muda itu setengah bergumam. Namun suaranya masih bisa aku dengar. Icha hanya bersuara pelan lantaran melihat pak Ricky beserta seorang asistennya tengah berjalan menghampiri kami.Urusan dengan pengacaraku berlangsung dengan cepat. Aku hanya perlu menyerahkan berkas-berkas yang sudah ada padaku. Berkas-berkas dari mas Gilang akan diambil sendiri oleh pihak pengacaraku, karena aku men
Bab 15Ajakan Makan MalamSetelah mengantar Kayla dan Keisha kembali ke rumah, Ibra langsung tancap gas menuju kantornya, Almeera Hotel. Evan sudah menghubunginya sejak tadi, karena siang ini dia harus mengadakan pertemuan dengan orang-orang kepercayaannya untuk membahas soal persiapan hotelnya dalam menyambut tamu-tamu agung yang akan membooking hotelnya. Sebulan lagi akan diadakan konferensi tingkat dunia dan dihadiri oleh para petinggi negara masing-masing. Almeera Hotel mendapat kepercayaan menjadi salah satu tempat menginap para petinggi negara. Tentu sudah terbayang keuntungan yang akan didapat. Namun bukan berarti tidak ada kerja keras yang harus mereka tunaikan.Mereka juga harus mentaati standar yang sudah dibuat oleh sistem protokoler. Tidak mudah. Namun bukan berarti mustahil. Maka untuk memastikan kesiapan itu, siang ini Ibra akan memimpin rapat."Semua orang sudah hadir di ruangan, Tuan. Kami tinggal menunggu Tuan untuk memulai rapat," ujar Evan sembari membungkukkan se
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan