Bab 11Nggak Suka Barang BekasIcha terkekeh. Suara derai tawanya sontak mengalihkan perhatian dua bayi kami. Dua pasang mata bulat dan bening itu menatap Icha. Mungkin mereka kebingungan karena melihat ibu dan tantenya tertawa-tawa. Gaya berbicara Icha memang ceplas-ceplos, tapi itu tak masalah buatku. Icha tipe perempuan yang hangat. Dia pun selalu tanggap menghadapi keluh kesahku."Aku tidak sedang berasumsi, Kay, tapi biasanya dugaanku ini menjadi kenyataan. Aku berani taruhan deh, Mas Ibra memang menaruh hati kepadamu. Hanya saja aku melihatnya kok seperti ragu-ragu gitu." Kali ini suara Icha dipelankan. Mungkin tak mau suaranya kembali menarik perhatian Keisha dan Gian."Kok ragu-ragu? Dilihat dari sisi mana yang membuat kamu menduga seperti itu?" Terus terang saja, di cafe aku memang jarang berbicara panjang lebar dengan mas Ibra. Interaksi kami hanya terjadi saat Mas Ibra akan membayar tagihan makanan dan minumannya. Selebihnya Mas Ibra lebih sering mengajak Keisha ngobrol.
Bab 12Jangan Coba-coba Mengguruiku! "Enggak, Kay. Tapi aku punya keponakan. Namanya Eva. Dia anak Kak Elif. Kak Elif itu saudara tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku dengan mantan istri pertamanya."Meski mas Ibra menjelaskan secara perlahan, tapi kepalaku pusing dibuatnya. Aku hanya bisa mengangguk dan tak bertanya lagi. Tidak etis rasanya menanyakan soal kehidupan pribadi pria di dekatku ini secara mendetail. Kami belum terlalu dekat dan hubungan kami hanya sebatas karyawan cafe dengan pengunjung. Kebetulan saja dia memang terlihat menyukai Keisha. Namun bukan berarti dia menyukai ibunya, kan?Analisa Icha memang ngawur!Aku selalu mensugesti diriku bahwa mas Ibra memang menyukai anak kecil, sehingga dia pun menyukai Keisha yang memang tiap hari aku bawa dan ada di cafe ini. Bukan cuma mas Ibra, tetapi para pengunjung lain pun juga terlihat menyukai Keisha yang memang cantik dan menggemaskan. Aku patut bersyukur, meskipun ayah kandungnya tidak peduli, tetapi Keisha menerima
Bab 13Ke Kantor Pengacara Pemikiran macam apa ini? Bahkan aku sangsi, apakah mantan suamiku ini masih waras atau tidak. Dia yang seenaknya menceraikanku dan seenaknya pula mengajakku kembali. Memangnya aku barang, yang bisa seenaknya di buang, lalu dipungut kembali?! Aku mengupat dalam hati sembari menatap horor pria yang pernah menghalalkanku atas nama Tuhan itu. "Mas pikir aku mau menerima ajakan Mas?! Mas pikir aku bisa menerima perselingkuhanmu dengan Anggi?! Bahkan Mas dengan gampangnya bilang akan bersikap adil. Keadilan macam apa yang ada di dalam versi Mas? Ini bukan poligami, Mas. Ini perselingkuhan, perzinahan, dan kalaupun Mas menikahi Anggi, tetap saja apa yang Mas lakukan sebelum menikahi Anggi adalah sebuah kesalahan besar. " Tenggorokanku terasa tercekat. Namun kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Kamu benar-benar nggak bisa di ajak baik-baik, Kayla. Aku bilang pulang ke rumah, ya pulang!" Pria itu maju selangkah demi selangkah, kian mendekat. Ta
Bab 14Selangkah Lebih Maju "Nikah sama Om ganteng. Ehem ehem...."Aku memukul pelan lengan sahabatku. Aku tahu siapa yang dimaksud oleh Icha. Kedekatanku dengan mas Ibra membuat sahabatku ini berpikiran yang berbeda. Padahal aku meyakini jika mas Ibra hanya menyukai Keisha. Mas Ibra adalah penyuka anak kecil. Aku pun menceritakan pada Icha bahwa pria itu sudah terbiasa mengurus keponakannya, satu-satunya informasi yang aku dapat dan itu menguatkan dugaanku, bahwa Mas Ibra tidak menyukaiku. Dia hanya menyukai Keisha."Kamu itu terlalu polos, Kay. Tapi tidak apa-apa. Suatu saat kamu akan mengerti." Wanita muda itu setengah bergumam. Namun suaranya masih bisa aku dengar. Icha hanya bersuara pelan lantaran melihat pak Ricky beserta seorang asistennya tengah berjalan menghampiri kami.Urusan dengan pengacaraku berlangsung dengan cepat. Aku hanya perlu menyerahkan berkas-berkas yang sudah ada padaku. Berkas-berkas dari mas Gilang akan diambil sendiri oleh pihak pengacaraku, karena aku men
Bab 15Ajakan Makan MalamSetelah mengantar Kayla dan Keisha kembali ke rumah, Ibra langsung tancap gas menuju kantornya, Almeera Hotel. Evan sudah menghubunginya sejak tadi, karena siang ini dia harus mengadakan pertemuan dengan orang-orang kepercayaannya untuk membahas soal persiapan hotelnya dalam menyambut tamu-tamu agung yang akan membooking hotelnya. Sebulan lagi akan diadakan konferensi tingkat dunia dan dihadiri oleh para petinggi negara masing-masing. Almeera Hotel mendapat kepercayaan menjadi salah satu tempat menginap para petinggi negara. Tentu sudah terbayang keuntungan yang akan didapat. Namun bukan berarti tidak ada kerja keras yang harus mereka tunaikan.Mereka juga harus mentaati standar yang sudah dibuat oleh sistem protokoler. Tidak mudah. Namun bukan berarti mustahil. Maka untuk memastikan kesiapan itu, siang ini Ibra akan memimpin rapat."Semua orang sudah hadir di ruangan, Tuan. Kami tinggal menunggu Tuan untuk memulai rapat," ujar Evan sembari membungkukkan se
Bab 16Ajakan Makan Malam (2)Klien?Dibenakku seketika menari-nari bayangan tentang jamuan makan malam resmi dengan busana yang serba wah. Apalagi mas Ibra harus berhadapan dengan orang-orang yang akan bekerja sama dengan perusahaan tempatnya bekerja."Rasanya aku nggak pantas menemani Mas. Sebaiknya Mas cari wanita lain saja deh. Aku mungkin nanti akan memalukan Mas Ibra saja di sana." Aku menggeleng sembari mengamati penampilanku. Saat ini aku hanya mengenakan celana panjang lebar dengan atasan kaos berlengan panjang.Aku tidak terlalu suka berdandan, apalagi menggunakan make-up. Sehari-hari aku hanya mengenakan pakaian yang memang nyaman kukenakan. Celana atau rok panjang dengan blouse berlengan panjang pula. Tak lupa, jilbab instan melekat di kepalaku.Jujur, aku merasa inscure."Apanya yang nggak pantas sih, Kay?" Mas Ibra menyahut."Jika aku mengajakmu, berarti aku menganggap kamu pantas. Kamu nggak perlu takut. Ini hanya jamuan makan malam biasa dan kebetulan pertemuannya diad
Bab 17Sayang, Kamu Menyusulku?Mas Gilang berdiri dan disusul oleh Anggi. Sementara beberapa orang temannya nampak saling berpandangan, kecuali Mas Ibra yang segera berdiri dan menghampiriku."Sayang, kamu menyusulku?" Suaranya begitu lirih. Namun masih bisa didengar oleh beberapa orang yang duduk berdekatan dengan tempat kami berdiri.Perkataan mas ibra sukses membuat perasaanku menjadi tidak karuan. Ada debaran yang tak biasa berpendaran di dadaku."Maaf," lirihku sembari menunduk. Apa yang ingin kuucapkan seketika menjadi buyar tatkala interaksi kami ditonton oleh semua orang yang duduk mengelilingi meja besar itu.Aku benar-benar malu. Ternyata langkahku salah. Kurasa lebih baik jika aku membawa Keisha keluar saja dari restoran ini, daripada harus menghampiri Mas Ibra yang jelas-jelas sedang bekerja. Namun beberapa detik kemudian aku berpikir, bahwa area hotel ini terlalu luas dan kemungkinan aku bisa tersesat, sehingga akan membuat Mas Ibra semakin repot.Seolah paham dengan ap
Bab 18Dapat Berapa Ronde?Aku menghela nafas, kemudian segera berbalik melangkah menuju ranjang.Waktu tidak banyak?Ucapan Mas Ibra masih terngiang-ngiang di telingaku. Apa maksudnya? Mengapa pria itu menganggap waktunya tidak banyak? Ada apa ini? Pikiranku menjadi tidak karuan. Jika di runut dari perkenalan pertama kami dan bagaimana gigihnya selama ini ia mendekat pada kami, aku dan Keisha, memang terasa ada yang janggal. Mas Ibra seperti menyembunyikan sesuatu."Tapi sikapnya terhadap Keisha dan diriku malam ini begitu natural, bahkan di hari yang lain pun juga begitu. Tidak terkesan dibuat-buat," gumamku seraya menatap putri kecilku yang tertidur pulas. Putri kecilku yang entah kenapa begitu lengket dengan mas Ibra, satu hal yang sebenarnya membuatku merasa cemas.Aku takut Keisha ketergantungan dengan sosok mas Ibra, karena bagaimanapun hanya ia satu-satunya lelaki dewasa yang benar-benar memperlihatkan kepeduliannya. Keisha tentu mengenal mas Dicky, tetapi tidak sedekat mas I
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan