Bab 6
Kepergok Mantan Mertua
Tingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha.Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.
Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.
Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman dengan Icha sejak masih sekolah, bahkan kami kuliah di jurusan yang sama, tapi bukan berarti lantas aku memanfaatkan kebaikan Icha.
Aku masih sibuk bekerja. Para pengunjung datang silih berganti. Aku melirik sekilas ke arah pria yang barusan meminta nomor teleponku. Bayangan pria itu sudah tak nampak.
Diam-diam aku menghela nafas.
***Aku berjalan mondar-mandir, sesekali melongok keluar. Hujan semakin deras. Para pengunjung di cafe sudah mulai sepi. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah. Hujan yang teramat deras membuatku tidak mungkin pulang dengan mengendarai motor. Kasihan Keisha. Aku sudah berupaya untuk memesan taksi, tapi sampai sekarang taksi yang aku pesan belum juga datang. Icha juga tidak bisa diharapkan. Tidak mungkin Icha membawa Gian menerobos hujan deras begini. meskipun dengan menggunakan mobilnya. Sementara mas Dicky sedang tidak ada di tempat. Pria muda itu memang seringkali melakukan inspeksi mendadak ke cafe-cafe miliknya serta outlet Gian parfum.
"Kay...."
"Ya." Segera aku menoleh. "Mas Ibra?"
Pria itu menatapku dalam-dalam. Dia tampak gugup.
"Ada apa, Mas?"
"Apa Mas ingin memesan makanan dan minuman? Maaf, cafe kami sudah tutup." Aku menunjuk beberapa karyawan yang tengah sibuk membereskan segala sesuatunya.
Pria itu buru-buru menggeleng.
"Tidak, Kay. Bukannya barusan aku sudah menyelesaikan pembayaran denganmu?" Bibir pria itu sedikit bergetar.
"Kay, sepertinya hujan tidak akan segera berhenti, malah semakin deras. Bagaimana jika kamu aku antar pulang?" Aku menangkap jelas mas Ibra mengucapkan kalimat itu dengan susah payah.
"Maaf Mas, aku sudah pesan taksi," jawabku.
"Tapi mau sampai kapan kamu menunggu?" Pria itu melihat arlojinya. "Ini sudah lewat jam 10.00 malam. Kasihan putrimu."
Dia melangkah menuju stroller. Keisha memang sudah tertidur sejak tadi dibalik selimut yang menutupi tubuh mungilnya.
Aku benar-benar bimbang. Mas Ibra benar. Malam sudah semakin larut dan hujan pun begitu deras, sementara taksi tidak kunjung datang, entah apa sebabnya.
Namun jika aku menerima tawaran Mas Ibra, sama saja dengan membawa seorang lelaki datang ke rumahku.
Ingat, statusku sekarang sudah janda, meskipun aku dan mas Gilang belum bercerai secara resmi, tapi tetap saja di mata orang lain aku masih istri mas Gilang. Dan jika membawa seorang laki-laki ke rumah kontrakanku, maka aku akan dianggap wanita peselingkuh.
"Sudahlah, Kay. Jangan banyak mikir. Aku benar-benar tulus ingin membantumu. Aku berjanji, aku hanya akan mengantarmu di depan rumah, kemudian langsung pulang." Pria itu seolah tahu kegalauanku dan tanpa bicara apa-apa lagi Mas Ibra langsung saja menghampiri stroller tempat Keisha tidur. Dia mengangkat tubuh mungil itu tanpa bisa aku cegah, lalu menggendongnya.
Keisha masih lelap tertidur. Mas Ibra menggunakan jaketnya untuk menutupi tubuh Keisha dari air hujan yang membasahi tubuh kami. Jarak antara pelataran cafe dengan mobil mas Ibra hanya sekitar 15 meter, tetapi itu cukup membuat basah pakaian.
Aku bahkan mengibas-ngibaskan pakaian dan juga kerudungku begitu sampai di mobil.
"Sebutkan alamat rumahmu, Kay," pinta mas Ibra setelah menyerahkan tubuh Keisha kepadaku.
Aku mengucapkan beberapa kata yang disambut anggukan kepala oleh pria itu. Mesin mobil dinyalakan dan kendaraan roda empat itu segera meluncur keluar dari halaman cafe, melaju di jalan raya. Jarak antara cafe dan rumahku hanya 5 km. Namun jika aku memaksa pulang dengan menggunakan motor dan hujan-hujanan, pasti akan membuat Keisha demam.
Aku mendesah resah, tak tahu lagi harus berkata apa. Kesehatan bayiku memang yang utama. Namun pulang dengan di antar Mas Ibra juga punya resiko.
Bagaimana jika ada orang yang melihat aku di antar laki-laki ini?
Wajar jika aku cemas. Rumah yang jadi tempat tinggalku berada di pemukiman padat penduduk dengan para tetangga yang selalu kepo dengan urusan orang lain. Satu orang saja melihat keberadaanku diantar oleh seorang lelaki, maka akan heboh satu RT.
Waktu menunjukkan hampir jam 11.00 malam saat mobil berhenti di halaman rumahku. Lagi-lagi mas Ibra meraih tubuh Keisha dan memayunginya dengan jaket yang sebenarnya sudah setengah basah. Pria itu berlari kecil menerobos derasnya hujan menuju teras rumah, sementara aku menyusulnya di belakang.
"Maaf Mas Ibra, di rumahku tidak ada laki-laki, jadi aku tidak bisa mempersilahkan mas Ibra untuk masuk. Maaf sekali," ujarku lirih meminta pengertian lelaki itu.
Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa, Kay. Aku mengerti. Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak akan meminta masuk ke dalam rumahmu?"
Senyum itu tersungging begitu manis dari bibir Mas Ibra, membuatku seketika terpana. Aku baru tersadar saat lelaki itu sudah berbalik, mengayunkan langkah menuju mobilnya.
Namun baru saja dia sampai di depan pintu mobil, tiba-tiba saja sebuah benda jatuh dan tempat mengenai kaca mobil, sehingga membuat suara gaduh.
"Awas Mas Ibra!" pekikku saat sebuah batu hampir saja mengenai kepala mas Ibra andai saja pria itu tidak menunduk.
Lalu beberapa detik kemudian sebuah cahaya menyorot. Beberapa orang berdatangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Tubuhku seketika gemetar. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Sepertinya memang ada mata-mata yang mengawasi dan info soal aku diantar oleh seorang pria menyebar dengan cepat.
"Jadi begini kelakuanmu di luaran, Kayla? Pantas saja Gilang menceraikanmu." Suara cempreng seorang wanita tua terdengar dan aku menoleh. Bibirku seketika terkunci saat tahu siapa pemilik suara itu.
Mama Kumala, ibu mertuaku yang kini sudah menjadi mantan!
"Bapak-bapak, ibu-ibu, lihat sendiri kelakuan mantan menantu saya ini. Dia belum bercerai secara resmi dengan anak saya, tapi kelakuannya begini. Pantas kan jika anak saya menceraikannya? Dia ini perempuan enggak benar. Dulu saat masih menjadi istri anak saya, dia selalu mengeluh kekurangan uang kepada anak saya, bahkan anak saya seringkali kasbon di kantor. Tapi di balik itu, dia selalu mengenakan pakaian-pakaian bagus, tas, sepatu, semua pakaiannya adalah barang bermerek. Bahkan bayinya saja diberikan susu dan popok mahal. Bapak dan ibu pikir saja sendiri, uang dari mana coba?!" Suara tua itu terdengar berapi-api.
Mama Kumala menatap orang-orang yang ada di tempat itu secara bergantian lalu menunjuk kepada Mas Ibra.
"Pria ini pasti pria hidung belang yang baru saja memakai jasa Kayla. Heran, Kayla itu baru saja melahirkan. Apa enaknya, coba? Itunya juga pasti masih longgar...."
"Cukup, Ma! Cukup!" Aku berteriak seraya menghentakkan kaki ke lantai. Posisi kami saat ini tengah berada di teras, bahkan Mas Ibra ikut-ikutan diseret seperti pesakitan saja. Aku menatap sekelilingku. Ada dua orang lelaki yang berdiri di samping kiri dan kanan Mas Ibra, lalu seorang wanita yang kukenal sebagai ibu RT, kemudian ibu pemilik rumah ini dan mama Kumala.
Aku menaik-turunkan alisku saat menyadari sesuatu hal.
Dari mana wanita tua ini tahu jika aku tinggal di sini?
Bab 7TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. Tentu saja pria itu tersinggung. Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. "Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 10Perhatian KhususDia tidak mungkin memberitahu Kayla secepat ini atau Kayla akan lari darinya. Dari awal Ibra tertarik dengan Kayla karena paketnya. Bayi mungil bernama Keisha itu begitu menggemaskan. Dia bahkan ingin mengadopsinya andai boleh. Tapi tentu saja tidak boleh. Kayla pasti tidak akan merelakan bayinya untuk diasuh oleh siapapun. Jalan satu-satunya untuk bisa menjadi ayah Keisha adalah menikahi ibunya. Pria itu tersenyum samar, lalu bangkit dari kursi kebesarannya, keluar dari ruang rapat itu. Ya, Ibra keluar paling akhir bersama dengan Evan. "Kenapa Tuan tidak menempatkan Nona Kayla di ruangan terbaik kita di hotel ini?" usik Evan. Saat ini mereka telah berpindah masuk ke dalam ruang kerja Ibra."Karena aku tidak mau membuat wanita itu curiga. Dia belum boleh tahu siapa sebenarnya aku, Evan.""Tapi seandainya Nona Kayla tahu siapa Tuan, pasti dia akan senang sekali karena disukai oleh lelaki sehebat Tuan," sahut Evan.Namun Ibra justru menggeleng."Jika wanita lai
Bab 11Nggak Suka Barang BekasIcha terkekeh. Suara derai tawanya sontak mengalihkan perhatian dua bayi kami. Dua pasang mata bulat dan bening itu menatap Icha. Mungkin mereka kebingungan karena melihat ibu dan tantenya tertawa-tawa. Gaya berbicara Icha memang ceplas-ceplos, tapi itu tak masalah buatku. Icha tipe perempuan yang hangat. Dia pun selalu tanggap menghadapi keluh kesahku."Aku tidak sedang berasumsi, Kay, tapi biasanya dugaanku ini menjadi kenyataan. Aku berani taruhan deh, Mas Ibra memang menaruh hati kepadamu. Hanya saja aku melihatnya kok seperti ragu-ragu gitu." Kali ini suara Icha dipelankan. Mungkin tak mau suaranya kembali menarik perhatian Keisha dan Gian."Kok ragu-ragu? Dilihat dari sisi mana yang membuat kamu menduga seperti itu?" Terus terang saja, di cafe aku memang jarang berbicara panjang lebar dengan mas Ibra. Interaksi kami hanya terjadi saat Mas Ibra akan membayar tagihan makanan dan minumannya. Selebihnya Mas Ibra lebih sering mengajak Keisha ngobrol.
Bab 12Jangan Coba-coba Mengguruiku! "Enggak, Kay. Tapi aku punya keponakan. Namanya Eva. Dia anak Kak Elif. Kak Elif itu saudara tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku dengan mantan istri pertamanya."Meski mas Ibra menjelaskan secara perlahan, tapi kepalaku pusing dibuatnya. Aku hanya bisa mengangguk dan tak bertanya lagi. Tidak etis rasanya menanyakan soal kehidupan pribadi pria di dekatku ini secara mendetail. Kami belum terlalu dekat dan hubungan kami hanya sebatas karyawan cafe dengan pengunjung. Kebetulan saja dia memang terlihat menyukai Keisha. Namun bukan berarti dia menyukai ibunya, kan?Analisa Icha memang ngawur!Aku selalu mensugesti diriku bahwa mas Ibra memang menyukai anak kecil, sehingga dia pun menyukai Keisha yang memang tiap hari aku bawa dan ada di cafe ini. Bukan cuma mas Ibra, tetapi para pengunjung lain pun juga terlihat menyukai Keisha yang memang cantik dan menggemaskan. Aku patut bersyukur, meskipun ayah kandungnya tidak peduli, tetapi Keisha menerima
Bab 13Ke Kantor Pengacara Pemikiran macam apa ini? Bahkan aku sangsi, apakah mantan suamiku ini masih waras atau tidak. Dia yang seenaknya menceraikanku dan seenaknya pula mengajakku kembali. Memangnya aku barang, yang bisa seenaknya di buang, lalu dipungut kembali?! Aku mengupat dalam hati sembari menatap horor pria yang pernah menghalalkanku atas nama Tuhan itu. "Mas pikir aku mau menerima ajakan Mas?! Mas pikir aku bisa menerima perselingkuhanmu dengan Anggi?! Bahkan Mas dengan gampangnya bilang akan bersikap adil. Keadilan macam apa yang ada di dalam versi Mas? Ini bukan poligami, Mas. Ini perselingkuhan, perzinahan, dan kalaupun Mas menikahi Anggi, tetap saja apa yang Mas lakukan sebelum menikahi Anggi adalah sebuah kesalahan besar. " Tenggorokanku terasa tercekat. Namun kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Kamu benar-benar nggak bisa di ajak baik-baik, Kayla. Aku bilang pulang ke rumah, ya pulang!" Pria itu maju selangkah demi selangkah, kian mendekat. Ta
Bab 14Selangkah Lebih Maju "Nikah sama Om ganteng. Ehem ehem...."Aku memukul pelan lengan sahabatku. Aku tahu siapa yang dimaksud oleh Icha. Kedekatanku dengan mas Ibra membuat sahabatku ini berpikiran yang berbeda. Padahal aku meyakini jika mas Ibra hanya menyukai Keisha. Mas Ibra adalah penyuka anak kecil. Aku pun menceritakan pada Icha bahwa pria itu sudah terbiasa mengurus keponakannya, satu-satunya informasi yang aku dapat dan itu menguatkan dugaanku, bahwa Mas Ibra tidak menyukaiku. Dia hanya menyukai Keisha."Kamu itu terlalu polos, Kay. Tapi tidak apa-apa. Suatu saat kamu akan mengerti." Wanita muda itu setengah bergumam. Namun suaranya masih bisa aku dengar. Icha hanya bersuara pelan lantaran melihat pak Ricky beserta seorang asistennya tengah berjalan menghampiri kami.Urusan dengan pengacaraku berlangsung dengan cepat. Aku hanya perlu menyerahkan berkas-berkas yang sudah ada padaku. Berkas-berkas dari mas Gilang akan diambil sendiri oleh pihak pengacaraku, karena aku men
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan