Bab 3
Mari Kita Bercerai, MasTak ada lagi rasa sakit atas kalimat yang barusan meluncur dari mulut suamiku. Mungkin karena aku sudah terlanjur kecewa dengan semua pengkhianatan ini. Aku yang sudab terlanjur menantangnya dan aku harus siap dengan semua konsekuensinya.
Lagi pula, siapa sudi menerima barang bekas?
Lelaki yang sudah berkhianat, tak ubahnya seperti barang bekas yang seharusnya dimasukkan ke dalam tong sampah!
"Mari kita bercerai, Mas! Kalau kamu menganggap aku sebagai wanita yang membosankan, baiklah. Aku rasa semuanya sudah final." Aku membawa tubuhku bergerak menuju pintu keluar dan segera keluar dari tempat itu.
Tujuanku adalah kamar tidur utama yang biasa ditempati oleh mertuaku. Bukankah sekarang kami sudah bercerai? Ibu mertuaku dan adik perempuan Mas Gilang sudah tidak pantas lagi untuk tinggal di rumah ini.
Aku bermaksud untuk membereskan barang-barang di sana. Sementara untuk Mas Gilang, pastinya dia masih punya tangan dan kaki untuk membereskan sendiri barang-barangnya.
Ini rumahku.
Dan jikalau terjadi sesuatu diantara kami, maka Mas Gilang lah yang harus keluar dari rumah ini.
"Aku tidak selemah yang kamu duga, Mas. Setidaknya berpisah dari kamu lebih baik daripada meneruskan hidup dengan seorang lelaki tukang selingkuh!" Aku bergumam.
Dia memilih bercerai dan itu berarti dia membiarkan dirinya sendiri keluar dari rumah ini.
"Ngapain kamu di kamar ini?" Tiba-tiba suara berat itu terdengar saat aku baru saja merebahkan Keisha di ranjang ukuran besar yang ada di kamar ini. Kamar tidur utama yang cukup luas. Ruangan berukuran 5x5 meter dengan kamar mandi di dalam dan dilengkapi oleh bak mandi.
Sangat nyaman. Seharusnya aku dan Mas Gilang yang menempati kamar ini, tetapi ibu mertuaku memaksa untuk menempati kamar utama ini, dan aku mengabulkannya dengan alasan untuk memuliakannya sebagai orang tua.
Setelah semua yang aku lakukan untuk keluarga suamiku, inikah balasan yang kudapat?
Sudah cukup semuanya. Sudah cukup. Aku masih bisa bersabar dengan uang belanja yang kurang, toh aku juga bekerja meskipun mas Gilang tidak tahu dengan pekerjaanku. Aku bisa menutupi kekurangan pengeluaran rumah tangga kami dengan uangku sendiri.
Bahkan sejak Keisha hadir, akulah yang membelikan semua keperluannya, bahkan Mas Gilang pun juga tidak tahu, lebih tepatnya tidak peduli dari mana uang untuk membelikan semua keperluan Keisha, sehingga Keisha minum susu dan memakai perlengkapan selayaknya bayi-bayi yang lain.
"Aku ingin membereskan barang-barang Mama, karena mulai hari ini akulah yang akan menempati kamar ini bersama Keisha," jawabku seraya membuka pintu lemari dan mengeluarkan barang-barang milik ibu mertuaku yang sekarang sudah menjadi mantan.
"Tidak boleh! Kamu punya hak apa untuk tinggak di rumah ini, hah?" Mas Gilang mendelik.
"Kamu itu sudah aku ceraikan. Kenapa malah mengeluarkan barang-barang punya Mama?" Mas Gilang merebut tumpukan baju-baju ibunya dari tanganku, lalu mengembalikannya lagi ke dalam lemari dan menutup pintunya dengan keras.
Pria itu lantas mendorongku hingga akhirnya tubuhku membentur dinding dekat tempat tidur.
"Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini. Sekarang kamu sudah aku ceraikan. Kamu sudah nggak berhak lagi tinggal di sini. Ini rumahku!" bentaknya.
"Rumahmu? Apa aku salah dengar?" Klaim macam apa ini? Aku mengerutkan kening, penuh keheranan.
"Bukannya uang yang kita gunakan untuk membangun rumah ini adalah uang dari hasil penjualan rumah warisan kedua orang tuaku?!" protesku mengingatkan Mas Gilang.
Namun, sebuah seringai terbit dari bibirnya.
"Oh, ya? Memangnya kamu punya bukti jika rumah ini adalah milikmu?" Tiba-tiba suara wanita itu terdengar dan aku menoleh.
Mataku terbelalak. Aku tidak menyangka jika Anggita masuk ke dalam kamar ini pula. Wanita itu memegang sebuah map dan melemparkannya kepadaku.
"Ini sertifikat rumah ini dan itu atas nama Mas Gilang. Silahkan baca sendiri," ujar Anggita di barengi dengan senyumnya yang sinis, karena mungkin dia membayangkan akan menjadi nyonya di rumah ini menggantikanku.
Aku segera membuka map dan keningku seketika berkerut. Aku menepuk jidatku tanpa sadar. Benar, sertifikat rumah ini memang atas nama Mas Gilang, meskipun uang yang digunakan untuk membangun rumah ini berasal dariku.
Waktu itu dengan begitu bodohnya aku menyetujui permintaan Mas Gilang agar sertifikat rumah ini atas namanya.
Waktu itu aku memang sama sekali tidak keberatan karena mengira rumah tangga kami akan baik-baik saja ke depannya, apalagi saat itu aku sedang hamil Keisha.
"Tapi...." Lidahku mendadak terasa kelu. Otakku langsung dipaksa berpikir keras mencari jalan keluar.
Sayang sekali jika aku harus meninggalkan rumah ini. Ini rumahku. Uang yang digunakan untuk membangun rumah ini adalah uangku dan Mas Gilang tidak punya hak, apalagi ibu mertua dan adik perempuan Mas Gilang.
Aku harus mempertahankan hakku dan Keisha. Tapi bagaimana caranya?
"Tidak ada tapi-tapian, Kayla. Sekarang bereskan barang-barangmu. Ingat jangan membawa barang-barang berharga dari rumah ini, karena semua itu dibeli dengan uangku."
"Bawa bayimu juga. Aku tidak butuh anak itu. Merepotkan saja. Aku tidak sudi mengurusnya!" bentak mas Gilang.
Dia mendorong tubuhku, lalu tanpa belas kasihan sedikitpun dia mengangkat tubuh Keisha yang masih tertidur, lalu melemparkannya seperti melempar barang saja.
Beruntung tanganku dengan sigap menangkap tubuh mungil putriku. Sempat mata mungil itu terbuka. Namun aku mendekapnya dengan begitu kuat, sehingga mata mungil itu kembali terpejam.
"Mas, rumah ini memang atas namamu, tetapi uang yang digunakan untuk membangun rumah ini adalah uang yang berasal dariku. Uang itu berasal dari hasil menjual rumah warisan orang tuaku. Kalau kamu memang ingin memiliki rumah ini, ganti semua uangku!" Tiba-tiba aku berteriak.
Kesabaranku habis. Aku bahkan hampir tak percaya jika lelaki yang pernah hidup bersamaku selama dua tahun ini tak memiliki hati nurani sedikitpun.
Bagaimana mungkin dia bisa mengusirku begitu saja dari rumahku sendiri?
Ini rumahku dan Keisha. Tak boleh ada yang mengambil rumah ini.
"Bukan urusanku! Rumah ini sudah atas namaku dan aku adalah pemiliknya. Aku berhak mengusir siapapun yang tinggal di rumah ini. Kamu sudah tidak ada gunanya lagi, Kayla. Sekarang sudah ada Anggi yang bisa menggantikan kamu. Kami akan segera menikah dan tunggu saja surat cerai dariku!" Mas Gilang balas berteriak.
"Akan jadi urusanku jika Mas tidak bisa mengembalikan uang yang sudah aku keluarkan untuk membangun rumah ini. Mas boleh saja menempati rumah ini bersama dengan mama dan Gita, tapi ingat, Mas harus mengganti semua uang yang sudah aku keluarkan," balasku.
"Mana boleh begitu? Kamu harus membayar lunas semuanya. Aku akan menghitung berapa uang yang seharusnya Mas berikan kepadaku," ucapku tegas. Sama sekali tidak kupedulikan tatapan Mas Gilang yang mendelik.
Aku sudah tidak takut lagi dengan tatapan itu. Aku, Kayla Arudati Inayah tidak boleh lemah dan merasa gentar.
"Halah! Bilang saja kamu sedang butuh uang agar bisa hidup di luar sana. Kamu nggak mau kan jadi gelandangan?" Anggi mengejekku. Dia mengambil sebuah buntalan kain yang belakangan aku sadari jika itu berisi pakaianku.
"Aku sudah begitu baik membereskan barang-barangmu, jadi kamu tidak perlu repot membereskan sendiri. Pergilah, Kayla, dan bawa Keisha. Aku memintamu secara baik-baik. Jangan sampai Mas Gilang berbuat yang lebih kasar lagi kepadamu." Lagi-lagi senyum mengembang dari bibir Anggita. Senyum penuh kemenangan. Barangkali dia merasa bangga karena sudah berhasil mengusir seorang istri dari rumah suaminya.
Bukankah itu prestasi yang pasti dibanggakan bagi seorang pelakor seperti Anggita?
Tanganku diam-diam mengepal. Namun aku sudah kehabisan energi untuk berdebat dengan dua manusia berhati batu ini. Akhirnya dengan langkah gontai aku mengambil buntalan itu, lalu mengambil kain untuk menggendong Keisha. Dengan sebuah buntalan kain serta travel bag yang sebelumnya tergeletak di lantai, aku mengayunkan langkah keluar dari rumah ini.
Ada rasa sedih yang tak bisa kulukiskan. Namun sebisa mungkin aku tahan. Aku harus kuat, agar bisa terus berjuang. Suatu saat rumah ini harus kembali kepadaku Aku tidak sudi rumahku ditempati oleh Mas Gilang dengan istri barunya. Aku nggak akan biarkan semua itu terjadi.
"Kamu sudah mencoba bermain-main denganku, Mas. Tunggu pembalasanku!" Aku berucap dalam hati saat berhasil menyetop sebuah taksi yang akan membawaku ke rumah sahabatku.
Bab 4 Suami Zalim? Icha menyambut kedatanganku dengan wajah keruh. Mungkin dia sudah menebak kedatanganku kali ini pasti dengan membawa masalah. Pasti terlihat jelas dari penampilanku yang kusut dengan travel bag dan buntalan yang berada di tangan kanan dan kiriku, sementara Keisha melekat erat dalam gendonganku. "Masuk dulu, Kayla. Kamu butuh tempat untuk membaringkan Keisha," ujar Icha yang lantas menggiringku ke kamar Gian, putranya yang baru berumur setahun. Aku hanya mengangguk lemah. Icha merebut travel bag dan buntalan kain dari tanganku, yang membuat bebanku seketika lebih ringan. kami melangkah beriringan masuk kamar Giant. Kamar bayi yang cukup luas. Di samping tempat tidur bayi, ada juga tempat tidur berukuran besar yang biasanya digunakan Icha untuk menyusui bayinya. Sahabatku itu sangat beruntung, karena ASI-nya mengalir cukup lancar, sehingga bisa memberikan ASI eksklusif, berbeda dengan diriku yang harus berurusan dengan susu formula. Berhubung tidak membawa stok s
Bab 5Bekerja Di Cafe"Kamu yakin mau kerja di cafe, Kay?" tanya pria itu padaku. Dicky menatapku lurus sembari menaikturunkan alisnya tanda keheranan. Lewat Icha, tentu saja dia tahu apa pekerjaanku sekarang."Aku hanya ingin punya penghasilan tetap, Mas. Penghasilan sebagai pembuat konten cerita itu tidak menentu. Ya, kalau performa ceritanya naik terus. Kalau jeblok, ya wassalam." Aku mengakhiri kalimat sembari tersenyum kecut. Dicky dan Icha tidak perlu tahu bagaimana sebenarnya lika-liku pembuat konten cerita sepertiku. Sekarang aku boleh dikatakan beruntung, karena beberapa novelku yang booming di beberapa aplikasi sekaligus, sehingga bisa meraih penghasilan yang cukup lumayan. Namun semua itu tidak menjamin. Salah satu novelku bahkan ada yang performanya jeblok dan sama sekali tidak mendapat penghasilan. Jadi semuanya bergantung pada banyaknya pembaca."Tapi sampai saat ini penghasilan kamu setiap bulan kan lumayan?" kejar Dicky. Dia melirik istrinya sekilas. Icha hanya memuta
Bab 6Kepergok Mantan MertuaTingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha. Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman
Bab 7TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. Tentu saja pria itu tersinggung. Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. "Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 10Perhatian KhususDia tidak mungkin memberitahu Kayla secepat ini atau Kayla akan lari darinya. Dari awal Ibra tertarik dengan Kayla karena paketnya. Bayi mungil bernama Keisha itu begitu menggemaskan. Dia bahkan ingin mengadopsinya andai boleh. Tapi tentu saja tidak boleh. Kayla pasti tidak akan merelakan bayinya untuk diasuh oleh siapapun. Jalan satu-satunya untuk bisa menjadi ayah Keisha adalah menikahi ibunya. Pria itu tersenyum samar, lalu bangkit dari kursi kebesarannya, keluar dari ruang rapat itu. Ya, Ibra keluar paling akhir bersama dengan Evan. "Kenapa Tuan tidak menempatkan Nona Kayla di ruangan terbaik kita di hotel ini?" usik Evan. Saat ini mereka telah berpindah masuk ke dalam ruang kerja Ibra."Karena aku tidak mau membuat wanita itu curiga. Dia belum boleh tahu siapa sebenarnya aku, Evan.""Tapi seandainya Nona Kayla tahu siapa Tuan, pasti dia akan senang sekali karena disukai oleh lelaki sehebat Tuan," sahut Evan.Namun Ibra justru menggeleng."Jika wanita lai
Bab 11Nggak Suka Barang BekasIcha terkekeh. Suara derai tawanya sontak mengalihkan perhatian dua bayi kami. Dua pasang mata bulat dan bening itu menatap Icha. Mungkin mereka kebingungan karena melihat ibu dan tantenya tertawa-tawa. Gaya berbicara Icha memang ceplas-ceplos, tapi itu tak masalah buatku. Icha tipe perempuan yang hangat. Dia pun selalu tanggap menghadapi keluh kesahku."Aku tidak sedang berasumsi, Kay, tapi biasanya dugaanku ini menjadi kenyataan. Aku berani taruhan deh, Mas Ibra memang menaruh hati kepadamu. Hanya saja aku melihatnya kok seperti ragu-ragu gitu." Kali ini suara Icha dipelankan. Mungkin tak mau suaranya kembali menarik perhatian Keisha dan Gian."Kok ragu-ragu? Dilihat dari sisi mana yang membuat kamu menduga seperti itu?" Terus terang saja, di cafe aku memang jarang berbicara panjang lebar dengan mas Ibra. Interaksi kami hanya terjadi saat Mas Ibra akan membayar tagihan makanan dan minumannya. Selebihnya Mas Ibra lebih sering mengajak Keisha ngobrol.
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan