Bab 1
Tangisan Bayiku Suara tangisan itu begitu keras, terdengar hingga radius puluhan meter, saat aku keluar dari taksi dan pertama kali menginjakkan kaki di ujung halaman rumah. Aku segera mempercepat langkahku seraya menyeret travel bag. Perasaanku campur aduk."Keisha!"
Aku menggeletakkan travel bag itu begitu saja, lalu berlari ke arah kasur, dimana putri kecilku menangis. Gegas kuangkat tubuh mungil itu.
Wajahnya terlihat memerah. Dan ketika kuraba dahinya, ada hawa panas menyergap.
"Cup cup cup, sudah ya, Nak. Ini Mama, Sayang. Mama sudah pulang. Maaf ya, Mama udah tiga hari ninggalin kamu sama Papa...." Aku menepuk-nepuk bagian belakang tubuh Keisha dengan lembut.
Namun, itu tak cukup menenangkan bayiku. Malah tangisnya kian keras. Tubuh mungilnya menggeliat dalam gendonganku.
Ada apa ini? Kenapa Keisha sampai menangis kejar sendirian? Mana mas Gilang?
Pertanyaan demi pertanyaan berseliweran di benakku. Namun segera aku abaikan. Sembari menggendong Keisha, aku berjalan menuju meja kecil tempatku biasa membuat susu botol untuk Keisha.
Setiap ibu pasti memimpikan bisa memberikan ASI eksklusif untuk buah hatinya. Aku terpaksa memberikan Keisha susu formula karena produksi ASI ku sangat sedikit. Sudah beragam cara aku lakukan agar produksi asiku melimpah seperti layaknya ibu-ibu yang lain. Namun hipoplasia payudara yang aku derita membuatku tidak memiliki pilihan lain, kecuali memberikan susu formula untuk bayiku.
Meski ibu mertua dan suamiku sendiri marah-marah dan menganggapku boros, tetapi aku tetap tidak peduli. Toh, aku membeli susu formula dengan menggunakan uangku sendiri, bukan uang Mas Gilang.
Bagiku, kesehatan dan tumbuh kembang Keisha adalah segalanya. Setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya, bukan?
"Kok ada kotak susu merk lain di sini?" gumamku kaget ketika tanpa sadar aku menginjak kotak kemasan susu formula yang terletak di dekat meja.
Aku memungut benda itu. Warna dominan biru cerah dengan sedikit merah menghiasi kotak kemasan susu itu. Itu bukan merek susu yang biasa di konsumsi Keisha. Keisha biasa mengkonsumsi susu formula kemasan kaleng.
Lantaran wadah susu Keisha sudah kosong, akhirnya aku membuka lemari, tempat biasa aku menaruh semua perlengkapan bayiku.
"Kok nggak ada?!" Kali ini aku benar-benar terkejut.
Bukan cuma susu yang biasa diminum oleh Keisha yang tidak ada, tetapi stok popok Keisha pun turut menghilang, padahal seingatku masih ada lima bal ukuran besar dan lima kaleng susu ukuran besar, sebelum aku meninggalkan rumah tiga hari yang lalu. Jadi tidak mungkin stoknya habis.
Bukan cuma stok susu dan popok, tapi pakaian baru, perlengkapan mandi, dan perlengkapan lainnya seperti baby oil, baby hair lotion, baby cologne, dan printilan lainnya juga ikut menghilang. Barang yang tersisa hanya bedak bayi dan pakaian harian Keisha yang kondisinya tidak terlalu bagus.
"Kemana barang-barang Keisha?" Aku kembali bergumam.
Kepalaku seketika berdenyut. Aku terus menepuk-nepuk bokong Keisha, berusaha membuat bayi itu diam, meskipun usahaku tampaknya sia-sia saja. Keisha terus menangis dan suaranya kian serak.
Aku tahu jika ia kehausan, dilihat dari tubuhnya yang hangat dan wajahnya yang memerah.
Akan tetapi, bagaimana aku bisa membuatkan susu, jika ternyata barang yang aku butuhkan tidak ada?
Bahkan beberapa botol susu Keisha yang baru aku beli pun juga tidak terlihat di dalam lemari itu, hanya ada dua botol. Itu pun terlihat masih kotor karena bekas dipakai dan belum di cuci.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera mencari Mas Gilang. Kenapa Keisha sampai dibiarkan menangis kejar seperti ini?" Aku benar-benar geram.
Waktu sudah berlalu hampir sepuluh menit. Tangis Keisha hampir tanpa jeda. Namun, mas Gilang belum muncul juga.
Kemana suamiku? Bukankah seharusnya ia menjaga Keisha? Kenapa ia meninggalkan putri kecilnya begitu saja?
Aku terpaksa menyerahkan Keisha untuk diurus mas Gilang karena harus menghadiri acara reuni yang diadakan oleh teman-teman satu angkatan sewaktu masih kuliah dulu. Kegiatan reuni itu berlangsung selama tiga hari.
Ini bukan sekedar reuni biasa. Semua alumni diwajibkan hadir, bukan untuk sekedar pamer pencapaian, tetapi lebih untuk saling mensupport satu sama lain. Setiap tahun mereka mengadakan reuni itu dan dari sana akan ketahuan pencapaian dari masing-masing alumni. Jika ada alumni yang hidupnya masih dibawah rata-rata, maka alumni yang lain harus siap membantu. Angkatanku memang dikenal sangat solid. Mereka sangat setia kawan, sehingga tak heran jika aku akan merasa sangat tidak enak jika harus absen menghadiri acara itu, walaupun dengan resiko harus meninggalkan Keisha bersama dengan mas Gilang.
"Maafkan Mama ya, Sayang. Gara-gara Mama pergi, semua jadi kacau begini." Mataku berkaca-kaca. Sembari terus menggendong Keisha, aku berjalan menuju kamar kami yang terletak sedikit menjorok ke belakang dekat dapur.
Rumah ini cukup luas dan memiliki tiga kamar tidur. Namun kamar tidur utama yang letaknya paling depan justru digunakan untuk ibu mertuaku jika beliau menginap di rumah ini. Kamar tidur lainnya untuk Gita, adiknya mas Gilang.
Aku dan mas Gilang kebagian kamar paling belakang. Padahal uang yang dipakai untuk membangun rumah ini berasal dari uang hasil penjualan rumah warisan kedua orang tuaku.
Aku sendiri tidak masalah. Bukankah tidak ada salahnya memuliakan ibu mertua, satu-satunya orang tua kami yang tersisa, dengan cara menempatkan beliau di kamar terbaik di rumah ini?
Begitu langkah kakiku melewati kamar kedua, kamar yang biasa di tempati oleh Gita, seketika aku terperanjat. Terdengar suara desahan yang saling bersahutan dari dalam kamar kami. Dan suara itu sangat aku kenal.
"Mas Gilang...." Aku mempercepat langkahku, lalu berhenti di depan pintu. Suara-suara menjijikan itu semakin jelas terdengar, bahkan terdengar Mas Gilang begitu lepas mengeluarkan desahannya.
Dengan sekuat tenaga aku mendobrak pintu dan pintu pun terluka. Aku memekik sangat keras saat sepasang netraku langsung disuguhi live sepasang anak manusia tanpa busana tengah bergumul di atas kasur, bahkan benda kebanggaan suamiku menancap di liang surgawi wanita itu.
"Mas Gilang?!" Suaraku bergetar.
Bab 2 Sejak Kapan Kamu Selingkuh, Mas? "Mas Gilang?!" Suaraku bergetar. Tanpa bisa kutahan tubuhku luruh ke lantai. Beruntung Keisha begitu erat dalam dekapanku, sehingga tubuhnya tidak bergeser sedikitpun, meski tubuhku terduduk di lantai keramik yang dingin. "Tega sekali kamu, Mas. Mengapa kamu bercinta dengan wanita lain? Sejak kapan kamu selingkuh, Mas?" Suaraku tiba-tiba saja serak lantaran butiran air mata yang lolos dari sudut mataku. Mas Gilang bangkit dan melepaskan penyatuannya dari wanita itu. Masih dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, pria itu menghampiriku kemudian berjongkok. "Kamu sudah datang, Kayla? Baguslah! Dengan begitu, aku tidak perlu lagi mengurus Keisha. Kamu ini ya, kerjanya merepotkan suami. Sudah tahu punya bayi, masih maksa-maksa ikut reuni juga. Mending jika ada duitnya, ini malah buang-buang ongkos...." Ekspresi bicaranya sangat dingin dan datar. "Mas!" pekikku tertahan. Netraku seketika tertuju pada sosok wanita yang juga masih tanpa busana. Wani
Bab 3Mari Kita Bercerai, MasTak ada lagi rasa sakit atas kalimat yang barusan meluncur dari mulut suamiku. Mungkin karena aku sudah terlanjur kecewa dengan semua pengkhianatan ini. Aku yang sudab terlanjur menantangnya dan aku harus siap dengan semua konsekuensinya.Lagi pula, siapa sudi menerima barang bekas?Lelaki yang sudah berkhianat, tak ubahnya seperti barang bekas yang seharusnya dimasukkan ke dalam tong sampah!"Mari kita bercerai, Mas! Kalau kamu menganggap aku sebagai wanita yang membosankan, baiklah. Aku rasa semuanya sudah final." Aku membawa tubuhku bergerak menuju pintu keluar dan segera keluar dari tempat itu.Tujuanku adalah kamar tidur utama yang biasa ditempati oleh mertuaku. Bukankah sekarang kami sudah bercerai? Ibu mertuaku dan adik perempuan Mas Gilang sudah tidak pantas lagi untuk tinggal di rumah ini.Aku bermaksud untuk membereskan barang-barang di sana. Sementara untuk Mas Gilang, pastinya dia masih punya tangan dan kaki untuk membereskan sendiri barang-ba
Bab 4 Suami Zalim? Icha menyambut kedatanganku dengan wajah keruh. Mungkin dia sudah menebak kedatanganku kali ini pasti dengan membawa masalah. Pasti terlihat jelas dari penampilanku yang kusut dengan travel bag dan buntalan yang berada di tangan kanan dan kiriku, sementara Keisha melekat erat dalam gendonganku. "Masuk dulu, Kayla. Kamu butuh tempat untuk membaringkan Keisha," ujar Icha yang lantas menggiringku ke kamar Gian, putranya yang baru berumur setahun. Aku hanya mengangguk lemah. Icha merebut travel bag dan buntalan kain dari tanganku, yang membuat bebanku seketika lebih ringan. kami melangkah beriringan masuk kamar Giant. Kamar bayi yang cukup luas. Di samping tempat tidur bayi, ada juga tempat tidur berukuran besar yang biasanya digunakan Icha untuk menyusui bayinya. Sahabatku itu sangat beruntung, karena ASI-nya mengalir cukup lancar, sehingga bisa memberikan ASI eksklusif, berbeda dengan diriku yang harus berurusan dengan susu formula. Berhubung tidak membawa stok s
Bab 5Bekerja Di Cafe"Kamu yakin mau kerja di cafe, Kay?" tanya pria itu padaku. Dicky menatapku lurus sembari menaikturunkan alisnya tanda keheranan. Lewat Icha, tentu saja dia tahu apa pekerjaanku sekarang."Aku hanya ingin punya penghasilan tetap, Mas. Penghasilan sebagai pembuat konten cerita itu tidak menentu. Ya, kalau performa ceritanya naik terus. Kalau jeblok, ya wassalam." Aku mengakhiri kalimat sembari tersenyum kecut. Dicky dan Icha tidak perlu tahu bagaimana sebenarnya lika-liku pembuat konten cerita sepertiku. Sekarang aku boleh dikatakan beruntung, karena beberapa novelku yang booming di beberapa aplikasi sekaligus, sehingga bisa meraih penghasilan yang cukup lumayan. Namun semua itu tidak menjamin. Salah satu novelku bahkan ada yang performanya jeblok dan sama sekali tidak mendapat penghasilan. Jadi semuanya bergantung pada banyaknya pembaca."Tapi sampai saat ini penghasilan kamu setiap bulan kan lumayan?" kejar Dicky. Dia melirik istrinya sekilas. Icha hanya memuta
Bab 6Kepergok Mantan MertuaTingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha. Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman
Bab 7TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. Tentu saja pria itu tersinggung. Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. "Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan