Bab 36
Sepanjang perjalanan menuju toko Nisrina tak banyak bicara. Bibir dan badannya memang diam, akan tetapi pikirannya tebang jauh membayangkan bagaimana jika ia benar-benar membuka semuanya."Aku harus apa lagi?" ucap Abi lemah. Ia tahu bagaimana orang tuanya yang tidak pernag main-main dengan ucapan mereka. Jika saja ini sebuah perkara kecil, Abi tak akan takut dengan amarah orang tuanya. Akan tetapi ini adalah sebuah ikatan pernikahan yang suci dan sakral, yang sebelumnya sudah diwanti-wanti oleh mamanya untuk serius menjalaninya.Namun, kehadiran Rania membuyarkan semuanya. Ketakutan-ketakutan itu tiba-tiba saja sirna saat melihat wajah wanita yang sudah membuatnya patah hati."Mas hanya perlu diam, dengarkan amarah mereka tanpa menyangkal atau membela diri." Nisrina turut bersuara."Andainya kamu tahu bagaimana Papa kalau marah.""Sudahlah, jangan lagi membahas ini. Aku bosan. Seharusnya sudau sejak lama Mas berpikirBab 37Semalaman Nisirna tak kunjung tidur. Ia terus memikirkan bagaimana caranya menyampaikan maksud hati yang sudah tak tahan lagi bertahan dengan pernikahan yang tak sehat itu.Hingga pagi menjelang, Nisrina tak kunjung bisa tidur. Ia memutuskan untuk bangun dan menyiapkan sarapan. Ini adalah saat-saat terakhir Nisrina melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan ia tak mau menyia-nyiakan waktu yang sedikit itu.Luka itu memang masih basah. Akan tetapi, menekan luka itu lebih baik dari pada bertindak sesuka hati yang bisa saja mengakibatkan sebuah penyesalan dikemudian hari."Pagi sekali," sapa Abi yang dua hari ini bangun lebih pagi dari biasanya.Nisrina tidak menjawab sapaan suaminya. Ia fokus dengan wajan yang ada di hadapannnya."Kamu berangkat pagi?" tanya Abi lagi. Ia tak bosan untuk mengajak bicara istrinya."Iya, aku harus berangkat pagi ke rumah Mama, biar aku bisa ketemu Papa di sana."Abisaty
Bab 38"Sudah, Pa!" teriak Nisrina. Ia lebih dulu meletakkan rantang berisi makanan di atas kursi besi yang ada di depan kamar rawat Bu Rumaisha, lalu kembali mendekati Abi yang masih tersungkur."Bangun kamu! Jangan jadi pengecut!" sengit Pak Gunawan dengan napas memburu. Jari telunjuknya terulur menunjuk anak laki-lakinya yang tersungkur di lantai.Nisrina membantu Abi berdiri dengan tertatih. Badan Abi yang berat membuat Nisrina harus mengeluarkan tenaga yang dia punya untuk membantu sang suami kembali tegak.Abi meringis kesakitan sembari memegang rahangnya yang kebas. Ujung bibirnya mengeluarkan cairan merah segar. Ia tak berani melawan papanya. Jika orang tua laki-lakinya sudah berbuat kasar itu artinya ada satu kesalahan fatal yang sudah ia perbuat.Abisatya paham betul bagaimana papanya."Kenapa harus kamu bantu laki-laki pengecut seperti ini!" dengkus Pak Gunawan lagi."Ada apa ini, Pa? Kenapa Papa menghajar Mas Abi sedemikian rupa? Dia ini anak Papa," cecar Nisrina lagi. Bag
Bab 39Nisrina bungkam seketika. Ia tak berani menjawab pertanyaan mertuanya."Tidak, Ma. Bukan begitu. Kami hanya butuh waktu," sahut Abi yang berusaha membantu sang istri. Meskipun Abi tahu pertanyaan mamanya itu benar adanya, tapi tidak mungkin juga semuanya selesai sekarang juga.Kondisi Bu Rumaisha perlu perhatian dan tak mungkin makin diperparah dengan kabar ketidakcocokan antara keduanya."Butuh waktu itu lumrah, tapi kamu jangan hadirkan orang lain antara kalian. Tidak begitu caranya, Nak," ujar Bu Rumaisha. Ia tak bisa marah pada sang putra."Maafkan Abi ya, Ma. Abi sudah bikin Mama kayak gini." Raut penuh rasa bersalah tercipta di wajah Abisatya."Iya, Nak. Mama maafkan. Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Percayalah, Nisrina perempuan yang baik, yang akan menjadi pendamping hidup terbaik buatmu."Abi diam saja. Ia memegang ujung bibirnya yang memar. Sementara itu, Nisrina dilanda keka
Bab 40Malam itu, Nisrina sedang bersiap untuk menghadiri resepsi pernikahan Bian dan Ratih. Ada rasa tak nyaman saat ia sedang menatap pantulan wajahnya di dalam kaca.Kenangan saat mereka bersama kembali berkelindan dalam kepala. Perlakuan hangat yang diberikan Bian kembali mengusik hatinya. Senyum tulus yang terbit dari wajah laki-laki yang dulu sangat dicintainya itu kembali mengorek luka yang sudah dengan susah payah ia tutupi.Namun, tamparan dari wanita paruh baya yang telah melahirkan Bian itu kembali terasa perih di wajah Nisrina, yang membuat kenangan-kenangan itu menguap entah kemana.Terbersit rasa ragu untuk hadir di acara itu, mengingat sikap orang tua Bian yang tak menyukainya dan cenderung kasar padanya.Sayangnya pesan dari Bian malam kemarin membuat Nisrina merasa bahwa kehadiran memang harus benar-benar terjadi.[Datang lah dipestaku, sebagai bukti bahwa kamu memang tak lagi mencintaiku. Ketidakhadiranmu k
Bab 41Nisrina menatap jengah perempuan yang memakai kebaya di depannya. Meskipun sakit hati, Nisrina tak ingin buang-buang tenaga untuk membuat keributan di atas panggung pelaminan ini. Ia ingin datang dengan elegan untuk membuktikan pada Bian dan keluarganya bahwa dirinya bukan perempuan lemah yang larut dalam derita.Abi merangkul pinggang Nisrina dengan eratnya, hingga tubuh mereka tak berjarak. "Ayo, Sayang," ucap Abi dengan tak melepas rangkulannya. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar sepasang pengantin di sana mendengar suaranya.Nisrina menatap wajah Abisatya dengan seulas senyum di bibirnya. Hati yang sedang terluka itu makin terasa perih mendapati perlakuan manis dari sang suami yang ternyata hanya sebuah kepura-puraan."Live must go on, meskipun sakit tak boleh terlihat lemah di depan musuh," batin Nisrina menyemangati dirinya. Ia lantas berjalan mengikuti langkah sang suami."Selamat ya?" Abi mengulurkan tangannya pada Bian yang sedang kepayahan mengatur napas."Terima k
Bab 42Rania membanting ponselnya di atas ranjang empuk miliknya. Ia lantas menjatuhkan badannya ke sembarang arah di tempat yang sama.Rasa kesal telah merasuk ke dalam dada Rania sebab sang kekasih tak kunjung bisa dihubungi."Kenapa sih dia ini," gerutu Rania sambil memijit dahinya yang pening."Bagaimana jika aku gagal mendapatkannya? Apalagi gagal menikah," omel Rania lagi.Rania lantas bangun dari tempat tidurnya. Ia meraih tas dan juga kunci mobil yang tergeletak di nakas."Aku harus pergi!" Rania bermonolog. Ia menggenggam erat kunci mobil di tangannya.Namun saat pintu ruang tamu itu terbuka, Rania memutar bola matanya malas ketika mendapati seorang pria sedang berdiri di depan pintu.Urung mengetuk, Natan tersenyum lebar melihat wanita yang ada di depannya."Hai, Sayang. Aku rindu." Seringai menggoda terbit di wajah Natan."Untuk apa lagi kamu datang kemari? Bukannya aku sudah melarangmu ke sini?""Aku rindu, Sayang. Juga rindu dia," ucap Natan sambil melirik bagian tubuh Ra
Bab 43Nisrina menatap layar ponselnya dengan napas tercekat di tenggorokan. Pemandangan itu benar-benar membuatnya sakit hati.Belum ada cinta diantara mereka tapi Nisrina merasa Abi terlalu tega menyakitinya dengan berbuat semata-mata, sama sekali tidak menjaga perasaannya yang berstatus sebagai istri sah.Dalam gambar itu, kepala Abi sedang terlelap di atas kulit dada seorang wanita yang tak terlihat wajahnya. Yang jelas wanita itu bukan diri Nisrina. Mata Abi memejam, seolah Abisatya sedang terlelap. Wajahnya tampak letih, seperti baru saja melakukan aktivitas yang melelahkan.Siapa lagi yang dekat dengan Abi kalau bukan Rania. Jelas saja itu Rania dan nomor yang mengiriminya gambar juga milik Rania. Nomor siapa lagi memang?Tak henti kejadian demi kejadian membuat Nisrina merasa sakit hati. Luka itu lama-lama kian menumpuk. Terlebih setelah pengakuan Abi bahwa dirinya sudah menepati janji tapi ternyata janji itu hanya di mulut.
Bab 44"Kenapa?" tanya Ferdy setelah hanya ada mereka berdua di meja makan, sementara Caca sedang asik main prosotan di sebuah restoran siap saji.Lengkingan suara Caca saat badannya meluncur sesekali mengalihkan perhatian Nisrina dari obrolan santainya dengan Ferdy. Sepiring kentang goreng juga bola-bola ayam menjadi teman mereka mengobrol.Ferdy menatap Nisrina dengan pandangan tak biasa. Wajah yang biasanya teduh, hari ini berubah sedikit murung. Tidak seceria biasanya.Nisrina mengalihkan pandangannya dari Caca ke lelaki di dekatnya. Ia lantas tersenyum kecut saat lawan bicaranya menuntut penjelasan dari obrolan sebelumnya."Mas Abi," balas Nisrina lirih. Bibirnya menghela napas berat. "Aku ingin pisah saja. Ngga kuat lagi ngehadepin dia.""Kenapa memang? Dia bikin ulah?" Ferdy penasaran dibuatnya."Bikin perjanjian tertulis sudah, ganti nomor sudah, bahkan Mama sama Papa sudah tahu semuanya tapi dia masih saja