Home / Rumah Tangga / Ketika Istriku Balik Melawan / Bab 3 Membanggakan Namamu

Share

Bab 3 Membanggakan Namamu

Author: Dama Mei
last update Last Updated: 2024-12-10 11:07:42

Maya duduk di sofa ruang keluarga rumahnya, sambil memandangi cangkir teh di tangan. Kejadian tadi siang di rumah mertuanya terus membebani hati Maya. Saat Bima pulang, dia mendengar suara pintu depan terbuka. Diikuti langkah suaminya yang memasuki rumah dengan santai.

"Belum tidur?" sapa Bima singkat sambil melepas sepatu.

Maya memaksa tersenyum. "Aku menunggumu pulang,"

Bima duduk di kursi di hadapan Maya, tampak lelah. Maya menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Tadi siang aku ke rumah orangtua kamu," ujar Maya, berusaha memulai percakapan.

"Oh ya?" Bima mengangguk tanpa terlalu memperhatikan. "Kenapa? Ada apa di sana?"

Maya merasakan keraguan menyelusup hatinya. Tapi dia tahu, dia harus mengatakan sesuatu. “Aku mencoba bawa hadiah untuk ibumu. Teh favoritnya, yang dia bilang dulu dia suka,”

Bima tersenyum samar. “Baguslah. Mama pasti suka,”

Maya menggeleng pelan, lalu menatap cangkir di tangannya. “Dia tidak ... benar-benar menghargai. Dia bahkan bilang kalau aku harusnya lebih tahu apa yang penting untuk keluarga ini,”

Bima mengangkat alis, tampak bingung. “Mungkin maksud Mama hanya bercanda,”

“Itu bukan bercanda, Sayang,” Maya memotong, suaranya bergetar. “Aku mencoba. Aku sudah berusaha untuk diterima oleh keluargamu. Tapi apa pun yang aku lakukan, rasanya selalu salah,”

Bima menghela napas, bersandar di kursinya. “Maya, kamu harus mengerti. Mama itu memang keras. Dia hanya ingin memastikan kamu cocok dengan standar keluarga kita,”

“Standar?” Maya menatapnya tajam. “Apa aku belum cukup? Aku sudah memberikan segalanya, tapi tetap saja aku dianggap kurang,”

Bukannya iba, ekspresi Bima malah berubah datar. “Ini bukan soal harta, May. Kamu harus berusaha lebih keras. Cobalah untuk lebih dekat dengan Papa Mama, lebih memahami apa yang mereka harapkan,”

Maya terdiam, tercengang mendengar jawaban Bima. “Berusaha lebih keras?” Dia mengulang dengan suara pelan tapi penuh emosi.

“Iya,” Bima menjawab tegas. “Kamu tidak bisa hanya mengeluh terus-terusan. Kalau kamu benar-benar peduli dengan hubungan kita, kamu harus bisa membuktikan kalau kamu mau beradaptasi,”

"Beradaptasi?" ulang Maya, nyaris tertawa sinis. "Sudah lima tahun aku beradaptasi, Bim. Lima tahun aku mencoba menjadi istri yang baik, menantu yang baik. Tapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba, mereka tetap melihatku rendah. Dan sekarang, kamu malah menyalahkan aku?”

Bima menghela napas panjang, seperti sudah lelah dengan pembicaraan ini. “Aku tidak menyalahkanmu, May. Aku cuma bilang kalau kamu kurang berusaha,”

Kata-kata itu menghantam Maya lebih keras daripada yang dia bayangkan. Hatinya terasa hancur, tapi dia menahan air matanya agar tidak tumpah di depan Bima.

“Baik,” Suara Maya hampir seperti berbisik. “Kalau itu yang kamu pikirkan,”

Maya berdiri, meninggalkan ruang keluarga tanpa menoleh ke belakang. Dia masuk ke kamar tidur, menutup pintu dan akhirnya membiarkan air matanya mengalir.

***

Setelah puas menangis, Maya akhirnya keluar dari kamar. Wajahnya sedikit sembab, tetapi dia terlalu lelah untuk peduli. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara TV yang masih menyala di ruang keluarga.

Maya melangkah pelan, mendapati Bima tertidur di sofa dengan posisi yang tidak nyaman. Laptopnya masih menyala di meja, menampilkan layar yang penuh angka dan grafik. Maya mendekat, merasa tergelitik untuk mematikannya agar baterai tidak habis.

Namun, saat dia melihat layar lebih dekat, sesuatu menarik perhatiannya. Angka-angka merah dan grafik menukik tajam memenuhi tabel di layar. Judul di bagian atas dokumen itu berbunyi: Laporan Keuangan Perusahaan PT Santoso Raya.

Maya tertegun. Perusahaan Bima? Bukankah selama ini Bima selalu membanggakan kesuksesan bisnisnya? Tapi angka-angka ini jelas menunjukkan kebalikannya—kerugian besar selama beberapa kuartal terakhir.

Tangan Maya gemetar saat dia menggulir dokumen itu lebih jauh. Setiap halaman memperlihatkan masalah yang sama. Hutang yang membengkak, penjualan yang menurun, dan investasi yang gagal.

Jantung Maya berdegup kencang. Pikirannya melayang kembali ke lima tahun lalu, saat Bima memohon padanya untuk meminjamkan uang warisan yang dia terima dari almarhum orang tuanya.

"Ini investasi besar, Maya," kata Bima waktu itu, dengan penuh semangat. "Aku janji, perusahaan ini akan sukses besar. Kita akan hidup nyaman, dan aku akan membanggakan namamu di depan keluargaku,"

Maya menatap Bima yang masih tertidur lelap. Wajah suaminya terlihat begitu damai, seolah tidak ada beban apa pun. Namun Maya tahu kenyataan tidak seperti itu. Dia bergegas mematikan laptop dan meletakkannya di meja. Pandangan Maya tetap pada Bima selama beberapa detik.

***

Harjono duduk di kursi kulitnya yang besar, mengamati laporan keuangan perusahaan yang tergeletak di atas meja. Wajahnya tampak tegang. Di seberangnya Raka duduk dengan santai, meski matanya menyiratkan kecemasan. Adik Bima itu menyesap kopi yang disediakan pelayan sebelum akhirnya memulai pembicaraan.

"Pa, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama," kata Raka, mencondongkan tubuh ke depan. "Hutang perusahaan sudah hampir jatuh tempo. Kalau tidak ada suntikan dana segera, kita bisa kehilangan semuanya,"

Harjono mengangguk pelan, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu jati. "Aku tahu. Dan aku sudah memikirkan solusinya,"

Raka menaikkan alis. "Apa? Pinjaman bank? Atau menjual sebagian saham?"

"Bukan," jawab Harjono tegas. "Itu terlalu berisiko. Saham kita sudah tertekan, dan bank pasti tidak akan memberikan pinjaman dengan kondisi seperti itu,"

Raka mengerutkan kening. "Lalu, apa rencana Papa?"

Harjono menghela napas panjang, lalu memandang Raka dengan tatapan tajam. "Aset terakhir Maya,"

Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud ucapan ayahnya. "Aset Maya? Maksud Papa ... tanah di kawasan Sentral itu?"

Harjono mengangguk. "Iya. Itu satu-satunya aset yang masih bernilai tinggi dan bisa dijual dengan cepat. Kalau Maya mau menjualnya, kita bisa menyelamatkan perusahaan,"

Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, berpikir keras. "Tapi Pa, itu kan warisan orang tua Maya. Apa dia mau menyerahkannya begitu saja?"

Harjono menyeringai kecil, tatapannya penuh perhitungan. "Maya itu lemah. Selama ini, dia selalu menurut pada keluarga kita, terutama pada Bima. Kita hanya perlu meyakinkan Bima untuk bicara padanya,"

Raka mengangguk pelan, meski ada sedikit keraguan di matanya. "Tapi kalau Maya menolak, bagaimana?"

"Dia tidak akan menolak," Harjono menjawab dengan percaya diri. "Dia selalu ingin diterima di keluarga ini. Kalau kita buat dia merasa ini adalah cara untuk membuktikan dirinya diterima, dia pasti akan setuju,"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 4 Berubah Bahagia

    Maya menyesap secangkir latte sambil menatap layar laptop di hadapannya. Kafe kecil ini adalah tempat pelariannya. Di sini, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Menghabiskan waktu dengan proyek desain kecil-kecilan yang dia kerjakan untuk menambah penghasilan. Meski proyek-proyek itu tidak terlalu besar, Maya merasa bahagia. Setidaknya, dia masih bisa menggunakan bakatnya di bidang desain grafis. Sesuatu yang sudah dia cintai sejak masa kuliah.“Maya?” sapa seseorang tiba-tiba.Maya mendongak. Seorang pria tinggi berpenampilan rapi menatapnya sedikit bimbang. Wajah pria itu langsung dikenali Maya, meski waktu telah berlalu.“Reza?” Suara Maya terdengar ragu, tapi senyumnya segera mengembang. “Astaga, sudah lama sekali!”Reza tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ini kamu! Boleh duduk?" seru Reza, lebih antusias.“Tentu,” jawab Maya, masih terkejut dengan kehadiran pria itu.Reza Bastian. Seorang teman dekat Maya di kampus dan pernah mengungk

    Last Updated : 2024-12-11
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 5 Tidak Kuat Lagi

    Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang

    Last Updated : 2024-12-11
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 6 Dalam Setiap Langkah

    Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin a

    Last Updated : 2024-12-15
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 7 Terlalu Sensitif

    Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.Maya keluar dari dapur dengan nampa

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 8 Mendukung Suami

    Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 9 Memahami Posisiku

    Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 10 Masih Istrimu

    Ciuman itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hawa dingin malam tidak terasa karena panas yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit dalam mobil. Penuh gairah.“Bim … “ Nina mendorong mundur tubuh Bima. Karena pria itu mulai bergerak mengecup lehernya. “Aku masuk dulu,” bisiknya.Bima hanya menatap tanpa banyak berkata-kata. Ketika Nina melangkah keluar dan berjalan menuju pintu rumahnya, Bima tetap di sana. Memperhatikan hingga sosok Nina menghilang di balik pintu.Namun saat Bima duduk sendiri dalam mobil, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan Maya yang menunggu di rumah dan semua pengorbanan yang pernah dilakukan istrinya, perlahan muncul di pikirannya.***Bima membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap langkahnya yang pelan tidak membangunkan Maya. Namun, begitu dia masuk, dia langsung mendapati Maya duduk di sofa ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan di wajah Maya yang tampak letih. Namun jelas belum tidur.“Kamu

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 11 Rahasia Kecil

    Malam itu, Bima tiba lebih dulu. Restoran hotel Grand Vista yang mewah itu dipenuhi obrolan pelan dan denting peralatan makan. Bima memilih meja di sudut ruangan yang lebih sepi, dengan pemandangan ke arah kolam renang. Dia terlihat resah, memainkan gelas air mineral yang baru saja diantarkan pelayan.Lima belas menit kemudian, Nina datang."Maaf menunggu lama, Bim," Nina duduk dengan anggun di hadapan Bima.Bima meneguk airnya, mencoba mengalihkan pandangan. "Aku ingin kita bahas soal kemajuan proyek di bagian pemasaran,"Nina menyandarkan diri ke kursi, menatap Bima dengan sorot mata yang tajam tapi lembut. "Bim, kita ini kan bisa saja membicarakan soal proyek di kantor. Tapi kalau kamu memang ingin makan malam bareng, aku juga tidak keberatan,"Bima terdiam sejenak, tatapannya beralih ke menu yang dipegangnya. "Aku cuma ingin memastikan proyek berjalan lancar,"Nina tertawa kecil, pelan tapi cukup membuat Bima merasa sedikit canggung. "Kamu masih sama seperti dulu, ya. Selalu pakai

    Last Updated : 2025-01-06

Latest chapter

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 112 Diam Saja

    “Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 111 Tak Punya Hak

    Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 110 Mengancam Raka

    “Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 109 Kehilangan Segalanya

    Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 108 Tidak Tahu Diri

    Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 107 Air Mata Mengalir

    Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 106 Secara Bertahap

    Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 105 Fluktuasi

    Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 104 Utang Nyawa

    Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status