Maya menyesap secangkir latte sambil menatap layar laptop di hadapannya. Kafe kecil ini adalah tempat pelariannya. Di sini, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Menghabiskan waktu dengan proyek desain kecil-kecilan yang dia kerjakan untuk menambah penghasilan. Meski proyek-proyek itu tidak terlalu besar, Maya merasa bahagia. Setidaknya, dia masih bisa menggunakan bakatnya di bidang desain grafis. Sesuatu yang sudah dia cintai sejak masa kuliah.
“Maya?” sapa seseorang tiba-tiba.
Maya mendongak. Seorang pria tinggi berpenampilan rapi menatapnya sedikit bimbang. Wajah pria itu langsung dikenali Maya, meski waktu telah berlalu.
“Reza?” Suara Maya terdengar ragu, tapi senyumnya segera mengembang. “Astaga, sudah lama sekali!”
Reza tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ini kamu! Boleh duduk?" seru Reza, lebih antusias.
“Tentu,” jawab Maya, masih terkejut dengan kehadiran pria itu.
Reza Bastian. Seorang teman dekat Maya di kampus dan pernah mengungkapkan perasaannya pada Maya. Namun Maya yang saat itu sudah mulai dekat dengan Bima, memilih untuk tidak menanggapi perasaan Reza.
Mereka pun mulai berbincang, mengenang masa-masa kuliah. Reza kini telah berubah—lebih dewasa, lebih percaya diri, dan terlihat sangat sukses.
“Apa kabar? Sudah lama tidak mendengar kabarmu,” tanya Reza.
Maya tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegetiran dalam hidupnya. "Baik, kok. Aku sekarang lebih banyak di rumah, mengurus keluarga,"
“Oh, jadi ibu rumah tangga sekarang?” Reza tampak terkejut. “Bima memperlakukanmu dengan baik, ya?”
“Ya, begitulah,” jawab Maya singkat, lalu cepat mengalihkan pembicaraan. “Kamu sendiri bagaimana? Kelihatannya sangat sukses,”
Reza tertawa kecil. “Begitulah. Aku sekarang menjalankan perusahaan agensi kreatif. Kita fokus di bidang pemasaran digital, branding dan desain. Jadi, bisa dibilang aku masih berhubungan dengan dunia kreatif,”
Mata Maya berbinar mendengar penjelasannya. “Wow, luar biasa! Kamu memang selalu punya ide-ide kreatif sejak dulu,” komentarnya.
Reza tersenyum. “Terima kasih. Tapi aku yakin, kamu juga masih berbakat di bidang itu. Lihat saja, kamu lagi sibuk apa ini?” Dia menunjuk laptop Maya.
“Oh, cuma proyek kecil-kecilan,” seloroh Maya, merendah. “Kamu tahu aku suka desain grafis, jadi kadang ambil kerjaan freelance. Tidak besar, tapi cukup bikin senang,”
Maya tersenyum lebar, begitu manis. Sedetik kemudian, Reza merasa hatinya sedikit berdesir. Melihat Maya setelah sekian lama, bukanlah hal yang mudah untuknya.
“Kalau kamu tertarik, kenapa tidak coba kerja lagi secara profesional? Di perusahaanku, misalnya. Kami butuh orang berbakat sepertimu,” ucap Reza.
Maya terkejut. “Kamu serius?”
“Tentu saja,” balas Reza. “Kamu punya pengalaman, punya bakat, dan aku yakin kamu bisa membantu banyak di tim kami,”
Maya terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu.
“Aku akan pikirkan,” Akhirnya Maya berkata dengan senyum tipis.
“Bagus,” kata Reza. “Kalau kamu sudah siap, beri tahu aku. Aku akan selalu terbuka untuk kamu,” Dia memberikan kartu namanya pada Maya.
***
(Beberapa hari kemudian … )
Maya duduk di meja makan besar keluarga Santoso, mengamati wajah-wajah yang sudah dikenalnya. Meski tidak pernah benar-benar merasa dekat dengan mereka. Makan malam itu seharusnya menjadi momen hangat bersama keluarga besar, tetapi Maya justru seperti terjebak dalam pusaran api.
“Maya,” kata Harjono sambil menatap langsung ke arah menantunya. “Kondisi perusahaan Bima sedang sulit. Kami sudah berdiskusi, dan menurutku, ini saatnya kamu menunjukkan dukungan pada suamimu,”
Maya mencoba tetap tenang. “Apa maksud Ayah?” tanyanya hati-hati.
Harjono melipat tangannya di dada. “Jual saja mobil yang kamu pakai itu. Dan kalau bisa, perhiasanmu juga. Uangnya bisa digunakan untuk menyelamatkan perusahaan Bima. Lagipula, mobil itu kan hanya kamu gunakan untuk keperluan sehari-hari,”
Maya membelalakkan matanya, terkejut dengan permintaan yang begitu terang-terangan. "Tapi Ayah, mobil itu satu-satunya kendaraan yang aku punya,"
Sebelum Maya sempat melanjutkan, suara Vina memotong dengan nada tajam. “Kalau kamu peduli dengan keluarga ini, harusnya kamu rela, Kak Maya. Ini soal bisnis keluarga, bukan cuma urusan pribadi. Jangan cuma bisa menikmati, tapi tidak mau berkorban,”
“Aku sudah banyak berkorban,” jawab Maya, suaranya sedikit bergetar. “Uang warisan dulu diberikan untuk mendirikan bisnis itu, dan—”
“Kamu masih berani bicara soal itu?” sambar Sulastri. Dia mendengus sinis. “Kamu benar-benar tidak tahu diri. Apa kamu lupa? Kamu yang beruntung menikah dengan Bima. Kalau bukan karena dia, kamu mungkin cuma jadi istri biasa yang tidak punya apa-apa!”
Ruangan terasa sunyi sejenak. Semua mata tertuju pada Maya, yang wajahnya kini memerah menahan amarah dan rasa malu. Pandangannya mencoba mencari sosok Bima yang duduk di depannya. Tapi Bima hanya menunduk, mengaduk makanan di piring seolah-olah tidak mendengar apapun.
***
Maya membuka pintu depan rumahnya dengan amat keras. Kejadian makan malam tadi sungguh membuat emosinya melonjak sampai tenggorokannya terasa sangat sakit.
“Kenapa kamu diam saja tadi? Kenapa kamu membiarkan orang tuamu bicara seperti itu kepada aku?” hardik Maya pada Bima.
Bima mendesah, tampak lelah. “Aku tidak mau memperkeruh suasana. Papa hanya ingin membantu. Kamu harusnya bisa mengerti,”
“Mereka mempermalukan aku di depan semua orang, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk membelaku. Apa aku ini hanya alat bagi kamu dan keluargamu? Aku sudah memberikan segalanya untuk bisnis itu, dan sekarang mereka ingin aku memberikan lebih?”
Bima menatap Maya dengan ekspresi datar. “Ini tentang keluarga, Maya. Kadang, kita harus berkorban untuk keluarga,”
Maya terkekeh sinis, air mata mulai menggenang di matanya. “Lalu, di mana kamu sebagai suami? Bukankah tugasmu melindungiku? Mendukungku? Tapi yang kamu lakukan hanya membiarkan aku dihina, dipermalukan!”
“Cukup, Maya!” Bima akhirnya berseru, suaranya meninggi. “Kamu terlalu sensitif. Mereka tidak bermaksud seperti itu. Kalau kamu mau membantu, bantu saja. Jangan banyak mengeluh!”
Tanpa menunggu jawaban, Maya berbalik dan pergi ke kamar. Meninggalkan Bima di ruang tamu. Dia membanting tasnya begitu saja ke lantai, dan isinya berserakan. Dengan mata yang buram karena tangisan, samar-samar Maya melihat secarik kartu nama Reza yang masih dia simpan di dalam tasnya. Maya membungkuk untuk mengambil kartu nama itu.
Andai saja aku memilih Reza. Apakah hidupku akan berubah bahagia?
Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang
Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin a
Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.Maya keluar dari dapur dengan nampa
Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert
Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k
Ciuman itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hawa dingin malam tidak terasa karena panas yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit dalam mobil. Penuh gairah.“Bim … “ Nina mendorong mundur tubuh Bima. Karena pria itu mulai bergerak mengecup lehernya. “Aku masuk dulu,” bisiknya.Bima hanya menatap tanpa banyak berkata-kata. Ketika Nina melangkah keluar dan berjalan menuju pintu rumahnya, Bima tetap di sana. Memperhatikan hingga sosok Nina menghilang di balik pintu.Namun saat Bima duduk sendiri dalam mobil, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan Maya yang menunggu di rumah dan semua pengorbanan yang pernah dilakukan istrinya, perlahan muncul di pikirannya.***Bima membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap langkahnya yang pelan tidak membangunkan Maya. Namun, begitu dia masuk, dia langsung mendapati Maya duduk di sofa ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan di wajah Maya yang tampak letih. Namun jelas belum tidur.“Kamu
Malam itu, Bima tiba lebih dulu. Restoran hotel Grand Vista yang mewah itu dipenuhi obrolan pelan dan denting peralatan makan. Bima memilih meja di sudut ruangan yang lebih sepi, dengan pemandangan ke arah kolam renang. Dia terlihat resah, memainkan gelas air mineral yang baru saja diantarkan pelayan.Lima belas menit kemudian, Nina datang."Maaf menunggu lama, Bim," Nina duduk dengan anggun di hadapan Bima.Bima meneguk airnya, mencoba mengalihkan pandangan. "Aku ingin kita bahas soal kemajuan proyek di bagian pemasaran,"Nina menyandarkan diri ke kursi, menatap Bima dengan sorot mata yang tajam tapi lembut. "Bim, kita ini kan bisa saja membicarakan soal proyek di kantor. Tapi kalau kamu memang ingin makan malam bareng, aku juga tidak keberatan,"Bima terdiam sejenak, tatapannya beralih ke menu yang dipegangnya. "Aku cuma ingin memastikan proyek berjalan lancar,"Nina tertawa kecil, pelan tapi cukup membuat Bima merasa sedikit canggung. "Kamu masih sama seperti dulu, ya. Selalu pakai
“Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.