Share

Bab 7 Terlalu Sensitif

Author: Dama Mei
last update Last Updated: 2024-12-20 17:41:45

Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.

Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.

“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.

Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.

“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” 

Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.

Maya keluar dari dapur dengan nampan berisi minuman. “Selamat datang, semuanya,” katanya, mencoba terdengar ramah.

Sulastri langsung menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu sibuk di dapur? Baguslah. Setidaknya kamu punya kesibukan,”

Maya menelan ludah, memilih untuk tidak membalas komentar itu. Dia hanya meletakkan minuman di meja dan kembali ke dapur untuk mengambil makanan.

Makan malam dimulai. Dan Maya duduk di sebelah Bima, mendengarkan percakapan yang didominasi oleh Harjono dan Raka tentang bisnis. Bima dengan penuh semangat, menceritakan bagaimana perusahaannya hampir bangkrut tetapi akhirnya terselamatkan.

“Semua ini berkat Maya,” kata Bima sambil tersenyum pada istrinya. “Dia rela menjual tanah warisan keluarganya demi menyelamatkan perusahaan. Aku benar-benar beruntung punya istri seperti dia,”

Maya merasa wajahnya memerah mendengar pujian itu. Sementara Bima menggenggam erat satu sisi tangan Maya yang ada di sebelahnya.

“Ya, beruntung sekali, Mas Bima,” kata Vina. “Tidak semua istri mau berkorban begitu banyak untuk suaminya. Tapi, itu memang tugas seorang istri, kan?” Ada nada menyindir dari ucapannya.

“Tapi tetap saja, Maya. Jangan terlalu bangga dulu,” Sulastri ikut menambahkan. “Menjual tanah itu keputusan yang baik, tapi kalau dari awal kamu mau lebih perhatian ke bisnis Bima, mungkin situasi ini tidak akan terjadi,”

Maya terdiam. Sulastri bahkan tidak menatapnya saat mengucapkan kata-kata itu, seolah Maya tidak cukup penting untuk diberi perhatian.

Harjono hanya mengangguk sambil memotong makanannya. “Yang penting perusahaan Bima sekarang sudah stabil. Tapi ingat, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Jangan sampai ini terulang lagi,” katanya.

“Ya, ya, tentu. Kita akan bekerja lebih keras,” balas Bima dengan senyum lebar. Dia menoleh ke arah Maya untuk menularkan senyum itu. Sama sekali tidak peka dengan perasaan Maya.

Maya menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Pengorbanannya—sekali lagi tidak dihargai.

Setelah makan malam, Maya membersihkan meja sambil mendengar suara tawa dari ruang tamu, tempat keluarga Bima berbincang santai. Mereka tampak begitu nyaman, seolah dia hanya pelayan yang tidak penting. Bahkan Vina—sesama menantu tidak merasa punya kewajiban untuk membantu Maya.

Ketika akhirnya keluarganya pulang, Maya duduk di meja makan. Memandang piring-piring kotor dan gelas-gelas kosong di hadapannya. Tatapannya pias.

Bima masuk ke dapur. “Terima kasih sudah menyiapkan semuanya, Sayang. Aku yakin mereka senang,”

Maya menatap suaminya dengan mata yang penuh luka. “Bim, kenapa sikap orang tuamu selalu dingin padaku?” tanyanya.

Bima seketika mengerutkan kening. “Dingin bagaimana maksudmu?”

“Kamu masih ingat kejadian saat makan malam tadi, kan? Perkataan ibumu, semuanya,”

Bima menghela napas panjang. Kemudian meneguk segelas air putih yang baru saja dia ambil dari dalam kulkas.

“Kamu yang terlalu sensitif, May. Orang tuaku senang, tidak ada yang bersikap dingin padamu! Jangan berlebihan,” kilah Bima. “Kamu itu kalau sudah terlanjur benci, kamu akan benci seterusnya,”

Maya sudah membuka mulut hendak membela diri. Namun Bima mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, melarang Maya untuk bicara.

“Aku capek, May. Kalau kamu hanya ingin mengajakku berdebat, lebih baik aku istirahat!” seru Bima. Dia berlalu pergi begitu saja.

***

Beberapa bulan setelah tanah warisan Maya dijual, perusahaan Bima mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Maya memperhatikan perubahan itu dari detail kecil yang selalu Bima tampakkan padanya. Bima beberapa bulan sebelumnya selalu pulang dengan wajah lesu dan gelisah, kini mulai tampak lebih ceria. Senyumnya lebih sering menghiasi wajah, dan dia terlihat lebih percaya diri saat berbicara tentang bisnis.

“Perusahaan sudah mulai stabil,” kata Bima suatu malam saat makan malam bersama Maya. “Bahkan, ada investor baru yang tertarik. Kalau semua berjalan lancar, kita bisa melunasi utang-utang dalam waktu dekat,”

Maya tersenyum mendengar kabar itu. Dia benar-benar tulus berharap yang terbaik untuk suaminya.

Namun, seiring waktu janji-janji Bima untuk selalu melibatkan Maya terasa semakin jauh dari kenyataan. Bima mulai sibuk dengan pertemuan-pertemuan bisnis, menghadiri acara-acara eksklusif yang sebelumnya tidak mungkin dia datangi. Tapi tak sekalipun Bima mengajak Maya, meskipun sekadar sebagai pendamping.

“Aku dengar perusahaanmu sekarang sudah mulai berkembang pesat,” ucap Maya ketika mereka istirahat berdua di depan ruang televisi.

Bima yang sedang memeriksa dokumen di laptopnya menoleh sekilas. “Ini semua berkat kamu, Maya,”

Maya tersenyum. Namun senyum itu nampak begitu kecut. “Tapi … kenapa kamu tidak pernah mengajakku datang saat acara makan malam atau apapun yang butuh dampingan istri?”

Bima menghela napas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah-olah tengah berusaha mencari kata-kata yang tepat.

“Maya … kenapa kamu selalu mempermasalahkan hal kecil?” tanya Bima dengan nada pelan. “Aku berusaha membangun citraku di depan para investor,”

Maya mengerutkan kening. “Apa susahnya? Hanya mendampingi, Bima. Apa kamu tidak ingin menunjukkan siapa istrimu kepada rekan-rekan kerjamu?”

Sambil mencengkeram kepalanya, Bima menghela napas lagi. “Baik, baik. Aku akan mengajakmu makan malam di restoran besok. Oke?”

“Apa maksudmu?” Suara Maya sedikit meninggi. “Kamu pikir, aku hanya ingin menikmati makanan mewah, begitu? Aku hanya ingin membantu. Kamu bilang kita akan membangun ini bersama,”

“Suatu saat nanti,” jawab Bima dengan nada menenangkan. “Tapi sekarang, aku perlu fokus dulu. Percayalah, aku melakukan semua ini juga untuk kita,”

Maya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya masih ada perasaan mengganjal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 8 Mendukung Suami

    Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 9 Memahami Posisiku

    Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 10 Masih Istrimu

    Ciuman itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hawa dingin malam tidak terasa karena panas yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit dalam mobil. Penuh gairah.“Bim … “ Nina mendorong mundur tubuh Bima. Karena pria itu mulai bergerak mengecup lehernya. “Aku masuk dulu,” bisiknya.Bima hanya menatap tanpa banyak berkata-kata. Ketika Nina melangkah keluar dan berjalan menuju pintu rumahnya, Bima tetap di sana. Memperhatikan hingga sosok Nina menghilang di balik pintu.Namun saat Bima duduk sendiri dalam mobil, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan Maya yang menunggu di rumah dan semua pengorbanan yang pernah dilakukan istrinya, perlahan muncul di pikirannya.***Bima membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap langkahnya yang pelan tidak membangunkan Maya. Namun, begitu dia masuk, dia langsung mendapati Maya duduk di sofa ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan di wajah Maya yang tampak letih. Namun jelas belum tidur.“Kamu

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 11 Rahasia Kecil

    Malam itu, Bima tiba lebih dulu. Restoran hotel Grand Vista yang mewah itu dipenuhi obrolan pelan dan denting peralatan makan. Bima memilih meja di sudut ruangan yang lebih sepi, dengan pemandangan ke arah kolam renang. Dia terlihat resah, memainkan gelas air mineral yang baru saja diantarkan pelayan.Lima belas menit kemudian, Nina datang."Maaf menunggu lama, Bim," Nina duduk dengan anggun di hadapan Bima.Bima meneguk airnya, mencoba mengalihkan pandangan. "Aku ingin kita bahas soal kemajuan proyek di bagian pemasaran,"Nina menyandarkan diri ke kursi, menatap Bima dengan sorot mata yang tajam tapi lembut. "Bim, kita ini kan bisa saja membicarakan soal proyek di kantor. Tapi kalau kamu memang ingin makan malam bareng, aku juga tidak keberatan,"Bima terdiam sejenak, tatapannya beralih ke menu yang dipegangnya. "Aku cuma ingin memastikan proyek berjalan lancar,"Nina tertawa kecil, pelan tapi cukup membuat Bima merasa sedikit canggung. "Kamu masih sama seperti dulu, ya. Selalu pakai

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 12 Tidak Menarik

    “Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil

    Last Updated : 2025-01-07
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 13 Aroma

    Sesampainya di klinik, Maya membantu Vina turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Vina duduk dengan santai, memainkan ponselnya. Sementara Maya diam, matanya menatap kosong ke lantai.Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil nama Vina. Vina bangkit dengan anggun, lalu menoleh ke Maya.“Kak Maya, tunggu di sini saja, ya. Aku cuma sebentar kok,” katanya sambil tersenyum tipis.Setelah beberapa saat, Vina keluar dari ruangan dokter dengan ekspresi puas. Dia berjalan mendekati Maya, mengangkat tangannya yang memegang secarik kertas hasil pemeriksaan.“Semua sehat, Kak. Kata dokter, bayinya berkembang dengan baik,” kata Vina dengan nada bangga.Maya tersenyum tipis. “Syukurlah. Aku ikut senang,”“Kak Maya,” katanya sambil memandangi dirinya di kaca spion. “Kenapa tidak coba promil lagi? Siapa tahu kali ini berhasil,”Maya terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya. “Aku dan Bima sudah berusaha,” jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.“Tapi jangan menye

    Last Updated : 2025-01-07
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 14 Warisan

    Begitu Maya melangkah keluar dan pintu tertutup, Sulastri mendesah pelan sambil melirik ke arah Nina dan Vina.“Itulah Maya,” ucap Sulastri sinis, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dari dulu selalu terlalu serius. Tidak heran kalau Bima mulai bosan,”Vina yang tengah mengelus perutnya, tertawa kecil. “Aku juga heran, Bu. Kak Maya itu terlalu kaku. Padahal suami kan butuh istri yang bisa menjaga suasana tetap menyenangkan,”Nina menyilangkan kaki, tersenyum tipis. “Sepertinya Maya tidak terlalu suka bersosialisasi, ya? Bima sering terlihat sendiri di acara-acara perusahaan,”Sulastri mengangguk. “Memang begitu orangnya. Selalu merasa cukup dengan dirinya sendiri. Seakan-akan perhatian Bima itu milik dia sepenuhnya,”Vina terkekeh. “Iya, padahal kalau Kak Maya tahu caranya merawat diri, Mas Bima tidak akan melirik yang lain,”Nina tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hati, dia menikmati setiap kalimat yang keluar dari mulut Sulastri dan Vina. Rasanya seperti membuka jalan ya

    Last Updated : 2025-01-08
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 15 Kegelisahanmu

    Bima terdiam sejenak, cangkir kopinya terhenti di bibir. Dia meletakkannya kembali ke meja tanpa diminum. “Orang selalu suka berasumsi,” jawab Bima datar. Tapi matanya menghindari tatapan Nina.“Benarkah?” Nina bersandar, menyilangkan tangan. “Tapi sepertinya masuk akal. Maksudku ... bisnis kamu mulai jalan setelah Maya menjual aset-asetnya. Dan katanya tanah terakhir yang dijual itu lumayan besar, kan?”Bima menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan gelisah. “Aku tidak minta dia jual asetnya. Dia yang mau bantu,”Nina tertawa pelan. “Bantu? Atau ... merasa harus? Kamu cukup pandai merayu, Bima,” kekehnya.Bima menatap Nina tajam, merasa sedikit tersinggung. “Aku tidak pernah pakai cara kotor. Maya istriku. Aku kerja keras untuk keluarga kami,”Nina mengangkat tangan. “Tenang ... aku cuma bercanda. Tapi kalau aku jadi Maya, aku mungkin akan berpikir ulang soal warisan itu,”Bima terdiam, tidak bisa membalas. Kata-kata Nina terasa menusuk lebih dari yang dia

    Last Updated : 2025-01-08

Latest chapter

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 112 Diam Saja

    “Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 111 Tak Punya Hak

    Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 110 Mengancam Raka

    “Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 109 Kehilangan Segalanya

    Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 108 Tidak Tahu Diri

    Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 107 Air Mata Mengalir

    Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 106 Secara Bertahap

    Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 105 Fluktuasi

    Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 104 Utang Nyawa

    Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status