Share

Bab 5 Tidak Kuat Lagi

Penulis: Dama Mei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-11 20:50:04

Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.

Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.

“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.

Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.

Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”

Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang masih merah. “Semua orang bahagia? Siapa yang kamu maksud? Aku? Atau keluargamu?”

Bima terdiam sejenak. Dia menggeser tubuhnya lebih dekat ke Maya, menggapai tangan istrinya.

“Kamu tahu aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kita bisa melalui semua ini bersama-sama. Aku butuh kamu,” ucap Bima.

Maya menggelengkan kepala. “Kamu bilang butuh aku, tapi kamu bahkan tidak mendengarkanku. Kamu membiarkan mereka menghina aku, Bima. Kamu membuat aku merasa sendirian,”

Bima menunduk. “Aku tahu,” gumamnya. “Aku tahu aku salah. Aku egois. Aku terlalu memikirkan bisnis dan keluarga tanpa mempertimbangkan perasaanmu. Tapi aku tidak mau kehilangan kamu, Maya. Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku,”

Kata-kata itu. Meski terdengar sederhana, menyentuh sesuatu yang dalam di hati Maya. Dia menatap Bima, mencari kejujuran dalam mata suaminya. Untuk pertama kali malam itu, Maya melihat penyesalan di wajah Bima.

“Aku lelah. Aku lelah selalu berusaha, tapi tetap merasa tidak cukup,” Maya berbisik, suaranya bergetar. 

Bima menarik tubuh Maya ke dalam dekapannya. “Aku janji, aku akan berusaha lebih baik. Aku akan lebih mendengarkan kamu. Aku akan melindungi kamu, seperti seharusnya aku lakukan. Beri aku kesempatan,”

Maya terdiam. Sebagian dari dirinya ingin percaya, ingin memberi kesempatan seperti yang diminta suaminya. Tapi di sudut lain hatinya, ada luka yang masih menganga.

Maya akhirnya menghela napas panjang. “Kita lihat nanti, Bima. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Kamu harus membuktikan kalau aku benar-benar penting buat kamu,”

Bima mengangguk. Dia memeluk Maya, membiarkan kehangatan tubuhnya mencoba menyembuhkan luka di hati Maya.

***

“Kamu sering sekali ke sini, Bim. Maya mana?” tegur Sulastri saat melihat Bima masuk ke dalam rumahnya.

Bima menghela napas lalu merebahkan tubuh di sofa panjang di depan televisi. “Dia sibuk,”

“Sibuk apa? Dia kan cuma di rumah saja,” Sulastri mencibir.

“Maya lagi di kafe, Ma. Dia sedang menyelesaikan proyek desainnya,”

Sulastri makin mencibir dengan pandangan tak lepas dari layar televisi. “Proyek desain? Hah!” Sulastri mendengus, meletakkan cangkir teh di meja dengan sedikit kasar. “Apa gunanya itu semua? Bukannya uang hasil kerja kerasmu selama ini yang dia pakai untuk modal ‘main-main’ itu?”

“Ma, Maya juga punya hak untuk melakukan apa yang dia suka,” jawab Bima, meskipun nadanya mulai lelah.

Sulastri tidak menyerah. “Kalau dia punya hak, kamu juga punya kewajiban untuk memastikan keluargamu tidak jatuh miskin! Kita ini dalam situasi sulit, Bima. Dan perempuan itu—” Dia menunjuk dengan nada meremehkan. “—malah sibuk sendiri, bukannya bantu keluargamu yang sudah susah payah membesarkan kamu!”

“Cukup, Ma,” sela Harjono, meski tidak untuk membela Bima atau Maya. Dia hanya terganggu dengan suara keras istrinya. “Bima, apa kamu sudah bicara dengan Maya? Apa dia sudah setuju untuk menjual aset itu?”

Bima terdiam. Dia merasa seperti sedang dihakimi dari segala arah. Dia tahu aset yang dimaksud ayahnya—sebuah tanah di kawasan sentral yang nilainya luar biasa tinggi. Tanah itu adalah peninggalan orang tua Maya, sesuatu yang sangat berarti bagi Maya.

“Bima, kita tidak punya banyak waktu. Perusahaanmu sudah di ujung tanduk. Kalau tanah itu dijual, kita bisa menyelamatkan bisnis ini. Kamu hanya perlu membujuk Maya. Dia istrimu, dia pasti akan menuruti permintaanmu,”

Sulastri mengangguk setuju. “Benar. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan berpikir dua kali. Tapi kalau dia masih keras kepala … ” Sulastri mengangkat bahu dengan dramatis. “Aku tidak tahu lagi, Bima. Mungkin dia memang cuma memikirkan dirinya sendiri,”

Bima menggosok wajahnya dengan kedua tangan, frustrasi. Dia tahu tekanan ini tidak akan berhenti sampai dia memberikan jawaban yang memuaskan.

“Aku sudah bicara, Pa, Ma. Tapi Maya belum yakin. Aku tidak bisa memaksa dia begitu saja. Itu aset yang sangat dia jaga,” jawab Bima.

Harjono mengerutkan dahi. “Kamu ini laki-laki atau bukan? Maya itu istrimu. Tugasmu adalah meyakinkan dia kalau ini demi masa depan kalian bersama. Kalau dia benar-benar peduli pada keluarga, dia akan mengerti,”

“Benar,” tambah Sulastri. “Apa kamu mau kehilangan perusahaanmu, Bima? Lihat betapa kerasnya papamu bekerja untuk memastikan semuanya tetap bertahan. Sekarang giliran kamu membuktikan dirimu!”

Tekanan dari kedua orang tuanya membuat Bima merasa seperti dipojokkan. Di satu sisi, dia tahu apa yang mereka katakan ada benarnya.

“Baiklah,” Bima akhirnya menjawab dengan suara pelan. “Aku akan bicara lagi dengan Maya. Tapi aku tidak janji dia akan setuju,”

“Pastikan dia setuju, Bima,” ujar Harjono dengan nada ancaman. “Kalau tidak, kamu sendiri yang akan kehilangan segalanya,”

***

Maya pulang dari kafe. Saat membuka pintu rumah, keheningan menyambutnya. Biasanya Bima akan terdengar menonton televisi atau bekerja di ruangannya, tetapi malam ini suasana terasa sunyi.

Lampu ruang tamu menyala redup dan pemandangan di depannya membuat Maya terkejut. Tubuh Bima tergeletak di lantai, dengan beberapa botol minuman keras berserakan di sekitarnya. Maya tertegun, tubuhnya membeku di tempat.

“Bima!” Maya memekik, berlari menghampiri suaminya. Dia berlutut di samping tubuh Bima yang lunglai, mengguncang bahu Bima dengan panik. “Bima, bangun! Apa yang terjadi?”

Bima membuka matanya yang sayu, napasnya mengeluarkan aroma alkohol yang kuat. “Maya … ” Suaranya serak, hampir seperti bisikan. Dia mencoba duduk, tetapi tubuhnya terlalu lemah.

“Apa yang kamu lakukan?” Maya bertanya. Separuh marah, separuh khawatir. Dia membantu Bima duduk bersandar pada sofa. Lalu memeriksa wajah dan tubuh Bima untuk memastikan tidak ada luka atau cedera.

Bima menatap Maya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak kuat lagi, May … ” katanya lirih. Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya yang memerah.

Maya terkejut melihat Bima, yang selama ini dikenal sebagai pria tegar dan ambisius, tiba-tiba hancur seperti ini. “Apa maksudmu? Beban apa, Bim? Ceritakan padaku,” pintanya.

Bima menundukkan kepala. Tangannya gemetar saat mencoba mengusap wajah. “Perusahaan ... Perusahaanku akan bangkrut,”

Bab terkait

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 6 Dalam Setiap Langkah

    Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 7 Terlalu Sensitif

    Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.Maya keluar dari dapur dengan nampa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 8 Mendukung Suami

    Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 9 Memahami Posisiku

    Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 10 Masih Istrimu

    Ciuman itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hawa dingin malam tidak terasa karena panas yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit dalam mobil. Penuh gairah.“Bim … “ Nina mendorong mundur tubuh Bima. Karena pria itu mulai bergerak mengecup lehernya. “Aku masuk dulu,” bisiknya.Bima hanya menatap tanpa banyak berkata-kata. Ketika Nina melangkah keluar dan berjalan menuju pintu rumahnya, Bima tetap di sana. Memperhatikan hingga sosok Nina menghilang di balik pintu.Namun saat Bima duduk sendiri dalam mobil, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan Maya yang menunggu di rumah dan semua pengorbanan yang pernah dilakukan istrinya, perlahan muncul di pikirannya.***Bima membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap langkahnya yang pelan tidak membangunkan Maya. Namun, begitu dia masuk, dia langsung mendapati Maya duduk di sofa ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan di wajah Maya yang tampak letih. Namun jelas belum tidur.“Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 11 Rahasia Kecil

    Malam itu, Bima tiba lebih dulu. Restoran hotel Grand Vista yang mewah itu dipenuhi obrolan pelan dan denting peralatan makan. Bima memilih meja di sudut ruangan yang lebih sepi, dengan pemandangan ke arah kolam renang. Dia terlihat resah, memainkan gelas air mineral yang baru saja diantarkan pelayan.Lima belas menit kemudian, Nina datang."Maaf menunggu lama, Bim," Nina duduk dengan anggun di hadapan Bima.Bima meneguk airnya, mencoba mengalihkan pandangan. "Aku ingin kita bahas soal kemajuan proyek di bagian pemasaran,"Nina menyandarkan diri ke kursi, menatap Bima dengan sorot mata yang tajam tapi lembut. "Bim, kita ini kan bisa saja membicarakan soal proyek di kantor. Tapi kalau kamu memang ingin makan malam bareng, aku juga tidak keberatan,"Bima terdiam sejenak, tatapannya beralih ke menu yang dipegangnya. "Aku cuma ingin memastikan proyek berjalan lancar,"Nina tertawa kecil, pelan tapi cukup membuat Bima merasa sedikit canggung. "Kamu masih sama seperti dulu, ya. Selalu pakai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 12 Tidak Menarik

    “Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 13 Aroma

    Sesampainya di klinik, Maya membantu Vina turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Vina duduk dengan santai, memainkan ponselnya. Sementara Maya diam, matanya menatap kosong ke lantai.Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil nama Vina. Vina bangkit dengan anggun, lalu menoleh ke Maya.“Kak Maya, tunggu di sini saja, ya. Aku cuma sebentar kok,” katanya sambil tersenyum tipis.Setelah beberapa saat, Vina keluar dari ruangan dokter dengan ekspresi puas. Dia berjalan mendekati Maya, mengangkat tangannya yang memegang secarik kertas hasil pemeriksaan.“Semua sehat, Kak. Kata dokter, bayinya berkembang dengan baik,” kata Vina dengan nada bangga.Maya tersenyum tipis. “Syukurlah. Aku ikut senang,”“Kak Maya,” katanya sambil memandangi dirinya di kaca spion. “Kenapa tidak coba promil lagi? Siapa tahu kali ini berhasil,”Maya terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya. “Aku dan Bima sudah berusaha,” jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.“Tapi jangan menye

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 20 Firasat Buruk

    Bima duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen. Di tangannya ada sebuah map tebal berisi informasi yang baru saja dia dapatkan setelah berhari-hari menyelidiki."Jadi ini alasan Maya begitu tertutup tentang keluarganya," gumam Bima sambil membaca isi dokumen itu.Dokumen itu menyebutkan bahwa Maya adalah anak tunggal dari Rizal Alendra, pemilik sebuah perusahaan besar di bidang properti bernama Alendra Group. Perusahaan ini pernah menjadi salah satu yang terkemuka di tanah air, sebelum akhirnya mengalami kejatuhan akibat kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tua Rizal dan Desi Alendra.Kecelakaan itu terjadi lebih dari satu dekade lalu, di sebuah jalan tol yang lengang saat malam hari. Sebuah truk kehilangan kendali dan menghantam mobil yang ditumpangi orang tua Maya. Maya—yang saat itu masih remaja berhasil selamat karena tidak ikut dalam perjalanan tersebut.Bima membaca lebih lanjut. Ada beberapa aset keluarga Rizal Alendra yang masih tersembunyi

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 19 Keuntungan Tersembunyi

    Malam itu, Bima pulang lebih awal dari biasanya. Dia melihat Maya sedang duduk di ruang keluarga, membaca buku. Maya menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, tetapi ekspresinya tetap dingin ketika memandang Bima.Bima berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. "May, aku ingin kita bicara,"Maya meletakkan bukunya dan menatap Bima. "Tentang apa?"Bima menghela napas, lalu menggenggam tangan Maya dengan hati-hati. "Tentang kita,” Dia sengaja diam sejenak. “Aku sadar selama ini aku banyak salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu,"Maya terdiam, mencoba membaca ketulusan di wajah suaminya. "Kamu yakin? Aku sudah terlalu sering kecewa,"Bima mengangguk. "Aku yakin,” sahutnya. “Aku ingin kita memulai lagi. Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik,"Maya akhirnya mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca saat memandang Bima. “Kamu tahu, aku selalu peduli padamu. Atas semua hal. Tapi aku merasa … setelah kamu semakin sukses, kamu juga

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 18 Belum Selesai

    "Bima, tidak perlu marah begitu. Nina kan cuma mau membantu," tukas Sulastri, mencoba mencairkan suasana.Namun, Bima tidak menjawab ibunya. Dia memalingkan wajah dan berjalan pergi, meninggalkan Nina yang tampak kebingungan dan kesal.Bima melangkah menuju dapur, tempat Maya berdiri. Tatapan matanya sejenak beralih ke arah Bima yang mendekat, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Bima menghela napas, lalu mendekat. "Aku tahu tadi kamu sibuk bantu-bantu. Maaf kalau kamu jadi repot. Aku tidak tahu acara ini akan sebesar ini," katanya pelan, mencoba membuka percakapan.Maya hanya mengangguk kecil. "Tidak masalah. Toh, cuma diminta bantu-bantu sedikit. Aku istri kamu, kan? Wajar kalau aku disuruh-suruh," jawabnya.Sementara itu, Nina berdiri di ruang tamu, memandang ke arah dapur dengan ekspresi kesal. Tangannya mengepal erat, bibirnya mengerucut."Nina, jangan ambil hati. Bima memang keras kepala, tapi dia akan tahu mana yang lebih baik untuknya," bujuk Sulastri.Namun, Nina tida

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 17 Menahan Malu

    Maya tiba di rumah Sulastri dengan membawa beberapa bahan makanan yang diminta sebelumnya. Saat dia melangkah masuk ke ruang tengah, suasana rumah sudah mulai sibuk dengan persiapan acara 7 bulanan Vina. Sulastri terlihat sedang mengatur beberapa dekorasi, sementara kerabat lainnya sibuk di dapur.“Akhirnya datang juga,” kata Sulastri dengan nada datar. “Cepat bantu mereka di dapur. Banyak yang harus disiapkan,” perintahnya dengan culas pada Maya.Maya tersenyum kecil dan mengangguk. “Baik, Bu,”Saat Maya hendak melangkah ke dapur, pintu utama kembali terbuka. Semua orang—termasuk Maya, menoleh. Nina masuk mengenakan gaun anggun berwarna merah marun yang tampak terlalu mewah untuk acara sederhana seperti itu. Dia membawa sebuah bingkisan. Kemudian tersenyum lebar seperti tamu kehormatan.“Nina? Kamu datang juga?” seru Sulastri cukup keras. Dia segera mendekati Nina, menuntunnya masuk seolah-olah Nina adalah anggota keluarga yang sangat penting.“Selamat siang, Tante,” Nina menyapa den

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 16 Terlalu Intim

    Maya membuka pintu rumah dengan pelan. Lampu ruang tamu masih padam, menandakan Bima belum juga pulang. Maya melirik jam di dinding—sudah hampir tengah malam.Langkahnya terdengar sayup di lantai kayu menuju dapur. Sepanjang perjalanan pulang, Maya berharap suara teleponnya tadi bisa membuat Bima cepat kembali. Tapi yang dia dapatkan hanya panggilan yang sengaja diputus.Maya menghela napas panjang, membuka lemari es dan mengeluarkan botol air. Dia berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam di luar sana. Pikirannya terus berputar.“Dia pasti sibuk,” Maya mencoba meyakinkan diri sendiri. Dengan langkah gontai, Maya mematikan lampu dapur dan berjalan menuju kamar. Saat merebahkan diri di kasur, matanya tertuju pada sisi ranjang yang kosong. Dimana Bima sekarang?***Dua jam berlalu, suara pintu depan berderit pelan. Maya membuka mata, menajamkan pendengaran saat langkah kaki Bima terdengar mendekat. Dia pura-pura terlelap. Namun ketika Bima masuk kamar, aroma parfum yang begitu f

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 15 Kegelisahanmu

    Bima terdiam sejenak, cangkir kopinya terhenti di bibir. Dia meletakkannya kembali ke meja tanpa diminum. “Orang selalu suka berasumsi,” jawab Bima datar. Tapi matanya menghindari tatapan Nina.“Benarkah?” Nina bersandar, menyilangkan tangan. “Tapi sepertinya masuk akal. Maksudku ... bisnis kamu mulai jalan setelah Maya menjual aset-asetnya. Dan katanya tanah terakhir yang dijual itu lumayan besar, kan?”Bima menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan gelisah. “Aku tidak minta dia jual asetnya. Dia yang mau bantu,”Nina tertawa pelan. “Bantu? Atau ... merasa harus? Kamu cukup pandai merayu, Bima,” kekehnya.Bima menatap Nina tajam, merasa sedikit tersinggung. “Aku tidak pernah pakai cara kotor. Maya istriku. Aku kerja keras untuk keluarga kami,”Nina mengangkat tangan. “Tenang ... aku cuma bercanda. Tapi kalau aku jadi Maya, aku mungkin akan berpikir ulang soal warisan itu,”Bima terdiam, tidak bisa membalas. Kata-kata Nina terasa menusuk lebih dari yang dia

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 14 Warisan

    Begitu Maya melangkah keluar dan pintu tertutup, Sulastri mendesah pelan sambil melirik ke arah Nina dan Vina.“Itulah Maya,” ucap Sulastri sinis, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dari dulu selalu terlalu serius. Tidak heran kalau Bima mulai bosan,”Vina yang tengah mengelus perutnya, tertawa kecil. “Aku juga heran, Bu. Kak Maya itu terlalu kaku. Padahal suami kan butuh istri yang bisa menjaga suasana tetap menyenangkan,”Nina menyilangkan kaki, tersenyum tipis. “Sepertinya Maya tidak terlalu suka bersosialisasi, ya? Bima sering terlihat sendiri di acara-acara perusahaan,”Sulastri mengangguk. “Memang begitu orangnya. Selalu merasa cukup dengan dirinya sendiri. Seakan-akan perhatian Bima itu milik dia sepenuhnya,”Vina terkekeh. “Iya, padahal kalau Kak Maya tahu caranya merawat diri, Mas Bima tidak akan melirik yang lain,”Nina tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hati, dia menikmati setiap kalimat yang keluar dari mulut Sulastri dan Vina. Rasanya seperti membuka jalan ya

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 13 Aroma

    Sesampainya di klinik, Maya membantu Vina turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Vina duduk dengan santai, memainkan ponselnya. Sementara Maya diam, matanya menatap kosong ke lantai.Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil nama Vina. Vina bangkit dengan anggun, lalu menoleh ke Maya.“Kak Maya, tunggu di sini saja, ya. Aku cuma sebentar kok,” katanya sambil tersenyum tipis.Setelah beberapa saat, Vina keluar dari ruangan dokter dengan ekspresi puas. Dia berjalan mendekati Maya, mengangkat tangannya yang memegang secarik kertas hasil pemeriksaan.“Semua sehat, Kak. Kata dokter, bayinya berkembang dengan baik,” kata Vina dengan nada bangga.Maya tersenyum tipis. “Syukurlah. Aku ikut senang,”“Kak Maya,” katanya sambil memandangi dirinya di kaca spion. “Kenapa tidak coba promil lagi? Siapa tahu kali ini berhasil,”Maya terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya. “Aku dan Bima sudah berusaha,” jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.“Tapi jangan menye

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 12 Tidak Menarik

    “Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil

DMCA.com Protection Status