Share

Bab 5 Tidak Kuat Lagi

Author: Dama Mei
last update Last Updated: 2024-12-11 20:50:04

Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.

Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.

“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.

Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.

Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”

Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang masih merah. “Semua orang bahagia? Siapa yang kamu maksud? Aku? Atau keluargamu?”

Bima terdiam sejenak. Dia menggeser tubuhnya lebih dekat ke Maya, menggapai tangan istrinya.

“Kamu tahu aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kita bisa melalui semua ini bersama-sama. Aku butuh kamu,” ucap Bima.

Maya menggelengkan kepala. “Kamu bilang butuh aku, tapi kamu bahkan tidak mendengarkanku. Kamu membiarkan mereka menghina aku, Bima. Kamu membuat aku merasa sendirian,”

Bima menunduk. “Aku tahu,” gumamnya. “Aku tahu aku salah. Aku egois. Aku terlalu memikirkan bisnis dan keluarga tanpa mempertimbangkan perasaanmu. Tapi aku tidak mau kehilangan kamu, Maya. Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku,”

Kata-kata itu. Meski terdengar sederhana, menyentuh sesuatu yang dalam di hati Maya. Dia menatap Bima, mencari kejujuran dalam mata suaminya. Untuk pertama kali malam itu, Maya melihat penyesalan di wajah Bima.

“Aku lelah. Aku lelah selalu berusaha, tapi tetap merasa tidak cukup,” Maya berbisik, suaranya bergetar. 

Bima menarik tubuh Maya ke dalam dekapannya. “Aku janji, aku akan berusaha lebih baik. Aku akan lebih mendengarkan kamu. Aku akan melindungi kamu, seperti seharusnya aku lakukan. Beri aku kesempatan,”

Maya terdiam. Sebagian dari dirinya ingin percaya, ingin memberi kesempatan seperti yang diminta suaminya. Tapi di sudut lain hatinya, ada luka yang masih menganga.

Maya akhirnya menghela napas panjang. “Kita lihat nanti, Bima. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Kamu harus membuktikan kalau aku benar-benar penting buat kamu,”

Bima mengangguk. Dia memeluk Maya, membiarkan kehangatan tubuhnya mencoba menyembuhkan luka di hati Maya.

***

“Kamu sering sekali ke sini, Bim. Maya mana?” tegur Sulastri saat melihat Bima masuk ke dalam rumahnya.

Bima menghela napas lalu merebahkan tubuh di sofa panjang di depan televisi. “Dia sibuk,”

“Sibuk apa? Dia kan cuma di rumah saja,” Sulastri mencibir.

“Maya lagi di kafe, Ma. Dia sedang menyelesaikan proyek desainnya,”

Sulastri makin mencibir dengan pandangan tak lepas dari layar televisi. “Proyek desain? Hah!” Sulastri mendengus, meletakkan cangkir teh di meja dengan sedikit kasar. “Apa gunanya itu semua? Bukannya uang hasil kerja kerasmu selama ini yang dia pakai untuk modal ‘main-main’ itu?”

“Ma, Maya juga punya hak untuk melakukan apa yang dia suka,” jawab Bima, meskipun nadanya mulai lelah.

Sulastri tidak menyerah. “Kalau dia punya hak, kamu juga punya kewajiban untuk memastikan keluargamu tidak jatuh miskin! Kita ini dalam situasi sulit, Bima. Dan perempuan itu—” Dia menunjuk dengan nada meremehkan. “—malah sibuk sendiri, bukannya bantu keluargamu yang sudah susah payah membesarkan kamu!”

“Cukup, Ma,” sela Harjono, meski tidak untuk membela Bima atau Maya. Dia hanya terganggu dengan suara keras istrinya. “Bima, apa kamu sudah bicara dengan Maya? Apa dia sudah setuju untuk menjual aset itu?”

Bima terdiam. Dia merasa seperti sedang dihakimi dari segala arah. Dia tahu aset yang dimaksud ayahnya—sebuah tanah di kawasan sentral yang nilainya luar biasa tinggi. Tanah itu adalah peninggalan orang tua Maya, sesuatu yang sangat berarti bagi Maya.

“Bima, kita tidak punya banyak waktu. Perusahaanmu sudah di ujung tanduk. Kalau tanah itu dijual, kita bisa menyelamatkan bisnis ini. Kamu hanya perlu membujuk Maya. Dia istrimu, dia pasti akan menuruti permintaanmu,”

Sulastri mengangguk setuju. “Benar. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan berpikir dua kali. Tapi kalau dia masih keras kepala … ” Sulastri mengangkat bahu dengan dramatis. “Aku tidak tahu lagi, Bima. Mungkin dia memang cuma memikirkan dirinya sendiri,”

Bima menggosok wajahnya dengan kedua tangan, frustrasi. Dia tahu tekanan ini tidak akan berhenti sampai dia memberikan jawaban yang memuaskan.

“Aku sudah bicara, Pa, Ma. Tapi Maya belum yakin. Aku tidak bisa memaksa dia begitu saja. Itu aset yang sangat dia jaga,” jawab Bima.

Harjono mengerutkan dahi. “Kamu ini laki-laki atau bukan? Maya itu istrimu. Tugasmu adalah meyakinkan dia kalau ini demi masa depan kalian bersama. Kalau dia benar-benar peduli pada keluarga, dia akan mengerti,”

“Benar,” tambah Sulastri. “Apa kamu mau kehilangan perusahaanmu, Bima? Lihat betapa kerasnya papamu bekerja untuk memastikan semuanya tetap bertahan. Sekarang giliran kamu membuktikan dirimu!”

Tekanan dari kedua orang tuanya membuat Bima merasa seperti dipojokkan. Di satu sisi, dia tahu apa yang mereka katakan ada benarnya.

“Baiklah,” Bima akhirnya menjawab dengan suara pelan. “Aku akan bicara lagi dengan Maya. Tapi aku tidak janji dia akan setuju,”

“Pastikan dia setuju, Bima,” ujar Harjono dengan nada ancaman. “Kalau tidak, kamu sendiri yang akan kehilangan segalanya,”

***

Maya pulang dari kafe. Saat membuka pintu rumah, keheningan menyambutnya. Biasanya Bima akan terdengar menonton televisi atau bekerja di ruangannya, tetapi malam ini suasana terasa sunyi.

Lampu ruang tamu menyala redup dan pemandangan di depannya membuat Maya terkejut. Tubuh Bima tergeletak di lantai, dengan beberapa botol minuman keras berserakan di sekitarnya. Maya tertegun, tubuhnya membeku di tempat.

“Bima!” Maya memekik, berlari menghampiri suaminya. Dia berlutut di samping tubuh Bima yang lunglai, mengguncang bahu Bima dengan panik. “Bima, bangun! Apa yang terjadi?”

Bima membuka matanya yang sayu, napasnya mengeluarkan aroma alkohol yang kuat. “Maya … ” Suaranya serak, hampir seperti bisikan. Dia mencoba duduk, tetapi tubuhnya terlalu lemah.

“Apa yang kamu lakukan?” Maya bertanya. Separuh marah, separuh khawatir. Dia membantu Bima duduk bersandar pada sofa. Lalu memeriksa wajah dan tubuh Bima untuk memastikan tidak ada luka atau cedera.

Bima menatap Maya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak kuat lagi, May … ” katanya lirih. Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya yang memerah.

Maya terkejut melihat Bima, yang selama ini dikenal sebagai pria tegar dan ambisius, tiba-tiba hancur seperti ini. “Apa maksudmu? Beban apa, Bim? Ceritakan padaku,” pintanya.

Bima menundukkan kepala. Tangannya gemetar saat mencoba mengusap wajah. “Perusahaan ... Perusahaanku akan bangkrut,”

Related chapters

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 6 Dalam Setiap Langkah

    Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin a

    Last Updated : 2024-12-15
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 7 Terlalu Sensitif

    Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.Maya keluar dari dapur dengan nampa

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 8 Mendukung Suami

    Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 9 Memahami Posisiku

    Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 10 Masih Istrimu

    Ciuman itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hawa dingin malam tidak terasa karena panas yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit dalam mobil. Penuh gairah.“Bim … “ Nina mendorong mundur tubuh Bima. Karena pria itu mulai bergerak mengecup lehernya. “Aku masuk dulu,” bisiknya.Bima hanya menatap tanpa banyak berkata-kata. Ketika Nina melangkah keluar dan berjalan menuju pintu rumahnya, Bima tetap di sana. Memperhatikan hingga sosok Nina menghilang di balik pintu.Namun saat Bima duduk sendiri dalam mobil, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan Maya yang menunggu di rumah dan semua pengorbanan yang pernah dilakukan istrinya, perlahan muncul di pikirannya.***Bima membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap langkahnya yang pelan tidak membangunkan Maya. Namun, begitu dia masuk, dia langsung mendapati Maya duduk di sofa ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan di wajah Maya yang tampak letih. Namun jelas belum tidur.“Kamu

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 11 Rahasia Kecil

    Malam itu, Bima tiba lebih dulu. Restoran hotel Grand Vista yang mewah itu dipenuhi obrolan pelan dan denting peralatan makan. Bima memilih meja di sudut ruangan yang lebih sepi, dengan pemandangan ke arah kolam renang. Dia terlihat resah, memainkan gelas air mineral yang baru saja diantarkan pelayan.Lima belas menit kemudian, Nina datang."Maaf menunggu lama, Bim," Nina duduk dengan anggun di hadapan Bima.Bima meneguk airnya, mencoba mengalihkan pandangan. "Aku ingin kita bahas soal kemajuan proyek di bagian pemasaran,"Nina menyandarkan diri ke kursi, menatap Bima dengan sorot mata yang tajam tapi lembut. "Bim, kita ini kan bisa saja membicarakan soal proyek di kantor. Tapi kalau kamu memang ingin makan malam bareng, aku juga tidak keberatan,"Bima terdiam sejenak, tatapannya beralih ke menu yang dipegangnya. "Aku cuma ingin memastikan proyek berjalan lancar,"Nina tertawa kecil, pelan tapi cukup membuat Bima merasa sedikit canggung. "Kamu masih sama seperti dulu, ya. Selalu pakai

    Last Updated : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 12 Tidak Menarik

    “Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil

    Last Updated : 2025-01-07
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 13 Aroma

    Sesampainya di klinik, Maya membantu Vina turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Vina duduk dengan santai, memainkan ponselnya. Sementara Maya diam, matanya menatap kosong ke lantai.Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil nama Vina. Vina bangkit dengan anggun, lalu menoleh ke Maya.“Kak Maya, tunggu di sini saja, ya. Aku cuma sebentar kok,” katanya sambil tersenyum tipis.Setelah beberapa saat, Vina keluar dari ruangan dokter dengan ekspresi puas. Dia berjalan mendekati Maya, mengangkat tangannya yang memegang secarik kertas hasil pemeriksaan.“Semua sehat, Kak. Kata dokter, bayinya berkembang dengan baik,” kata Vina dengan nada bangga.Maya tersenyum tipis. “Syukurlah. Aku ikut senang,”“Kak Maya,” katanya sambil memandangi dirinya di kaca spion. “Kenapa tidak coba promil lagi? Siapa tahu kali ini berhasil,”Maya terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya. “Aku dan Bima sudah berusaha,” jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.“Tapi jangan menye

    Last Updated : 2025-01-07

Latest chapter

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 86 Memilih untuk Melindungi

    Raka menelan ludah. Berusaha tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia melirik sekilas ke luar ruangan. Femil masih berdiri di sana, seolah menunggu dan mengawasinya.Bima menatapnya tajam. “Aku tunggu sampai kamu mau bicara,”Raka menghela napas panjang, mencoba menyusun jawaban yang masuk akal. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tidak dengan Femil yang berdiri di sana, dengan belati tersembunyi di balik jaketnya.“Nina memberiku uang untuk usaha,” jawab Raka.Alis Bima terangkat. “Usaha?”Raka mengangguk. “Aku dan Vina berencana membuka usaha. Kami sudah lama membicarakannya. Tadinya aku mau cari modal sendiri, tapi Nina tahu rencana ini dan menawarkan bantuan. Itu saja,”Bima menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari kata-kata Raka.“Usaha apa?” tanya Bima akhirnya.Raka menghela napas. “Kami ingin membuka butik kecil. Vina sudah lama ingin punya bisnis sendiri,”Ekspresi Bima tetap tajam. “Kenapa Nina tidak bilang apa-apa padaku soal ini?”Raka ber

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 85 Ancaman Nyata

    Raka menghela napas panjang. Lalu bersandar ke kursi, mencoba menunjukkan ekspresi tenang meskipun hatinya berdebar. “Aku sudah bilang, kan? Itu bukan urusanmu, Kak. Uang itu adalah urusan pribadiku dengan Nina,”Bima mendekat lagi, tangannya bertumpu di meja kerja Raka. Sorot matanya semakin tajam, penuh kecurigaan. "Uang ratusan juta itu berasal dari kartuku. Jadi, tentu menjadi urusanku sekarang,"Raka terdiam. Dia tahu Bima tidak akan menyerah sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.“Atau aku harus bicara langsung dengan Nina?” tanya Bima, karena Raka tidak lagi bicara.Raka menatap Bima dengan rahang mengeras. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat."Aku sedang butuh uang dan Nina menawarkan bantuan," jawab Raka. Hanya itu yang terlintas di otaknya sekarang.Bima menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. "Butuh uang? Untuk apa?"Raka menggeram pelan. "Kamu tidak perlu tahu," katanya keras.Ruangan itu terasa semakin sempit karena tatapan tajam Bima yang ti

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 84 Memberimu Uang

    Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terpaku pada laporan transaksi kartu kredit yang baru saja dia terima melalui email dari bank. Sebuah transaksi besar—ratusan juta rupiah—keluar dari salah satu kartunya.Dia menggeser kursi sedikit mendekat. Matanya menyusuri setiap detail laporan itu. Waktu transaksi, tempat, dan jumlah yang tertera membuat hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Dia tidak ingat pernah mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.Dengan rahang mengeras, Bima menghela napas dalam. Dia berusaha mengingat, tapi tidak ada satu pun pengeluaran yang sesuai dengan nominal tersebut.Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dan menekan nomor layanan bank. Setelah beberapa nada sambung, suara operator wanita menjawab.“Selamat siang, Pak Bima. Ada yang bisa kami bantu?”“Saya ingin konfirmasi transaksi di kartu kredit saya. Ada jumlah yang tidak saya kenali,” Bima langsung ke intinya.Operator itu meminta beberapa detail untuk

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 83 Bagian Masa Lalu

    Maya masih berdiri di tempat, hatinya diliputi kebingungan. Kenapa Bima ada di sini?Bima yang masih berdiri di depan nisan orang tua Maya, menundukkan kepalanya sejenak. Seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. Udara di pemakaman terasa hening, hanya suara dedaunan yang berguguran terbawa angin yang terdengar di antara mereka."Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu, May," kata Bima akhirnya. Suaranya terdengar berat. "Aku hanya ingin melayat. Aku merasa bersalah pada ayah dan ibumu … ""Merasa bersalah?" ulang Maya, dingin.Bima menarik napas panjang, lalu berjongkok di depan nisan. Tangannya menyentuh batu dingin itu dengan penuh hati-hati, seolah sedang berbicara langsung kepada orang yang telah tiada. "Mereka menerimaku dengan baik saat aku menikah denganmu. Mereka mempercayaiku, menganggapku bagian dari keluarga. Aku berjanji di hadapan mereka untuk menjaga dan membahagiakanmu … tapi aku gagal," jelas Bima.Maya mengerutkan kening. “Semua sudah berlalu … “"Aku mengkh

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 82 Sulit Ditebak

    Maya menutup mulut dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap Reza, kemudian orang tua pria itu. Yang tampak begitu bahagia dan penuh harap.Segalanya terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikir oleh Maya bahwa malam ini akan menjadi momen di mana hidupnya akan berubah selamanya.“Maya?” panggil Reza. Kali ini sedikit lebih khawatir karena wanita di hadapannya masih belum merespons.Maya menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.Hingga akhirnya, dia mengangguk. “Ya … Aku mau,”Seolah dunia berhenti berputar sejenak.Seketika suara tepuk tangan terdengar dari orang tua Reza. Bahkan beberapa tamu di restoran yang menyaksikan momen tersebut ikut bersorak.Reza tersenyum lega, lalu dengan hati-hati menyematkan cincin itu ke jari manis Maya. Setelahnya dia bangkit dan langsung menarik Maya ke dalam pelukannya.“Terima kasih. Aku sangat bahagia sekarang,” bisik Reza sambil memeluk M

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 81 Penuh Luka Masa Lalu

    Maya melangkah keluar dengan gaun sederhana berwarna biru tua. Rambutnya yang tergerai lembut berayun setiap kali dia melangkah. Maya sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, tapi tetap merasa sedikit gugup.Begitu dia sampai di lobi, Reza turun dari mobil dan berjalan menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Begitu menawan. Senyum khasnya langsung menghangatkan hati Maya.“Kamu cantik,” puji Reza. Matanya menelusuri wajah Maya dengan penuh kekaguman.Maya tersipu. “Terima kasih. Kamu juga terlihat … luar biasa,” balasnya.Reza terkekeh pelan. “Jadi, siap untuk makan malam?”Maya mengangguk. “Tapi … kita mau makan di mana?”Reza membuka pintu mobil untuk Maya. “Itu kejutan,” katanya sambil tersenyum misterius.Maya menaiki mobil dan duduk, sementara Reza menutup pintu dan segera mengambil tempat di belakang kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan apartemen. Lampu kota mulai menyala satu per satu, tampak begitu indah.“Setidaknya b

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 80 Mungkin Nanti

    Siang itu, suasana rumah keluarga Harjono terasa lebih ramai dari biasanya. Meja panjang di tengah ruangan dihiasi dengan piring-piring berisi berbagai masakan mulai dari ayam panggang, sup hangat, hingga aneka lauk yang menggugah selera.Harjono sebagai kepala keluarga, duduk di kursi utama. Di sampingnya Sulastri tampak sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk. Wajahnya berseri-seri, terutama saat melihat Abi yang digendong oleh seorang pengasuh di dekat meja makan.“Lihat bayi kecil ini,” kata Sulastri. “Abi makin besar dan tampan saja. Dia benar-benar cucu kebanggaan keluarga Harjono,”Nina yang duduk di sebelah Bima hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Sulastri.“Tentu saja,” sahut Harjono sambil menyantap makanan. “Abi adalah penerus keluarga ini,”“Ibu, bagaimana kabar toko?” Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.Sulastri tersenyum dan mulai berbicara panjang lebar tentang tokonya. Dia memutuskan untuk membuka toko sembako beberapa bulan lalu, untuk mengisi waktu luang.D

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 79 Kakak Ipar

    Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Nina mendengar suara mobil Bima memasuki garasi. Dia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan senyum manis yang sudah dia latih sepanjang hari.“Sayang, kamu sudah pulang,” sapa Nina lembut saat Bima melangkah masuk ke dalam rumah.Bima tampak lelah. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar dan kemejanya kusut setelah seharian bekerja.“Iya. Hari ini benar-benar melelahkan.” Bima menghela napas panjang sambil melepas sepatu.Nina dengan sigap menerima tas kerja Bima dan meletakkannya di meja. “Kamu mau makan dulu atau langsung mandi?” tanyanya dengan suara lembut.Bima mengusap wajahnya. “Mungkin mandi dulu biar segar,”Nina mengangguk mengerti. “Aku sudah siapkan air hangat di kamar mandi,”“Terima kasih,” jawab Bima singkat sebelum berjalan ke kamar mereka.***Setelah beberapa saat, Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama. Dia duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponsel, sesekali membalas pesan yang m

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 78 Hidup Berantakan

    Suasana bengkel yang tadinya bising dengan suara mesin kini terasa sunyi di antara mereka. Seolah waktu melambat.“Aku tidak butuh tes DNA itu,” kata Nina keras. “Aku yakin, Abi itu anak Bima,”Femil menyipitkan mata, ekspresinya berubah dingin. “Kamu datang padaku, meminta bantuanku. Tapi kamu masih yakin Abi adalah anak Bima?”Nina menghela napas dengan frustrasi. “Ini bukan soal siapa ayah Abi!” teriak Nina. Aku butuh uang, dan kamu satu-satunya orang yang bisa membantuku sekarang,"Femil terkekeh sinis, menyilangkan tangannya di dada. “Kamu pikir aku akan membuang uang lima puluh juta begitu saja untukmu tanpa alasan yang jelas? Aku hanya butuh kepastian,"Nina mendengus. "Femil, tolonglah. Kamu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kumintai tolong," mohon Nina. Dari ekspresinya, tampak jelas kalau dia sangat putus asa.Femil menatapnya tajam. “Jika kamu yakin Abi itu anak Bima, kenapa tidak langsung meminta bantuannya? Kenapa malah datang kepadaku?"Nina terdiam. Dia t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status