Share

Bab 2 Keluar Tanpa Suara

Penulis: Dama Mei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 11:06:56

Maya berusaha menahan air matanya saat kembali ke ruang pesta. Senyum tipis terpasang di wajah. Mencoba menyembunyikan badai yang sedang berkecamuk di hatinya. Tetapi setiap tawa dan percakapan Bima dan Nina yang dia dengar, masih menggema jelas di dalam kepala Maya.

Di sudut ruangan, Sulastri sibuk mengobrol dengan tamu-tamu lainnya, sementara Harjono berdiri di tengah ruangan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Maya mendekat ke meja minuman, mengambil segelas air, dan mencoba menenangkan diri.

Dari kejauhan, Maya melihat Bima masuk ke ruangan bersama Nina. Mereka tampak akrab, berbicara dengan ekspresi santai. Seolah tidak ada yang salah dengan kedekatan mereka. Nina bahkan tertawa sambil memegang lengan Bima.

Maya meneguk airnya dengan cepat, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Mendadak kepalanya pusing dan penglihatannya mulai kabur.

“Maya?” Suara Sulastri terdengar sedikit nyaring. “Kenapa kamu berdiri saja di sana? Cepat bawa minuman untuk tamu-tamu di meja utama,” perintah ibu mertua itu.

Maya meletakkan gelasnya ke meja dengan cukup keras. Dia muak, namun tidak bisa melawan. Meski setengah hati, nyatanya Maya tetap berangkat memenuhi permintaan ibu mertuanya itu.

"Ah, ini menantu Harjono, ya?" tanya salah satu tamu, seorang pria paruh baya dengan setelan jas mahal sambil tersenyum kecil. "Beruntung sekali ya, menikah dengan anak pertama keluarga Santoso,"

Maya menahan napas, hanya membalas dengan senyuman hambar. Namun, di dalam hati, komentar itu menusuk lebih dalam dari yang dia duga. Apakah semua orang hanya melihat dirinya sebagai seseorang yang beruntung mendapatkan Bima? Sementara dialah yang menggadaikan harta warisan almarhum kedua orang tuanya demi membiayai kesuksesan Bima. Tanpa siapapun tahu.

"Maya," panggil Bima. "Ke sini sebentar,"

Maya menoleh, melihat Bima berdiri di dekat Nina yang masih tersenyum santai. Jantung Maya berdetak cepat, tapi dia memaksakan diri untuk mendekat.

“Kenalkan, ini Nina,” kata Bima sambil menoleh ke arah wanita di sampingnya. “Teman lama waktu di kampus dulu,”

Nina mengulurkan tangan dengan senyum manis. "Oh, jadi ini Maya? Senang akhirnya bisa bertemu. Bima sering cerita tentang kamu,"

Maya menatap tangan Nina, lalu perlahan menjabatnya. “Senang bertemu denganmu juga,” jawab Maya pelan. “Bima cerita banyak tentangku?”

“Oh, tentu saja,” Nina tertawa kecil, melirik ke arah Bima. “Dia bilang kamu istri yang baik,”

Maya hanya tersenyum tipis. “Bukankah semua istri harus baik?”

Nina melanjutkan pembicaraan, seolah-olah tidak ada hal yang salah. “Kamu tahu, Bima dulu sangat populer di kampus,” ujar Nina sambil tertawa kecil. “Banyak yang iri padaku karena kami dulu sangat dekat,”

Maya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Benarkah?” Suaranya terdengar lebih datar dari yang dia harapkan.

“Ah, tapi itu dulu,” Nina menjawab cepat, melambai seolah-olah itu bukan hal besar. Meski jelas ada raut kecewa di wajahnya. “Sekarang aku hanya kagum melihat dia sudah punya keluarga yang bahagia,”

Maya melirik ke arah Bima, yang hanya tersenyum tipis tanpa memberi tanggapan. Semakin Maya amati, jarak Bima dan Nina semakin dekat. Seakan Ninalah pendamping Bima.

“Senang bertemu denganmu, Maya. Kita pasti harus ngobrol lebih banyak nanti,” tukas Nina. Meminta izin untuk bergabung kembali dengan tamu lain.

“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal Nina?” tanyanya pelan, matanya menatap Bima dengan penuh tanya.

Bima mengangkat bahu, memasang ekspresi santai yang hanya membuat Maya semakin kesal. “Dia cuma teman lama,”

“Tapi kenapa kamu terlihat begitu akrab dengannya?” Suara Maya sedikit bergetar.

Bima mendesah, lalu menatap Maya dengan ekspresi lelah. “Kamu terlalu sensitif. Tidak semua hal harus jadi masalah,”

Maya berbalik, meninggalkan Bima tanpa menunggu jawaban. Dia berjalan menuju kamar kecil, berusaha keras menjaga air matanya agar tidak jatuh di depan orang lain.

***

Pagi itu Maya melangkah keluar dari mobil dengan sebuah bingkisan di tangan. Isinya adalah teh impor favorit Sulastri yang Maya pesan khusus dari luar negeri. Dia tahu hubungannya dengan ibu mertuanya itu selalu dipenuhi ketegangan, tetapi dia berpikir mungkin dia belum cukup berusaha.

Saat dia masuk ke teras depan, suara tawa dari ruang keluarga terdengar. Maya berhenti sejenak, mengatur napasnya sebelum melangkah masuk.

"Ibu," sapa Maya dengan senyum lembut, sambil mendekati Sulastri yang sedang duduk di sofa dengan Vina. "Aku bawa ini untuk Ibu. Ibu pernah bilang suka teh dari Jepang,"

Sulastri melirik bingkisan itu dengan alis terangkat, lalu mengambilnya tanpa senyum. “Teh, ya?” gumamnya sambil membuka kotak. Sulastri memandangi isinya sebentar, lalu meletakkannya di meja tanpa banyak komentar.

"Terima kasih, Maya," jawab Sulastri, tapi nadanya datar.

“Kak Maya perhatian sekali, ya, Bu,” seru Vina.

Namun, Sulastri hanya tersenyum kecil. "Tapi, ya... perhatian saja tidak cukup, kan?" kata Sulastri. Melirik Maya dengan lirikan menyindir. "Sudah lima tahun menikah, seharusnya dia sudah tahu apa yang paling penting bagi keluarga ini,"

Maya merasa wajahnya memanas. Tapi dia memaksakan untuk tetap tersenyum. Dia tahu maksud Sulastri—masalah anak. Topik itu lagi.

Belum sempat Maya menjawab, suara ketukan di pintu menggema di ruangan itu. Seorang pembantu segera membuka pintu.

"Selamat pagi, Tante Sulastri!" Nina masuk dengan membawa dua kotak besar di tangannya. Aroma harum masakan langsung memenuhi ruangan.

"Oh, Nina! Masuk, sayang," Sulastri langsung berdiri, wajahnya berubah cerah seketika. Ia berjalan mendekati Nina, membantu membawa salah satu kotak.

Maya hanya bisa berdiri diam di tempat, menyaksikan bagaimana Sulastri menyambut Nina dengan hangat.

“Aduh, apa ini? Harum sekali,” tanya Sulastri sambil membuka salah satu kotak.

“Aku yakin Tante sekeluarga pasti suka!” jawab Nina sambil tersenyum manis. “Aku ingat dulu waktu sering main ke sini, Tante suka sekali opor ayam buatanku. Jadi, kupikir, kenapa tidak masak untuk keluarga besar saja?”

“Kamu memang selalu tahu cara membuat orang senang!” Sulastri tertawa, menepuk bahu Nina. “Tidak seperti ... ya, tidak semua orang sepeka ini,” 

Kalimat itu tidak diarahkan langsung pada Maya, tetapi jelas siapa yang dimaksud. Maya merasakan sesak di dadanya. Namun dia berusaha untuk tetap tersenyum.

“Kamu memang calon istri idaman, Nina,” celetuk Sulastri lagi. “Sayang sekali kamu belum menikah,”

“Siapa tahu ada yang berjodoh,” timpal Vina, melirik ke arah Sulastri yang tersenyum penuh arti.

Maya tahu dia tidak bisa lagi tinggal di ruangan itu. Dengan alasan ingin ke dapur untuk mengambil air, dia keluar tanpa suara.

Bab terkait

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 3 Membanggakan Namamu

    Maya duduk di sofa ruang keluarga rumahnya, sambil memandangi cangkir teh di tangan. Kejadian tadi siang di rumah mertuanya terus membebani hati Maya. Saat Bima pulang, dia mendengar suara pintu depan terbuka. Diikuti langkah suaminya yang memasuki rumah dengan santai."Belum tidur?" sapa Bima singkat sambil melepas sepatu.Maya memaksa tersenyum. "Aku menunggumu pulang,"Bima duduk di kursi di hadapan Maya, tampak lelah. Maya menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat."Tadi siang aku ke rumah orangtua kamu," ujar Maya, berusaha memulai percakapan."Oh ya?" Bima mengangguk tanpa terlalu memperhatikan. "Kenapa? Ada apa di sana?"Maya merasakan keraguan menyelusup hatinya. Tapi dia tahu, dia harus mengatakan sesuatu. “Aku mencoba bawa hadiah untuk ibumu. Teh favoritnya, yang dia bilang dulu dia suka,”Bima tersenyum samar. “Baguslah. Mama pasti suka,”Maya menggeleng pelan, lalu menatap cangkir di tangannya. “Dia tidak ... benar-benar menghargai. Dia bahkan bilang kala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 4 Berubah Bahagia

    Maya menyesap secangkir latte sambil menatap layar laptop di hadapannya. Kafe kecil ini adalah tempat pelariannya. Di sini, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Menghabiskan waktu dengan proyek desain kecil-kecilan yang dia kerjakan untuk menambah penghasilan. Meski proyek-proyek itu tidak terlalu besar, Maya merasa bahagia. Setidaknya, dia masih bisa menggunakan bakatnya di bidang desain grafis. Sesuatu yang sudah dia cintai sejak masa kuliah.“Maya?” sapa seseorang tiba-tiba.Maya mendongak. Seorang pria tinggi berpenampilan rapi menatapnya sedikit bimbang. Wajah pria itu langsung dikenali Maya, meski waktu telah berlalu.“Reza?” Suara Maya terdengar ragu, tapi senyumnya segera mengembang. “Astaga, sudah lama sekali!”Reza tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ini kamu! Boleh duduk?" seru Reza, lebih antusias.“Tentu,” jawab Maya, masih terkejut dengan kehadiran pria itu.Reza Bastian. Seorang teman dekat Maya di kampus dan pernah mengungk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 5 Tidak Kuat Lagi

    Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 6 Dalam Setiap Langkah

    Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 7 Terlalu Sensitif

    Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.Maya keluar dari dapur dengan nampa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 8 Mendukung Suami

    Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 9 Memahami Posisiku

    Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 10 Masih Istrimu

    Ciuman itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hawa dingin malam tidak terasa karena panas yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit dalam mobil. Penuh gairah.“Bim … “ Nina mendorong mundur tubuh Bima. Karena pria itu mulai bergerak mengecup lehernya. “Aku masuk dulu,” bisiknya.Bima hanya menatap tanpa banyak berkata-kata. Ketika Nina melangkah keluar dan berjalan menuju pintu rumahnya, Bima tetap di sana. Memperhatikan hingga sosok Nina menghilang di balik pintu.Namun saat Bima duduk sendiri dalam mobil, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan Maya yang menunggu di rumah dan semua pengorbanan yang pernah dilakukan istrinya, perlahan muncul di pikirannya.***Bima membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap langkahnya yang pelan tidak membangunkan Maya. Namun, begitu dia masuk, dia langsung mendapati Maya duduk di sofa ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan di wajah Maya yang tampak letih. Namun jelas belum tidur.“Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06

Bab terbaru

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 20 Firasat Buruk

    Bima duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen. Di tangannya ada sebuah map tebal berisi informasi yang baru saja dia dapatkan setelah berhari-hari menyelidiki."Jadi ini alasan Maya begitu tertutup tentang keluarganya," gumam Bima sambil membaca isi dokumen itu.Dokumen itu menyebutkan bahwa Maya adalah anak tunggal dari Rizal Alendra, pemilik sebuah perusahaan besar di bidang properti bernama Alendra Group. Perusahaan ini pernah menjadi salah satu yang terkemuka di tanah air, sebelum akhirnya mengalami kejatuhan akibat kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tua Rizal dan Desi Alendra.Kecelakaan itu terjadi lebih dari satu dekade lalu, di sebuah jalan tol yang lengang saat malam hari. Sebuah truk kehilangan kendali dan menghantam mobil yang ditumpangi orang tua Maya. Maya—yang saat itu masih remaja berhasil selamat karena tidak ikut dalam perjalanan tersebut.Bima membaca lebih lanjut. Ada beberapa aset keluarga Rizal Alendra yang masih tersembunyi

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 19 Keuntungan Tersembunyi

    Malam itu, Bima pulang lebih awal dari biasanya. Dia melihat Maya sedang duduk di ruang keluarga, membaca buku. Maya menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, tetapi ekspresinya tetap dingin ketika memandang Bima.Bima berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. "May, aku ingin kita bicara,"Maya meletakkan bukunya dan menatap Bima. "Tentang apa?"Bima menghela napas, lalu menggenggam tangan Maya dengan hati-hati. "Tentang kita,” Dia sengaja diam sejenak. “Aku sadar selama ini aku banyak salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu,"Maya terdiam, mencoba membaca ketulusan di wajah suaminya. "Kamu yakin? Aku sudah terlalu sering kecewa,"Bima mengangguk. "Aku yakin,” sahutnya. “Aku ingin kita memulai lagi. Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik,"Maya akhirnya mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca saat memandang Bima. “Kamu tahu, aku selalu peduli padamu. Atas semua hal. Tapi aku merasa … setelah kamu semakin sukses, kamu juga

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 18 Belum Selesai

    "Bima, tidak perlu marah begitu. Nina kan cuma mau membantu," tukas Sulastri, mencoba mencairkan suasana.Namun, Bima tidak menjawab ibunya. Dia memalingkan wajah dan berjalan pergi, meninggalkan Nina yang tampak kebingungan dan kesal.Bima melangkah menuju dapur, tempat Maya berdiri. Tatapan matanya sejenak beralih ke arah Bima yang mendekat, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Bima menghela napas, lalu mendekat. "Aku tahu tadi kamu sibuk bantu-bantu. Maaf kalau kamu jadi repot. Aku tidak tahu acara ini akan sebesar ini," katanya pelan, mencoba membuka percakapan.Maya hanya mengangguk kecil. "Tidak masalah. Toh, cuma diminta bantu-bantu sedikit. Aku istri kamu, kan? Wajar kalau aku disuruh-suruh," jawabnya.Sementara itu, Nina berdiri di ruang tamu, memandang ke arah dapur dengan ekspresi kesal. Tangannya mengepal erat, bibirnya mengerucut."Nina, jangan ambil hati. Bima memang keras kepala, tapi dia akan tahu mana yang lebih baik untuknya," bujuk Sulastri.Namun, Nina tida

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 17 Menahan Malu

    Maya tiba di rumah Sulastri dengan membawa beberapa bahan makanan yang diminta sebelumnya. Saat dia melangkah masuk ke ruang tengah, suasana rumah sudah mulai sibuk dengan persiapan acara 7 bulanan Vina. Sulastri terlihat sedang mengatur beberapa dekorasi, sementara kerabat lainnya sibuk di dapur.“Akhirnya datang juga,” kata Sulastri dengan nada datar. “Cepat bantu mereka di dapur. Banyak yang harus disiapkan,” perintahnya dengan culas pada Maya.Maya tersenyum kecil dan mengangguk. “Baik, Bu,”Saat Maya hendak melangkah ke dapur, pintu utama kembali terbuka. Semua orang—termasuk Maya, menoleh. Nina masuk mengenakan gaun anggun berwarna merah marun yang tampak terlalu mewah untuk acara sederhana seperti itu. Dia membawa sebuah bingkisan. Kemudian tersenyum lebar seperti tamu kehormatan.“Nina? Kamu datang juga?” seru Sulastri cukup keras. Dia segera mendekati Nina, menuntunnya masuk seolah-olah Nina adalah anggota keluarga yang sangat penting.“Selamat siang, Tante,” Nina menyapa den

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 16 Terlalu Intim

    Maya membuka pintu rumah dengan pelan. Lampu ruang tamu masih padam, menandakan Bima belum juga pulang. Maya melirik jam di dinding—sudah hampir tengah malam.Langkahnya terdengar sayup di lantai kayu menuju dapur. Sepanjang perjalanan pulang, Maya berharap suara teleponnya tadi bisa membuat Bima cepat kembali. Tapi yang dia dapatkan hanya panggilan yang sengaja diputus.Maya menghela napas panjang, membuka lemari es dan mengeluarkan botol air. Dia berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam di luar sana. Pikirannya terus berputar.“Dia pasti sibuk,” Maya mencoba meyakinkan diri sendiri. Dengan langkah gontai, Maya mematikan lampu dapur dan berjalan menuju kamar. Saat merebahkan diri di kasur, matanya tertuju pada sisi ranjang yang kosong. Dimana Bima sekarang?***Dua jam berlalu, suara pintu depan berderit pelan. Maya membuka mata, menajamkan pendengaran saat langkah kaki Bima terdengar mendekat. Dia pura-pura terlelap. Namun ketika Bima masuk kamar, aroma parfum yang begitu f

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 15 Kegelisahanmu

    Bima terdiam sejenak, cangkir kopinya terhenti di bibir. Dia meletakkannya kembali ke meja tanpa diminum. “Orang selalu suka berasumsi,” jawab Bima datar. Tapi matanya menghindari tatapan Nina.“Benarkah?” Nina bersandar, menyilangkan tangan. “Tapi sepertinya masuk akal. Maksudku ... bisnis kamu mulai jalan setelah Maya menjual aset-asetnya. Dan katanya tanah terakhir yang dijual itu lumayan besar, kan?”Bima menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan gelisah. “Aku tidak minta dia jual asetnya. Dia yang mau bantu,”Nina tertawa pelan. “Bantu? Atau ... merasa harus? Kamu cukup pandai merayu, Bima,” kekehnya.Bima menatap Nina tajam, merasa sedikit tersinggung. “Aku tidak pernah pakai cara kotor. Maya istriku. Aku kerja keras untuk keluarga kami,”Nina mengangkat tangan. “Tenang ... aku cuma bercanda. Tapi kalau aku jadi Maya, aku mungkin akan berpikir ulang soal warisan itu,”Bima terdiam, tidak bisa membalas. Kata-kata Nina terasa menusuk lebih dari yang dia

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 14 Warisan

    Begitu Maya melangkah keluar dan pintu tertutup, Sulastri mendesah pelan sambil melirik ke arah Nina dan Vina.“Itulah Maya,” ucap Sulastri sinis, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dari dulu selalu terlalu serius. Tidak heran kalau Bima mulai bosan,”Vina yang tengah mengelus perutnya, tertawa kecil. “Aku juga heran, Bu. Kak Maya itu terlalu kaku. Padahal suami kan butuh istri yang bisa menjaga suasana tetap menyenangkan,”Nina menyilangkan kaki, tersenyum tipis. “Sepertinya Maya tidak terlalu suka bersosialisasi, ya? Bima sering terlihat sendiri di acara-acara perusahaan,”Sulastri mengangguk. “Memang begitu orangnya. Selalu merasa cukup dengan dirinya sendiri. Seakan-akan perhatian Bima itu milik dia sepenuhnya,”Vina terkekeh. “Iya, padahal kalau Kak Maya tahu caranya merawat diri, Mas Bima tidak akan melirik yang lain,”Nina tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hati, dia menikmati setiap kalimat yang keluar dari mulut Sulastri dan Vina. Rasanya seperti membuka jalan ya

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 13 Aroma

    Sesampainya di klinik, Maya membantu Vina turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Vina duduk dengan santai, memainkan ponselnya. Sementara Maya diam, matanya menatap kosong ke lantai.Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil nama Vina. Vina bangkit dengan anggun, lalu menoleh ke Maya.“Kak Maya, tunggu di sini saja, ya. Aku cuma sebentar kok,” katanya sambil tersenyum tipis.Setelah beberapa saat, Vina keluar dari ruangan dokter dengan ekspresi puas. Dia berjalan mendekati Maya, mengangkat tangannya yang memegang secarik kertas hasil pemeriksaan.“Semua sehat, Kak. Kata dokter, bayinya berkembang dengan baik,” kata Vina dengan nada bangga.Maya tersenyum tipis. “Syukurlah. Aku ikut senang,”“Kak Maya,” katanya sambil memandangi dirinya di kaca spion. “Kenapa tidak coba promil lagi? Siapa tahu kali ini berhasil,”Maya terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya. “Aku dan Bima sudah berusaha,” jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.“Tapi jangan menye

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 12 Tidak Menarik

    “Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil

DMCA.com Protection Status