“Kenapa belum dipasang juga balon di sisi kanan? Cepat sedikit, nanti tamu-tamu datang ruangan ini belum siap!” Suara tajam Sulastri kepada seorang pelayan, memecah kesunyian.
Maya hanya bisa menghela napas pelan sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, Maya mendekati Sulastri dengan senyum kecil yang berusaha dia pasang meski lelah. “Ibu, Vina tidak datang membantu hari ini? Kan biasanya dia selalu ikut kalau ada acara keluarga besar seperti ini,” tanya Maya, menyebut nama adik iparnya dengan nada setenang mungkin. Sulastri menoleh dengan ekspresi sedikit terganggu. “Vina sedang hamil. Kasihan, jangan terlalu dibebani dengan hal-hal seperti ini. Ibu sudah bilang dia harus banyak istirahat,” Maya merasa ada sengatan kecil di dadanya, tapi dia menutupinya dengan senyum. “Lihat Vina. Baru satu tahun menikah, sudah mau punya anak. Kamu bagaimana, Maya? Lima tahun menikah dengan Bima, kapan mau ngasih cucu buat keluarga ini?” Sulastri melanjutkan dengan suara lebih keras, seakan sengaja ingin menekankan setiap kata. Pertanyaan itu seperti panah tajam yang menancap di hati Maya. Dia tetap berusaha mempertahankan wajah tenang, meskipun matanya mulai terasa panas. “Ibu, saya dan Bima sudah mencoba ... mungkin belum waktunya,” jawab Maya dengan suara pelan. Berusaha sekuat tenaga menahan getaran dalam nada suaranya. Sulastri mendengus, seolah jawaban Maya sama sekali tidak memuaskannya. “Belum waktunya?” ulang Sulastri, memekik. “Jangan-jangan kamu memang terlalu sibuk bekerja sampai lupa kodratmu sebagai istri? Percuma kamu kelihatan sibuk di acara seperti ini, kalau hal yang paling penting untuk keluarga saja kamu tidak bisa penuhi!” Maya ingin menjelaskan, ingin membela diri. Tetapi dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah apa pun di mata Sulastri. Sejenak, Maya memandang ke arah ruangan yang dia tata dengan susah payah. Setiap detail kecil adalah hasil kerja kerasnya, tetapi tetap saja. Itu tidak pernah cukup. Bukan hanya untuk Sulastri, tapi juga untuk seluruh keluarga Santoso. Di balik semua senyum dan keramahan yang mereka tunjukkan, mereka hanya melihat Maya sebagai kegagalan—seorang istri yang belum mampu memberi mereka pewaris. Setelah Sulastri pergi, Maya berdiri mematung di tengah ruangan. Tangan gemetar memegang daftar tugas yang tadi dia gunakan sebagai panduan. Perasaan kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia ingin berteriak, tetapi tahu itu hanya akan menjadi bahan olokan baru. Pelayan rumah mendekati Maya dengan ragu sambil membawa vas bunga yang baru tiba. “Ibu Maya, ini bunga tambahan untuk meja tamu. Harus disusun sekarang?” tanya pelayan itu pelan. Maya menoleh dengan senyum dipaksakan. “Ya, letakkan saja di sana. Nanti saya susun,” jawabnya sambil menunjuk meja di dekat jendela. Pelayan itu mengangguk, lalu pergi. Maya menatap jauh ke depan, mencoba melawan air mata yang menggenang. Suara tawa kecil terdengar dari jendela lantai atas. Maya menoleh dan melihat Vina sedang duduk di kursi, ditemani Sulastri yang membawakan jus segar. Wajah Vina berseri-seri sambil memegang perutnya yang mulai membesar. Pintu belakang rumah terbuka dan Bima muncul membawa beberapa amplop undangan. “Ini beberapa undangan yang harus kamu urus ke kantor pos. Jangan sampai terlambat dikirim,” kata Bima dingin. Maya mengangguk, mengambil tumpukan undangan dari tangan Bima tanpa berkata apa-apa. Seperti biasa, Bima hanya datang untuk memberi perintah. “Sudah selesai urusan dekorasi? Kalau belum, jangan keluar dulu. Kita harus pastikan semuanya sempurna untuk ulang tahun Papa,” kata Bima sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah lagi. *** Pesta ulang tahun Harjono dimulai dengan megah. Para tamu mulai berdatangan. Ruang tamu kini berubah menjadi tempat berkumpul keluarga besar dan kolega-kolega penting. Maya berdiri di sisi ruangan, mengenakan gaun sederhana berwarna biru pastel. Meski penampilannya rapi dan anggun, dia merasa kecil di tengah keramaian ini. Suara tawa dan percakapan bergaung di sekitarnya, tetapi Maya lebih memilih mengamati dari kejauhan. Sulastri tampak bersemangat menyambut tamu-tamu penting, selalu berdiri di samping Harjono. Tidak butuh waktu lama sebelum percakapan mulai mengarah pada topik keluarga. “Wah, keluarga Santoso semakin sukses saja. Anak-anak sudah menikah semua, ya? Bagaimana dengan cucu, Bu Sulastri? Sudah banyak cucu yang bisa bermain di rumah ini?” Salah seorang tamu, seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mencolok, bertanya sambil tersenyum lebar. Maya mendengar pertanyaan itu dari tempatnya berdiri. Dadanya berdebar, sudah menduga arah pembicaraan ini akan menuju padanya. Sulastri tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada halus, tapi setiap kata seperti belati yang menyayat hati Maya. “Oh, Vina, istri anak kedua kami, sudah hamil. Kami semua sangat senang menanti kehadiran cucu pertama. Sayangnya, Maya dan Bima belum diberi rezeki itu. Ya, mungkin karena Maya sibuk dengan urusannya sendiri,” Maya mengepalkan tangan di balik punggungnya, mencoba menahan emosinya. “Ya ampun, Bima sangat beruntung menikah dengan Maya, ya? Meski belum bisa memberikan keturunan, dia tetap istri yang baik, kan?” komentar seorang tamu lain, membuat Maya merasakan panas di wajahnya. “Benar sekali,” tambah Sulastri, dengan senyum tipis. “Tapi sepertinya harus diralat. Maya adalah istri yang sangat beruntung. Menikah dengan Bima itu seperti memenangkan lotre. Bima anak yang pintar, tampan, dan punya masa depan cerah. Maya harus bersyukur setiap hari bisa menjadi bagian keluarga ini,” kelakar Sulastri sambil tertawa. Tamu-tamu lain tertawa kecil, seolah-olah komentar itu hanyalah gurauan biasa. Namun bagi Maya, kata-kata itu seperti beban yang menghantam dadanya. Beruntung? Dia yang telah memberikan segalanya—rumah, mobil, dan bahkan kebebasan finansial bagi Bima dan sekarang dia hanya dilihat sebagai "istri yang beruntung"? “Saya juga kasihan sekali dengan Maya. Dia anak yatim piatu, sendirian tanpa keluarga. Jika bukan kami yang merangkulnya, lalu siapa lagi?” Sulastri melanjutkan tanpa rasa bersalah. Vina tiba-tiba muncul di sisi Sulastri, membawa gelas minuman dan tersenyum lemah. “Ibu, jangan keras-keras. Kasihan Kak Maya,” bisik Vina sambil sesekali melirik Maya. “Lagipula, tidak semua wanita seberuntung aku. Bisa hamil di tahun kedua pernikahan itu benar-benar anugerah. Kak Maya pasti sedang menunggu waktu yang tepat,” Sulastri menepuk tangan Vina dengan lembut, seolah-olah menyanjung menantunya yang satu itu. “Kamu benar, Vina. Kamu memang anak yang baik,” puji Sulastri. “Tuhan punya rencana untuk semua orang. Tapi tentu, kita juga harus berusaha. Jangan hanya menunggu!” Para tamu yang mengelilingi Sulastri mengangguk setuju. Beberapa ada yang menoleh ke arah Maya karena sadar Mayalah menantu pertama keluarga Santoso. *** Maya merasa kepalanya berdenyut hebat. Seolah seluruh percakapan tadi terus bergema di telinga. Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Maya keluar dari ruang pesta. Dia butuh udara segar, butuh keluar dari tempat yang penuh dengan tatapan dan kata-kata yang menghakimi. Dia berjalan menyusuri koridor menuju taman belakang rumah Harjono. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Setidaknya untuk berbagi sedikit ketenangan di tengah kekacauan emosi yang dia rasakan. Namun, langkahnya terhenti ketika suara tawa terdengar dari sudut taman yang teduh. Tawa itu familiar, suara yang sering dia dengar bertahun-tahun lamanya. Itu suara Bima. Maya bergegas mendekat, tapi kemudian langkahnya melambat ketika dia melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. “Aku selalu tahu kamu akan sukses,” ujar Nina. “Kamu dulu pemimpin di kampus, dan sekarang lihatlah, kamu bahkan lebih menawan,” Di bawah pohon besar yang diterangi lampu taman, Bima sedang berbicara dengan seorang wanita yang Maya kenali sebagai Nina—teman lama Bima di kampus. Mereka berdiri sangat dekat. Terlalu dekat. Bima tertawa kecil. “Kamu sendiri juga tidak berubah, masih seperti dulu. Menarik perhatian semua orang di sekitarmu,” goda Bima. “Kalau saja aku tahu kamu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan melepaskanmu dulu,” Suara Nina nyaris seperti bisikan. Dia menarik kerah Bima mendekat.Maya berusaha menahan air matanya saat kembali ke ruang pesta. Senyum tipis terpasang di wajah. Mencoba menyembunyikan badai yang sedang berkecamuk di hatinya. Tetapi setiap tawa dan percakapan Bima dan Nina yang dia dengar, masih menggema jelas di dalam kepala Maya.Di sudut ruangan, Sulastri sibuk mengobrol dengan tamu-tamu lainnya, sementara Harjono berdiri di tengah ruangan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Maya mendekat ke meja minuman, mengambil segelas air, dan mencoba menenangkan diri.Dari kejauhan, Maya melihat Bima masuk ke ruangan bersama Nina. Mereka tampak akrab, berbicara dengan ekspresi santai. Seolah tidak ada yang salah dengan kedekatan mereka. Nina bahkan tertawa sambil memegang lengan Bima.Maya meneguk airnya dengan cepat, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Mendadak kepalanya pusing dan penglihatannya mulai kabur.“Maya?” Suara Sulastri terdengar sedikit nyaring. “Kenapa kamu berdiri saja di sana? Cepat bawa minuman untuk tamu-tamu di meja utama,” peri
Maya duduk di sofa ruang keluarga rumahnya, sambil memandangi cangkir teh di tangan. Kejadian tadi siang di rumah mertuanya terus membebani hati Maya. Saat Bima pulang, dia mendengar suara pintu depan terbuka. Diikuti langkah suaminya yang memasuki rumah dengan santai."Belum tidur?" sapa Bima singkat sambil melepas sepatu.Maya memaksa tersenyum. "Aku menunggumu pulang,"Bima duduk di kursi di hadapan Maya, tampak lelah. Maya menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat."Tadi siang aku ke rumah orangtua kamu," ujar Maya, berusaha memulai percakapan."Oh ya?" Bima mengangguk tanpa terlalu memperhatikan. "Kenapa? Ada apa di sana?"Maya merasakan keraguan menyelusup hatinya. Tapi dia tahu, dia harus mengatakan sesuatu. “Aku mencoba bawa hadiah untuk ibumu. Teh favoritnya, yang dia bilang dulu dia suka,”Bima tersenyum samar. “Baguslah. Mama pasti suka,”Maya menggeleng pelan, lalu menatap cangkir di tangannya. “Dia tidak ... benar-benar menghargai. Dia bahkan bilang kala
Maya menyesap secangkir latte sambil menatap layar laptop di hadapannya. Kafe kecil ini adalah tempat pelariannya. Di sini, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Menghabiskan waktu dengan proyek desain kecil-kecilan yang dia kerjakan untuk menambah penghasilan. Meski proyek-proyek itu tidak terlalu besar, Maya merasa bahagia. Setidaknya, dia masih bisa menggunakan bakatnya di bidang desain grafis. Sesuatu yang sudah dia cintai sejak masa kuliah.“Maya?” sapa seseorang tiba-tiba.Maya mendongak. Seorang pria tinggi berpenampilan rapi menatapnya sedikit bimbang. Wajah pria itu langsung dikenali Maya, meski waktu telah berlalu.“Reza?” Suara Maya terdengar ragu, tapi senyumnya segera mengembang. “Astaga, sudah lama sekali!”Reza tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ini kamu! Boleh duduk?" seru Reza, lebih antusias.“Tentu,” jawab Maya, masih terkejut dengan kehadiran pria itu.Reza Bastian. Seorang teman dekat Maya di kampus dan pernah mengungk
Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang
Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin a
Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.Maya keluar dari dapur dengan nampa
Seiring berjalannya waktu, Bima semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Maya mendengar kabar tentang acara peluncuran proyek baru yang dihadiri Bima bersama rekan-rekan bisnisnya. Dia melihat foto-foto di media sosial di mana Bima berdiri dengan bangga, dikelilingi oleh para eksekutif dan investor. Namun Maya merasa semakin jauh dan berjarak. Tidak seperti janji Bima di awal untuk selalu melibatkan Maya. Bahkan ketika Maya mencoba menawarkan ide-ide kecil, seperti desain logo baru atau konsep pemasaran kreatif.“Ide bagus, May. Tapi aku sudah punya tim profesional yang menangani itu,” jawab Bima pada akhirnya.Suatu malam, Maya sedang merapikan ruang kerja Bima. Dia menemukan brosur sebuah acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama perusahaan Bima tercantum sebagai salah satu finalis untuk kategori inovasi terbaik. Bima tidak pernah memberitahunya tentang ini.“Kenapa kamu tidak cerita soal ini?” tanya Maya lalu menyerahkan brosur itu pada Bima.Bima terlihat sedikit terkejut, lalu tert
Malam itu, setelah acara penghargaan selesai, Bima berjalan keluar dari ballroom dengan langkah pelan meski tampak penuh percaya diri. Dia memegang trofi yang baru saja diraihnya. Wajah Bima terlihat lelah, tapi ada senyum bangga yang terukir sana.“Bima … “ Seseorang memanggil Bima yang hendak menuju mobil.Bima menoleh dan mendapati Nina berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan anggun. Angin malam menyapu rambut panjang Nina, membuatnya tampak sangat mempesona.“Nina?” Bima terkejut. “Kamu belum pulang?”Nina menggeleng sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengucapkan selamat padamu secara langsung. Ini pencapaian besar, Bima. Kamu pantas mendapatkannya,” jawab Nina, semakin mendekat.Bima tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi semua ini bukan hanya kerja kerasku sendiri. Ada banyak orang yang membantu,”Nina memiringkan kepala, menatap Bima dengan pandangan tajam. “Tapi aku rasa, tidak semua orang menyadari betapa besar perjuanganmu, k
Bima duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen. Di tangannya ada sebuah map tebal berisi informasi yang baru saja dia dapatkan setelah berhari-hari menyelidiki."Jadi ini alasan Maya begitu tertutup tentang keluarganya," gumam Bima sambil membaca isi dokumen itu.Dokumen itu menyebutkan bahwa Maya adalah anak tunggal dari Rizal Alendra, pemilik sebuah perusahaan besar di bidang properti bernama Alendra Group. Perusahaan ini pernah menjadi salah satu yang terkemuka di tanah air, sebelum akhirnya mengalami kejatuhan akibat kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tua Rizal dan Desi Alendra.Kecelakaan itu terjadi lebih dari satu dekade lalu, di sebuah jalan tol yang lengang saat malam hari. Sebuah truk kehilangan kendali dan menghantam mobil yang ditumpangi orang tua Maya. Maya—yang saat itu masih remaja berhasil selamat karena tidak ikut dalam perjalanan tersebut.Bima membaca lebih lanjut. Ada beberapa aset keluarga Rizal Alendra yang masih tersembunyi
Malam itu, Bima pulang lebih awal dari biasanya. Dia melihat Maya sedang duduk di ruang keluarga, membaca buku. Maya menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, tetapi ekspresinya tetap dingin ketika memandang Bima.Bima berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. "May, aku ingin kita bicara,"Maya meletakkan bukunya dan menatap Bima. "Tentang apa?"Bima menghela napas, lalu menggenggam tangan Maya dengan hati-hati. "Tentang kita,” Dia sengaja diam sejenak. “Aku sadar selama ini aku banyak salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu,"Maya terdiam, mencoba membaca ketulusan di wajah suaminya. "Kamu yakin? Aku sudah terlalu sering kecewa,"Bima mengangguk. "Aku yakin,” sahutnya. “Aku ingin kita memulai lagi. Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik,"Maya akhirnya mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca saat memandang Bima. “Kamu tahu, aku selalu peduli padamu. Atas semua hal. Tapi aku merasa … setelah kamu semakin sukses, kamu juga
"Bima, tidak perlu marah begitu. Nina kan cuma mau membantu," tukas Sulastri, mencoba mencairkan suasana.Namun, Bima tidak menjawab ibunya. Dia memalingkan wajah dan berjalan pergi, meninggalkan Nina yang tampak kebingungan dan kesal.Bima melangkah menuju dapur, tempat Maya berdiri. Tatapan matanya sejenak beralih ke arah Bima yang mendekat, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Bima menghela napas, lalu mendekat. "Aku tahu tadi kamu sibuk bantu-bantu. Maaf kalau kamu jadi repot. Aku tidak tahu acara ini akan sebesar ini," katanya pelan, mencoba membuka percakapan.Maya hanya mengangguk kecil. "Tidak masalah. Toh, cuma diminta bantu-bantu sedikit. Aku istri kamu, kan? Wajar kalau aku disuruh-suruh," jawabnya.Sementara itu, Nina berdiri di ruang tamu, memandang ke arah dapur dengan ekspresi kesal. Tangannya mengepal erat, bibirnya mengerucut."Nina, jangan ambil hati. Bima memang keras kepala, tapi dia akan tahu mana yang lebih baik untuknya," bujuk Sulastri.Namun, Nina tida
Maya tiba di rumah Sulastri dengan membawa beberapa bahan makanan yang diminta sebelumnya. Saat dia melangkah masuk ke ruang tengah, suasana rumah sudah mulai sibuk dengan persiapan acara 7 bulanan Vina. Sulastri terlihat sedang mengatur beberapa dekorasi, sementara kerabat lainnya sibuk di dapur.“Akhirnya datang juga,” kata Sulastri dengan nada datar. “Cepat bantu mereka di dapur. Banyak yang harus disiapkan,” perintahnya dengan culas pada Maya.Maya tersenyum kecil dan mengangguk. “Baik, Bu,”Saat Maya hendak melangkah ke dapur, pintu utama kembali terbuka. Semua orang—termasuk Maya, menoleh. Nina masuk mengenakan gaun anggun berwarna merah marun yang tampak terlalu mewah untuk acara sederhana seperti itu. Dia membawa sebuah bingkisan. Kemudian tersenyum lebar seperti tamu kehormatan.“Nina? Kamu datang juga?” seru Sulastri cukup keras. Dia segera mendekati Nina, menuntunnya masuk seolah-olah Nina adalah anggota keluarga yang sangat penting.“Selamat siang, Tante,” Nina menyapa den
Maya membuka pintu rumah dengan pelan. Lampu ruang tamu masih padam, menandakan Bima belum juga pulang. Maya melirik jam di dinding—sudah hampir tengah malam.Langkahnya terdengar sayup di lantai kayu menuju dapur. Sepanjang perjalanan pulang, Maya berharap suara teleponnya tadi bisa membuat Bima cepat kembali. Tapi yang dia dapatkan hanya panggilan yang sengaja diputus.Maya menghela napas panjang, membuka lemari es dan mengeluarkan botol air. Dia berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam di luar sana. Pikirannya terus berputar.“Dia pasti sibuk,” Maya mencoba meyakinkan diri sendiri. Dengan langkah gontai, Maya mematikan lampu dapur dan berjalan menuju kamar. Saat merebahkan diri di kasur, matanya tertuju pada sisi ranjang yang kosong. Dimana Bima sekarang?***Dua jam berlalu, suara pintu depan berderit pelan. Maya membuka mata, menajamkan pendengaran saat langkah kaki Bima terdengar mendekat. Dia pura-pura terlelap. Namun ketika Bima masuk kamar, aroma parfum yang begitu f
Bima terdiam sejenak, cangkir kopinya terhenti di bibir. Dia meletakkannya kembali ke meja tanpa diminum. “Orang selalu suka berasumsi,” jawab Bima datar. Tapi matanya menghindari tatapan Nina.“Benarkah?” Nina bersandar, menyilangkan tangan. “Tapi sepertinya masuk akal. Maksudku ... bisnis kamu mulai jalan setelah Maya menjual aset-asetnya. Dan katanya tanah terakhir yang dijual itu lumayan besar, kan?”Bima menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan gelisah. “Aku tidak minta dia jual asetnya. Dia yang mau bantu,”Nina tertawa pelan. “Bantu? Atau ... merasa harus? Kamu cukup pandai merayu, Bima,” kekehnya.Bima menatap Nina tajam, merasa sedikit tersinggung. “Aku tidak pernah pakai cara kotor. Maya istriku. Aku kerja keras untuk keluarga kami,”Nina mengangkat tangan. “Tenang ... aku cuma bercanda. Tapi kalau aku jadi Maya, aku mungkin akan berpikir ulang soal warisan itu,”Bima terdiam, tidak bisa membalas. Kata-kata Nina terasa menusuk lebih dari yang dia
Begitu Maya melangkah keluar dan pintu tertutup, Sulastri mendesah pelan sambil melirik ke arah Nina dan Vina.“Itulah Maya,” ucap Sulastri sinis, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dari dulu selalu terlalu serius. Tidak heran kalau Bima mulai bosan,”Vina yang tengah mengelus perutnya, tertawa kecil. “Aku juga heran, Bu. Kak Maya itu terlalu kaku. Padahal suami kan butuh istri yang bisa menjaga suasana tetap menyenangkan,”Nina menyilangkan kaki, tersenyum tipis. “Sepertinya Maya tidak terlalu suka bersosialisasi, ya? Bima sering terlihat sendiri di acara-acara perusahaan,”Sulastri mengangguk. “Memang begitu orangnya. Selalu merasa cukup dengan dirinya sendiri. Seakan-akan perhatian Bima itu milik dia sepenuhnya,”Vina terkekeh. “Iya, padahal kalau Kak Maya tahu caranya merawat diri, Mas Bima tidak akan melirik yang lain,”Nina tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hati, dia menikmati setiap kalimat yang keluar dari mulut Sulastri dan Vina. Rasanya seperti membuka jalan ya
Sesampainya di klinik, Maya membantu Vina turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Vina duduk dengan santai, memainkan ponselnya. Sementara Maya diam, matanya menatap kosong ke lantai.Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil nama Vina. Vina bangkit dengan anggun, lalu menoleh ke Maya.“Kak Maya, tunggu di sini saja, ya. Aku cuma sebentar kok,” katanya sambil tersenyum tipis.Setelah beberapa saat, Vina keluar dari ruangan dokter dengan ekspresi puas. Dia berjalan mendekati Maya, mengangkat tangannya yang memegang secarik kertas hasil pemeriksaan.“Semua sehat, Kak. Kata dokter, bayinya berkembang dengan baik,” kata Vina dengan nada bangga.Maya tersenyum tipis. “Syukurlah. Aku ikut senang,”“Kak Maya,” katanya sambil memandangi dirinya di kaca spion. “Kenapa tidak coba promil lagi? Siapa tahu kali ini berhasil,”Maya terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya. “Aku dan Bima sudah berusaha,” jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.“Tapi jangan menye
“Kenapa pulang sepagi ini?” tanya Maya, suaranya tenang.Bima mengusap tengkuk, mencoba tetap terlihat santai. “Ada urusan klien. Kami baru selesai rapat di hotel,”“Klien perempuan?” Maya bertanya sambil melipat selimut tipis di sofa, berusaha terlihat biasa saja.Bima terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya … salah satu partner bisnis,”Maya menahan senyum pahit. Jawaban itu terdengar seperti alasan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang.“Baiklah. Aku akan siapkan sarapan,” ucap Maya sambil berbalik menuju dapur, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.“Tidak perlu,” sambar Bima. “Ini masih terlalu pagi. Sebaiknya kamu tidur,”Maya diam memunggungi Bima. “Baiklah kalau itu maumu,” balasnya.Bima sedang duduk di tepi ranjang, membuka jam tangannya dengan gerakan lambat. Maya berdiri di depan cermin, menyisir rambut dengan tenang.“Bagaimana perkembangan bisnismu akhir-akhir ini?” tanya Maya, suaranya terdengar datar.Bima melirik sekil