a few years later"Ma, tenanglah." Bian berusaha menenangkan sang Mama yang begitu gelisah. Wanita cantik itu menangis tersedu. Mngingat sang putri belasan tahun diculik saat bermain di depan rumahnya. Saat masih kecil. "Bagaimana Mama, bisa tenang Bian. Ini sudah sangat lama sekali, bahkah anak Mama sudah mati atau masih hidup. Bisa sekolah, apa dia baik-baik saja bisa makan enak sama seperti kita tidak. Bian menarik nafas panjang. " Semoga, Ma. Semoga kita bisa menemukannya.""Tapi kapan, Bian. Mama lelah.""Ma, sabar.""Jika, Mama meninggal terus, Asmara belum sempat ditemukan bagaimana?" "Hus, Mama ga bileh ngomong begitu, ah. percaya sama Allah, Ma. Allah pasti akan menjaganya ya."Lagi saat ini hanya beberapa detik, tetapi efek kerinduanku pada putriku berhasil meluruhkan benteng ketenanganku. Kesedihan dan kemarahan kembali menggeliat. Disusul bergulirnya cairan bening dari sudut mataku. Setelah susah payah memadamkan api emosi, kenapa aku harus anak gadisku menghilang? Takdi
Gelisah"Terima kasih Lintang, setidaknya kau mengurusku dengan sangat baik," ujarnya dengan angkuh suamiku berucap."Maksudnya, Mas apa?" "Kau wanita yang tak kuinginkan, kau tahu persis, pernikahan kita hanya sandiwara."Bagaikan disambar petir siang bolong, tubuhku lunglai kelantai, apa yang diucapkan suamiku seperti tamparan keras buatku, bagaimana bisa di usia pernikahanku yang sudah satu tahun, ia baru mengatakan ini padaku."Kau tidak pantas menjadi istriku, Sekarlah yang layak menjadi istriku, dia cantik tidak sepertimu kumel, " ucapnya di depanku."Selama ini, Mas baru mengatakan ini padaku, apa dosaku hingga kau menghukumku seperti ini," sergahku pada lelaki yang telah memberikanku gelar sebagai istri satu tahun yang lalu.Senja mulai menguning pertanda petang akan tiba saat malam berganti pagi dan seterusnya, begitu juga dengan kisah lukaku yang butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Aku perempuan yang terluka, inilah mungkin kisah hidupku, tersakiti.Terdengar Suara adza
Diam, hanya terdengar suara gunting yang kupakai untuk memotong kain. Haruskah aku menjawab pertanyaan yang menyakitkan ini."Lintang ...?""Eh ... iya Ma-sih, Bu, " jawabku keceplosan."Ayo anterin Ibu belanja, biar kamu tidak stess begitu di rumah terus?""Baiklah, Bu ...!"Mobil Ibu melaju membelah jalan raya, kami bercanda dan tertawa mendengar cerita lucu Tiara, mobil masih berjalan hingga pemandangan pun terlihat dengan jelas dari dalam mobil, Tiara adalah anak dari kakak iparku mbak Anggun.Kami membeli beberapa bahan dapur dan kebutuhan sembako, selesai memilih Mama mengajakku ke kasir, terdengar suara Tiara mengetahui pamannya, berjalan dengan perempuan cantik dan seksi. mamapun mengetahui kelakuan anaknya.Saat aku melihat wajah wanita itu tubuhku berguncang wanita itu begitu cantik. Seolah dunia berhenti berputar seperdetik, air mataku luluh lantah, luka yang ia berikan padaku begitu menyakitkan. Selama hidup dengannya aku bahkan lupa bagaimana berdandan aku hanya menguru
"Biarkan saja, Anggun. Lumayan kan kita tidak bayarin pembantu di rumah ini, sudah ada, Lintang yang membereskan semuanya," seru kakak iparku Wulan yang bicara sama kakak iparku satunya Anggun."Iya sih, Mbak. Coba antar jemput, Tiara, kalau pake jasa ojek online sudah berapa saja 'kan, " jelas mereka sambil tertawa.Mereka mempermainkanku, ya Allah andai saja Bapakku tidak berpesan padaku, untuk selalu menyayangi keluarga dari suamiku, mungkin aku tak semenderita ini. Mereka tak sadar jika aku mendengarkan ucapan mereka, di rumah ini hanya Tiara dan Ibu mertuaku yang baik padaku. Untuk apa aku bertahan di rumah mewah ini, penghuninya banyak, dan ga semua menyukaiku."Lintang, hari ini, Budhe yang dari, Jogya mau mampir kesini masak yang banyak ya?" suruh kakak iparku Mbak Wulan padaku sambil berdandan menor di depanku."Kamu itu, Wulan, bukannya bantuin adikmu Lintang, malah menyuruhnya terus, sana bantuin?" Suruh Ibu pada, Mbak Wulan, yang aku tahu pasti ibu membelaku.Kuiris kentan
Ada sisi lega di dalam hatiku, setidaknya beban di hatiku berkurang. Selamat tinggal rumah mewah namun begitu banyak luka. Ibu mertuaku tidak tahu jika aku di perbudak oleh kakak-kakak iparku.Aku merapikan bajuku di dalam travel bag dan aku berharap Bapakku mau menerima putrinya yang telah gagal mempertahankan pernikahan yang beliau inginkan. Apa Bqpak akan kecewa saat aku yang dijual dikeluarga ini telah dikucilkan. Kuturuni tangga, dan ponsel kumasukkan dalam tas. Aku menuju ruang keluarga dan berpamitan dengan Ibu, aku melangkah menghampiri mereka."Mbak Wulan, Mbak Anggun, Lintang pamit," sapaku yang tak dihiraukan oleh keduanya.Tidak ada yang menahanku, Budhe juga terlihat biasa saja. Hmm ya sudahlah."Tante ... tolong jangan tinggalin Tiara," pinta gadis kecil itu padaku."Nanti kapan-kapan kita bisa bertemu lagi sayang," jawabku pada gadis kecil yang memelukku erat, ia tahu jika hanya aku yang mengerti tentang keadaannya."Nak, tidak bisakah dirubah keputusanmu?" permintaan Ib
Aku berdiri di depan sebagai kasir, pembeli datang dan pergi, aku melihat ada tamu langganan pemilik butik ini, memesan baju untuk pernikahan. Butik ini lumayan ramai, alhamdulillah bisa membaut aku melupakan sejenak perasaan yang entah, mungkin saja aku lelah setiap hari hanya menangis. Entah siapa aku dan siapa keluargaku sebenarnya. "Lintang, karyawan baru ya? Tolong bungkuskan baju ini, di bungkus yang rapi ya." Suruh Istri dari bosku namanya, Bu Sonya. Wanita sosialita yang begitu anggun dan cantik."Iya, Bu. Saya karyawan baru di sini," jawabku pada Ibu Sonya."Terima kasih ya," serunya dan berlalu pergi keruangannya.Aku di bantu sama teman kerjaku Elsa, membungkus baju dengan rapi, selesai itu aku menuju ruangan Bu Sonya dan menyerahkan barang padanya. Waktu sudah mulai sore, aku meminta izin untuk mencari kontrakan sama Bu sonya dan Pak Jaka. Aku ingin mencari kos atau kontrakan di dekat-dekat sini. Semoga saja kali ini aku izin kan. Karena juga aku baru satu hari bekerja ka
"Mbak Lintang, kita berangkat naik angkot apa jalan kaki?" tanya Elsa sambil menguncir rambutnya yang sebahu."Deket ini, cuma 300 meter, kita jalan saja ya," aku sudah membawa tas bekal yang tadi dibeli di warung sebelah."Baiklah."Kami berjalan beriringan, udara yang masih sejuk membuat kami jalan begitu santai. Dan tak terasa kami sudah berada di depan butik tempat kerja kami. Pengunjung hari ini lumayan banyak, telah tiba saatnya istirahat, aku yang bergantian jam dengan Cici teman kerja yang lain. Aku bergegas ke musholla yang tak jauh dari butik, salat dzuhur sudah selesai, aku kembali dan badanku ketabrak oleh anak kecil yang sedang berlari-lari."Aduh ... maaf ya, Tante cantik tidak sengaja," sapanya dan menolongku berdiri."Iya tidak apa-apa lain kali hati-hati ya," jawabku pada gadis kecil yang memelas.Gadis ini kenapa lari-lari, sepertinya ia ketakutan, gadis yang sangat lucu, membuatku rindu dengan Tiara, ada apa ya coba aku tanya."Kenapa sepertinya takut?" "Jingga ta
"Lintang, panggilnya jangan, Bu. ga enak, Mbak saja ya? Toh semua karyawan juga memanggil saya, Mbak." Aku mengangguk pelan. "Baiklah, Mbak Sonya.""Aku, lihat di kartu identitas kamu, status kamu sudah menikah ya, Lintang? Maaf ya kalau, Mbak banyak nanya," ucapnya penasaran.Aduh, harus jawab apa aku, haruskah aku bicara yang sesungguhnya, namun ga ada juga manfaatnya berbohong. Pada akhirnya mereka juga akan tahu tentang kisah hidupku."Lintang?""Eh iya, Mbak!""Ga di jawab?" tanyanya lagi penasaran."Iya, Mbak. Sebenarnya lintang di talak sih sama suami Lintang beberapa bulan yang lalu.""Oh maaf ya, Lintang, gara-gara, Mbak kamu jadi sedih kan." Mbak Sonya merasa serba salah."Tidak apa-apa, Mbak. Kan semuanya memang kenyataan.""Sabar ya, Lintang, kamu pasti bisa melewatinya."Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Santai saja." Aku kembali bekerja dan mengecek baju yang datang.Kenyataan bahwa hidupku telah hancur, nyatanya sampai sekarang aku baik-baik saja, dan aku senang bisa memil
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y