*****
Tak terasa perjalanan telah sampai. Kutepikan motorku di depan rumahnya, sengaja tak mengantarnya masuk ke halaman.
“Ok, sampai di sini, ya. Pokoknya, kalau Mama dan Papa mendesak mau kenal sama pacarku, aku akan bawa kamu. Tapi, aku pasti berusaha mendekati cewek yang kumaksud tadi. Mumpung lagi of, aku mau ke sana sekarang. Makin cepat makin baik, bukan?” kataku langsung memutar arah motor.
Lama gadis itu tercenung. Dahinya mengernyit keras, sepertinya sedang sibuk berpikir dan menimbang-nimbang.
“Ok, aku pergi. Doakan, semoga sukses!” ucapku bersiap-siap melajukan motor.
“Mas .. tunggu!”
Aku bersorak. Mala-ku, menghentikanku.
Aku menoleh, Mala menatapku sekilas, lalu menunduk. Gadis yang selalu menggetarkan hatiku ini menggigit bibirnya bagian bawah. Aku tahu, dia ingin berucap, tapi masih ragu.
“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanyaku pura-pura lugu.
“Anu, emh, kamu bilang butuh bantuan aku? Aku mau ikut … nemuin cewek itu. Nanti, aku kasih pendapat, cocok enggak dia sama kamu,” katanya kemudian.
Aku terdiam sejenak. Mencoba memahami maksud dan tujuannya. Apakah niatnya murni karena ingin membantuku, atau ada sesuatu? Jangan-jangan …
“Boleh, deh! Yuk!” kataku sedikit ragu.
Tentu saja aku bingung, perempuan mana yang akan kutunjukkan padanya nanti? Karena sesungguhnya perempuan itu tidak ada. Waduh! Kenapa senjata makan tuan jadinya? Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mala langsung naik ke boncengan. Motorku kembali melaju membelah jalanan. Entah ke mana aku akan membawanya sekarang. Pusing! Tiba-tiba terlintas di kepala ide baru.
“La, kita singgah ke rumah dulu, ya. Ada perlu bentar,” kataku setelah yakin dengan ideku.
“Lho, katanya ke rumah cewek itu?” protesnya kecewa.
“Singgah bentar, enggak lama.”
“Ketemu orang tua Mas Diky, dong?”
“Gak apa-apalah, sekalian kenalan. Ingat, kamu gak boleh protes kalau aku bilang kalau kamu itu pacar aku!”
“Bilang aja teman, Mas! Gak usah pacar!” tolaknya.
“Ya, sudahlah, terserah,” ucapku pasrah.
Sebuah mobil yang bukan milik keluargaku, terparkir di halaman ketika kami sudah sampai di depan rumah. Sepertinya sedang ada tamu. Agak kecewa, karena niatku mendekatkan Mala dengan Mama terpaksa gagal.
“Yuk, masuk!” kataku melihat Mala yang terlihat ragu.
“Aku, dag dig dug … gimana, dong?” katanya menolak melangkah.
“Kenapa dag dig dug?”
“Karena mau jumpa orang tuamu,” jawabnya. Wajahnya memang berubah agak pucat.
“Katamu kita hanya teman? Kalau teman, biasa dong, bertemu orang tua. Seperti saat kamu bertemu orang tua Andi, gimana? Apakah kamu deg deggan juga?” pancingku.
“Enggak, sih, itu beda.”
“Hehehe … aneh, padahal, orang tua Andi adalah orang tua Reno, cowok idaman kamu. Kenapa bertemu dengan orang tuaku yang bukan siapa siapamu, kamu malah tegang gitu?” godaku.
“Em, iya … kenapa, ya?” katanya balik bertanya.
Salahkah, bila aku berpikir, sebenarnya Mala menyukaiku? Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya cinta itu ada buatku. Sengaja dibiarkan tertimbun, karena pesona Reno jauh lebih menggetarkan. Benih cinta untukku dibiarkannya layu dan mengering. Dengan bersatunya Reno dan Melur, semoga ada secercah harapan buatku.
“Udahlah! Masuk aja! Orang tuaku enggak nggigit, kok!” kataku sambil menggamit tangannya. Tangan lembut, tapi terasa semakin dingin. Mala benar-benar deg-deggan, rupanya. Seperti biasanya, Mala tetap menolak kupegang, meski hanya bagian tangan. Segera ditariknya tangannya dari genggamanku.
“Mas masuk aja! Aku nunggu di sini!” tolaknya tetap bertahan.
“Ok, aku ke dalam sebentar, ya, “ kataku lalu melangkah masuk.
“Nah, ini orangnya udah datang,” teriak Mama begitu aku memasuki ruang tamu.
“Diky! Ini Om Rijal, teman Pap saat masih bertugas dulu. Pangkatnya sama seperti Papa, jadi kamu harus beri hormat dulu, karena pangkat kami masih di atasmu, hehehehe …,” kata Papa menunjuk laki-laki yang memang terlihat sebaya dengannya.
“Siap, Pa,” jawabku langsung menyalami Om Rijal, wanita di sebelahnya, yang pasti istrinya, dan seorang gadis yang terlihat malu-malu di samping Mama.
“Ini Diyah, putri Om Rijal, kenalan, dong!” kata Mama menyentuh bahu gadis itu.
Aku mengulurkan tangan. Disambutnya dengan masih malu-malu.
“Iya, Diky. Dia putri Om. Papamu hebat, punya anak laki-laki yang meneruskan cita-citanya. Kalau Om, hanya punya satu putri, enggak mau disuruh jadi angkatan. Padahal, Om sangat ingin generasi penerus dan keturunan Om tetap ada darah angkatannya. Semoga Diyah mendapat jodoh orang angkatan juga seperti Papanya, hehehehe …” tutur Om Rijal tertawa, yang disambut oleh Papa.
“Kebetulan sekali, kamu datang berkunjung sore ini, ke sini. Karena Diky ada di rumah, jadi mereka bisa langsung kenalan, suatu kebetulan yang tak tak terduga, bukan? Kata Papa terlihat begitu bahagia.
“Wah, cocok kalau begitu. Kita yang tua-tua ini, hanya bisa mendoakan, bukan, begitu? Yang menjalani, kan, mereka. Semoga saja berjodoh.”
Mereka tertawa lagi.
Kulirik gadis itu, cukup manis. Sepertinya sifatnya juga bagus. Pendiam, penurut, enggak banyak tingkah, dan enggak banyak gaya. Tak ada kurangnya. Tetapi, hatiku tak berdebar melihatnya. Sepertinya mereka harus kecewa, tak ada tempat lagi di hati ini karena sudah ada seorang gadis yang mengisinya, Mala. Ops, Mala. Dia masih di luar.
“Sebentar, Ma, Pa, Om, Tante, Dek Diyah,” kataku langsung bergegas ke luar.
Malaku masih berdiri di sana. Warna wajahnya berubah, tak lagi pucat, kini berubah memerah. Apakah dia marah? Kenapa? Apa yang salah?
“Aku pesan taksi online, ya? Kamu sedang ada tamu istimewa, kan? Aku gak mau ganggu, aku pulang,” sergahnya bergitu aku menghampiri.
“Jangan, dong! Kenapa buru-buru pulang? Belum juga kenalan sama Papa dan Mama?” tanyaku keheranan.
“Mereka tamu istimewa, bukan? Aku gak mau ganggu!” Suaranya mulai meninggi.
“Tamu istimewa bagaimana? Itu teman Papa. Mungkin istimewa buat Papa, karena ketemu teman lama. Seperti kamu dengan Melur, atau Rani. Misalnya kalian udah lama enggak ketemu, apakah enggak istimewa sekali saat kalian tiba-tiba bisa ketemu?” kataku masih bingung, kenapa dia seperti merajuk.
“Iya, tapi aku enggak akan mau sembarangan menjodohkan anakku dengan dengan anak Melur, atau anak Rani!” ketusnya dengan suara mulai parau.
Ops, jadi dia marah karena hal perjodohan? Dia merajuk karena Papa dan temannya berniat menjodohkan akau dengan Diyah? Tapi, dari mana Mala tahu hal itu? Bukankah dia berada di teras? Jangan-janagn dia menguping atau bahkan mengintip ke ruang tamu tadi?
“Ya, iyalah. Aku juga enggak mau nanti menjodohkan anak kita dengan anak sahabat-sahabat kamu itu, ogah banget,” kataku pura-pura ikut kesal.
“Apa?” Mala menatapku lekat.
“Kubilang, aku enggak mau jodohin anak kita dengan anak sahabatmu, entah itu si Melur, atau si Rani, jelas? Nona?”
Wajah Mala bersemu, ada senyum samar di sudut bibirnya.
“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.
******
*****“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.“Enggak mau, aku berdebar. Takut juga iya,” katanya tetap menolak.“Berdebar kenapa? Takut apa?”“Kamu masuk aja! Aku nunggu di sini!”“Enggak bisa! Paling kamu ngintip lagi!”“Mas …!” Mala menatapku, kubalas menatap tepat di manik-manik matanya. Gadis itu menunduk. Baru kali ini, dia menunduk saat kutatap. Biasanya balas menatap, lalu membuang pandangannya. Sama sekali tak ada respon dari sorot matanya. Kenapa kali ini berbeda? Apakah sesuatu telah terjadi padanya?“Mala … kenapa?” tanyaku lembut. Ingin sekali kuraih tanganya, meremas lembut jemarinya. Tetapi aku takut, pasti dia akan segera menolak seperti biasanya.“Mas, gadis yang bernama Dyah itu, manis, ya?” lirihnya tiba-tiba. Dia berkata masih dengan menunduk.“Kamu melihatnya?” tanyaku dengan dada berdebar. Entah kenapa, aku begitu bahagia, mendengar kalimatnya. Sepertinya harapan baru telah mekar, karena kulihat rona cemburu di wajah jel
*****Sifat Mala yang seperti inilah yang membuat rasa kagumku semakin berlipat-lipat ganda. Anehnya dia bisa bersikap seperti itu kepada semua orang. Semua … orang. Kecuali aku. Kalau menghadapiku, dia selalu ketus. Kenapa, coba. Apakah dia bersikap begitu karena akulah yang paling istimewa baginya? Bah! Orang yang istimewa, kok malah disiksa.“Dagang juga pekerjaan yang mulia, Nak. Enggak masalah bagi kami, ya, kan, Ma?” Untung Papa sangat pintar menetralkan suasana. Meskipun Mala tampak tidak tersinggung, namun, tetap aku khawatir perasaannya terluka.“Udah, sore, Pa! Kita balik, yuk! Ntar kemaleman lagi,” kata istri Om Rijal tiba-tiba.“Oh, iya. Kami permisi, ya. Ayo, Diyah!” Mereka bangkit bersamaan.“Lho, kok, buru-buru. Belum hilang kangennya, lho!” kata Papa berbasa-basi.“Masih banyak waktu, lain kali kita sambung lagi.”Mereka melangkah keluar setelah saling bersalaman sekali lagi. Mama dan Papa mengantar mereka hingga teras.“Kok, enggak diantar si Diyah itu setidaknya
*****VOP MalaJujur, aku tidak mencintainya. Pemuda yang telah mengejarku sekian tahun ini sama sekali tak kuingini. Berkhayal menjado istri seorang polisi saja aku tidak pernah. Bukan karena dia kurang tampan. Bukan pula karena kurang kaya. Tidak ada yang kurang pada dirinya. Tapi, cinta tak juga mau bertaut di hati ini.Wajah Mas Reno telah memenuhi ruang di hati. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Meski tak dapat kumiliki, biarlah, dia saja yang tetap bertahta di hati ini. Cukup bayangannya, tak usah wujud nyatanya.Namun, entah kenapa ada rasa asing yang tak kupahami, saat Mas Diky akan berpaling ke wanita lain. Bukankah sangat wajar dia mencari cinta yang lain, karena cintanya tak jua tertaut di hatiku? Sementara orang tua nya sudah tak sabar lagi. Mas Diky harus segera menikah.Aku paham saat dia akan dijodohkan dengan wanita yang mereka anggap pantas mendampingi Mas Diky. Awalnya aku tak peduli, tapi saat melihat betapa manisnya gadis yang bernama Diyah i
*****"Tidak mungkin, Ma!""Mala, kau tahu, Papamu pernah stres karena dulu gagal jadi angkatan, kau tidak mau kan, dia stres lagi karena kecewa padamu? Hanya kau harapannya saat ini, Nak! Adikmu masih terlalu kecil untuk menikah.""Mas Diky juga angkatan, Ma. Lalu apa bedanya dengan lelaki pilihan Papa itu?""Bedanya, karena yang ini anak temannya. Orang yang sangat dia banggakan. Teman dia berjuang dulu. Cepat kau telpon pacarmu itu sekarang juga, suruh jemput cincinnya itu, lekas!""Mala enggak berani, Ma. Mala enggak tega.""Jadi, sama Papamu, kau tega?"Aku tercenung lama. Papa memang sangat menyayangiku, tapi dia juga sangat keras dan kejam bila sudah marah. Kata nenek, dia sempat depresi, dulu, saat gagal jadi angkatan. Tentu saja aku tak ingin dia depresi lagi. Tapi, haruskah aku mengecewakan Mas Diky.Ah, sudahlah. Toh, aku tidak mencintainya. Mas Diky akan segera menemukan penggantiku, mungkin Diyah, gadis manis tadi sore, afalah jodohnya."Mala,
*****"Kita nekat kawin lari, yuk. Kita nikah secara militer aja, mau enggak?" ajak Mas Diky terdengar makin putus asa."Emang bisa?" tanyaku menahan geli. Kedua orang tua kami menahan tawa."Iyakan aja!" bisik Papanya. Mereka sepertinya ingin mengerjai Mas Diky."Bisa, ayuklah! Mau, ya, Sayang! Tolong! Daripada suamimu mampus karena kutembak, bagus kita nekat sekarang. Iya, kan?""Kalau kau tembak suamiku, kamu masuk penjara, aku jadi janda, dong? Ntar, aku nikah lagi," ancamku sengaja mempermainkan hatinya."Aku tembak lagi!" Dia balik mengancam."Kamu penjara lagi!""Biarin!""Aku nikah lagi!""Kutembak lagi!""Panjara lagi!" 
*****"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu."Banyak kok kejadian, calon pengantin melarikan diri sedetik sebelum akad nikah," sergahnya dengan nada begitu serius."Jangan takut, Mas. Kalau Kak Mala melarikan diri, ada Rara yang bersedia menjadi pengantin pengganti, hehehe ...."Serempak kami menoleh ke pintu kamar. Rara adikku satu-satunya telah b
*****“Kenapa, Sayang? Kamu capek? Ok, Maaf, mungkin aku yang terlalu terburu-buru,” ucap Mas Diky menegakkan tubuh, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Terdengar suara cidukan air dari bak. Sepertinya dia mencuci muka atau membasahi kepalanya.Kurapikan kembali pakaianku yang berantakan. Meneliti tubuh yang tak karuan. Lalu duduk di bibir ranjang.Mas Diky keluar dari kamar mandi dengan kepala basah. Airnya bahkan menetes membasahi lantai. Seketika timbul rasa iba di hati. Kuraih handuk kecil dari dalam lemari, lalu bergerak mendekatinya yang kini duduk di bibir ranjang.Kukeringkan kepala dan wajah yang basah dengan lembut. Kuseka leher dan tengkuk. Mas Diky hanya pasrah, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Kepalanya mungkin sudah dingin karena siraman air yang dingin, api hatinya mungkin masih panas karena amarah
*****Ponselku dan ponsel Mas Diky berbunyi berbarengan. Beberpa kali kami biarkan. Rasa lelah dan sakit di bagian tertentu tubuh membuatku enggan untuk bergerak. Mas Diky juga enggan bergerak. Dia terlihat begitu lelah. Tetapi, wajahnya terlihat tenang dan terang. Tak lagi kusut dan gelap seperti tadi malam.Suara ribut panggilan masuk di ponsel masih membahana. Kuraih benda itu dari atas nakas. Kuusap layar dengn mata terpejam.“Cepat bersiap-siap kalian! Petugas travel akan segera menjemput. Pesawatnya berangkat pukul sepuluh!” perintah Mbak Rahma.Aku baru ingat, hari ini kami akan berangkat. Bulan madu yang telah mereka siapkan dan hadiahkan untuk kami. Kakak iparku yang baik dan penuh perhatian.Ponsel Mas Diky berhenti berbunyi. Mungkin karena telah tersambung ke ponselku tadi.Aku harus segera bangkit dan membersihka
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&