*****
Tak terasa perjalanan telah sampai. Kutepikan motorku di depan rumahnya, sengaja tak mengantarnya masuk ke halaman.
“Ok, sampai di sini, ya. Pokoknya, kalau Mama dan Papa mendesak mau kenal sama pacarku, aku akan bawa kamu. Tapi, aku pasti berusaha mendekati cewek yang kumaksud tadi. Mumpung lagi of, aku mau ke sana sekarang. Makin cepat makin baik, bukan?” kataku langsung memutar arah motor.
Lama gadis itu tercenung. Dahinya mengernyit keras, sepertinya sedang sibuk berpikir dan menimbang-nimbang.
“Ok, aku pergi. Doakan, semoga sukses!” ucapku bersiap-siap melajukan motor.
“Mas .. tunggu!”
Aku bersorak. Mala-ku, menghentikanku.
Aku menoleh, Mala menatapku sekilas, lalu menunduk. Gadis yang selalu menggetarkan hatiku ini menggigit bibirnya bagian bawah. Aku tahu, dia ingin berucap, tapi masih ragu.
“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanyaku pura-pura lugu.
“Anu, emh, kamu bilang butuh bantuan aku? Aku mau ikut … nemuin cewek itu. Nanti, aku kasih pendapat, cocok enggak dia sama kamu,” katanya kemudian.
Aku terdiam sejenak. Mencoba memahami maksud dan tujuannya. Apakah niatnya murni karena ingin membantuku, atau ada sesuatu? Jangan-jangan …
“Boleh, deh! Yuk!” kataku sedikit ragu.
Tentu saja aku bingung, perempuan mana yang akan kutunjukkan padanya nanti? Karena sesungguhnya perempuan itu tidak ada. Waduh! Kenapa senjata makan tuan jadinya? Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mala langsung naik ke boncengan. Motorku kembali melaju membelah jalanan. Entah ke mana aku akan membawanya sekarang. Pusing! Tiba-tiba terlintas di kepala ide baru.
“La, kita singgah ke rumah dulu, ya. Ada perlu bentar,” kataku setelah yakin dengan ideku.
“Lho, katanya ke rumah cewek itu?” protesnya kecewa.
“Singgah bentar, enggak lama.”
“Ketemu orang tua Mas Diky, dong?”
“Gak apa-apalah, sekalian kenalan. Ingat, kamu gak boleh protes kalau aku bilang kalau kamu itu pacar aku!”
“Bilang aja teman, Mas! Gak usah pacar!” tolaknya.
“Ya, sudahlah, terserah,” ucapku pasrah.
Sebuah mobil yang bukan milik keluargaku, terparkir di halaman ketika kami sudah sampai di depan rumah. Sepertinya sedang ada tamu. Agak kecewa, karena niatku mendekatkan Mala dengan Mama terpaksa gagal.
“Yuk, masuk!” kataku melihat Mala yang terlihat ragu.
“Aku, dag dig dug … gimana, dong?” katanya menolak melangkah.
“Kenapa dag dig dug?”
“Karena mau jumpa orang tuamu,” jawabnya. Wajahnya memang berubah agak pucat.
“Katamu kita hanya teman? Kalau teman, biasa dong, bertemu orang tua. Seperti saat kamu bertemu orang tua Andi, gimana? Apakah kamu deg deggan juga?” pancingku.
“Enggak, sih, itu beda.”
“Hehehe … aneh, padahal, orang tua Andi adalah orang tua Reno, cowok idaman kamu. Kenapa bertemu dengan orang tuaku yang bukan siapa siapamu, kamu malah tegang gitu?” godaku.
“Em, iya … kenapa, ya?” katanya balik bertanya.
Salahkah, bila aku berpikir, sebenarnya Mala menyukaiku? Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya cinta itu ada buatku. Sengaja dibiarkan tertimbun, karena pesona Reno jauh lebih menggetarkan. Benih cinta untukku dibiarkannya layu dan mengering. Dengan bersatunya Reno dan Melur, semoga ada secercah harapan buatku.
“Udahlah! Masuk aja! Orang tuaku enggak nggigit, kok!” kataku sambil menggamit tangannya. Tangan lembut, tapi terasa semakin dingin. Mala benar-benar deg-deggan, rupanya. Seperti biasanya, Mala tetap menolak kupegang, meski hanya bagian tangan. Segera ditariknya tangannya dari genggamanku.
“Mas masuk aja! Aku nunggu di sini!” tolaknya tetap bertahan.
“Ok, aku ke dalam sebentar, ya, “ kataku lalu melangkah masuk.
“Nah, ini orangnya udah datang,” teriak Mama begitu aku memasuki ruang tamu.
“Diky! Ini Om Rijal, teman Pap saat masih bertugas dulu. Pangkatnya sama seperti Papa, jadi kamu harus beri hormat dulu, karena pangkat kami masih di atasmu, hehehehe …,” kata Papa menunjuk laki-laki yang memang terlihat sebaya dengannya.
“Siap, Pa,” jawabku langsung menyalami Om Rijal, wanita di sebelahnya, yang pasti istrinya, dan seorang gadis yang terlihat malu-malu di samping Mama.
“Ini Diyah, putri Om Rijal, kenalan, dong!” kata Mama menyentuh bahu gadis itu.
Aku mengulurkan tangan. Disambutnya dengan masih malu-malu.
“Iya, Diky. Dia putri Om. Papamu hebat, punya anak laki-laki yang meneruskan cita-citanya. Kalau Om, hanya punya satu putri, enggak mau disuruh jadi angkatan. Padahal, Om sangat ingin generasi penerus dan keturunan Om tetap ada darah angkatannya. Semoga Diyah mendapat jodoh orang angkatan juga seperti Papanya, hehehehe …” tutur Om Rijal tertawa, yang disambut oleh Papa.
“Kebetulan sekali, kamu datang berkunjung sore ini, ke sini. Karena Diky ada di rumah, jadi mereka bisa langsung kenalan, suatu kebetulan yang tak tak terduga, bukan? Kata Papa terlihat begitu bahagia.
“Wah, cocok kalau begitu. Kita yang tua-tua ini, hanya bisa mendoakan, bukan, begitu? Yang menjalani, kan, mereka. Semoga saja berjodoh.”
Mereka tertawa lagi.
Kulirik gadis itu, cukup manis. Sepertinya sifatnya juga bagus. Pendiam, penurut, enggak banyak tingkah, dan enggak banyak gaya. Tak ada kurangnya. Tetapi, hatiku tak berdebar melihatnya. Sepertinya mereka harus kecewa, tak ada tempat lagi di hati ini karena sudah ada seorang gadis yang mengisinya, Mala. Ops, Mala. Dia masih di luar.
“Sebentar, Ma, Pa, Om, Tante, Dek Diyah,” kataku langsung bergegas ke luar.
Malaku masih berdiri di sana. Warna wajahnya berubah, tak lagi pucat, kini berubah memerah. Apakah dia marah? Kenapa? Apa yang salah?
“Aku pesan taksi online, ya? Kamu sedang ada tamu istimewa, kan? Aku gak mau ganggu, aku pulang,” sergahnya bergitu aku menghampiri.
“Jangan, dong! Kenapa buru-buru pulang? Belum juga kenalan sama Papa dan Mama?” tanyaku keheranan.
“Mereka tamu istimewa, bukan? Aku gak mau ganggu!” Suaranya mulai meninggi.
“Tamu istimewa bagaimana? Itu teman Papa. Mungkin istimewa buat Papa, karena ketemu teman lama. Seperti kamu dengan Melur, atau Rani. Misalnya kalian udah lama enggak ketemu, apakah enggak istimewa sekali saat kalian tiba-tiba bisa ketemu?” kataku masih bingung, kenapa dia seperti merajuk.
“Iya, tapi aku enggak akan mau sembarangan menjodohkan anakku dengan dengan anak Melur, atau anak Rani!” ketusnya dengan suara mulai parau.
Ops, jadi dia marah karena hal perjodohan? Dia merajuk karena Papa dan temannya berniat menjodohkan akau dengan Diyah? Tapi, dari mana Mala tahu hal itu? Bukankah dia berada di teras? Jangan-janagn dia menguping atau bahkan mengintip ke ruang tamu tadi?
“Ya, iyalah. Aku juga enggak mau nanti menjodohkan anak kita dengan anak sahabat-sahabat kamu itu, ogah banget,” kataku pura-pura ikut kesal.
“Apa?” Mala menatapku lekat.
“Kubilang, aku enggak mau jodohin anak kita dengan anak sahabatmu, entah itu si Melur, atau si Rani, jelas? Nona?”
Wajah Mala bersemu, ada senyum samar di sudut bibirnya.
“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.
******
*****“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.“Enggak mau, aku berdebar. Takut juga iya,” katanya tetap menolak.“Berdebar kenapa? Takut apa?”“Kamu masuk aja! Aku nunggu di sini!”“Enggak bisa! Paling kamu ngintip lagi!”“Mas …!” Mala menatapku, kubalas menatap tepat di manik-manik matanya. Gadis itu menunduk. Baru kali ini, dia menunduk saat kutatap. Biasanya balas menatap, lalu membuang pandangannya. Sama sekali tak ada respon dari sorot matanya. Kenapa kali ini berbeda? Apakah sesuatu telah terjadi padanya?“Mala … kenapa?” tanyaku lembut. Ingin sekali kuraih tanganya, meremas lembut jemarinya. Tetapi aku takut, pasti dia akan segera menolak seperti biasanya.“Mas, gadis yang bernama Dyah itu, manis, ya?” lirihnya tiba-tiba. Dia berkata masih dengan menunduk.“Kamu melihatnya?” tanyaku dengan dada berdebar. Entah kenapa, aku begitu bahagia, mendengar kalimatnya. Sepertinya harapan baru telah mekar, karena kulihat rona cemburu di wajah jel
*****Sifat Mala yang seperti inilah yang membuat rasa kagumku semakin berlipat-lipat ganda. Anehnya dia bisa bersikap seperti itu kepada semua orang. Semua … orang. Kecuali aku. Kalau menghadapiku, dia selalu ketus. Kenapa, coba. Apakah dia bersikap begitu karena akulah yang paling istimewa baginya? Bah! Orang yang istimewa, kok malah disiksa.“Dagang juga pekerjaan yang mulia, Nak. Enggak masalah bagi kami, ya, kan, Ma?” Untung Papa sangat pintar menetralkan suasana. Meskipun Mala tampak tidak tersinggung, namun, tetap aku khawatir perasaannya terluka.“Udah, sore, Pa! Kita balik, yuk! Ntar kemaleman lagi,” kata istri Om Rijal tiba-tiba.“Oh, iya. Kami permisi, ya. Ayo, Diyah!” Mereka bangkit bersamaan.“Lho, kok, buru-buru. Belum hilang kangennya, lho!” kata Papa berbasa-basi.“Masih banyak waktu, lain kali kita sambung lagi.”Mereka melangkah keluar setelah saling bersalaman sekali lagi. Mama dan Papa mengantar mereka hingga teras.“Kok, enggak diantar si Diyah itu setidaknya
*****VOP MalaJujur, aku tidak mencintainya. Pemuda yang telah mengejarku sekian tahun ini sama sekali tak kuingini. Berkhayal menjado istri seorang polisi saja aku tidak pernah. Bukan karena dia kurang tampan. Bukan pula karena kurang kaya. Tidak ada yang kurang pada dirinya. Tapi, cinta tak juga mau bertaut di hati ini.Wajah Mas Reno telah memenuhi ruang di hati. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Meski tak dapat kumiliki, biarlah, dia saja yang tetap bertahta di hati ini. Cukup bayangannya, tak usah wujud nyatanya.Namun, entah kenapa ada rasa asing yang tak kupahami, saat Mas Diky akan berpaling ke wanita lain. Bukankah sangat wajar dia mencari cinta yang lain, karena cintanya tak jua tertaut di hatiku? Sementara orang tua nya sudah tak sabar lagi. Mas Diky harus segera menikah.Aku paham saat dia akan dijodohkan dengan wanita yang mereka anggap pantas mendampingi Mas Diky. Awalnya aku tak peduli, tapi saat melihat betapa manisnya gadis yang bernama Diyah i
*****"Tidak mungkin, Ma!""Mala, kau tahu, Papamu pernah stres karena dulu gagal jadi angkatan, kau tidak mau kan, dia stres lagi karena kecewa padamu? Hanya kau harapannya saat ini, Nak! Adikmu masih terlalu kecil untuk menikah.""Mas Diky juga angkatan, Ma. Lalu apa bedanya dengan lelaki pilihan Papa itu?""Bedanya, karena yang ini anak temannya. Orang yang sangat dia banggakan. Teman dia berjuang dulu. Cepat kau telpon pacarmu itu sekarang juga, suruh jemput cincinnya itu, lekas!""Mala enggak berani, Ma. Mala enggak tega.""Jadi, sama Papamu, kau tega?"Aku tercenung lama. Papa memang sangat menyayangiku, tapi dia juga sangat keras dan kejam bila sudah marah. Kata nenek, dia sempat depresi, dulu, saat gagal jadi angkatan. Tentu saja aku tak ingin dia depresi lagi. Tapi, haruskah aku mengecewakan Mas Diky.Ah, sudahlah. Toh, aku tidak mencintainya. Mas Diky akan segera menemukan penggantiku, mungkin Diyah, gadis manis tadi sore, afalah jodohnya."Mala,
*****"Kita nekat kawin lari, yuk. Kita nikah secara militer aja, mau enggak?" ajak Mas Diky terdengar makin putus asa."Emang bisa?" tanyaku menahan geli. Kedua orang tua kami menahan tawa."Iyakan aja!" bisik Papanya. Mereka sepertinya ingin mengerjai Mas Diky."Bisa, ayuklah! Mau, ya, Sayang! Tolong! Daripada suamimu mampus karena kutembak, bagus kita nekat sekarang. Iya, kan?""Kalau kau tembak suamiku, kamu masuk penjara, aku jadi janda, dong? Ntar, aku nikah lagi," ancamku sengaja mempermainkan hatinya."Aku tembak lagi!" Dia balik mengancam."Kamu penjara lagi!""Biarin!""Aku nikah lagi!""Kutembak lagi!""Panjara lagi!" 
*****"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu."Banyak kok kejadian, calon pengantin melarikan diri sedetik sebelum akad nikah," sergahnya dengan nada begitu serius."Jangan takut, Mas. Kalau Kak Mala melarikan diri, ada Rara yang bersedia menjadi pengantin pengganti, hehehe ...."Serempak kami menoleh ke pintu kamar. Rara adikku satu-satunya telah b
*****“Kenapa, Sayang? Kamu capek? Ok, Maaf, mungkin aku yang terlalu terburu-buru,” ucap Mas Diky menegakkan tubuh, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Terdengar suara cidukan air dari bak. Sepertinya dia mencuci muka atau membasahi kepalanya.Kurapikan kembali pakaianku yang berantakan. Meneliti tubuh yang tak karuan. Lalu duduk di bibir ranjang.Mas Diky keluar dari kamar mandi dengan kepala basah. Airnya bahkan menetes membasahi lantai. Seketika timbul rasa iba di hati. Kuraih handuk kecil dari dalam lemari, lalu bergerak mendekatinya yang kini duduk di bibir ranjang.Kukeringkan kepala dan wajah yang basah dengan lembut. Kuseka leher dan tengkuk. Mas Diky hanya pasrah, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Kepalanya mungkin sudah dingin karena siraman air yang dingin, api hatinya mungkin masih panas karena amarah
*****Ponselku dan ponsel Mas Diky berbunyi berbarengan. Beberpa kali kami biarkan. Rasa lelah dan sakit di bagian tertentu tubuh membuatku enggan untuk bergerak. Mas Diky juga enggan bergerak. Dia terlihat begitu lelah. Tetapi, wajahnya terlihat tenang dan terang. Tak lagi kusut dan gelap seperti tadi malam.Suara ribut panggilan masuk di ponsel masih membahana. Kuraih benda itu dari atas nakas. Kuusap layar dengn mata terpejam.“Cepat bersiap-siap kalian! Petugas travel akan segera menjemput. Pesawatnya berangkat pukul sepuluh!” perintah Mbak Rahma.Aku baru ingat, hari ini kami akan berangkat. Bulan madu yang telah mereka siapkan dan hadiahkan untuk kami. Kakak iparku yang baik dan penuh perhatian.Ponsel Mas Diky berhenti berbunyi. Mungkin karena telah tersambung ke ponselku tadi.Aku harus segera bangkit dan membersihka
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”
****Mala bolak-balik nelpon, tapi kuhiraukan. Biar saja dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih terlalu dini untuk meminta maaf padanya sekarang. Tetapi, panggilan dari Kak Rahma tak boleh kuhiraukan. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Papa, atau Tante Ratna.“Dik, kamu ke rumah sakit, deh, sekarang!” perintah Kak Rahma mengagetkan.“Kenapa, Kak. Papa baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was.“Papa baik, kondisinya semakin stabil. Ini tentang Tante Ratna.”“Kenapa dia?” cecarku.“Kata Dokter, lukanya cukup dalam, dia belum sadar juga, terlalu banyak ngeluarin darah. Tadi, putrinya si Rara nelpon ke hape Tante Ratna, aku angkat. Sekarang dia di sini, ngamuk-ngamuk gak jelas. Ngancam-ngancam gitu.”“Bilang aj
*****POV DikyAku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini. Papa berselingkuh dengan perempuan lain saja sudah membuatku sesak napas. Ternyata Papaku begitu menjijikkan. Saat aku ingin meminta pertanggung jawab, dia malah memilih pingsan. Serangan jantung, kata dokter. Padahal menurutku, itu hanya taktik diaa untuk lari dari masalah. Pasti dia enggan berurusan denganku setelah rahasianya terbongkar. Tertangkap basah lagi. Iya, tertangkap basahlah namanya, karena aku dan istriku menangkap mereka dalam keadaan sudah basah. Basah karena peluh dan mungkin cairan lainnya. Yang menjijikkan tentu saja.Sekarang timbul lagi masalah yang jauh lebih rumit. Mamaku ternyata sama parahnya. Dia nekat menusuk selingkuhan Papaku yang juga pernah menjadi selingkuhan Papa istriku. Rumit, ya? Mamaku menusuk mertua tiriku, yang ternyata selingkuh dengan papaku. Arrrrgh! Sakit kepalaku
*****Aku segera meraih jaket dan jilbab instan yang tergantung di balik pintu kamar. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas sandang, meraih kunci motor di atas nakas, lalu setengah berlari keluar dari kamar.“Mala!”Duh! Aku lupa di rumah ini aku tidak sendiri, meski suamiku berulah lagi. Masih ada Ibu dan Nenek yang begitu peduli.“Mau ke mana? Buru-buru amat?” tanya Ibu seraya bangkit dari sofa di ruang tengah. Nenek mengalihkan tatapannya dari layar tv, kini menatapku dengan teliti.“Aku mau … eh, anu, Bu. Aku mau ….”“Mala …. Sayang? Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” Ibu meraba pipiku.“Aku baik, Bu. Aku Cuma mau ke rumah sakit, mau liat keadaan perempuan itu,” jawabku berdallih.
*****Jujur, aku mulai lelah menjalani rumah tangga ini. Sudah mulai timbul rasa bosan dalam membina hubungan ini. Sikap dan watak Mas DIky teramat menyebalkan. Sifat kanak-kanaknya tak juga berubah. Gampang meledak-ledak seperti anak kecil, yang jiwanya belum matang. Aku masih harus terus menerus mempelajari sifat dan karakternya. Harus berusaha memahami segala kekurangannya, dan berusaha menempa jiwanya agar matang dan dewasa.Tetapi, kenapa hal ini tidak berlaku sebaliknya, coba? Harusnya dia juga berbuat yang sama! Dia juga harus memahami sifat dan karakterku. Bagaimana mungkin dia berfikir aku menelepon Reno, lalu mencurahkan isi hatiku, mengadukan keluh kesahku. Mala bukan type perempuan seperti itu, kan? Kenapa dia langsung meledak-ledak menuduh?Jika dia menduga seperti itu, bukankah harus bertanya dul
****“Maaaa! Mama kenapa senekat ini?” Mas Diky berteriak.Ratna ambruk, darah segar merembes membasahi dasternya yang terbalik. Mama mertuaku tersenyum seperti menyeringai.Ibu dan Nenek berlari dari kamar mereka. Menatap pemandangan yang tak diduga sama sekali.“Sudah, Ken! Sudah kutuntaskan dendammu! Aku tahu kau tidak pernah sakit, hatimulah yang terluka, bukan jiwamu! Tolong jaga Diky putraku, juga cucuku di perut putrimu! Biar aku saja yang menanggung semua ini. Kau di sini saja, jaga cucu kita, ya!” Mama menatap Ibu sendu.“Kak Lena? Kau? Jadi?” Ibu terperangah, dia kesulitan untuk berkata-kata. Bola matanya membulat sempurna.“Ya, Ken. Iya. Maaf, mengagetkanmu.”“Bang! Cepat bawa dia ke rumah sakit! Cepat!” perintahku kepada Bang Anwar. Segera
*****“Rahma! Bisa kau jelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan papamu?” Mama mertua tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya berkilat dengan sorot tajam, menatap anak dan menantunya satu persatu.“Tidak ada apa-apa, Ma! Mama tenanglah!” bujuk Kak Rahma mengelus punggung ibunya.“Diky! Kau juga tak mau berkata jujur!” tuntutnya kepada suamiku.Mas Diky bergeming.“Anwar! Kau juga tak mau jujur?”Bang Anwar menatap istrinya, seolah minta persetujuan. Kak Rahma menggeleng.“Tinggal kau Mala! Kau juga tak mau menjelaskan pada Mama? Atau, jawaban ibumu adalah jawabanmu?” dia kini menatapku lekat.“Kak Rahma, Mas! Lebih baik kalian berterus terang saja! Untuk apa lagi, sih, kalian menyembunyikan hal
*****Mama mertua masih menunggu jawabanku. Wajahnya terlihat begitu serius, seolah ucapan yang akan keluar dari mulutku begtu penting baginya. Kuputar otak segera, berusaha mengumpulkan perbendaharaan kata, untuk kurangkai untuknya.“Mala! Kenapa jawab gitu, aja, mikir, sih? Bagaimana hasilnya? Papa enggak mau pulang? Masih merajuk juga?”“Bukan, begitu, Ma. Tapi –“Belum selesai kuucapkan kalimatku, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur. Repleks aku dan Mama mertua berlari ke sumber kegaduhan. Nenek tengah jambak-jambakan dengan Ratna. Ya, Tuhan … Nenekku yang terlihat sudah begitu uzur, ternyata tenaganya sangat kuat. Untuk sesaat aku hanya melongo menonton pertunjukan. Terpukau dengan kegesitan Nenek menghajar perempuan lacur itu.“Hentikan! Sudah!”Eit, Mama mertu