*****
"Kita nekat kawin lari, yuk. Kita nikah secara militer aja, mau enggak?" ajak Mas Diky terdengar makin putus asa.
"Emang bisa?" tanyaku menahan geli. Kedua orang tua kami menahan tawa.
"Iyakan aja!" bisik Papanya. Mereka sepertinya ingin mengerjai Mas Diky.
"Bisa, ayuklah! Mau, ya, Sayang! Tolong! Daripada suamimu mampus karena kutembak, bagus kita nekat sekarang. Iya, kan?"
"Kalau kau tembak suamiku, kamu masuk penjara, aku jadi janda, dong? Ntar, aku nikah lagi," ancamku sengaja mempermainkan hatinya.
"Aku tembak lagi!" Dia balik mengancam.
"Kamu penjara lagi!"
"Biarin!"
"Aku nikah lagi!"
"Kutembak lagi!"
"Panjara lagi!"
 
*****"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu."Banyak kok kejadian, calon pengantin melarikan diri sedetik sebelum akad nikah," sergahnya dengan nada begitu serius."Jangan takut, Mas. Kalau Kak Mala melarikan diri, ada Rara yang bersedia menjadi pengantin pengganti, hehehe ...."Serempak kami menoleh ke pintu kamar. Rara adikku satu-satunya telah b
*****“Kenapa, Sayang? Kamu capek? Ok, Maaf, mungkin aku yang terlalu terburu-buru,” ucap Mas Diky menegakkan tubuh, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Terdengar suara cidukan air dari bak. Sepertinya dia mencuci muka atau membasahi kepalanya.Kurapikan kembali pakaianku yang berantakan. Meneliti tubuh yang tak karuan. Lalu duduk di bibir ranjang.Mas Diky keluar dari kamar mandi dengan kepala basah. Airnya bahkan menetes membasahi lantai. Seketika timbul rasa iba di hati. Kuraih handuk kecil dari dalam lemari, lalu bergerak mendekatinya yang kini duduk di bibir ranjang.Kukeringkan kepala dan wajah yang basah dengan lembut. Kuseka leher dan tengkuk. Mas Diky hanya pasrah, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Kepalanya mungkin sudah dingin karena siraman air yang dingin, api hatinya mungkin masih panas karena amarah
*****Ponselku dan ponsel Mas Diky berbunyi berbarengan. Beberpa kali kami biarkan. Rasa lelah dan sakit di bagian tertentu tubuh membuatku enggan untuk bergerak. Mas Diky juga enggan bergerak. Dia terlihat begitu lelah. Tetapi, wajahnya terlihat tenang dan terang. Tak lagi kusut dan gelap seperti tadi malam.Suara ribut panggilan masuk di ponsel masih membahana. Kuraih benda itu dari atas nakas. Kuusap layar dengn mata terpejam.“Cepat bersiap-siap kalian! Petugas travel akan segera menjemput. Pesawatnya berangkat pukul sepuluh!” perintah Mbak Rahma.Aku baru ingat, hari ini kami akan berangkat. Bulan madu yang telah mereka siapkan dan hadiahkan untuk kami. Kakak iparku yang baik dan penuh perhatian.Ponsel Mas Diky berhenti berbunyi. Mungkin karena telah tersambung ke ponselku tadi.Aku harus segera bangkit dan membersihka
*****Kupandangi dengan seksama foto di tanganku. Bayi merah berbalut kain tebal di sekujur tubuh. Hanya bagian wajah yang tampak. Tergeletak beralaskan kain panjang bermotif batik. Di atas keset tepat di depan pintu.Siapa yang telah begitu tega membuang bayi malang ini. Membuang darah dagingnya sendiri? Andaipun itu adalah bayi yang tak diinginkan, tidak seharusnya dia menaruhnya di depan pintu rumah orang lain. Bayi itu tidak tahu apa-apa. Andai dia bisa berbicara, dia pasti akan berkata kalau diapun tak ingin dilahirkan ke dunia.Lalu, kenapa rumah orang tua Rara yang dia pilih? Mereka memang sangat baik. Aku wajib berterima kasih karena telah merawat dan membesarkan aku. Tapi, kalau boleh memilih, tetap aku ingin bersama orang tua kandung meskipun hidup susah.Kuseka sekali lagi, air mata di pipi. Tak ingin Mas Diky melihat tangis ini. A
*****Mas Diky sedang bersiap untuk berangkat tugas. Masa cutinya sudah selesai. Tubuh atletis dengan rambut masih basah itu baru saja keluar dari kamar mandi. Aku sempat memandanginya dari balik selimut. Tubuh kekar yang hanya berbalut handuk setengah badan dan dada telanjang itu kini berdiri di depan cermin. Penasaran, kuintip lagi dari balik selimut.Ops!Ketahuan. Mata kami bersetatap melalui pantulan cermin.“Mau lagi, ya! Hem, nantang, nih?” katanya melompat ke atas ranjang. Dengan penuh semangat ditariknya selimut yang menutupi seluruh tubuhku.“Enggak, ampun … udah, dong!” teriakku manja sambil menghindari serangannya di wajah.“Bangun makanya, jangan menggoda terus! Jadi males, kan aku berangkatnya!” sungutnya menghentikan serangan.“Jangan malas, dong! Nanti komandan kamu marah, kena hukum enggak boleh pu
*****Wanita yang kupanggil dengan sebutan mama itu terlihat semakin pucat. Dengan jari saling memilin, tatapan bertumpu pada meja, menggambarkan kalau suasana hatinya sedang kacau.“Mas Diky janji, akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang wanita yang bernama Niken itu, Ma,” ucapku pura-pura geram. Aku harus bersandiwara di depan wanita ini. Tanpa aku tahu selama ini, ternyata dia bukan ibu kandungku.“Mencari informasi? Diky?” ulangnya dengan mata terbelalak.“Ya, aku mau tahu seperti apa rupa wanita kejam yang telah tega menelantarkan aku. Untung ada wanita sebaik Mama yang mau merawat dan membesarkanku, kalau tidak, mungkin aku sudah jadi santapan anjing liar di tempat pembuangan sampah sana,” tuturku geram.“Sebaiknya tidak usah, Mala. Bilang sama Nak Diky, batalkan saja mencari tahu tentang Niken!” katanya terlihat gelisah. Sorot mat
*****“Rani! Kau bisa jelaskan semua ini!” lirihku. Lututku tiba-tiba terasa lemas. Tubuh ini sangat berat. Aku tak sanggup berdiri lebih lama. Tanpa ragu, kujatuhakn tubuh di trotoar jalan.“Mala … kau baik-baik saja?” Rani mengguncang bahuku.“Lho, kenapa, Mbak? Kok malah meniru ibu-ibu yang kemarin itu, duduk lemas dengan wajah pucat, persis di trotoar itu,” celetuk abang tukang cilok. Hatiku kian teriris. Ibuku duduk di sini? Dia duduk di sini sambil menyaksikan pernikahanku? Kenapa disini? Harusnya dia mendampingiku di sana! Di samping pelaminan mewah waktu itu.“Jangan di situ, dong, Mbak. Itu menghalangi orang lewat, Menghalangi pengguna jalan! Nanti Pak KamTibMas datang, dagangan saya yang diangkut, Mbak. Tolonglah! Jangan terulang lagi, dong peristiwa seminggu yang lalu!” oceh
****“Tunggu!”Rani menarik lenganku dengan kencang. Dia membawaku kembali ke luar restoran.“Kenapa kau tidak bilang kalau di sana ada suamimu? Jadi itu sebabnya kau membisu dari tadi? Bodoh!” omelnya sambil melepas pegangannya di lenganku.“Ternyata yang bersama Rara adalah Mas Diky. Aku mau tahu apa yang mereka lakukan? Kenapa mereka bersama-sama? Di tempat ini, Ran? Ini jauh dari lokasi kampus Rara, jauh juga dari kantor Mas Diky. Berarti mereka sengaja, kan, datang ke sini? Untuk apa?” sergahku pelan.“Kau cemburu? Hehehe … begitu cintanya kau sekarang pada Pak Pol itu? Dulu aja, kau cuek banget?” tuding Rani terkekeh kecil.“Bukan masalah cemburu! Tpi Rara! Dia bermaksud tidak baik pada rumah tanggaku, Ran!” desisiku lemah.Ponselku yang masih berada di tangan Rani tiba-tiba berbunyi.
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&