*****
VOP Mala
Jujur, aku tidak mencintainya. Pemuda yang telah mengejarku sekian tahun ini sama sekali tak kuingini. Berkhayal menjado istri seorang polisi saja aku tidak pernah. Bukan karena dia kurang tampan. Bukan pula karena kurang kaya. Tidak ada yang kurang pada dirinya. Tapi, cinta tak juga mau bertaut di hati ini.
Wajah Mas Reno telah memenuhi ruang di hati. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Meski tak dapat kumiliki, biarlah, dia saja yang tetap bertahta di hati ini. Cukup bayangannya, tak usah wujud nyatanya.
Namun, entah kenapa ada rasa asing yang tak kupahami, saat Mas Diky akan berpaling ke wanita lain. Bukankah sangat wajar dia mencari cinta yang lain, karena cintanya tak jua tertaut di hatiku? Sementara orang tua nya sudah tak sabar lagi. Mas Diky harus segera menikah.
Aku paham saat dia akan dijodohkan dengan wanita yang mereka anggap pantas mendampingi Mas Diky. Awalnya aku tak peduli, tapi saat melihat betapa manisnya gadis yang bernama Diyah itu, aku marah. Kenapa aku marah, coba. Bukankah aku yang menolak Mas Diky?
Duhai hatiku yang lemah, apa yang terjadi padamu? Kenapa aku tidak terima kalau Mas Diky akan dekat dengan perempuan lain? Sementara aku tidak mencintainya. Betapa egoisnya aku.
Aku tak boleh seperti ini. Aku harus bisa bersikap dewasa. Tak mengapa aku tak cinta, akan kuterima Mas Diky, semoga cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Toh, aku tak rela juga, kalau dia bersama dengan yang lain.
Cincin berlian ini memang tak lagi baru. Cincin ini tadinya melekat di jari calon ibu mertuaku. Tetapi, ini adalah ikatan resmi, aku kini telah diikat oleh Mas Diky, calon suamiku.
"Makasih, ya, La, akhirnya kamu mau menerimaku," kata Mas Diky sambil tetap fokus menatap lurus ke depan. Dia harus tetap konsentrasi melajukan sepeda motornya. Dia mengantarku kembali pulang malam ini.
"Aku kasihan pada Mamamu, bukan padamu," jawabku asal bicara. Aku sendiri ragu dengan hatiku. Entahlah.
"Jadi bukan karena kau pun menyukaiku? Oh iya, aku lupa, kalau kau belum bisa melupakan dia. Tidak apa-apa, deh. Aku sabar menunggu sampai kau mencintaiku juga seperti kau mencintai Reno."
"Maaf, kuharap kau bersabar, Mas. Jujur, aku tidak akan pernah bisa memilikinya, karena dia adalah milik sahabatku sendiri. Tak ada keinginan di hatiku untuk berselingkuh. Kau tak perlu meragukan itu."
"Aku percaya itu, Sayang."
Motor Mas Diky perlahan memasuki halaman. Gawat! Mobil pikc up Papa sudah terparkir di halaman. Artinya Papa dan Mama sudah pulang dari berjualan di pasar induk.
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pukul sepuluh malam. Gawat, papa dan mama pasti marah besar karena aku terlambat pulang.
Duh! ini gara-gara Mama Mas Diky yang tak henti-henti mengajakku mengobrol tadi. Jadimya kemalaman, deh.
"Kenapa gugup?" Mas Diky melihatku ikut panik.
"Mama enggak akan marah aku keluyuran siang hari, tapi kalau malam hari aku masih berada di luar jam segini, bisa habis aku diomeli," jawabku gelisah.
"Tenang, ada aku."
Mas Diky menggandeng tanganku, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
"Jangan begini! Nanti mereka murka, lho!" tolakku mengibaskan tangannya. Tapi, gagal. Tangan kekar lelaki itu terasa begitu kokoh dan kuat mencengkram pergelangan tanganku.
"Oh, jadi ini laki-laki yang telah mencuri hatimu? Laki laki yang membuatmu jadi pembangkang!" Papa menyambut dengan hardikan.
"Maaf, Om, saya yang salah. Saya --"
"Diam! Kau diam!" Papa menunjuk tepat muka Mas Diky.
"Tapi, tunggu! Kau siapa? Kau mirip betul dengan teman SMA ku dulu! Ah, tapi sudahlah! Enggak penting itu. Sekarang kau pergi! Aku mau bicara dengan anak gadisku, pergi dan jangan pernah kembali, paham!"
"Tapi, Om, saya --"
"Pergi! Sekali lagi kau bicara kulempar kau keluar sana! Pergi!"
"Pa, jangan kasar, gitu, dong! Sabar!" Mama mencoba menenangkan Papa yang semakin murka.
"Sabar apanya? Sudah kubilang, Mala akan kunikahkan dengan anaknya temanku. Dia tidak kuizinkan berpacaran dengan lelaki manapun. Dia barus memenuhi cita-citaku."
Aku tersentak, pun mas Diky. Kami saling tatap sesaat.
"Pulang dulu, ya, Nak! Papanya Mala masih emosi. Maafkan sikapnya, ya!" kata Mama memohon maaf pada Mas Diky.
Mas Diky mengangguk. Setelah menatapku sendu, dia pun berlalu.
"Papa keterlaluan! Mala selalu memenuhi segala peraturan dari Papa. Enggak boleh pacaran, ok, Mala enggak pernah pacaran hingga kini. Tapi, sekarang Mala udah dewasa, Pa. Kami baru saja jadian. Keluarganya juga akan segera datang melamar Mala secara baik-baik." Aku mulai melawan.
"Apa? Mulai melawan? Tunggu! Kau bilang apa tadi? Mereka mau melamar kamu? Tidak bisa! Bilang pada pacar barumu itu, kalian putus."
"Ya, enggak bisa gitu, dong, Pa!" protesku mulai putus asa.
"Kenapa enggak bisa? Kau putri Papa. Kau harus patuh pada perintah Papa. Kau tahu, dulu Papa sangat ingin menjadi angkatan seperti teman Papa itu. Tapi, Papa gagal. Nih, lihat, kaki papamu ini. Bentuknya tidak normal. Kaki O, begitu mereka menyebutnya. Hanya karena kaki ini, cita-cita Papa tepaksa hancur. Papa benci, papa dendam. Papa bahkan tak mau bertemu lagi dengan teman karib Papa itu. Sakit hati Papa setiap melihat dia. Apalagi kalau dia berseragam. Sesak napas Papa.”
Papa terduduk di kursi tamu, wajah kuyunya terlihat begitu murung.
“Sebulan yang lalu kami bertemu tak sengaja. Papa tak bisa menghindarinya. Saat itulah kami saling bercerita bahawa anak lelakinya juga angkatan seperti dia. Papa berniat menjodohkanmu dengan anaknya itu. Kalau memang papa gagal menjadi angkatan, setidaknya anak Papa. Karena Kau perempuan dan tak mau jadi angkatan, harapan Papa tinggal menantu. Suamimu harus angkatan."
Papa menjelaskan panjang lebar.
"Kenapa Papa enggak nanya dulu apa profesi Mas Diky? Dia juga angkatan seperti harapan Papa," sergahku mulai parau.
"Apa? Hem, pacarmu itu tadi memang terlihat seperti angkatan. Tapi, tetap Papa enggak setuju. Kau harus menikahi putra teman Papa, orang yang sudah jelas bibit bobotnya. Karena papa udah janji dengannya! Kau harus menurut, Mala!"
"Papa egois."
"Jangan membantah! Anak perempuan harus orang tua yang mencarikan jodohnya. Biar tidak salah pilih!"
Aku tidak berkata lagi. Segera aku masuk ke kamar. Sesak karena kecewa membuat air mataku luruh. Memang aku tak mencintai Mas Diky. Namun, saat dipaksa berpisah seperti ini, tak urung rasa sakit mendera juga.
"Sabar, Nak! Tolong mengertilah dengan sikap Papamu. Dia memang sangat keras dalam hal pacaran. Mama bangga, selama ini, kau sudah mematuhinya. Kau tidak pernah pacaran dengan lelaki manapun. Saat tiba-tiba kau pulang malam diantar seorang laki-laki, darah tingginya langsung kumat." Mama mengusap punggungku.
"Kami enggak pacaran, kok, Ma. Orang tuanya akan segera melamar Mala. Nih lihat, mereka sudah mengikat Mala," lirihku menunjukkan cincin di jemariku.
"Astaga! Mala, kenapa kau terima sebelum bicara dengan Papa dan Mama? Ya, Allah. Kembalikan, Nak! Tolong segera kembalikan!"
*****
*****"Tidak mungkin, Ma!""Mala, kau tahu, Papamu pernah stres karena dulu gagal jadi angkatan, kau tidak mau kan, dia stres lagi karena kecewa padamu? Hanya kau harapannya saat ini, Nak! Adikmu masih terlalu kecil untuk menikah.""Mas Diky juga angkatan, Ma. Lalu apa bedanya dengan lelaki pilihan Papa itu?""Bedanya, karena yang ini anak temannya. Orang yang sangat dia banggakan. Teman dia berjuang dulu. Cepat kau telpon pacarmu itu sekarang juga, suruh jemput cincinnya itu, lekas!""Mala enggak berani, Ma. Mala enggak tega.""Jadi, sama Papamu, kau tega?"Aku tercenung lama. Papa memang sangat menyayangiku, tapi dia juga sangat keras dan kejam bila sudah marah. Kata nenek, dia sempat depresi, dulu, saat gagal jadi angkatan. Tentu saja aku tak ingin dia depresi lagi. Tapi, haruskah aku mengecewakan Mas Diky.Ah, sudahlah. Toh, aku tidak mencintainya. Mas Diky akan segera menemukan penggantiku, mungkin Diyah, gadis manis tadi sore, afalah jodohnya."Mala,
*****"Kita nekat kawin lari, yuk. Kita nikah secara militer aja, mau enggak?" ajak Mas Diky terdengar makin putus asa."Emang bisa?" tanyaku menahan geli. Kedua orang tua kami menahan tawa."Iyakan aja!" bisik Papanya. Mereka sepertinya ingin mengerjai Mas Diky."Bisa, ayuklah! Mau, ya, Sayang! Tolong! Daripada suamimu mampus karena kutembak, bagus kita nekat sekarang. Iya, kan?""Kalau kau tembak suamiku, kamu masuk penjara, aku jadi janda, dong? Ntar, aku nikah lagi," ancamku sengaja mempermainkan hatinya."Aku tembak lagi!" Dia balik mengancam."Kamu penjara lagi!""Biarin!""Aku nikah lagi!""Kutembak lagi!""Panjara lagi!" 
*****"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu."Banyak kok kejadian, calon pengantin melarikan diri sedetik sebelum akad nikah," sergahnya dengan nada begitu serius."Jangan takut, Mas. Kalau Kak Mala melarikan diri, ada Rara yang bersedia menjadi pengantin pengganti, hehehe ...."Serempak kami menoleh ke pintu kamar. Rara adikku satu-satunya telah b
*****“Kenapa, Sayang? Kamu capek? Ok, Maaf, mungkin aku yang terlalu terburu-buru,” ucap Mas Diky menegakkan tubuh, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Terdengar suara cidukan air dari bak. Sepertinya dia mencuci muka atau membasahi kepalanya.Kurapikan kembali pakaianku yang berantakan. Meneliti tubuh yang tak karuan. Lalu duduk di bibir ranjang.Mas Diky keluar dari kamar mandi dengan kepala basah. Airnya bahkan menetes membasahi lantai. Seketika timbul rasa iba di hati. Kuraih handuk kecil dari dalam lemari, lalu bergerak mendekatinya yang kini duduk di bibir ranjang.Kukeringkan kepala dan wajah yang basah dengan lembut. Kuseka leher dan tengkuk. Mas Diky hanya pasrah, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Kepalanya mungkin sudah dingin karena siraman air yang dingin, api hatinya mungkin masih panas karena amarah
*****Ponselku dan ponsel Mas Diky berbunyi berbarengan. Beberpa kali kami biarkan. Rasa lelah dan sakit di bagian tertentu tubuh membuatku enggan untuk bergerak. Mas Diky juga enggan bergerak. Dia terlihat begitu lelah. Tetapi, wajahnya terlihat tenang dan terang. Tak lagi kusut dan gelap seperti tadi malam.Suara ribut panggilan masuk di ponsel masih membahana. Kuraih benda itu dari atas nakas. Kuusap layar dengn mata terpejam.“Cepat bersiap-siap kalian! Petugas travel akan segera menjemput. Pesawatnya berangkat pukul sepuluh!” perintah Mbak Rahma.Aku baru ingat, hari ini kami akan berangkat. Bulan madu yang telah mereka siapkan dan hadiahkan untuk kami. Kakak iparku yang baik dan penuh perhatian.Ponsel Mas Diky berhenti berbunyi. Mungkin karena telah tersambung ke ponselku tadi.Aku harus segera bangkit dan membersihka
*****Kupandangi dengan seksama foto di tanganku. Bayi merah berbalut kain tebal di sekujur tubuh. Hanya bagian wajah yang tampak. Tergeletak beralaskan kain panjang bermotif batik. Di atas keset tepat di depan pintu.Siapa yang telah begitu tega membuang bayi malang ini. Membuang darah dagingnya sendiri? Andaipun itu adalah bayi yang tak diinginkan, tidak seharusnya dia menaruhnya di depan pintu rumah orang lain. Bayi itu tidak tahu apa-apa. Andai dia bisa berbicara, dia pasti akan berkata kalau diapun tak ingin dilahirkan ke dunia.Lalu, kenapa rumah orang tua Rara yang dia pilih? Mereka memang sangat baik. Aku wajib berterima kasih karena telah merawat dan membesarkan aku. Tapi, kalau boleh memilih, tetap aku ingin bersama orang tua kandung meskipun hidup susah.Kuseka sekali lagi, air mata di pipi. Tak ingin Mas Diky melihat tangis ini. A
*****Mas Diky sedang bersiap untuk berangkat tugas. Masa cutinya sudah selesai. Tubuh atletis dengan rambut masih basah itu baru saja keluar dari kamar mandi. Aku sempat memandanginya dari balik selimut. Tubuh kekar yang hanya berbalut handuk setengah badan dan dada telanjang itu kini berdiri di depan cermin. Penasaran, kuintip lagi dari balik selimut.Ops!Ketahuan. Mata kami bersetatap melalui pantulan cermin.“Mau lagi, ya! Hem, nantang, nih?” katanya melompat ke atas ranjang. Dengan penuh semangat ditariknya selimut yang menutupi seluruh tubuhku.“Enggak, ampun … udah, dong!” teriakku manja sambil menghindari serangannya di wajah.“Bangun makanya, jangan menggoda terus! Jadi males, kan aku berangkatnya!” sungutnya menghentikan serangan.“Jangan malas, dong! Nanti komandan kamu marah, kena hukum enggak boleh pu
*****Wanita yang kupanggil dengan sebutan mama itu terlihat semakin pucat. Dengan jari saling memilin, tatapan bertumpu pada meja, menggambarkan kalau suasana hatinya sedang kacau.“Mas Diky janji, akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang wanita yang bernama Niken itu, Ma,” ucapku pura-pura geram. Aku harus bersandiwara di depan wanita ini. Tanpa aku tahu selama ini, ternyata dia bukan ibu kandungku.“Mencari informasi? Diky?” ulangnya dengan mata terbelalak.“Ya, aku mau tahu seperti apa rupa wanita kejam yang telah tega menelantarkan aku. Untung ada wanita sebaik Mama yang mau merawat dan membesarkanku, kalau tidak, mungkin aku sudah jadi santapan anjing liar di tempat pembuangan sampah sana,” tuturku geram.“Sebaiknya tidak usah, Mala. Bilang sama Nak Diky, batalkan saja mencari tahu tentang Niken!” katanya terlihat gelisah. Sorot mat
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”
****Mala bolak-balik nelpon, tapi kuhiraukan. Biar saja dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih terlalu dini untuk meminta maaf padanya sekarang. Tetapi, panggilan dari Kak Rahma tak boleh kuhiraukan. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Papa, atau Tante Ratna.“Dik, kamu ke rumah sakit, deh, sekarang!” perintah Kak Rahma mengagetkan.“Kenapa, Kak. Papa baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was.“Papa baik, kondisinya semakin stabil. Ini tentang Tante Ratna.”“Kenapa dia?” cecarku.“Kata Dokter, lukanya cukup dalam, dia belum sadar juga, terlalu banyak ngeluarin darah. Tadi, putrinya si Rara nelpon ke hape Tante Ratna, aku angkat. Sekarang dia di sini, ngamuk-ngamuk gak jelas. Ngancam-ngancam gitu.”“Bilang aj
*****POV DikyAku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini. Papa berselingkuh dengan perempuan lain saja sudah membuatku sesak napas. Ternyata Papaku begitu menjijikkan. Saat aku ingin meminta pertanggung jawab, dia malah memilih pingsan. Serangan jantung, kata dokter. Padahal menurutku, itu hanya taktik diaa untuk lari dari masalah. Pasti dia enggan berurusan denganku setelah rahasianya terbongkar. Tertangkap basah lagi. Iya, tertangkap basahlah namanya, karena aku dan istriku menangkap mereka dalam keadaan sudah basah. Basah karena peluh dan mungkin cairan lainnya. Yang menjijikkan tentu saja.Sekarang timbul lagi masalah yang jauh lebih rumit. Mamaku ternyata sama parahnya. Dia nekat menusuk selingkuhan Papaku yang juga pernah menjadi selingkuhan Papa istriku. Rumit, ya? Mamaku menusuk mertua tiriku, yang ternyata selingkuh dengan papaku. Arrrrgh! Sakit kepalaku
*****Aku segera meraih jaket dan jilbab instan yang tergantung di balik pintu kamar. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas sandang, meraih kunci motor di atas nakas, lalu setengah berlari keluar dari kamar.“Mala!”Duh! Aku lupa di rumah ini aku tidak sendiri, meski suamiku berulah lagi. Masih ada Ibu dan Nenek yang begitu peduli.“Mau ke mana? Buru-buru amat?” tanya Ibu seraya bangkit dari sofa di ruang tengah. Nenek mengalihkan tatapannya dari layar tv, kini menatapku dengan teliti.“Aku mau … eh, anu, Bu. Aku mau ….”“Mala …. Sayang? Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” Ibu meraba pipiku.“Aku baik, Bu. Aku Cuma mau ke rumah sakit, mau liat keadaan perempuan itu,” jawabku berdallih.
*****Jujur, aku mulai lelah menjalani rumah tangga ini. Sudah mulai timbul rasa bosan dalam membina hubungan ini. Sikap dan watak Mas DIky teramat menyebalkan. Sifat kanak-kanaknya tak juga berubah. Gampang meledak-ledak seperti anak kecil, yang jiwanya belum matang. Aku masih harus terus menerus mempelajari sifat dan karakternya. Harus berusaha memahami segala kekurangannya, dan berusaha menempa jiwanya agar matang dan dewasa.Tetapi, kenapa hal ini tidak berlaku sebaliknya, coba? Harusnya dia juga berbuat yang sama! Dia juga harus memahami sifat dan karakterku. Bagaimana mungkin dia berfikir aku menelepon Reno, lalu mencurahkan isi hatiku, mengadukan keluh kesahku. Mala bukan type perempuan seperti itu, kan? Kenapa dia langsung meledak-ledak menuduh?Jika dia menduga seperti itu, bukankah harus bertanya dul
****“Maaaa! Mama kenapa senekat ini?” Mas Diky berteriak.Ratna ambruk, darah segar merembes membasahi dasternya yang terbalik. Mama mertuaku tersenyum seperti menyeringai.Ibu dan Nenek berlari dari kamar mereka. Menatap pemandangan yang tak diduga sama sekali.“Sudah, Ken! Sudah kutuntaskan dendammu! Aku tahu kau tidak pernah sakit, hatimulah yang terluka, bukan jiwamu! Tolong jaga Diky putraku, juga cucuku di perut putrimu! Biar aku saja yang menanggung semua ini. Kau di sini saja, jaga cucu kita, ya!” Mama menatap Ibu sendu.“Kak Lena? Kau? Jadi?” Ibu terperangah, dia kesulitan untuk berkata-kata. Bola matanya membulat sempurna.“Ya, Ken. Iya. Maaf, mengagetkanmu.”“Bang! Cepat bawa dia ke rumah sakit! Cepat!” perintahku kepada Bang Anwar. Segera
*****“Rahma! Bisa kau jelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan papamu?” Mama mertua tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya berkilat dengan sorot tajam, menatap anak dan menantunya satu persatu.“Tidak ada apa-apa, Ma! Mama tenanglah!” bujuk Kak Rahma mengelus punggung ibunya.“Diky! Kau juga tak mau berkata jujur!” tuntutnya kepada suamiku.Mas Diky bergeming.“Anwar! Kau juga tak mau jujur?”Bang Anwar menatap istrinya, seolah minta persetujuan. Kak Rahma menggeleng.“Tinggal kau Mala! Kau juga tak mau menjelaskan pada Mama? Atau, jawaban ibumu adalah jawabanmu?” dia kini menatapku lekat.“Kak Rahma, Mas! Lebih baik kalian berterus terang saja! Untuk apa lagi, sih, kalian menyembunyikan hal
*****Mama mertua masih menunggu jawabanku. Wajahnya terlihat begitu serius, seolah ucapan yang akan keluar dari mulutku begtu penting baginya. Kuputar otak segera, berusaha mengumpulkan perbendaharaan kata, untuk kurangkai untuknya.“Mala! Kenapa jawab gitu, aja, mikir, sih? Bagaimana hasilnya? Papa enggak mau pulang? Masih merajuk juga?”“Bukan, begitu, Ma. Tapi –“Belum selesai kuucapkan kalimatku, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur. Repleks aku dan Mama mertua berlari ke sumber kegaduhan. Nenek tengah jambak-jambakan dengan Ratna. Ya, Tuhan … Nenekku yang terlihat sudah begitu uzur, ternyata tenaganya sangat kuat. Untuk sesaat aku hanya melongo menonton pertunjukan. Terpukau dengan kegesitan Nenek menghajar perempuan lacur itu.“Hentikan! Sudah!”Eit, Mama mertu