*****
Aku selalu menasehati Melur agar bersikap dewasa, logika, tegas, jangan naif dan jangan bodoh. Jujur, aku hanya bisa menasehati. AKu hanya bisa bicara. Sesungguhnya, aku sendiri memiliki sifat itu. Aku naif. Aku tidak bisa menggunakan logika. Aku begitu bodoh. Tetap mencintai kekasih sahabatku sendiri. Meski sakit tak henti mendera hati.
Hari ini, adalah puncak rasa sakit itu. Mas Reno sudah sah melamar pilihan hatinya. Melur berhasil mendapatkan cinta sejatinya. Aku turut memperjuangkan proses lamaran ini. Aku bahkan ikut menyusun segala sesuatunya demi tercapainya hari bahagia mereka ini.
Kukira aku kuat. Kukira hatiku seperti hati Melur yang seperti malaikat. Ternyata aku tak sanggup. Aku juga mansia biasa. Aku sakit. Saat Mas Reno memakaikan kalung di leher jenjang Melur, aku bahagia, dan sangat lega. Tetapi, ada rasa ngilu teramat sangat menusuk ulu hati. Aku tak sanggup lagi. Aku pergi meninggalkan acara..
Kutumpahkan air mata sederas-derasnya. Aku meraung sekuatnya. Derasnya air yang mengali dari keran kamar mandi toko ini, tak mampu menyaingi derasnya air mata yang tumpah dari mataku. Biarlah, biarkan sampai kering. Agar tak ada lagi air mata yang akan tumpah saat menyaksikan Ijab Kabul mereka nanti. Biarlah kukuras hari ini.
Tangisan ini, sesak ini, sakit ini, cemburu ini, amarah ini, harus kutumpahkan semuanya. Di sini, di kamar mandi sempit ini.
Ada rasa lega, sesaat setelahnya. Kubasuh seluruh wajah. Kucuci bekas air mata tumpah. Gegas aku keluar. Untunglah toko dalam keadaan sepi. Hanya Pak Basir kulihat sibuk di gudang. Pasti dia tidak mendengar tangisan dan raunganku barusan.
Setelah mengeringkan wajah, lalu kukeluarkan peralatan make up sederhana dari dalam tas. Kutaburi bedak agak tebal di wajah, sengaja menutupi mendung yang masih bergelayut di sana. Kuhias bagian mata. Bagian mata adalah yang paling utama agar tak terlihat sembab karena baru saja airnya terkuras. Sekarang pewarna bibir. Kupatut pantulan wajah dari cermin kecil di tangan. Ok, sempurna. Sekarang tinggal mengukir senyum semanis mungkin untuk kutunjukkan di depan Melur sahabatku dan Mas Reno cinta matiku.
Aku melangkah keluar dari toko. Kedua sejoli itu ada di halaman. Kenapa mereka di luar? Mas Reno menyentuh wajah Melur, seperi menghapus air mata. Melur menangis? Kenapa?
Gegas kudekati mereka.
“Hey, kalian di luar? Kenapa?” sapaku mengagetkan keduanya.
Segera Mas Reno menarik jemarinya dari pipi Melur.
“Selamat, ya! Akhirnya … duh, yang mau jadi pengantin baru … eh, kamu menangis, ya? Kok, matamu basah?” Kuseka tetes bening yang masih tersisa di sudut mata sahabatku.
“Menagis haru, La. Aku sangat terharu,” lirihnya memelukku. Aku balas memeluknya. Semoga Melur bahagia. Semoga tak akan pernah ada lagi duka yang mendera hidupnya.
“Iya, perjalanan cinta kalian penuh liku, aku juga ikut terharu. Tapi, semuanya sudah berakhir dengan bahagia, kan, Mel? Sekali lagi, selamat, ya!”
Melur melonggarkan pelukan. “Sama Mas Reno,kamu enggak ngucapin selamat juga? Masa aku aja?” protesnya mengerucutkan bibir ranumnya.
“Iya, dong, pasti,” sahutku menoleh kepada Mas Reno.
Pemuda tampan itu rupanya sedang memandangiku. Kumis tipis yang menghiasi bibir bagusnya bergerak halus, mungkin karena angin, atau embusan nafasnya yang terdengar di hela.
Sorot mata itu menembus sampai ke dalam jantung. Kembali hatiku berdebar. Kenapa debaran ini tak juga sirna …! Ah, aku harus bisa menyembunyikannya. Harus.
“Selamat, ya, Mas …!” ucapku sambil mengukir senyum.
*
VOP Diky
“Jemput Mala-mu, Mas!”
Kalimat perintah dari Melur persis seperti perintah Komandan yang harus segera aku laksanakan. Bedanya, kalau perintah Komandan kulaksanakan penuh keikhlasan dan rasa tanggung jawab. Sedangkan perintah Melur mengisyaratkan luka dan rasa was-was. Malaku sedang menangis? Di kamar mandi toko tempat dia bekerja. Apa yang terjadi? Apa yang dia tangisi?
Bekerja? Bukan, Mala di toko sahabatnya bukan bekerja. Tetapi, membimbing. Dia bekerja di sana bukan untuk mengharapkan gaji atau penghasilan. Semua dilakukannya murni karena rasa persahabatan.
Gegas kusambar kunci motor, langsung tancap gas menuju rumah sahabat karibnya, Melur.
Beruntung jadwalku hari ini sedang of. Aku bisa langsung bergerak begitu di telepon. Padahal tadi pagi, aku sempat meminta izin pada Mala, agar ikut menyaksikan proses lamaran sahabatnya, yang kini harus jadi sahabatku juga. Bahkan dia telah mengultimatum, kalau Melur adalah orang yang paling istimewa baginya.
Tujuan utamanya saat ini adalah kebahagiaan Melur. Apapun akan dilakukannya untuk mewujudkan itu. Termasuk mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
“Sampai kapan kamu akan menjadi pembantu Melur?” protesku suatu kali. Saat itu dia minta aku menjadi pacar sandiwaranya.
Awalnya aku menolak, kenapa mesti bersandiwara, kalau toh, aku sangat mencintainya? Aku bisa menadi pacar yang sesungguhnya. Bahkan, kalau dia bersedia keluargaku datang melamarnya, saat itu juga bisa. Namun, dia tak pernah menganggapku. Cinta yang kutawarkan hanya angin lalu baginya. Aku tau dia masih sangat mencintai Reno, kekasih sahabatnya itu. Sahabat yang sedang diperjuangkannya.
“Sampai Melur menemukan kebahagiaan sejatinya. Bila saat itu tiba, aku akan menyingkir dari kehidupannya. Saat ini dia sedang rapuh. Sama rapuhnya dengan Mas Reno. Mereka berdua adalah korban. Orang-orang terdekatnya berkhianat. Termasuk kasir di tokonya. Aku harus menggantikan kasir itu untuk sementara. Jika keadaan sudah membaik, aku akan segera melepasnya. Untuk pacaran sungguhan, aku tidak bisa. Tetapi aku sangat membutuhkan dirimu saat ini, berpura-puralah menjadi kekasihku. Agar Melur percaya, bahwa aku sudah bisa melupakan Mas Reno,” tuturnya kala itu.
Tanpa canggung, Mala mengungkapkan rasa cinta yang begitu besar kepada kekasih sahabatnya sendiri. Dia mengakui itu kepadaku, padahal jelas-jelas aku menaruh hati padanya.
Sebenarnya ada rasa kecewa, marah, dan cemburu. Tetapi, aku tak berhak melakukannya. Cinta tak bisa dipaksa. Namun, boleh berharap tentu saja. Aku tak akan pernah berhenti berharap. Menunggu sampai pintu hatinya terbuka. Meski kutahu, pintu hati itu telah tertutup rapat, dikuncinya dengan gembok yang maha kuat. Anak kuncinya telah dibuang jauh entah ke mana. Bisa saja sudah hancur atau berkarat.
Namun, kuyakin kesempatan itu tetap ada. Yang di atas, Dialah zat yang Maha Tahu segalanya. Dia juga Zat yang Maha Mebolak-balikkan hati manusia. Dengan kebesaran-Nya, kuyakin kelak suatu saat, hati Mala akan terbuka juga.
Kuparkirkan sepeda motorku di halaman toko, langsung berlari menuju kamar mandi. Kuketuk kasar. Deburan air di dalam, sedikit menenangkan hati. Malaku baik-baik saja, begitu pikirku.
“Eh, Pak Polisi, maaf, ada apa, Pak? Sebentar saya masih nanggung.” Seorang karyawan toko membuka pintu sedikit, dan mengeluarkan kepalanya.
“Oh, maaf. Saya kira Mala ada di dalam,” ucapku kaget.
“Mbak Mala di dalam rumah, Pak Pol! Silahkan ke sana aja! Hari ini lamaran Mbak Melur.”
“Iya – iya --, baik. Terima kasih.”
Mala ternyata sudah tak ada di toilet toko. Semoga dia baik-baik saja.
******
****Gegas aku keluar dari toko. Agak ragu, untuk melangkah menuju rumah.“Hey, Diky! Ke sini!”Aku menoleh, Andi dan Rani berjalan menuju mobil. Di belakangnya Bik Yerti.Aku mendekat, Andi mengeluarkan berbagai wadah dari dalam mobil.“Kok, telat? Prose lamarannya sudah selesai. Sekarang acara makan siang bersama. Bantuin ngangkat makanan ini ke dalam rumah, tolong!” kata Andi.“Maaf, aku telat,” ucapku menerima wadah yang paling besar, dan membawanya ke dalam.Kupindai seluruh ruangan tengah. Mereka duduk di atas tikar yang dihamparkan di atas lantai. Mungkin karena jumlah orangnya banyak, sehingga makan siang itu dihidangkan di atas tikar, bukan di meja makan.Wajah Mala tak terlihat, hanya Melur yang menyambutku dengan senyuman.“Dia sudah enggak nangis. Dia ada di dapur, mengambil piring dan gelas, temui sana!” keta Melur berbisik.Aku menurut, setelah menyalami semuanya. Melur sempat memperkanalkanku kepada Rehan abangnya. Cepat aku berjalan menuju dapur.Malaku sedang mengelu
*****Tak terasa perjalanan telah sampai. Kutepikan motorku di depan rumahnya, sengaja tak mengantarnya masuk ke halaman.“Ok, sampai di sini, ya. Pokoknya, kalau Mama dan Papa mendesak mau kenal sama pacarku, aku akan bawa kamu. Tapi, aku pasti berusaha mendekati cewek yang kumaksud tadi. Mumpung lagi of, aku mau ke sana sekarang. Makin cepat makin baik, bukan?” kataku langsung memutar arah motor.Lama gadis itu tercenung. Dahinya mengernyit keras, sepertinya sedang sibuk berpikir dan menimbang-nimbang.“Ok, aku pergi. Doakan, semoga sukses!” ucapku bersiap-siap melajukan motor.“Mas .. tunggu!”Aku bersorak. Mala-ku, menghentikanku.Aku menoleh, Mala menatapku sekilas, lalu menunduk. Gadis yang selalu menggetarkan hatiku ini menggigit bibirnya bagian bawah. Aku tahu, dia ingin berucap, tapi masih ragu.“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanyaku pura-pura lugu.“Anu, emh, kamu bilang butuh bantuan aku? Aku mau ikut … nemuin cewek itu. Nanti, aku kasih pendapat, cocok enggak dia sama k
*****“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.“Enggak mau, aku berdebar. Takut juga iya,” katanya tetap menolak.“Berdebar kenapa? Takut apa?”“Kamu masuk aja! Aku nunggu di sini!”“Enggak bisa! Paling kamu ngintip lagi!”“Mas …!” Mala menatapku, kubalas menatap tepat di manik-manik matanya. Gadis itu menunduk. Baru kali ini, dia menunduk saat kutatap. Biasanya balas menatap, lalu membuang pandangannya. Sama sekali tak ada respon dari sorot matanya. Kenapa kali ini berbeda? Apakah sesuatu telah terjadi padanya?“Mala … kenapa?” tanyaku lembut. Ingin sekali kuraih tanganya, meremas lembut jemarinya. Tetapi aku takut, pasti dia akan segera menolak seperti biasanya.“Mas, gadis yang bernama Dyah itu, manis, ya?” lirihnya tiba-tiba. Dia berkata masih dengan menunduk.“Kamu melihatnya?” tanyaku dengan dada berdebar. Entah kenapa, aku begitu bahagia, mendengar kalimatnya. Sepertinya harapan baru telah mekar, karena kulihat rona cemburu di wajah jel
*****Sifat Mala yang seperti inilah yang membuat rasa kagumku semakin berlipat-lipat ganda. Anehnya dia bisa bersikap seperti itu kepada semua orang. Semua … orang. Kecuali aku. Kalau menghadapiku, dia selalu ketus. Kenapa, coba. Apakah dia bersikap begitu karena akulah yang paling istimewa baginya? Bah! Orang yang istimewa, kok malah disiksa.“Dagang juga pekerjaan yang mulia, Nak. Enggak masalah bagi kami, ya, kan, Ma?” Untung Papa sangat pintar menetralkan suasana. Meskipun Mala tampak tidak tersinggung, namun, tetap aku khawatir perasaannya terluka.“Udah, sore, Pa! Kita balik, yuk! Ntar kemaleman lagi,” kata istri Om Rijal tiba-tiba.“Oh, iya. Kami permisi, ya. Ayo, Diyah!” Mereka bangkit bersamaan.“Lho, kok, buru-buru. Belum hilang kangennya, lho!” kata Papa berbasa-basi.“Masih banyak waktu, lain kali kita sambung lagi.”Mereka melangkah keluar setelah saling bersalaman sekali lagi. Mama dan Papa mengantar mereka hingga teras.“Kok, enggak diantar si Diyah itu setidaknya
*****VOP MalaJujur, aku tidak mencintainya. Pemuda yang telah mengejarku sekian tahun ini sama sekali tak kuingini. Berkhayal menjado istri seorang polisi saja aku tidak pernah. Bukan karena dia kurang tampan. Bukan pula karena kurang kaya. Tidak ada yang kurang pada dirinya. Tapi, cinta tak juga mau bertaut di hati ini.Wajah Mas Reno telah memenuhi ruang di hati. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Meski tak dapat kumiliki, biarlah, dia saja yang tetap bertahta di hati ini. Cukup bayangannya, tak usah wujud nyatanya.Namun, entah kenapa ada rasa asing yang tak kupahami, saat Mas Diky akan berpaling ke wanita lain. Bukankah sangat wajar dia mencari cinta yang lain, karena cintanya tak jua tertaut di hatiku? Sementara orang tua nya sudah tak sabar lagi. Mas Diky harus segera menikah.Aku paham saat dia akan dijodohkan dengan wanita yang mereka anggap pantas mendampingi Mas Diky. Awalnya aku tak peduli, tapi saat melihat betapa manisnya gadis yang bernama Diyah i
*****"Tidak mungkin, Ma!""Mala, kau tahu, Papamu pernah stres karena dulu gagal jadi angkatan, kau tidak mau kan, dia stres lagi karena kecewa padamu? Hanya kau harapannya saat ini, Nak! Adikmu masih terlalu kecil untuk menikah.""Mas Diky juga angkatan, Ma. Lalu apa bedanya dengan lelaki pilihan Papa itu?""Bedanya, karena yang ini anak temannya. Orang yang sangat dia banggakan. Teman dia berjuang dulu. Cepat kau telpon pacarmu itu sekarang juga, suruh jemput cincinnya itu, lekas!""Mala enggak berani, Ma. Mala enggak tega.""Jadi, sama Papamu, kau tega?"Aku tercenung lama. Papa memang sangat menyayangiku, tapi dia juga sangat keras dan kejam bila sudah marah. Kata nenek, dia sempat depresi, dulu, saat gagal jadi angkatan. Tentu saja aku tak ingin dia depresi lagi. Tapi, haruskah aku mengecewakan Mas Diky.Ah, sudahlah. Toh, aku tidak mencintainya. Mas Diky akan segera menemukan penggantiku, mungkin Diyah, gadis manis tadi sore, afalah jodohnya."Mala,
*****"Kita nekat kawin lari, yuk. Kita nikah secara militer aja, mau enggak?" ajak Mas Diky terdengar makin putus asa."Emang bisa?" tanyaku menahan geli. Kedua orang tua kami menahan tawa."Iyakan aja!" bisik Papanya. Mereka sepertinya ingin mengerjai Mas Diky."Bisa, ayuklah! Mau, ya, Sayang! Tolong! Daripada suamimu mampus karena kutembak, bagus kita nekat sekarang. Iya, kan?""Kalau kau tembak suamiku, kamu masuk penjara, aku jadi janda, dong? Ntar, aku nikah lagi," ancamku sengaja mempermainkan hatinya."Aku tembak lagi!" Dia balik mengancam."Kamu penjara lagi!""Biarin!""Aku nikah lagi!""Kutembak lagi!""Panjara lagi!" 
*****"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu."Banyak kok kejadian, calon pengantin melarikan diri sedetik sebelum akad nikah," sergahnya dengan nada begitu serius."Jangan takut, Mas. Kalau Kak Mala melarikan diri, ada Rara yang bersedia menjadi pengantin pengganti, hehehe ...."Serempak kami menoleh ke pintu kamar. Rara adikku satu-satunya telah b
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&
*****POV RaraBagaimana ini? Preman jelek dan menjijikkan itu mengancamku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ke mana kau bisa bersembunyi? Anak buahnya tersebar di mana-mana. Tak aka nada tempat bersembunyi yang aman bila berurusan dengannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?Ardo, tinggal dia satu-satunya harapanku. Kepada siapa lagi aku bisa berharap, selain kepada dia. Mungkin dia bisa meminta maaf kepada Bang Gandi. Bukankah aku calon istrinya? Tentu dia mau melepaskan aku dari ancaman preman itu. Semoga Bang Gandi enggak membuka rahasia kalau kami pernah tidu bersama.Tidak! Tidak bisa dijamin Bang Gandi menjaga rahasia itu. Kalau Ardo tahu, bukan pertolongan yang kudapat, malah kecolongan nanti. Aku hanya bisa menangis melolong.Untuk sekarang, aku bisa bersembunyi di rumah sakit ini, hingga Mama sembuh. Bila nanti disuruh pulang, a
*****POV RaraLaki-laki itu menyenderkan tubuh di bagian kepala ranjang. Asap rokok mengepul di atas kepalanya. Dihisapnya dalam-dalam , lalu dikeluarkan kadang dari mulut, kadang dari hidung. Peluh masih membanjir di tubuhnya. Sorot kepuasan terpancar dari mata. Tangan kanan masih memegang bagian tubuhku.Menepis pelan tangan kasar berotot itu, lalu beringsut turun dari kasur yang teramat kasar. Sakit di sekujur tubuh ini. Laki-laki ini ternyata lebih buas dari yang kubayangkan. Tenaganya melebihi macan. Tubuhku dilumat habis, tak ada sisi yang luput dari sergapannya.Tertatih aku menuju kamar mandi sempit di sisi kamar, mengguyur seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perih. Bekas gigitan di leher dan dada, terasa sangat pedih saat diterpa air dingin. Bekas gigitan itu tergambar jelas. Laki-laki menjijikkan itu sepertinya meninggalkan jeja
******POV Rara“Apa maksud Papa menempuh jalan damai?” tanyaku dengan nada ketus, setelah dia menyuruh menantunya cepat-cepat pulang. Mas Diky targetku malam telah lepas dari tangan.“Nak Rahma! Kamu ke ruangan Papamu saja! Biarkan Ratna ditunggui oleh Rara!” katanya tak menghiraukan pertanyaanku. Sebel! Papa tak pernah menganggap aku ada, apa lagi setelah kedatangan si Niken sialan itu.“Aku putri Mama, satu-satunya keluarganya! Aku tak mau berdamai dengan keluarga pembunuh itu!” tegasku melotot pada lelaki yang terakhir ini sangat kubenci.“Kau tak perlu ikut campur! Usiamu masih bau kencur! Tau apa kau tentang hukum!” sanggahnya membalas dengan melotot.“Tante Lena menusuk Mama, Pa! Dia mau membunuh Mama!”“Tindakannya spon
*****“Ibu mau ke mana?” tanyaku lembut.“Kamar mandi, ibu kebelet.”Kulepas pegangan di lengannya. Mungkin benar ibu kebelet, karena ancaman para preman menakutkan barusan. Mudah-mudahan, bukan karena kedatangan Papa.“Apa ini, Nak Anto?” tanya Nenek seraya menerima bungkusan dari Papa.Anto adalah nama panggilan Papa. Nama sebenarnya adalah Ranto, konon ceritanya, nama itu sengaja diberikan Kakek Almarhum kepada Papa. Dengan harapan Papa akan pergi merantau meninggalkan kampung halamannya di Aceh. Merantau untuk menuntut ilmu, pun belajar berbisnis. Harapan Kakek ternyata terwujud.“Ini ada martabak panas, rasa srikaya, makanan kesukaan –“ Papa tak melanjutkan ucapannya. Matanya menatap lurus ke arah pintu. Aku yakin, Ibulah yang sedang di carinya.
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”