Aku terduduk, menghadap langsung ke arahnya. "Ri, Mas ikhlash jika kamu ingin mencari pengganti Mas. Pilihlah seseorang yang akan selalu membuatmu bahagia.""Gak, Mas, sampai kapanpun, Riana ga akan pernah bisa melupakan, Mas." Kugelengkan kepala kuat-kuat. "Mas percaya. Mas hanya ingin melihatmu bahagia. Sudah saatnya kau memikirkan kebahagiaan diri sendiri, Ri. Mas akan sangat merasa bersalah jika sepeninggal, Mas, kamu justru lebih menderita.""Riana, gak, papa, Mas. Riana bahagia bersama anak-anak, sudah ga perlu yang lain.""Dasar keras kepala." Mas Daffi menjawil pelan hidungku, lalu membisikkan sesuatu di telinga. "Mas Mohon, lakukan demi, Mas. Karena hanya itu yang bisa membuat Mas tenang, jika Mas bisa melihatmu berbahagia dengan orang lain."Ia mengecup pelan keningku lalu beranjak dan meninggalkanku begitu saja. Bahkan panggilanku pun tak dihiraukannya. "Mas, Mas Daffiiii! Jangan pergi, Mas!" Dengan sekuat tenaga kukejar ia yang terus menjauh, tapi ia sudah menghilang en
Wajah Rafif yang semula cerah terlihat muram. Kepalanya pelan-pelan menunduk. "Tapi, Ri, apa lo nggak malu kalau punya suami bekas narapidana kayak gue? Apalagi lo itu pengacara. Dan Liana? Apa dia mau kalau jadi anak tiri seorang mantan penjahat?" tanya Rafif dengan suara sangat pelan. Meski begitu masih bisa terdengar olehku. "Daffi di atas sana juga pasti nggak akan setuju kalau gue jadi suami lo."Aku menyandarkan kepala di dinding sambil melipat tangan. Meja tempatku dan Rafif duduk memang berada di sudut. Sengaja aku memilih di sana karena dari tempatku duduk bisa lebih leluasa melihat ke arah pintu masuk dan juga taman yang ada di luar jendela. Pembicaraan kami terpaksa berhenti dengan tampilnya salah seorang pengunjung yang bernyanyi sambil memainkan gitar. Di kafe ini memang sengaja disediakan tempat khusus di sudut kiri ruanganbagian depan untuk penampilan live music. Beberapa menit lamanya aku dan Rafif terbuai dalam lagu dan permainan gitarnya yang merdu. "Tadi itu lo a
"Syarat apa, Nak?" tanyaku dengan hati yang sedikit dilanda rasa khawatir. "Ibu boleh menikah lagi dengan siapa pun itu, yang penting orangnya baik dan sayang sama Ibu. Asalkan orang itu bukan Om Rafif Liana pasti akan setuju."Mataku membulat, ternyata yang aku khawatirkan benar terjadi. Sambil mendengkus kasar, aku mencoba tersenyum. "Memangnya kalau Om Rafif kenapa, Sayang?"Gadis muda itu menatapku lekat. "Bu, jangan-jangan orang baik yang Ibu bilang tadi itu ... Om Rafif?" Aku menarik ketat bibir sambil mengangguk pelan. "Tapi Bu, apa nggak ada orang lain? Om Rafif itu kan mantan narapidana. Liana yakin, Papa dan Rajata juga pasti nggak bakal suka kalau dia yang jadi penggantinya.""Sayang, bukan begitu ....""Pokoknya Liana tetap nggak setuju."Aku masih mencoba tersenyum. "Ya sudah kalau pendapat Liana memang seperti itu. Sana dilanjut lagi baca bukunya. Ibu keluar dulu, ya."Liana hanya mengangguk sambil membuka buku bersampul biru yang ada di atas mejanya. ***"Ri, kasus
"Ra-Rafif? Kok lo udah ada di sini? Katanya kemarin mau pulang kampung dulu?"Lelaki yang masih berdiri di depan pintu masuk itu mengerutkan dahi. Eh, sebentar. Kalau dilihat sekilas, wajahnya memang sangat mirip Rafif, tapi jika dipandang lebih seksama, mereka berbeda. Wajah Rafif lebih lonjong sedangkan pria di depanku ini berwajah bulat. Pantas saja tadi reaksinya aneh saat kusebut nama Rafif. Tapi, siapa lelaki itu?"Rafif? Siapa yang anda maksud?" tanya lelaki yang wajahnya dipenuhi brewok itu. Aku dan Om Sahid saling pandang. Jelas terlihat jika Om Sahid pun sama bingungnya denganku. "Maaf, Anda cari siapa, ya? Ada perlu apa?" tanya Om Sahid. "Saya mau ketemu Riana."Dia mencariku? Tapi mau apa? Kenal aja enggak. "Oh, ya, apa saya boleh masuk?""Oh, silakan. Ri, tolong kau bilang ke office boy, suruh mereka buatkan minum untuk tamu kita.""Baik, Om." Dengan cepat aku segera menghubungi bagian pantry untuk memesan minum untuk tamu kami yang kami belum tahu siapa namanya."Kena
Mataku membola saat mendengar Kendra menyebut-nyebut soal Friska dan anaknya. itu berarti Rajata, kan? Apa jangan-jangan dia adalah ayah kandung Rajata? Wajah Rajata memang sedikit mirip dengan Rafif, dan artinya anak itu mirip dengan Kendra. Semoga saja pikiranku salah. "Sebelumnya boleh saya tahu apa hubungan anda dengan Friska?" tanyaku pada Kendra. Kendra menyilangkan kaki, meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Ia kemudian juga bersedekap. "Yah, bisa dibilang dulu kami cukup dekat.""Dan anak yang anda bilang anak Friska itu ...?""Iya, dia anakku. Kami memang tidak menikah, hanya dekat."Sialan. Kurang ajar sekali dia berbicara hal tabu seperti itu tanpa merasa berdosa sama sekali. "Sedekat apa hingga Friska sampai mengandung anakmu?""Yah, kau tahulah, namanya juga anak muda."Brengsek! "Kalau begitu, harusnya anda tahu kalau Friska sudah meninggal," ujar Om Sahid yang dari tadi hanya mendengarkan. Kendra seketika menegakkan tubuh. "Apa? Kapan? Kenapa?""Sudah cukup la
Selamat membaca. ***Kepalaku mendongak saat lelaki berwajah mirip Rafif itu mendekati meja kami. Begitu pun dengan Rafif yang merasa sedikit terkejut. "Hai, Ibu Pengacara, kita ketemu lagi," sapa Kendra yang sore itu berpenampilan lebih rapi daripada pertemuan pertama kami. Kali ini ia mengikat rambutnya yang panjang dan tak membiarkan rambut-rambut halus menghuni wajahnya. Kuakui dengan wajahnya yang seperti itu, ia terlihat lebih manusiawi. "Boleh saya bergabung dengan kalian?Aku masih terdiam dan mengamati penampilan Kendra, hingga dia mengulang pertanyaaanya tadi. Telapak tangannya ikut dilambaikan tepat di depan wajahku. Sebelum menjawab, aku melihat ke arah Rafif yang tampak tak suka dengan kehadiran Kendra. Jelas saja, kami kan sedang membicarakan hal pribadi. Akan sangat canggung rasanya jika tiba-tiba Kendra ikut duduk bersama kami. "Maaf, tapi saya sedang membicarakan hal yang penting dengan teman saya.""Owh, Oke. No problem, " jawab Kendra tampak kecewa. "Oh, iya, P
Aku masih memandangi ponsel yang terus berbunyi. "Bu, kenapa nggak diangkat?" tanya Liana yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. Aku sedikit terkejut. Terlebih saat itu pikiranku tengah kalut karena dilingkupi oleh sosok Kendra yang sewaktu-waktu bisa saja mengambil Rajata dari sisiku. Membayangkannya saja sudah membuat aku tak sanggup. "Biarin aja, Kak. Bukan telepon yang penting, kok."Liana memicingkan mata. "Tapi dari tadi dia telpon terus, Bu. Siapa, sih?" Liana mendekat lalu bermaksud mengambil ponsel milikku yang terletak di atas meja ruang makan."Eh, eh, Kak. Jangan diangkat. Nanti juga mati sendiri. Udah cuekin aja. Sekarang, yuk, kita lanjutin masak aja," ucapku sambil mendorong tubuh anak perempuanku menuju dapur. Tak lupa sebelumnya kuraih ponsel dan menekan tombol off untuk mematikannya. "Bu, apa jangan-jangan yang nelepon tadi itu papa kandungnya Rajata?" tanya Liana lagi. Duh, anak itu benar-benar, deh. Tidak bisa kualihkan perhatiannya, persis seperti alma
Jika kemarin aku mengabaikan panggilan Kendra, tidak kali ini. Tanpa menunggu deringnya terputus, aku langsung mengangkatnya. "Halo. Ada apa Tuan Kendra? Cepat bicara, waktu saya tidak banyak, " tanyaku tak sabar. Pikirku, jka ia memang sedang bersama Rajata, sudah pasti ia akan langsung bicara tanpa basa-basi. "Weiss, santai ibu pengacara. Saya hanya ingin menanyakan mengenai anak saya? Anak dari mendiang Friska."Sontak, aku bernapas lega. Mengetahui kalau Rajata sedang tidak ada bersama Kendra, membuat Ikatan dalam dadaku pelan-pelan mengendur. "Kan, sudah saya bilang anak itu sudah tidak ada," jawabku sambil memyandarkan kepala ke kursi pengemudi. "Maaf, tapi saya buru-buru."Segera kuputus panggilan sebelum Kendra bertanya macam-macam lagi. Taklama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Namun, kali ini Bik Sumi yang menelepon. "Gimana, Bik? Rajata sudah pulang?""Sudah, Bu. Tapi ....""Tapi kenapa, Bik? Ada apa dengan Rajata?"Wajahku mendadak tegang. Jantungku yang tadi sudah ber
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal