wow, Kendra, cowok yang dulu sudah meninggalkan Friska muncul lagi. Enaknya diapain ni, gaes?
Mataku membola saat mendengar Kendra menyebut-nyebut soal Friska dan anaknya. itu berarti Rajata, kan? Apa jangan-jangan dia adalah ayah kandung Rajata? Wajah Rajata memang sedikit mirip dengan Rafif, dan artinya anak itu mirip dengan Kendra. Semoga saja pikiranku salah. "Sebelumnya boleh saya tahu apa hubungan anda dengan Friska?" tanyaku pada Kendra. Kendra menyilangkan kaki, meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Ia kemudian juga bersedekap. "Yah, bisa dibilang dulu kami cukup dekat.""Dan anak yang anda bilang anak Friska itu ...?""Iya, dia anakku. Kami memang tidak menikah, hanya dekat."Sialan. Kurang ajar sekali dia berbicara hal tabu seperti itu tanpa merasa berdosa sama sekali. "Sedekat apa hingga Friska sampai mengandung anakmu?""Yah, kau tahulah, namanya juga anak muda."Brengsek! "Kalau begitu, harusnya anda tahu kalau Friska sudah meninggal," ujar Om Sahid yang dari tadi hanya mendengarkan. Kendra seketika menegakkan tubuh. "Apa? Kapan? Kenapa?""Sudah cukup la
Selamat membaca. ***Kepalaku mendongak saat lelaki berwajah mirip Rafif itu mendekati meja kami. Begitu pun dengan Rafif yang merasa sedikit terkejut. "Hai, Ibu Pengacara, kita ketemu lagi," sapa Kendra yang sore itu berpenampilan lebih rapi daripada pertemuan pertama kami. Kali ini ia mengikat rambutnya yang panjang dan tak membiarkan rambut-rambut halus menghuni wajahnya. Kuakui dengan wajahnya yang seperti itu, ia terlihat lebih manusiawi. "Boleh saya bergabung dengan kalian?Aku masih terdiam dan mengamati penampilan Kendra, hingga dia mengulang pertanyaaanya tadi. Telapak tangannya ikut dilambaikan tepat di depan wajahku. Sebelum menjawab, aku melihat ke arah Rafif yang tampak tak suka dengan kehadiran Kendra. Jelas saja, kami kan sedang membicarakan hal pribadi. Akan sangat canggung rasanya jika tiba-tiba Kendra ikut duduk bersama kami. "Maaf, tapi saya sedang membicarakan hal yang penting dengan teman saya.""Owh, Oke. No problem, " jawab Kendra tampak kecewa. "Oh, iya, P
Aku masih memandangi ponsel yang terus berbunyi. "Bu, kenapa nggak diangkat?" tanya Liana yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. Aku sedikit terkejut. Terlebih saat itu pikiranku tengah kalut karena dilingkupi oleh sosok Kendra yang sewaktu-waktu bisa saja mengambil Rajata dari sisiku. Membayangkannya saja sudah membuat aku tak sanggup. "Biarin aja, Kak. Bukan telepon yang penting, kok."Liana memicingkan mata. "Tapi dari tadi dia telpon terus, Bu. Siapa, sih?" Liana mendekat lalu bermaksud mengambil ponsel milikku yang terletak di atas meja ruang makan."Eh, eh, Kak. Jangan diangkat. Nanti juga mati sendiri. Udah cuekin aja. Sekarang, yuk, kita lanjutin masak aja," ucapku sambil mendorong tubuh anak perempuanku menuju dapur. Tak lupa sebelumnya kuraih ponsel dan menekan tombol off untuk mematikannya. "Bu, apa jangan-jangan yang nelepon tadi itu papa kandungnya Rajata?" tanya Liana lagi. Duh, anak itu benar-benar, deh. Tidak bisa kualihkan perhatiannya, persis seperti alma
Jika kemarin aku mengabaikan panggilan Kendra, tidak kali ini. Tanpa menunggu deringnya terputus, aku langsung mengangkatnya. "Halo. Ada apa Tuan Kendra? Cepat bicara, waktu saya tidak banyak, " tanyaku tak sabar. Pikirku, jka ia memang sedang bersama Rajata, sudah pasti ia akan langsung bicara tanpa basa-basi. "Weiss, santai ibu pengacara. Saya hanya ingin menanyakan mengenai anak saya? Anak dari mendiang Friska."Sontak, aku bernapas lega. Mengetahui kalau Rajata sedang tidak ada bersama Kendra, membuat Ikatan dalam dadaku pelan-pelan mengendur. "Kan, sudah saya bilang anak itu sudah tidak ada," jawabku sambil memyandarkan kepala ke kursi pengemudi. "Maaf, tapi saya buru-buru."Segera kuputus panggilan sebelum Kendra bertanya macam-macam lagi. Taklama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Namun, kali ini Bik Sumi yang menelepon. "Gimana, Bik? Rajata sudah pulang?""Sudah, Bu. Tapi ....""Tapi kenapa, Bik? Ada apa dengan Rajata?"Wajahku mendadak tegang. Jantungku yang tadi sudah ber
Berkali-kali kucoba lagi menekan nomor Kendra, tapi hasilnya tetap sama. Tidak tersambung. Ke mana orang itu? Setelah beberapa hari kemarin selalu menggangguku, kenapa sekarang malah menghilang. Arrgh! Tenang, Riana. Tenang. Melupakan Kendra sejenak, lekas kuhubungi nomor Om Sahid dan Rafif. Menanyakan apakah golongan darah mereka B negatif. Kepalaku kembali berputar saat mereka mengatakan tidak satu pun di antara keduanya yang memiliki golongan darah yang sama seperti Rajata. Kucoba lagi untuk menghubungi Kendra,tapi hasilnya masih sama. Jika biasanya memandang tanaman yang hijau membuatku merasa nyaman. Saat itu tidak lagi. Bahkan, suara air mancur yang bergemericik saat bersentuhan satu sama lain membuatku terganggu. Taman yang berada persis di sisi kanan ruang UGD tak lagi membuatku menikmati keindahannya. Pikiranku hanya berisi bagaimana cara mendapatkan dua kantung darah lagi untuk Rajata. Tak lama kemudian Rafif muncul. Lelaki itu duduk di sebelahku seraya menenteng dua ge
Waktu yang diberikan oleh dokter Marco hanya tersisa lima belas menit. Aku bersiap untuk kemungkinan yang paling buruk. Bahkan, bayangan Friska mendatangiku pun tergambar jelas di kepalaku. Ia memakiku karena tidak bisa menjaga anaknya dengan baik.Maafin gue, Fris. Kupanjangkan sujud sambil memohon keajaiban. Meski Rajata bukan anak yang kulahirkan dari rahimku, tetap saja aku tidak bisa membayangkan jika ia diambil dariku secepat ini. Tidak akan ada lagi senyum dan tingkah usilnya yang akan membuat hidupku berwarna sepeninggal bayi lelakiku yang wafat sepuluh tahun lalu. Namun, kalau Tuhan berkehendak demikian, aku bisa apa?Ponselku bergetar. Telepon dari Liana. "Assalamualaikum, Kak. Adek kenapa, Kak? Adek nggak pa-pa, kan?""Bu, orang yang bawa Rajata ke rumah sakit ada di sini. Katanya dia mau ketemu ibu," ujar Liana setelah menjawab salam. "Ya udah, Kak. Ibu ke sana."Sambil menuju tempat Rajata berbaring, kusempatkan untuk menghubungi Rafif. Sayangnya dia masih belum puny
"Enak saja! Sampai kapan pun Rajata tidak akan pernah kuserahkan padamu!"Kendra melipat tangan lalu memicing. "Ibu pengacara, harusnya anda lebih mengerti hukum daripada saya, kan? Tapi anda malah bersikap seperti ini, Anda juga berbohong." Nada suaranya terdengar merendahkanku. Aku diam tak bisa menjawab. Saat ini posisiku lemah. Tidak, kami berdua berada di posisi yang sama, tidak berhak atas Rajata secara hukum. Ah, andai saja aku sudah mengadopsi Rajata secara resmi. Bodohnya aku karena berpikir bahwa sosok Kendra sudah hilang ditelan bumi dan tidak akan muncul lagi!"Biar bagaimanapun saya akan tetap membawa Rajata.""Tuan Kendra, saya sudah menganggap Rajata seperti anak saya. Lagipula, anda kan hanya ayah biologisnya. Secara hukum, anda tidak berhak karena anda dan Friska tidak pernah menikah.""Itu hal yang mudah, aku bisa membuat Friska menikah denganku. Bukankah hanya perlu bukti selembar surat? Lagipula Friska sudah tidak ada di dunia ini. Dia tidak akan bisa protes seanda
"Dasar gila!" Aku bergegas pergi sambil menyentakkan kaki. Apa-apaan, sih, dia? Aku sedang bingung begini, dia malah bercanda. Nggak lucu! "Hei, ibu pengacara! Tunggu! Saya serius!" Teriakan Kendra tidak kutanggapi. Sambil setengah berlari aku bergegas kembali ke kamar Rajata. Untung saja dia tidak mengejar. "Ri, lo dari mana? Terus kenapa pucat gitu?" ujar Rafif yang sudah menunggu di depan kamar Rajata. Ia duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Aku senang sekali melihatnya. Sontak, kegundahan di hatiku bertukar dengan kenyamanan. "Eh, Fif. Udah lama? Sorry, tadi gue abis dari taman. Nggak pa-pa, biasalah, paling kepanasan," ucapku sambil menyeka dahi dengan telunjuk. "Nih, minum dulu.""Makasi, Fif." Aku duduk di sebelah Rafif sambil meminum isi botol air mineral yang ia berikan. "Terus lo kenapa nggak masuk? Malah sendirian di sini.""Nggaklah, Ri. Gue di sini aja. Nggak enak gue gangguin mereka. Kelihatannya lagi asyik." Ekor mata Rafif bergerak ke kiri, ke arah kamar