wah, wah, apa yang akan Riana lakukan, ya
"Dasar gila!" Aku bergegas pergi sambil menyentakkan kaki. Apa-apaan, sih, dia? Aku sedang bingung begini, dia malah bercanda. Nggak lucu! "Hei, ibu pengacara! Tunggu! Saya serius!" Teriakan Kendra tidak kutanggapi. Sambil setengah berlari aku bergegas kembali ke kamar Rajata. Untung saja dia tidak mengejar. "Ri, lo dari mana? Terus kenapa pucat gitu?" ujar Rafif yang sudah menunggu di depan kamar Rajata. Ia duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Aku senang sekali melihatnya. Sontak, kegundahan di hatiku bertukar dengan kenyamanan. "Eh, Fif. Udah lama? Sorry, tadi gue abis dari taman. Nggak pa-pa, biasalah, paling kepanasan," ucapku sambil menyeka dahi dengan telunjuk. "Nih, minum dulu.""Makasi, Fif." Aku duduk di sebelah Rafif sambil meminum isi botol air mineral yang ia berikan. "Terus lo kenapa nggak masuk? Malah sendirian di sini.""Nggaklah, Ri. Gue di sini aja. Nggak enak gue gangguin mereka. Kelihatannya lagi asyik." Ekor mata Rafif bergerak ke kiri, ke arah kamar
Aku menjejakkan kaki lebih kuat di posisiku, seraya berpikir sejenak langkah apa yang harus kuambil. Mereka pasti preman yang berasal dari wilayah dekat pemakaman ini. Kutarik napas panjang sebelum melangkah menuju mobilku. Semoga saja mereka hanya menginginkan uang. Kalau seratus dua ratus, rasanya bisa kuberikan. "Permisi." Dengan gerakan cepat kubuka pintu mobil dengan kunci di tanganku, kemudian bergegas masuk ke dalamnya. Namun, seseorang dari mereka menghalangiku. Tangannya yang penuh tato menahan pintu yang hendak kututup. "Kalian itu mau apa, sih?" Aku terpaksa keluar sambil menyerahkan tiga lembar uang berwarna merah. "Nih, ambil. Sekarang lepasin pintu mobil saya!""Santai, kami cuma mau kenalan," ucap pria yang berdiri di depan mobil. Ia berjalan mendekat sambil mengepulkan asap rokok tepat ke arahku. Sialan! Sontak, asap rokok yang menerobos masuk membuatku terbatuk. Dadaku pun mulai sesak. Sekejap kemudian pria bertato itu memaksaku masuk ke kursi belakang. Sedangkan d
"O-Om Sahid?" Wajahku yang menegang sontak meregang. Bahuku melorot seakan tak disangga belikat. Sambil mengucap syukur, kristal bening meluncur deras dari kedua mataku. "Loh, Ri. Kau sedang apa di situ? Kenapa bajumu robek-robek begitu?" ucapnya setelah keluar dari mobil. "Pak Sahid kenal ibu ini?" tanya penjaga warung yang langsung berdiri menyambut Om Sahid. Ia lalu mengambil gelas dan menyeduh kopi hitam favorit Om Sahid. "Iya, Gas. Dia itu anak angkatku. Pengacara juga.""Ri, ini Bagas. Kalau lagi sidang di PN JakSel, Om sering mampir ke sini. Kopinya juara, nggak kalah sama buatanmu." Om Sahid menjawab pertanyaan dalam kepalaku. "Om kenal dia waktu dia datang ke kantor dan minta Om jadi penasihat hukumnya, soal sengketa tanah warung ini.""Oh, jadi ibu pengacara juga?"ujar Bagas seraya memberikan segelas kopi yang sudah dialasi piring kecil kepada Om Sahid. "Iya, Pak Bagas.""Waduh maaf, saya nggak tahu. Kalau tahu saya pasti akan langsung menghubungi Pak Sahid. Pak Sahid in
Om Sahid menatapku dengan mata tuanya. "Om kok nanyanya gitu, sih? Ya jelas Riana nolaklah, Om. Lagian Rafif mau dikemanain. Dia kan udah ngelamar duluan."Beberapa menit kemudian mobil sedan Om Sahid memasuki pelataran rumah sakit. "Baguslah. Om hanya khawatir kau akan mengecewakan si Rafif lagi karena lebih memilih mempertahankan Rajata dengan cara apa pun. Satu lagi, kau dulu juga menyetujui untuk menikah dengan Daffi sebab merasa berhutang budi, kan, sama Om? Akibatnya, kau harus menderita selama tujuh tahun lebih karena perlakuan Daffi." Kalimat Om Sahid barusan sontak membuatku tercenung. Dia memang benar. Aku tentu akan melakukan semuanya agar Rajata bisa tetap di sisiku dan untuk membayar hutang budiku. Tapi kalau harus menikah dengan orang asing seperti Kendra, rasa-rasanya aku tidak sebodoh itu. Aku juga tidak mau mengulang masa laluku yang tidak menyenangkan dengan Mas Daffi karena harus menikah dengan seseorang yang tidak benar-benar mencintaiku. "Pernikahan itu kan buka
Liana memindai seluruh tubuhku dengan mata kucingnya. Terlihat jelas bahwa putriku satu-satunya itu meragukan semua yang kukatakan tadi. Sepertinya ia mewarisi sifatku sebagai pengacara yang selalu curiga pada seseorang dan sifat keras Mas Daffi yang tidak mau mengalah. “Mobil ibu kan minggu lalu baru diservis? Kenapa tiba-tiba diservis lagi?” Liana melipat tangannya seraya mengitariku bagaikan ibunya ini adalah seorang penjahat. Refleks, aku menyesali keputusanku karena sudah memberinya alasan yang bodoh macam tadi. Sudah pasti Liana ingat kapan terakhir kali mobilku diservis. “Um, mobilnya cuma mau nginep aja di bengkel.” Aku menyeringai sambil menaikkan satu alisku ke arah Bik Sumi. Namun, Bik Sumi malah mengedikkan bahu lalu memilih pergi. “Bu, Ibu itu nggak pandai bohong. Mendingan sekarang ibu bilang aja kenapa ibu baru pulang dan ….” Tiba-tiba ia melihat lenganku yang kututupi dengan telapak tangan. “Ya Tuhan, Bu, ini kenapa? Kenapa luka-luka begini?” Ibu nggak pa-pa, kan?”
"Fif, lo mau ngapain?" seruku sambil menahan tubuhnya dengan kedua tanganku. Syukurlah akhirnya Rafif berhenti mendekatkan wajahnya. Mungkin setelah ia mendengar suaraku yang ketakutan. Rafif lalu bangun dan membetulkan posisi duduknya seperti semula. "Maaf, Ri. Gue hilaf tadi. Lo nggak pa-pa, kan?""Iya, Fif nggak pa-pa," ucapku dengan suara yang sedikit bergetar. Aku memang agak takut dengan apa yang Rafif lakukan tadi, tapi aku sudah mengenal Rafif lebih dari dua puluh tahun. Aku sangat yakin dia tidak mungkin melakukan hal yang membuatku tersakiti. Sekejap kemudian, Rafif turun. Ia kemudian mengitari mobil dan membukakan pintu untukku. "Yuk, gue anter ke atas. Lo bisa cerita sambil jalan, kan?" Dia sudah berkelakar lagi. ***"Kurang ajar! Bisa-bisanya mereka ngelakuin hal kayak gitu!" ucap Rafif setelah mendengar ceritaku tentang apa yang kualami kemarin. Ia pun memukul keras meja di depannya sampai membuat Om Sahid terkejut. "Hei, Fif, kau ini kenapa?""Maaf, Pak. Emosi." "
Kendra! Mau apa dia? Dan dari mana dia tahu kalau aku menikah di sini hari ini? Aku kan tidak mengundangnya. "Maksud anda apa bicara begitu? Cepat jelaskan!" Rafif sudah berdiri seraya mengepalkan tangan. Wajahnya yang tampan terlihat tegang, entah karena akad nikah kami atau karena kehadiran Kendra."Yang jelas, ibu pengacara tidak bisa menikah dengan anda karena dia punya janji denganku."Aku menautkan alis. Janji? Janji apa yang dia maksud?Mendengar kalimat Kendra tadi, Om Sahid dan Rafif kompak menoleh ke arahku. Mereka mengerutkan dahi dengan raut wajah menuntut penjelasan. Tanpa berpikir lagi, aku menjawab dengan menggeleng beberapa kali. "Pak Penghulu kita lanjutkan aja ijab kabulnya." ucap Om Sahid dengan tegas. Rafif kemudian duduk kembali. Calon suamiku itu terlihat menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Namun, baru saja Pak Penghulu akan mulai bicara, Kendra kembali memotong. "Kendra! Hentikan! Keluar kamu!" Rafif sudah tak dapat menahan emosinya. Bahkan, ia s
"Saya terima nikah dan kawinnya Riana Amhad Hisyam dengan mas kawin sepuluh gram emas murni dibayar tunai."Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Rafif sontak membuat dadaku memanas. Tanpa bisa kubendung lagi air mata sudah mengalir deras di kedua pipiku saat sosok Mas Daffi tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah kami. Sembari tersenyum, ia berdiri di sampingku dan mengantarku kepada Rafif. "Mas Daffi," ucapku tanpa sadar. Hari itu ia begitu tampan dengan pakaian putih. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Namun, saat aku hendak memeluknya, aku hanya memeluk udara kosong. Terima kasih, Mas. Riana akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Lamunanku terhempas saat Pak Penghulu mengatakan kalau Rafif akan menyematkan cincin kawin di jariku. Sungguh, aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan perasaanku pagi itu. Bersanding dengan Rafif dengan restu sepenuhnya dari Mas Daffi dan kedua anakku membuatku bagaikan wanita yang paling bahagia di muka bumi. Pak Penghulu kemudian menu