Kira-kira Riana jawab apa, ya? Ditunggu komentarnya ya, Sahabat
Om Sahid menatapku dengan mata tuanya. "Om kok nanyanya gitu, sih? Ya jelas Riana nolaklah, Om. Lagian Rafif mau dikemanain. Dia kan udah ngelamar duluan."Beberapa menit kemudian mobil sedan Om Sahid memasuki pelataran rumah sakit. "Baguslah. Om hanya khawatir kau akan mengecewakan si Rafif lagi karena lebih memilih mempertahankan Rajata dengan cara apa pun. Satu lagi, kau dulu juga menyetujui untuk menikah dengan Daffi sebab merasa berhutang budi, kan, sama Om? Akibatnya, kau harus menderita selama tujuh tahun lebih karena perlakuan Daffi." Kalimat Om Sahid barusan sontak membuatku tercenung. Dia memang benar. Aku tentu akan melakukan semuanya agar Rajata bisa tetap di sisiku dan untuk membayar hutang budiku. Tapi kalau harus menikah dengan orang asing seperti Kendra, rasa-rasanya aku tidak sebodoh itu. Aku juga tidak mau mengulang masa laluku yang tidak menyenangkan dengan Mas Daffi karena harus menikah dengan seseorang yang tidak benar-benar mencintaiku. "Pernikahan itu kan buka
Liana memindai seluruh tubuhku dengan mata kucingnya. Terlihat jelas bahwa putriku satu-satunya itu meragukan semua yang kukatakan tadi. Sepertinya ia mewarisi sifatku sebagai pengacara yang selalu curiga pada seseorang dan sifat keras Mas Daffi yang tidak mau mengalah. “Mobil ibu kan minggu lalu baru diservis? Kenapa tiba-tiba diservis lagi?” Liana melipat tangannya seraya mengitariku bagaikan ibunya ini adalah seorang penjahat. Refleks, aku menyesali keputusanku karena sudah memberinya alasan yang bodoh macam tadi. Sudah pasti Liana ingat kapan terakhir kali mobilku diservis. “Um, mobilnya cuma mau nginep aja di bengkel.” Aku menyeringai sambil menaikkan satu alisku ke arah Bik Sumi. Namun, Bik Sumi malah mengedikkan bahu lalu memilih pergi. “Bu, Ibu itu nggak pandai bohong. Mendingan sekarang ibu bilang aja kenapa ibu baru pulang dan ….” Tiba-tiba ia melihat lenganku yang kututupi dengan telapak tangan. “Ya Tuhan, Bu, ini kenapa? Kenapa luka-luka begini?” Ibu nggak pa-pa, kan?”
"Fif, lo mau ngapain?" seruku sambil menahan tubuhnya dengan kedua tanganku. Syukurlah akhirnya Rafif berhenti mendekatkan wajahnya. Mungkin setelah ia mendengar suaraku yang ketakutan. Rafif lalu bangun dan membetulkan posisi duduknya seperti semula. "Maaf, Ri. Gue hilaf tadi. Lo nggak pa-pa, kan?""Iya, Fif nggak pa-pa," ucapku dengan suara yang sedikit bergetar. Aku memang agak takut dengan apa yang Rafif lakukan tadi, tapi aku sudah mengenal Rafif lebih dari dua puluh tahun. Aku sangat yakin dia tidak mungkin melakukan hal yang membuatku tersakiti. Sekejap kemudian, Rafif turun. Ia kemudian mengitari mobil dan membukakan pintu untukku. "Yuk, gue anter ke atas. Lo bisa cerita sambil jalan, kan?" Dia sudah berkelakar lagi. ***"Kurang ajar! Bisa-bisanya mereka ngelakuin hal kayak gitu!" ucap Rafif setelah mendengar ceritaku tentang apa yang kualami kemarin. Ia pun memukul keras meja di depannya sampai membuat Om Sahid terkejut. "Hei, Fif, kau ini kenapa?""Maaf, Pak. Emosi." "
Kendra! Mau apa dia? Dan dari mana dia tahu kalau aku menikah di sini hari ini? Aku kan tidak mengundangnya. "Maksud anda apa bicara begitu? Cepat jelaskan!" Rafif sudah berdiri seraya mengepalkan tangan. Wajahnya yang tampan terlihat tegang, entah karena akad nikah kami atau karena kehadiran Kendra."Yang jelas, ibu pengacara tidak bisa menikah dengan anda karena dia punya janji denganku."Aku menautkan alis. Janji? Janji apa yang dia maksud?Mendengar kalimat Kendra tadi, Om Sahid dan Rafif kompak menoleh ke arahku. Mereka mengerutkan dahi dengan raut wajah menuntut penjelasan. Tanpa berpikir lagi, aku menjawab dengan menggeleng beberapa kali. "Pak Penghulu kita lanjutkan aja ijab kabulnya." ucap Om Sahid dengan tegas. Rafif kemudian duduk kembali. Calon suamiku itu terlihat menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Namun, baru saja Pak Penghulu akan mulai bicara, Kendra kembali memotong. "Kendra! Hentikan! Keluar kamu!" Rafif sudah tak dapat menahan emosinya. Bahkan, ia s
"Saya terima nikah dan kawinnya Riana Amhad Hisyam dengan mas kawin sepuluh gram emas murni dibayar tunai."Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Rafif sontak membuat dadaku memanas. Tanpa bisa kubendung lagi air mata sudah mengalir deras di kedua pipiku saat sosok Mas Daffi tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah kami. Sembari tersenyum, ia berdiri di sampingku dan mengantarku kepada Rafif. "Mas Daffi," ucapku tanpa sadar. Hari itu ia begitu tampan dengan pakaian putih. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Namun, saat aku hendak memeluknya, aku hanya memeluk udara kosong. Terima kasih, Mas. Riana akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Lamunanku terhempas saat Pak Penghulu mengatakan kalau Rafif akan menyematkan cincin kawin di jariku. Sungguh, aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan perasaanku pagi itu. Bersanding dengan Rafif dengan restu sepenuhnya dari Mas Daffi dan kedua anakku membuatku bagaikan wanita yang paling bahagia di muka bumi. Pak Penghulu kemudian menu
Tanpa menunggu lama, aku, Rafif dan Bik Sumi lekas menuju tempat parkir. Setelah Rafif duduk di balik kemudi, aku segera mencari informasi mengenai letak warung es krim terdekat di mesin pencari. "Fif, di depan putar balik, terus balik kanan. Lurus terus sekitar 600 meter. Nanti di sebelah kanan jalan ada gerai es krim Ragusa. Semoga anak-anak ada di sana," ucapku pada Rafif dengan penuh harap. Kumohon Ya Tuhan. Setelah Rafif menanggapi, aku kembali mencoba menelepon Liana. Syukurlah kali ini tersambung. Bahkan, tanpa sadar kedua mataku sudah berair. "Fif, sebentar, tolong berhenti dulu di depan." "Kenapa, Ri?""Ponsel Liana nyambung, ni."Rafif lekas memutar setir ke kiri lalu menepi di bawah salah satu pohon trembesi. "Ayo dong, Liana angkat teleponnya!" Aku gemas bercampur panik. Karena sudah tiga kali nada dering, tapi Liana tak kunjung mengangkat ponselnya. "Hallo."Sontak, ikatan kuat di dadaku putus serentak. Aliran udara di tenggorokanku pun kembali lancar."Kak, kakak d
"Tuh kan bener, Ri firasatku tadi. Dasar penipu! Untung aja nggak ada yang percaya sama lo!"Kendra mengibaskan tangannya di depan Rafif, mungkin maksudnya menyuruh agar Rafif diam."Udah, Fif, biar dia cerita dulu sampe selesai.""Bisa gue terusin?" "Silakan," ucapku sambil menggenggam erat tangan Rafif. "Tempo hari waktu baru balik dari makamnya Friska, ban mobil saya kempes, akhirnya mampirlah ke bengkel. Setelah diperiksa ternyata kerusakannya lumayan, kayaknya habis kena ranjau. Ya udah sekalian ditambal. Nggak lama setelahnya, dateng mobil sedan putih. Di dalemnya ada tiga orang cowok, mereka ngedeketin orang di bengkel itu yang dipanggil, Bos." "Terus apa hubungannya sama pertanyaan bini gue tadi? Lama lo! Muter-muter!""Sayang, bisa diam sebentar nggak?" ucapku sekali lagi pada Rafif yang sudah tidak sabar. Untung saja dia mau menurut, apalagi saat tadi aku panggil sayang. Wajahnya langsung memerah. Lucu sekali. "Silakan dilanjutkan, Pak Kendra."Kendra mendesah. Jelas terl
Pagi itu saat aku baru tiba di kantor, di atas meja kerjaku ada sebuah amplop cokelat bertuliskan namaku di atasnya. Berbeda dengan surat yang biasa aku terima. Di atasnya hanya tercantum ‘Kepada Ibu Pengacara’, bukan kepada firma hukum Sahid Anwar, S.H. Jelas Kendra yang mengirim. Tanpa menunggu lama, lekas kubuka surat itu. “What? Apa-apaan si Kendra!” Di dalamnya ada passport Rajata beserta foto kopi tiket pesawat ke Amerika. Tanggalnya tinggal dua minggu lagi. Seketika itu pula kakiku lemas tak bertenaga. Konsentrasiku untuk bekerja langsung buyar dan moodku memburuk. “Ri, kau kenapa?” ucap Om sahid yang baru saja datang. Ia kemudian memangkas jarak denganku lalu mengambil passport milik Rajata yang masih berada di tanganku. “Kendra yang mengirim ini?” Aku mengangguk lesu. Air mata yang berusaha keras kutahan agar tidak keluar akhirnya jatuh juga. Di depan Om Sahid aku menangis seperti anak kecil. Sambil menutup wajahku dengan kedua tangan, masih bisa kudengar desahan kasar dar
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal