Jadi, Kendra itu baik atau tidak, ya? Ditunggu komennya ya sahabat.
"Tuh kan bener, Ri firasatku tadi. Dasar penipu! Untung aja nggak ada yang percaya sama lo!"Kendra mengibaskan tangannya di depan Rafif, mungkin maksudnya menyuruh agar Rafif diam."Udah, Fif, biar dia cerita dulu sampe selesai.""Bisa gue terusin?" "Silakan," ucapku sambil menggenggam erat tangan Rafif. "Tempo hari waktu baru balik dari makamnya Friska, ban mobil saya kempes, akhirnya mampirlah ke bengkel. Setelah diperiksa ternyata kerusakannya lumayan, kayaknya habis kena ranjau. Ya udah sekalian ditambal. Nggak lama setelahnya, dateng mobil sedan putih. Di dalemnya ada tiga orang cowok, mereka ngedeketin orang di bengkel itu yang dipanggil, Bos." "Terus apa hubungannya sama pertanyaan bini gue tadi? Lama lo! Muter-muter!""Sayang, bisa diam sebentar nggak?" ucapku sekali lagi pada Rafif yang sudah tidak sabar. Untung saja dia mau menurut, apalagi saat tadi aku panggil sayang. Wajahnya langsung memerah. Lucu sekali. "Silakan dilanjutkan, Pak Kendra."Kendra mendesah. Jelas terl
Pagi itu saat aku baru tiba di kantor, di atas meja kerjaku ada sebuah amplop cokelat bertuliskan namaku di atasnya. Berbeda dengan surat yang biasa aku terima. Di atasnya hanya tercantum ‘Kepada Ibu Pengacara’, bukan kepada firma hukum Sahid Anwar, S.H. Jelas Kendra yang mengirim. Tanpa menunggu lama, lekas kubuka surat itu. “What? Apa-apaan si Kendra!” Di dalamnya ada passport Rajata beserta foto kopi tiket pesawat ke Amerika. Tanggalnya tinggal dua minggu lagi. Seketika itu pula kakiku lemas tak bertenaga. Konsentrasiku untuk bekerja langsung buyar dan moodku memburuk. “Ri, kau kenapa?” ucap Om sahid yang baru saja datang. Ia kemudian memangkas jarak denganku lalu mengambil passport milik Rajata yang masih berada di tanganku. “Kendra yang mengirim ini?” Aku mengangguk lesu. Air mata yang berusaha keras kutahan agar tidak keluar akhirnya jatuh juga. Di depan Om Sahid aku menangis seperti anak kecil. Sambil menutup wajahku dengan kedua tangan, masih bisa kudengar desahan kasar dar
Setibanya di rumah, sikapku pada Rafif masih cuek. Meski dia berusaha mendekat, tapi aku terus menghindar. Hingga pada saat jam dinding berdentang sepuluh kali dan aku baru keluar dari kamar mandi, ia menyergapku dan mengangkat tubuhku ke dadanya. "Rafif, apa-apaan, sih? Lepas!" Dia hanya memandangku lekat sambil tersenyum. Pelan-pelan ia meletakkanku di ranjang sambil menciumi wajahku. "Ini hukuman karena udah nyuekin suami," ucapnya dengan deru napas yang menderu. Sapuan udara dingin membelai wajah dan tubuh kami yang sudah tak berjarak. Lambat laun aku pun terbuai pada irama cinta yang sudah ia mainkan. Diiringi suara dedaunan yang tertiup angin, kami terus bersenandung hingga tengah malam. ***Hari kepergian Rajata pun tiba. Semalam anak kecil itu akhirnya mengetahui kenyataan yang sebenarnya kalau Friska adalah ibunya dan Kendra merupakan ayah kandungnya. Awalnya ia bingung dan tidak mengerti. Namun, setelah kujelaskan pelan-pelan, ia paham dan bisa menerima semuanya. Bahkan,
Pov AuthorSepuluh tahun kemudianLiana baru meninggalkan meja kerjanya saat telepon di mejanya berdering. Gadis itu mengerutkan dahi seraya mendecap. "Siapa, si? Baru juga mau pulang," ucapnya seraya kembali duduk. Sambil memasang raut wajah kesal ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Hallo, selamat sore, dengan pengacara Liana. Ada yang bisa dibantu?"Meski kesal, tapi ia tetap bersuara ramah. Maklum saja, jika ia ketus sudah pasti jasanya sebagai pengacara akan tidak terpakai. Bisa dimarahi oleh Ibu dan Opungnya dia nanti. "Kak, udah mau pulang belum?" ucap Riana di ujung telepon. "Oh, Ibu. Kirain siapa? Kok, nggak ke hp kakak aja, Bu?""Udah, Sayang. Udah ratusan kali," kata Riana sambil melebih-lebihkan. "Coba itu kenapa hp kamu susah banget dihubungin?"Liana menjauhkan gagang telepon lalu merogoh ke dalam tas tangan bucherrynya. Setelahnya ia kembali bicara pada Riana. "Ya Ampun, pantesan aja wong hapenya mati, Bu.""Tuh, kan. Kakak mah kebiasaan. Suka banget lupa ng
"Heh, cepetan keluar malah bengong! Jangan sampe gue panggilin orang-orang buat ngeroyok lu ya!""Rajata?" ucap Liana masih sambil membelalakkan mata. Meski pria di depannya masih mengomel, Liana malah memandangi wajah pemuda itu dengan lekat. Liana lalu keluar dari mobil lalu memeluk pemuda itu. "Rajata? Alhamdulillah kamu masih hidup, Dek." Liana mengendurkan pelukan lalu menangkup wajah pemuda yang dikiranya Rajata itu. "Apaan, sih, meluk-meluk? Lo mau lepas tanggung jawab? Sorry, gue nggak bakal ketipu. Lo tu bukan tipe gue. Lagian siapa itu Rajata? Nama gue Andra! Rajata! Rajata! Sekarang cepetan tanggung jawab! Lihat tuh, motor gue! Gue juga luka-luka!"Liana mengernyitkan dahi. Setelahnya ia menarik napas dalam lalu membuangnya. "Apa aku salah mengenali orang? Apa memang benar dia bukan Rajata? Kenapa mukanya mirip banget sama Rajata? Ah, Liana kamu jangan ngelindur! Rajata kan sudah meninggal! Anak itu pasti cuma berandal yang suka kebut-kebutan di jalan. Nggak mungkin Rajat
Pipi Andra sontak memerah. Garis-garis keunguan di wajahnya pun terlihat. Dengan cepat pemuda itu menangkap tangan Liana dan mencengkeramnya kuat. Setelahnya ia menarik gadis itu ke luar ruangan dokter Sandi. Tak dipedulikannya teriakan lelaki paruh baya itu yang mencegahnya agar menghentikan aksinya. "Lepasin nggak!" ucap Liana tajam sambil menarik tangannya dari cengkeraman Andra. Namun, meski ia jago taekwondo tenaganya kalah jauh dari pria itu. Liana menyadari jika pemuda di depannya pun menguasai ilmu yang sama. "Lo pikir setelah tadi nabrak dan nampar gue, lo bakal gue maafin gitu aja." Liana melemahkan tarikan tangannya. "Iya sorry. Lagian sih, lo ngomongnya nggak sopan tentang ibu saya. Saya tuh paling nggak suka kalau ada yang menyepelekan Ibu saya kayak yang tadi kamu lakuin!" Andra mengempas kasar tangan Liana. Kalimat Liana tentang ibu membuat perasaannya sedikit gerimis. Ia tidak habis pikir jika ada seseorang yang begitu mengagungkan sosok Ibu, sosok yang tidak perna
Mataku membulat saat pemuda bernama Andra muncul di depanku. Hari itu, Liana sengaja mempertemukanku dengan pemuda yang membuatku kembali teringat akan sosok Rajata itu. Meski awalnya dia menolak karena tidak ingin lagi berurusan dengan Andra, toh setelah kupaksa akhirnya ia setuju. Dan aku yakin kalau pemuda di depanku adalah Rajata! Tapi kenapa dia sama sekali tidak mengingatku? "Kenalin saya Riana, ibunya Liana," ujarku pada pemuda di depanku. Wajahku pun kubuat seramah mungkin. Namun, dia berekspresi aneh. Apa karena melihat sedikit luka bakar di pipi kiriku? Padahal kini lukanya sudah tidak semenyeramkan dulu. "Andra." Refleks aku menggeleng. Bukan, kamu adalah Rajata. Rajataku yang hilang. Dia lalu melirik Liana. Pandangan matanya yang berganti-ganti antara aku dan Liana, serta dahinya yang berkerut mengatakan kalau dia tengah membandingkan wajahku dan Liana. "Ternyata kecantikan Liana menurun dari ibunya," ujarnya disambung senyum. Hatiku sontak menghangat. Ternyata si
Mataku sontak membulat. Terlebih dengan cepat Rafif merebut ponsel dari tanganku. “Anak ini lagi?” Nada suaranya langsung meninggi. Dengan sekejap ia pun mematikan panggilan. Benang kuat di wajahnya yang semula sudah terurai mendadak kembali menegang. “Aku mengantuk. Kau juga tidurlah,” ucapnya sambil membetulkan kembali pakaiannya yang sempat terbuka. Lalu ia membelakangiku sambil memeluk erat guling. Kepalaku seketika dipenuhi kebimbangan yang begitu menyiksa. Suara Andra yang terdengar lemas kembali terngiang. Satu sisi aku tidak ingin membuat Rafif marah, tapi jujur perasaan khawatir pun sangat membuat dadaku menyesak. Perlahan kupeluk suamiku dari belakang. “Mas, jangan marah. Dia kan nggak tahu sekarang kita sedang ngapain. Dia sakit, Mas.” Rafif melepas paksa ikatan tanganku di pinggangnya. “Ri, dia bukan anak-anak. Dia sudah 20 tahun. Lagipula, memangnya kau dokter sampai-sampai dia harus meneleponmu?” Ia lalu bangkit dan keluar kamar lalu membanting pintu hingga membuatku
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal