Mataku membulat saat pemuda bernama Andra muncul di depanku. Hari itu, Liana sengaja mempertemukanku dengan pemuda yang membuatku kembali teringat akan sosok Rajata itu. Meski awalnya dia menolak karena tidak ingin lagi berurusan dengan Andra, toh setelah kupaksa akhirnya ia setuju. Dan aku yakin kalau pemuda di depanku adalah Rajata! Tapi kenapa dia sama sekali tidak mengingatku? "Kenalin saya Riana, ibunya Liana," ujarku pada pemuda di depanku. Wajahku pun kubuat seramah mungkin. Namun, dia berekspresi aneh. Apa karena melihat sedikit luka bakar di pipi kiriku? Padahal kini lukanya sudah tidak semenyeramkan dulu. "Andra." Refleks aku menggeleng. Bukan, kamu adalah Rajata. Rajataku yang hilang. Dia lalu melirik Liana. Pandangan matanya yang berganti-ganti antara aku dan Liana, serta dahinya yang berkerut mengatakan kalau dia tengah membandingkan wajahku dan Liana. "Ternyata kecantikan Liana menurun dari ibunya," ujarnya disambung senyum. Hatiku sontak menghangat. Ternyata si
Mataku sontak membulat. Terlebih dengan cepat Rafif merebut ponsel dari tanganku. “Anak ini lagi?” Nada suaranya langsung meninggi. Dengan sekejap ia pun mematikan panggilan. Benang kuat di wajahnya yang semula sudah terurai mendadak kembali menegang. “Aku mengantuk. Kau juga tidurlah,” ucapnya sambil membetulkan kembali pakaiannya yang sempat terbuka. Lalu ia membelakangiku sambil memeluk erat guling. Kepalaku seketika dipenuhi kebimbangan yang begitu menyiksa. Suara Andra yang terdengar lemas kembali terngiang. Satu sisi aku tidak ingin membuat Rafif marah, tapi jujur perasaan khawatir pun sangat membuat dadaku menyesak. Perlahan kupeluk suamiku dari belakang. “Mas, jangan marah. Dia kan nggak tahu sekarang kita sedang ngapain. Dia sakit, Mas.” Rafif melepas paksa ikatan tanganku di pinggangnya. “Ri, dia bukan anak-anak. Dia sudah 20 tahun. Lagipula, memangnya kau dokter sampai-sampai dia harus meneleponmu?” Ia lalu bangkit dan keluar kamar lalu membanting pintu hingga membuatku
Lekas kutekan nomor Rafif. Tidak aktif. Ya Tuhan, dia ke mana si? Sontak, ragaku melorot ke lantai. Mengetahui kalau suamiku tidak ada di rumah di waktu selarut ini membuat aneka pikiran buruk mendatangi kepalaku. Aku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul satu. Tidak mungkin aku bangunkan Liana atau Bik Sumi untuk bertanya soal Rafif. Sedangkan untuk berbaring dan tidur pun aku tidak bisa. Rasa lelah yang tadi sempat kurasakan musnah sudah. "Mas, tolong aktifkan ponselnya." Sekali lagi kucoba untuk menghubunginya. Namun, nomornya masih dijawab oleh operator. Dadaku semakin sesak dan air mataku sudah menganak sungai. "Mas, maaf, apa kamu marah karena aku pergi ke tempat Andra? Tapi aku kan tadi sudah pamit, Mas," ucapku sambil menyeka wajah dengan punggung tangan. "Lho, Ibu? Ibu kenapa nangis di sini?" Bik Sumi tiba-tiba melongok masuk. Kehadirannya sontak membuatku terkejut dan lega dalam waktu bersamaan. "Bik, Bik Sumi belum tidur?""Ya sudah, Bu. Ini Bibik baru bangun, mau tah
Tangisku kian lama makin pecah. Makin lama oksigen makin sulit masuk ke dalam paru-paruku. "Ri, Riana! Kamu kenapa?" Suara Rafif terdengar tepat di telingaku. Cengkeraman kuat di kedua bahuku sontak membuat kesadaranku kembali. "Sayang, kamu mimpi?""Mas dari mana? Aku kira kamu pergi ninggalin aku," ucapku masih dengan air mata bercucuran. Tangisku pun kulanjutkan di atas dadanya. "Ngomong apa si kamu? Siapa yang mau ninggalin kamu?" Dia tertawa. "Lagian kamu kenapa? Mimpi buruk?"Aku mengangguk berkali-kali seraya memeluk erat tubuhnya. "Maafin aku, Mas. Maaf. Aku nggak nyangka kalau kamu bakal marah banget. Maaf, Mas." Rafif menarik napas dalam. Sontak, perasaanku langsung lega saat ia membalas pelukanku. Meski ia tidak mengatakan apa pun, aku yakin kalau dia sudah memaafkanku. "Ya sudah, sekarang kamu solat dulu." Rafif menyeka kedua sudut mataku dengan ibu jarinya. "Mas udah solat?""Udah, ni baru pulang dari masjid.""Tadi aku habis tahajud rencana pengen nunggu Subuh sa
Di tengah kebingunganku, tiba-tiba panggilan terputus, membuat moodku yang sempat membaik karena Rafif kembali jelek. "Iseng banget. Satu-satunya lelaki yang pernah kugilai ya cuma Mas Daffi. Ge er sekali dia."Meski menolak, toh tetap saja kalimat si penelepon asing tadi terus menggangguku. Sampai-sampai berkas yang harus aku bawa di sidang nanti tidak bisa kutemukan."Biiik! Bik Sumi!"Suara langkah cepat Bik Sumi terdengar mendekat. "Iya, Bu. Ada apa?""Bik, lihat berkas saya di atas meja ini nggak? Berkas dalam map cokelat."Bik Sumi mengerutkan dahi. "Enggak, Bu. Bibik nggak pernah nyentuh berkas-berkas ibu.""Duh, ke mana ya, Bik? Mana mau dipakai sidang lagi. Udah mepet waktunya.""Ya udah, Bibik bantu cari ya, Bu. Kayak apa berkasnya, Bu?""Dalam map cokelat, Bik. Di atasnya ada tulisan PT. Selaksa Abadi."Sekejap kemudian Bik Sumi dengan cepat sudah berkutat dengan aneka berkas di tangannya. Meski usianya sudah menginjak 60 tahun, tetapi penglihatannya masih berfungsi dengan
"Damar?" Mataku membesar bagai seukuran bola basket. Damar, senior masa SMUku yang dulu pernah kugilai setengah mati. Ya, iyalah, cewek mana yang tidak terpesona akan sosok Damartya Ananta. Sang ketua OSIS yang selain ganteng, pinter, ramah, pokoknya sempurna, deh. Tapi, kok, dia bisa tahu kalau dulu aku menggilainya? Seingatku hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang itu. Menurutku aku pun sangat pandai menyimpan perasaanku padanya dalam-dalam. Terlebih kami bersama dalam satu sekolah hanya satu tahun. Karena saat aku kelas 1 dia sudah kelas 3."Lagi ngeluhin apa, sih? Ampe tu mulut monyong-monyong gitu."Sontak, mataku yang tadi sudah kembali normal kembali membesar. Wajahku saat itu pasti sudah sewarna tomat matang. Aku pun menunduk. Duh, kenapa si ni jantung jadi mendadak jumpalitan begini? Pria matang di depanku semakin berumur malah kian menawan. Usianya yang sudah kepala 4 malah membuatnya terlihat muda. "Gue boleh duduk?" Aku hanya bergeser ke sebelah kiri. Ia pun langsung m
Rafif memandang tak suka ke arah Damar. Namjlun, tetap saja kami membiarkan pria itu bergabung di meja kami. "Suami kamu, Ri?" ucap Damar yang membuatku tersadar. "I-iya. Mas, kenalin, ini Damar. Dia hakim aku di kasus tadi. Dia juga alumni SMA Tunas Bakti."Damar mengulurkan tangannya ke Rafif, "Damar." Mereka pun saling berjabat erat. "Fif, lo angkatan berapa? Seingat gue di angkatan Riana tidak ada yang namanya Rafif." Kecanggungan kami bertiga akhirnya mencair dengan dimulainya Damar ber elo gue. "Eg, sorry, ya kalau gue manggilnya nggak formal. Lo seangkatan sama Riana, kan? Berarti dua tahun lebih muda dari gue."Sontak, aku memandang heran ke Damar. "Emangnya lo inget semua nama-nama angkatan gue, ya?""Ya nggak semua sih. Cuma nama yang gampang diinget aja. Rafif. Nggak mungkin gue lupa nama itu."Aku mengangguk. Benar juga, sih. Baru aku akan menjawab, Rafif sudah memotong. "Gue murid pindahan. Pas Riana kelas 3 gue baru masuk.""Oh, pantes.""Oh, ya, Mas. Damar ini d
"Damar," gumamku hingga Liana memicing. "Loh, ibu kenal dia?""Bukan cuma kenal. Dulu bahkan ibu ...." Aku cepat menjeda kalimatku saat melihat bola mata Liana yang kian membesar. "Ibu satu sekolah sama dia, Kak." Liana mengangguk. Syukurlah aku bisa mengerem mulutku ini. Kalau sampai Liana tahu bahwa dulu aku menyukai Damar, entah apa reaksinya."Ooh.""Kak, memangnya ada hubungan apa kakak sama Damar?""Yah, kami sudah dua bulan ini pacaran."Sontak, mataku membesar. "Apa? Kalian pacaran? Kak, dia itu seumuran Ibu. Bahkan, dua tahun lebih tua. Artinya dia lebih cocok jadi Bapak kamu dibandingkan pasangan."Liana mendecap hingga membuatku sedikit terkejut. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya kesal begitu. "Bu, apa si artinya perbedaan usia? Yang penting aku sama dia itu saling mengerti. Nyambung kalau ngomong.""Pokoknya Ibu nggak setuju kamu sama Damar. Hentikan hubungan kamu sama dia sekarang!" "Bu, apa sih? Liana udah besar! Nggak perlu diatur-atur kayak anak kecil. Lian
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal