Di tengah kebingunganku, tiba-tiba panggilan terputus, membuat moodku yang sempat membaik karena Rafif kembali jelek. "Iseng banget. Satu-satunya lelaki yang pernah kugilai ya cuma Mas Daffi. Ge er sekali dia."Meski menolak, toh tetap saja kalimat si penelepon asing tadi terus menggangguku. Sampai-sampai berkas yang harus aku bawa di sidang nanti tidak bisa kutemukan."Biiik! Bik Sumi!"Suara langkah cepat Bik Sumi terdengar mendekat. "Iya, Bu. Ada apa?""Bik, lihat berkas saya di atas meja ini nggak? Berkas dalam map cokelat."Bik Sumi mengerutkan dahi. "Enggak, Bu. Bibik nggak pernah nyentuh berkas-berkas ibu.""Duh, ke mana ya, Bik? Mana mau dipakai sidang lagi. Udah mepet waktunya.""Ya udah, Bibik bantu cari ya, Bu. Kayak apa berkasnya, Bu?""Dalam map cokelat, Bik. Di atasnya ada tulisan PT. Selaksa Abadi."Sekejap kemudian Bik Sumi dengan cepat sudah berkutat dengan aneka berkas di tangannya. Meski usianya sudah menginjak 60 tahun, tetapi penglihatannya masih berfungsi dengan
"Damar?" Mataku membesar bagai seukuran bola basket. Damar, senior masa SMUku yang dulu pernah kugilai setengah mati. Ya, iyalah, cewek mana yang tidak terpesona akan sosok Damartya Ananta. Sang ketua OSIS yang selain ganteng, pinter, ramah, pokoknya sempurna, deh. Tapi, kok, dia bisa tahu kalau dulu aku menggilainya? Seingatku hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang itu. Menurutku aku pun sangat pandai menyimpan perasaanku padanya dalam-dalam. Terlebih kami bersama dalam satu sekolah hanya satu tahun. Karena saat aku kelas 1 dia sudah kelas 3."Lagi ngeluhin apa, sih? Ampe tu mulut monyong-monyong gitu."Sontak, mataku yang tadi sudah kembali normal kembali membesar. Wajahku saat itu pasti sudah sewarna tomat matang. Aku pun menunduk. Duh, kenapa si ni jantung jadi mendadak jumpalitan begini? Pria matang di depanku semakin berumur malah kian menawan. Usianya yang sudah kepala 4 malah membuatnya terlihat muda. "Gue boleh duduk?" Aku hanya bergeser ke sebelah kiri. Ia pun langsung m
Rafif memandang tak suka ke arah Damar. Namjlun, tetap saja kami membiarkan pria itu bergabung di meja kami. "Suami kamu, Ri?" ucap Damar yang membuatku tersadar. "I-iya. Mas, kenalin, ini Damar. Dia hakim aku di kasus tadi. Dia juga alumni SMA Tunas Bakti."Damar mengulurkan tangannya ke Rafif, "Damar." Mereka pun saling berjabat erat. "Fif, lo angkatan berapa? Seingat gue di angkatan Riana tidak ada yang namanya Rafif." Kecanggungan kami bertiga akhirnya mencair dengan dimulainya Damar ber elo gue. "Eg, sorry, ya kalau gue manggilnya nggak formal. Lo seangkatan sama Riana, kan? Berarti dua tahun lebih muda dari gue."Sontak, aku memandang heran ke Damar. "Emangnya lo inget semua nama-nama angkatan gue, ya?""Ya nggak semua sih. Cuma nama yang gampang diinget aja. Rafif. Nggak mungkin gue lupa nama itu."Aku mengangguk. Benar juga, sih. Baru aku akan menjawab, Rafif sudah memotong. "Gue murid pindahan. Pas Riana kelas 3 gue baru masuk.""Oh, pantes.""Oh, ya, Mas. Damar ini d
"Damar," gumamku hingga Liana memicing. "Loh, ibu kenal dia?""Bukan cuma kenal. Dulu bahkan ibu ...." Aku cepat menjeda kalimatku saat melihat bola mata Liana yang kian membesar. "Ibu satu sekolah sama dia, Kak." Liana mengangguk. Syukurlah aku bisa mengerem mulutku ini. Kalau sampai Liana tahu bahwa dulu aku menyukai Damar, entah apa reaksinya."Ooh.""Kak, memangnya ada hubungan apa kakak sama Damar?""Yah, kami sudah dua bulan ini pacaran."Sontak, mataku membesar. "Apa? Kalian pacaran? Kak, dia itu seumuran Ibu. Bahkan, dua tahun lebih tua. Artinya dia lebih cocok jadi Bapak kamu dibandingkan pasangan."Liana mendecap hingga membuatku sedikit terkejut. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya kesal begitu. "Bu, apa si artinya perbedaan usia? Yang penting aku sama dia itu saling mengerti. Nyambung kalau ngomong.""Pokoknya Ibu nggak setuju kamu sama Damar. Hentikan hubungan kamu sama dia sekarang!" "Bu, apa sih? Liana udah besar! Nggak perlu diatur-atur kayak anak kecil. Lian
"Kakak?" ucapku terkejut seraya berdiri memandangi Liana. Ia sontak menjauh. Lalu dengan wajah tegang ia kembali menatapku. "Coba Ibu bilang terus terang sama Liana. Apa benar dulu Ibu pernah punya hubungan sama Damar?"Aku menggeleng cepat. "Bukan seperti itu ceritanya. sini duduk dulu. Kamu nggak boleh emosi gitu, dong." Untungnya gadis kecil itu menurut. Meski usianya sudah hampir kepala 3 tapi di mataku tetap saja dia seorang gadis Rafif yang masih belum selesai makan memilih diam. Mungkin ia merasa jika aku pasti bisa menyelesaikan masalahku dengan Liana tanpa campur tangannya. Padahal aku sangat ingin mendengarnya menasihati Liana, tapi ya sudahlah. Liana memilih duduk di hadapanku, di sebelah kanan Rafif. Fuh, tenang Riana. "Dulu, Ibu memang pernah suka sama Damar. Tapi cuma satu arah. Damarnya juga nggak tahu kalau Ibu suka sama dia. Waktu dia kelas 3 ibu baru kelas 1. Dia ketua OSIS, populer, ganteng, anak basket. Siapalah yang nggak suka, kan?" Kulirik Rafif yang memandan
"Apa maksud kamu i can't i can't?" ucapku geram. Tapi anehnya dia malah tertawa mengejek."Ya karena aku suka dia. Dia lucu, pintar, dan dewasa. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi cara berpikirnya mampu mengimbangiku. Jarang pengacara muda yang mampu melayani kengeyelanku dalam berargumen.""Ya iyalah. Anaknya siapa dulu." Tuh, kan aku jadi membanggakan Liana. "Terima kasih pujiannya pada putri saya Yang Mulia. tapi saya tetap tidak setuju kalau kalian berdua pacaran! Kenapa nggak nyari wanita seumuran lo aja sih? Angkatan gue aja kayaknya masih ada tuh yang single. Si Vera, lo kenal kan? Atau Stefani? Mereka berdua nggak kalah cantik dari Liana."Damar tertawa lagi. "Memangnya perasaan bisa diubah semudah itu? Lo tuh ada-ada aja. Kalau bisa udah dari dulu gue ubah perasaan lo biar selalu suka sama gue," ujarnya yang membuatku semakin geram. Napasku mulai tersengal menghadapi alasannya yang tidak pernah habis. Pantas saja dia suka sama Liana. Anakku itu juga pantang mengalah. Aku
"Sayangnya dia nggak bisa bahasa Indonesia."Sontak, mataku membulat. "Ha? Kok bisa, Om?""Ya, karena sejak kecil dia tinggal di Belanda, Ri. Orangtuanya juga dinas di sana. Mungkin aja selama berkomunikasi dan aktivitas sehari-hari, mereka lebih sering pakai Bahasa Belanda."Seketika otakku yang sempat adem kembali memanas. "Ri, kok malah makin uring-uringan gitu, sih? Jadi nggak ni Om kenalin anaknya Om itu sama Liana?"Masih sambil menunduk dan menutup wajah, aku melambaikan tangan kanan. "Percuma, Om. Liana nggak bakal suka. Dia nggak suka cowok bule. Apalagi nggak bisa ngomong Bahasa Inggris." "Ya sudah, kalau begitu kau terpaksa terima saja si Damar jadi menantu.""Tauk, ah, Om. Riana pusing."Setelah pertemuan terakhirku dengan Damar di restoran, Liana semakin sering pulang malam. Jika ditanya ia akan menjawab kalau lembur di kantor. Padahal aku tahu benar dia sudah pulang sejak sore. Damar! Menyebut namanya saja sukses membuat seluruh kulitku gatal-gatal. Bisa-bisanya dia me
"Rencana? Rencana apa, Mas?" Mataku terasa melebar. "Damar bilang persis seperti yang kemarin Liana sampaikan ke kita. Mereka sudah serius dan mau melangkah ke jenjang pernikahan."Sontak, tubuhku terasa lemas. Bahuku yang semula tegak pun menurun. Damar akan jadi menantuku? Sulit untuk kubayangkan. "Damar juga bilang kalau setelah mereka menikah nanti, mereka tidak akan tinggal di sini."Tanpa bisa kutahan, air mataku meluncur turun, hingga menyebabkan hidungku berair. Melihatku mulai menangis, Rafif lalu merengkuhku ke dalam dadanya. "Aku tahu, kamu berat melepas Liana keluar dari rumah ini. Tapi dia sudah dewasa, Ri. Cepat atau lambat dia akan menemukan pasangan dan tinggal bersama suaminya. Kita sebagai orang tua tidak bisa mencegah, hanya bisa mengarahkan jika ia mengambil jalan yang salah."Kepalaku mengangguk. Kuakui bahwa Rafif memang benar. Berat rasanya melepas Liana pergi dari sini. Apalagi setelah aku kehilangan Rajata. Setelah puas menangis, kutegakkan kepala sembari me