"Rencana? Rencana apa, Mas?" Mataku terasa melebar. "Damar bilang persis seperti yang kemarin Liana sampaikan ke kita. Mereka sudah serius dan mau melangkah ke jenjang pernikahan."Sontak, tubuhku terasa lemas. Bahuku yang semula tegak pun menurun. Damar akan jadi menantuku? Sulit untuk kubayangkan. "Damar juga bilang kalau setelah mereka menikah nanti, mereka tidak akan tinggal di sini."Tanpa bisa kutahan, air mataku meluncur turun, hingga menyebabkan hidungku berair. Melihatku mulai menangis, Rafif lalu merengkuhku ke dalam dadanya. "Aku tahu, kamu berat melepas Liana keluar dari rumah ini. Tapi dia sudah dewasa, Ri. Cepat atau lambat dia akan menemukan pasangan dan tinggal bersama suaminya. Kita sebagai orang tua tidak bisa mencegah, hanya bisa mengarahkan jika ia mengambil jalan yang salah."Kepalaku mengangguk. Kuakui bahwa Rafif memang benar. Berat rasanya melepas Liana pergi dari sini. Apalagi setelah aku kehilangan Rajata. Setelah puas menangis, kutegakkan kepala sembari me
"Apa? Pingsan? Ya Tuhan. Sekarang suami saya di mana, Pak?" "Masih di telaga, Bu.""Ya sudah, saya ke sana sekarang," ucapku seraya mematikan panggilan. Kepalaku mendadak terasa berat. Dadaku pun memamas dan bagai terhimpit benda berat. Aneka pikiran buruk menyergap pikiranku. Kenapa suamiku bisa tiba-tiba pingsan? Tadi sebelum pergi dia kan baik-baik aja."Bu, kenapa?""Kak, Bapak pingsan di pemancingan. Kita ke sana, Kak."Liana mengangguk cepat sembari mengambil kunci mobil yang terletak di dalam laci nakas ruang tamu. Sebelum pergi kusempatkan untuk pamit pada Bik Sumi yang juga merasa cemas. "Semoga Pak Rafif baik-baik aja ya, Bu.""Aamiin. Kami pergi dulu ya, Bik." Bik Sumi mengangguk bersamaan dengan melajunya sedan putih milikku. Kupinta Liana yang menyetir karena aku masih dilanda kepanikan. Peluhku pun sudah menyeruak dari pori-pori kulitku. "Tenang, Bu. Semoga Bapak nggak kenapa-napa.""Aamiin. Ibu masih kepikiran kenapa bapakmu bisa tiba-tiba pingsan.""Bapak belum sarap
Saat menunggu jawaban dari dokter, pikiranku terus tertuju pada Rafif yang masih pingsan. Apa sebenarnya penyebab dia belum sadar-sadar? Aneh. Sebelumnya, Rafif tidak pernah begini.Tak lama kemudian, dokter berkata dengan lembut sambil tersenyum, "Maafkan saya, Bu. Apa sebelumnya Pak Rafif pernah pingsan seperti ini?"Aku langsung menggeleng. "Seingat saya ini adalah kali pertama suami saya pingsan,Dok."Dokter itu mengangguk sebelum mulai bicara lagi. "Saya curiga ada sesuatu di dalam kepalanya. Tapi kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut."Dadaku sontak menyempit mendengar penjelasan dokter. Tanpa sadar air mataku mulai turun satu per satu. "Lakukan saja, dokter. Apa pun yang terbaik untuk suami saya.""Baik. Akan segera kami siapkan prosedurnya."Setelah mendapat persetujuanku, dokter dan dua orang perawat segera membawa Rafif ke ruang ct scan. Hasilnya baru akan keluar satu minggu lagi. Aku kembali tercenung di depan ruang test sambil menatapnya melalui kaca jendela. Mas,
"Damar? Kamu kok ada di sini. Liana mana? Terus Om Sahid?" ucapku mengabaikan seringainya. Ini Damar yang sama seperti yang beberapa menit lalu ketemu aku di sini kan? Aku sampai meragukan penglihatanku. "Ada urusan katanya. Jadi dia pulang duluan."Sontak, aku mengerutkan dahi. Kok Liana pulang nggak bilang aku? Aneh."Yang bener?" ucapku sambil meraih ponsel dalam tas. Namun, Damar yang sudah duduk di sebelahku merebutnya lalu mematikan panggilan yang sudah tersambung. "Lo itu apa-apaan si, Mar! Kembaliin handphone gue.""Duh, galak banget. Tapi nggak pa-pa deh. Kalau lagi marah gini jadi makin cantik."What? Apa telingaku nggak salah denger. Aku yakin orang di hadapanku ini hanya meminjam raga Damar, sedangkan isinya fixed orang lain."Aku masih menengadahkan telapak tangan. "Jangan bercanda, Mar. Cepet kembaliin!"Meski berusaha bersikap biasa tapi jujur saja jantungku sudah melaju cepat. Terlebih Damar yang kian menempel padaku. Aku mencoba menjauh, dia ikut bergeser. Sampai akh
Kami semua memandang Damar, menuntut penjelasan yang akan keluar dari mulut Pak Hakim itu. Tapi sekejap kemudian dia malah tertawa. "Gue nggak pernah ke sana, Fif. Tempatnya aja gue nggak tau. Waktu Liana telepon kalau lo pingsan, dari rumah gue langsung ke sini," ucapnya santai. Liana ikut mengangguk. "Iya bener, Pak. Damar kan tadi mau dateng sama orang tuanya ke rumah, tapi karena batal jadi dia langsung ke sini. Liana tahu karena pas tadi Liana telpon dia, ada suara Ibunya yang kedengeran."Aku mendadak bingung dengan apa yang Rafif katakan. Waktu aku dan Liana ke pemancingan pun, tidak ada Damar di sana. Apa jangan-jangan, ada orang lain yang juga mirip Damar? Aku jadi ingat sosok yang tadi menggodaku di depan ruang ct scan. Dia memang sangat mirip Damar, tapi pakaiannya berbeda. "Tunggu dulu, deh. Tadi di depan ruang ct scan, ibu juga ketemu sama Damar. Waktu kalian semua lagi ada di kafe, seseorang datang dan mengganggu ibu.""Ha? Kapan, Ri?" ucap Damar penasaran. "Gue ke san
Tampak kedua mata Liana sudah mulai berkaca. Pasti dia sedih setelah mengetahui kalau lelaki yang dicintainya lebih sering menyebut namaku. Bukan namanya. Kupeluk bahunya semakin erat dan mendekatkannya ke dadaku."Bu, itu kan dulu. Sekarang calon istriku itu ya Liana, gadis cantik di depan Ibu itu. Mulai detik ini hanya nama Liana yang akan kusebut-sebut," ujar Damar sambil melihat ke arah Liana. Tak lupa senyum hangat ikut meluncur beriring dengan sorot mata penuh cintanya ke Liana. Sontak, aku bernapas lega. Aku bisa melihat ketulusan di mata seniorku itu. Liana pun melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. "Baiklah untuk mempersingkat waktu, saya akan langsung menyatakan maksud kedatangan kami ke rumah ini. Kami bermaksud ingin melamar nak Liana untuk jadi menantu kami. Kami harap maksud baik kami bisa diterima dengan baik oleh Bapak Ibu, dan juga Nak Liana," ucap ayahanda Damar. Jujur, agak aneh saat kami disebut bapak ibu oleh bapak dari Damar tadi, toh usia putranya lebih t
Seketika tubuhku gemetar. Bahkan, tanganku mendadak lemas dan tak mampu menahan berat ponsel. "Bu, Ibu nggak pa-pa? Kok wajahnya pucat gitu?" ucap Liana seraya mengambil ponselku dari atas sofa. "Siapa sih yang nelepon?" Sayangnya, layar ponselku mati hingga Liana tidak bisa melihat nomor yang sedang meneleponku. Sontak, aku memutar tubuh menghadap Liana. "Kak, tadi itu Andra yang nelepon. Dia bilang...." Sebuah tarikan napas kumunculkan di antara kalimatku. "Rajata kangen ibu. Setelahnya panggilan terputus.""Loh, kok gitu. Maksud dia apa?"Aku menggeleng pelan. "Coba kakak telpon dia lagi." Liana mengambil ponsel dari dalam sakunya lalu meletakkan ponselnya di telinga. Beberapa saat kemudian ia bicara dengan seseorang yang sepertinya Andra. "Hallo, Ndra." Liana berucap kesal. "Tadi maksud lo nelpon nyokap gue mau ngapain? Pake nyebut-nyebut nama almarhum Rajata, adek gue?" Putriku itu kemudian menjauhkan ponsel dari telinga dan membesarkan volume telepon selularnya."Kak, Kak Lili
Pov AuthorJakarta, tahun 2000"Ini buat, Kakak," ucap seorang gadis berambut sebahu seraya menyodorkan sebuah amplop berwarna merah jambu. Damar tak langsung merespon. Tanpa bertanya dan membuka isinya pun, ia sudah paham apa isi surat itu. Surat berisi pernyataan cinta gadis itu. Sama seperti puluhan gadis Tunas bangsa lainnya. "Oke, makasi," kata Damar sambil memamerkan senyum khasnya. Senyuman yang membuat seisi sekolah terpesona. Maklum saja, siapa yang tidak tertarik pada sosok pemuda gagah, tampan, pintar dan menjabat sebagai ketua OSIS? Bisa dibilang, jabatan ketua OSIS saja sudah mampu menjadi magnet membuat seisi sekolah. Ditambah dengan kelebihan wajah menawan dan otak encer, semakin sempurnalah Damar di mata para kaum hawa. Sontak, gadis berambut sebahu yang diapit oleh kedua temannya itu histeris."Arrgh, gue disenyumin Kak Damar.""Senyumnya gilaaa, maniis kayak gula."Jerit mereka yang membuat Damar langsung menautkan kedua alisnya. Damar lalu memutar tubuhnya dan men