Rafif memandang tak suka ke arah Damar. Namjlun, tetap saja kami membiarkan pria itu bergabung di meja kami. "Suami kamu, Ri?" ucap Damar yang membuatku tersadar. "I-iya. Mas, kenalin, ini Damar. Dia hakim aku di kasus tadi. Dia juga alumni SMA Tunas Bakti."Damar mengulurkan tangannya ke Rafif, "Damar." Mereka pun saling berjabat erat. "Fif, lo angkatan berapa? Seingat gue di angkatan Riana tidak ada yang namanya Rafif." Kecanggungan kami bertiga akhirnya mencair dengan dimulainya Damar ber elo gue. "Eg, sorry, ya kalau gue manggilnya nggak formal. Lo seangkatan sama Riana, kan? Berarti dua tahun lebih muda dari gue."Sontak, aku memandang heran ke Damar. "Emangnya lo inget semua nama-nama angkatan gue, ya?""Ya nggak semua sih. Cuma nama yang gampang diinget aja. Rafif. Nggak mungkin gue lupa nama itu."Aku mengangguk. Benar juga, sih. Baru aku akan menjawab, Rafif sudah memotong. "Gue murid pindahan. Pas Riana kelas 3 gue baru masuk.""Oh, pantes.""Oh, ya, Mas. Damar ini d
"Damar," gumamku hingga Liana memicing. "Loh, ibu kenal dia?""Bukan cuma kenal. Dulu bahkan ibu ...." Aku cepat menjeda kalimatku saat melihat bola mata Liana yang kian membesar. "Ibu satu sekolah sama dia, Kak." Liana mengangguk. Syukurlah aku bisa mengerem mulutku ini. Kalau sampai Liana tahu bahwa dulu aku menyukai Damar, entah apa reaksinya."Ooh.""Kak, memangnya ada hubungan apa kakak sama Damar?""Yah, kami sudah dua bulan ini pacaran."Sontak, mataku membesar. "Apa? Kalian pacaran? Kak, dia itu seumuran Ibu. Bahkan, dua tahun lebih tua. Artinya dia lebih cocok jadi Bapak kamu dibandingkan pasangan."Liana mendecap hingga membuatku sedikit terkejut. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya kesal begitu. "Bu, apa si artinya perbedaan usia? Yang penting aku sama dia itu saling mengerti. Nyambung kalau ngomong.""Pokoknya Ibu nggak setuju kamu sama Damar. Hentikan hubungan kamu sama dia sekarang!" "Bu, apa sih? Liana udah besar! Nggak perlu diatur-atur kayak anak kecil. Lian
"Kakak?" ucapku terkejut seraya berdiri memandangi Liana. Ia sontak menjauh. Lalu dengan wajah tegang ia kembali menatapku. "Coba Ibu bilang terus terang sama Liana. Apa benar dulu Ibu pernah punya hubungan sama Damar?"Aku menggeleng cepat. "Bukan seperti itu ceritanya. sini duduk dulu. Kamu nggak boleh emosi gitu, dong." Untungnya gadis kecil itu menurut. Meski usianya sudah hampir kepala 3 tapi di mataku tetap saja dia seorang gadis Rafif yang masih belum selesai makan memilih diam. Mungkin ia merasa jika aku pasti bisa menyelesaikan masalahku dengan Liana tanpa campur tangannya. Padahal aku sangat ingin mendengarnya menasihati Liana, tapi ya sudahlah. Liana memilih duduk di hadapanku, di sebelah kanan Rafif. Fuh, tenang Riana. "Dulu, Ibu memang pernah suka sama Damar. Tapi cuma satu arah. Damarnya juga nggak tahu kalau Ibu suka sama dia. Waktu dia kelas 3 ibu baru kelas 1. Dia ketua OSIS, populer, ganteng, anak basket. Siapalah yang nggak suka, kan?" Kulirik Rafif yang memandan
"Apa maksud kamu i can't i can't?" ucapku geram. Tapi anehnya dia malah tertawa mengejek."Ya karena aku suka dia. Dia lucu, pintar, dan dewasa. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi cara berpikirnya mampu mengimbangiku. Jarang pengacara muda yang mampu melayani kengeyelanku dalam berargumen.""Ya iyalah. Anaknya siapa dulu." Tuh, kan aku jadi membanggakan Liana. "Terima kasih pujiannya pada putri saya Yang Mulia. tapi saya tetap tidak setuju kalau kalian berdua pacaran! Kenapa nggak nyari wanita seumuran lo aja sih? Angkatan gue aja kayaknya masih ada tuh yang single. Si Vera, lo kenal kan? Atau Stefani? Mereka berdua nggak kalah cantik dari Liana."Damar tertawa lagi. "Memangnya perasaan bisa diubah semudah itu? Lo tuh ada-ada aja. Kalau bisa udah dari dulu gue ubah perasaan lo biar selalu suka sama gue," ujarnya yang membuatku semakin geram. Napasku mulai tersengal menghadapi alasannya yang tidak pernah habis. Pantas saja dia suka sama Liana. Anakku itu juga pantang mengalah. Aku
"Sayangnya dia nggak bisa bahasa Indonesia."Sontak, mataku membulat. "Ha? Kok bisa, Om?""Ya, karena sejak kecil dia tinggal di Belanda, Ri. Orangtuanya juga dinas di sana. Mungkin aja selama berkomunikasi dan aktivitas sehari-hari, mereka lebih sering pakai Bahasa Belanda."Seketika otakku yang sempat adem kembali memanas. "Ri, kok malah makin uring-uringan gitu, sih? Jadi nggak ni Om kenalin anaknya Om itu sama Liana?"Masih sambil menunduk dan menutup wajah, aku melambaikan tangan kanan. "Percuma, Om. Liana nggak bakal suka. Dia nggak suka cowok bule. Apalagi nggak bisa ngomong Bahasa Inggris." "Ya sudah, kalau begitu kau terpaksa terima saja si Damar jadi menantu.""Tauk, ah, Om. Riana pusing."Setelah pertemuan terakhirku dengan Damar di restoran, Liana semakin sering pulang malam. Jika ditanya ia akan menjawab kalau lembur di kantor. Padahal aku tahu benar dia sudah pulang sejak sore. Damar! Menyebut namanya saja sukses membuat seluruh kulitku gatal-gatal. Bisa-bisanya dia me
"Rencana? Rencana apa, Mas?" Mataku terasa melebar. "Damar bilang persis seperti yang kemarin Liana sampaikan ke kita. Mereka sudah serius dan mau melangkah ke jenjang pernikahan."Sontak, tubuhku terasa lemas. Bahuku yang semula tegak pun menurun. Damar akan jadi menantuku? Sulit untuk kubayangkan. "Damar juga bilang kalau setelah mereka menikah nanti, mereka tidak akan tinggal di sini."Tanpa bisa kutahan, air mataku meluncur turun, hingga menyebabkan hidungku berair. Melihatku mulai menangis, Rafif lalu merengkuhku ke dalam dadanya. "Aku tahu, kamu berat melepas Liana keluar dari rumah ini. Tapi dia sudah dewasa, Ri. Cepat atau lambat dia akan menemukan pasangan dan tinggal bersama suaminya. Kita sebagai orang tua tidak bisa mencegah, hanya bisa mengarahkan jika ia mengambil jalan yang salah."Kepalaku mengangguk. Kuakui bahwa Rafif memang benar. Berat rasanya melepas Liana pergi dari sini. Apalagi setelah aku kehilangan Rajata. Setelah puas menangis, kutegakkan kepala sembari me
"Apa? Pingsan? Ya Tuhan. Sekarang suami saya di mana, Pak?" "Masih di telaga, Bu.""Ya sudah, saya ke sana sekarang," ucapku seraya mematikan panggilan. Kepalaku mendadak terasa berat. Dadaku pun memamas dan bagai terhimpit benda berat. Aneka pikiran buruk menyergap pikiranku. Kenapa suamiku bisa tiba-tiba pingsan? Tadi sebelum pergi dia kan baik-baik aja."Bu, kenapa?""Kak, Bapak pingsan di pemancingan. Kita ke sana, Kak."Liana mengangguk cepat sembari mengambil kunci mobil yang terletak di dalam laci nakas ruang tamu. Sebelum pergi kusempatkan untuk pamit pada Bik Sumi yang juga merasa cemas. "Semoga Pak Rafif baik-baik aja ya, Bu.""Aamiin. Kami pergi dulu ya, Bik." Bik Sumi mengangguk bersamaan dengan melajunya sedan putih milikku. Kupinta Liana yang menyetir karena aku masih dilanda kepanikan. Peluhku pun sudah menyeruak dari pori-pori kulitku. "Tenang, Bu. Semoga Bapak nggak kenapa-napa.""Aamiin. Ibu masih kepikiran kenapa bapakmu bisa tiba-tiba pingsan.""Bapak belum sarap
Saat menunggu jawaban dari dokter, pikiranku terus tertuju pada Rafif yang masih pingsan. Apa sebenarnya penyebab dia belum sadar-sadar? Aneh. Sebelumnya, Rafif tidak pernah begini.Tak lama kemudian, dokter berkata dengan lembut sambil tersenyum, "Maafkan saya, Bu. Apa sebelumnya Pak Rafif pernah pingsan seperti ini?"Aku langsung menggeleng. "Seingat saya ini adalah kali pertama suami saya pingsan,Dok."Dokter itu mengangguk sebelum mulai bicara lagi. "Saya curiga ada sesuatu di dalam kepalanya. Tapi kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut."Dadaku sontak menyempit mendengar penjelasan dokter. Tanpa sadar air mataku mulai turun satu per satu. "Lakukan saja, dokter. Apa pun yang terbaik untuk suami saya.""Baik. Akan segera kami siapkan prosedurnya."Setelah mendapat persetujuanku, dokter dan dua orang perawat segera membawa Rafif ke ruang ct scan. Hasilnya baru akan keluar satu minggu lagi. Aku kembali tercenung di depan ruang test sambil menatapnya melalui kaca jendela. Mas,