"Apa maksud kamu i can't i can't?" ucapku geram. Tapi anehnya dia malah tertawa mengejek."Ya karena aku suka dia. Dia lucu, pintar, dan dewasa. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi cara berpikirnya mampu mengimbangiku. Jarang pengacara muda yang mampu melayani kengeyelanku dalam berargumen.""Ya iyalah. Anaknya siapa dulu." Tuh, kan aku jadi membanggakan Liana. "Terima kasih pujiannya pada putri saya Yang Mulia. tapi saya tetap tidak setuju kalau kalian berdua pacaran! Kenapa nggak nyari wanita seumuran lo aja sih? Angkatan gue aja kayaknya masih ada tuh yang single. Si Vera, lo kenal kan? Atau Stefani? Mereka berdua nggak kalah cantik dari Liana."Damar tertawa lagi. "Memangnya perasaan bisa diubah semudah itu? Lo tuh ada-ada aja. Kalau bisa udah dari dulu gue ubah perasaan lo biar selalu suka sama gue," ujarnya yang membuatku semakin geram. Napasku mulai tersengal menghadapi alasannya yang tidak pernah habis. Pantas saja dia suka sama Liana. Anakku itu juga pantang mengalah. Aku
"Sayangnya dia nggak bisa bahasa Indonesia."Sontak, mataku membulat. "Ha? Kok bisa, Om?""Ya, karena sejak kecil dia tinggal di Belanda, Ri. Orangtuanya juga dinas di sana. Mungkin aja selama berkomunikasi dan aktivitas sehari-hari, mereka lebih sering pakai Bahasa Belanda."Seketika otakku yang sempat adem kembali memanas. "Ri, kok malah makin uring-uringan gitu, sih? Jadi nggak ni Om kenalin anaknya Om itu sama Liana?"Masih sambil menunduk dan menutup wajah, aku melambaikan tangan kanan. "Percuma, Om. Liana nggak bakal suka. Dia nggak suka cowok bule. Apalagi nggak bisa ngomong Bahasa Inggris." "Ya sudah, kalau begitu kau terpaksa terima saja si Damar jadi menantu.""Tauk, ah, Om. Riana pusing."Setelah pertemuan terakhirku dengan Damar di restoran, Liana semakin sering pulang malam. Jika ditanya ia akan menjawab kalau lembur di kantor. Padahal aku tahu benar dia sudah pulang sejak sore. Damar! Menyebut namanya saja sukses membuat seluruh kulitku gatal-gatal. Bisa-bisanya dia me
"Rencana? Rencana apa, Mas?" Mataku terasa melebar. "Damar bilang persis seperti yang kemarin Liana sampaikan ke kita. Mereka sudah serius dan mau melangkah ke jenjang pernikahan."Sontak, tubuhku terasa lemas. Bahuku yang semula tegak pun menurun. Damar akan jadi menantuku? Sulit untuk kubayangkan. "Damar juga bilang kalau setelah mereka menikah nanti, mereka tidak akan tinggal di sini."Tanpa bisa kutahan, air mataku meluncur turun, hingga menyebabkan hidungku berair. Melihatku mulai menangis, Rafif lalu merengkuhku ke dalam dadanya. "Aku tahu, kamu berat melepas Liana keluar dari rumah ini. Tapi dia sudah dewasa, Ri. Cepat atau lambat dia akan menemukan pasangan dan tinggal bersama suaminya. Kita sebagai orang tua tidak bisa mencegah, hanya bisa mengarahkan jika ia mengambil jalan yang salah."Kepalaku mengangguk. Kuakui bahwa Rafif memang benar. Berat rasanya melepas Liana pergi dari sini. Apalagi setelah aku kehilangan Rajata. Setelah puas menangis, kutegakkan kepala sembari me
"Apa? Pingsan? Ya Tuhan. Sekarang suami saya di mana, Pak?" "Masih di telaga, Bu.""Ya sudah, saya ke sana sekarang," ucapku seraya mematikan panggilan. Kepalaku mendadak terasa berat. Dadaku pun memamas dan bagai terhimpit benda berat. Aneka pikiran buruk menyergap pikiranku. Kenapa suamiku bisa tiba-tiba pingsan? Tadi sebelum pergi dia kan baik-baik aja."Bu, kenapa?""Kak, Bapak pingsan di pemancingan. Kita ke sana, Kak."Liana mengangguk cepat sembari mengambil kunci mobil yang terletak di dalam laci nakas ruang tamu. Sebelum pergi kusempatkan untuk pamit pada Bik Sumi yang juga merasa cemas. "Semoga Pak Rafif baik-baik aja ya, Bu.""Aamiin. Kami pergi dulu ya, Bik." Bik Sumi mengangguk bersamaan dengan melajunya sedan putih milikku. Kupinta Liana yang menyetir karena aku masih dilanda kepanikan. Peluhku pun sudah menyeruak dari pori-pori kulitku. "Tenang, Bu. Semoga Bapak nggak kenapa-napa.""Aamiin. Ibu masih kepikiran kenapa bapakmu bisa tiba-tiba pingsan.""Bapak belum sarap
Saat menunggu jawaban dari dokter, pikiranku terus tertuju pada Rafif yang masih pingsan. Apa sebenarnya penyebab dia belum sadar-sadar? Aneh. Sebelumnya, Rafif tidak pernah begini.Tak lama kemudian, dokter berkata dengan lembut sambil tersenyum, "Maafkan saya, Bu. Apa sebelumnya Pak Rafif pernah pingsan seperti ini?"Aku langsung menggeleng. "Seingat saya ini adalah kali pertama suami saya pingsan,Dok."Dokter itu mengangguk sebelum mulai bicara lagi. "Saya curiga ada sesuatu di dalam kepalanya. Tapi kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut."Dadaku sontak menyempit mendengar penjelasan dokter. Tanpa sadar air mataku mulai turun satu per satu. "Lakukan saja, dokter. Apa pun yang terbaik untuk suami saya.""Baik. Akan segera kami siapkan prosedurnya."Setelah mendapat persetujuanku, dokter dan dua orang perawat segera membawa Rafif ke ruang ct scan. Hasilnya baru akan keluar satu minggu lagi. Aku kembali tercenung di depan ruang test sambil menatapnya melalui kaca jendela. Mas,
"Damar? Kamu kok ada di sini. Liana mana? Terus Om Sahid?" ucapku mengabaikan seringainya. Ini Damar yang sama seperti yang beberapa menit lalu ketemu aku di sini kan? Aku sampai meragukan penglihatanku. "Ada urusan katanya. Jadi dia pulang duluan."Sontak, aku mengerutkan dahi. Kok Liana pulang nggak bilang aku? Aneh."Yang bener?" ucapku sambil meraih ponsel dalam tas. Namun, Damar yang sudah duduk di sebelahku merebutnya lalu mematikan panggilan yang sudah tersambung. "Lo itu apa-apaan si, Mar! Kembaliin handphone gue.""Duh, galak banget. Tapi nggak pa-pa deh. Kalau lagi marah gini jadi makin cantik."What? Apa telingaku nggak salah denger. Aku yakin orang di hadapanku ini hanya meminjam raga Damar, sedangkan isinya fixed orang lain."Aku masih menengadahkan telapak tangan. "Jangan bercanda, Mar. Cepet kembaliin!"Meski berusaha bersikap biasa tapi jujur saja jantungku sudah melaju cepat. Terlebih Damar yang kian menempel padaku. Aku mencoba menjauh, dia ikut bergeser. Sampai akh
Kami semua memandang Damar, menuntut penjelasan yang akan keluar dari mulut Pak Hakim itu. Tapi sekejap kemudian dia malah tertawa. "Gue nggak pernah ke sana, Fif. Tempatnya aja gue nggak tau. Waktu Liana telepon kalau lo pingsan, dari rumah gue langsung ke sini," ucapnya santai. Liana ikut mengangguk. "Iya bener, Pak. Damar kan tadi mau dateng sama orang tuanya ke rumah, tapi karena batal jadi dia langsung ke sini. Liana tahu karena pas tadi Liana telpon dia, ada suara Ibunya yang kedengeran."Aku mendadak bingung dengan apa yang Rafif katakan. Waktu aku dan Liana ke pemancingan pun, tidak ada Damar di sana. Apa jangan-jangan, ada orang lain yang juga mirip Damar? Aku jadi ingat sosok yang tadi menggodaku di depan ruang ct scan. Dia memang sangat mirip Damar, tapi pakaiannya berbeda. "Tunggu dulu, deh. Tadi di depan ruang ct scan, ibu juga ketemu sama Damar. Waktu kalian semua lagi ada di kafe, seseorang datang dan mengganggu ibu.""Ha? Kapan, Ri?" ucap Damar penasaran. "Gue ke san
Tampak kedua mata Liana sudah mulai berkaca. Pasti dia sedih setelah mengetahui kalau lelaki yang dicintainya lebih sering menyebut namaku. Bukan namanya. Kupeluk bahunya semakin erat dan mendekatkannya ke dadaku."Bu, itu kan dulu. Sekarang calon istriku itu ya Liana, gadis cantik di depan Ibu itu. Mulai detik ini hanya nama Liana yang akan kusebut-sebut," ujar Damar sambil melihat ke arah Liana. Tak lupa senyum hangat ikut meluncur beriring dengan sorot mata penuh cintanya ke Liana. Sontak, aku bernapas lega. Aku bisa melihat ketulusan di mata seniorku itu. Liana pun melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. "Baiklah untuk mempersingkat waktu, saya akan langsung menyatakan maksud kedatangan kami ke rumah ini. Kami bermaksud ingin melamar nak Liana untuk jadi menantu kami. Kami harap maksud baik kami bisa diterima dengan baik oleh Bapak Ibu, dan juga Nak Liana," ucap ayahanda Damar. Jujur, agak aneh saat kami disebut bapak ibu oleh bapak dari Damar tadi, toh usia putranya lebih t
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal