Terima kasih semua yang sudah mampir. Mohon maaf sekali baru bisa update sekarang.
Mataku sontak membulat. Terlebih dengan cepat Rafif merebut ponsel dari tanganku. “Anak ini lagi?” Nada suaranya langsung meninggi. Dengan sekejap ia pun mematikan panggilan. Benang kuat di wajahnya yang semula sudah terurai mendadak kembali menegang. “Aku mengantuk. Kau juga tidurlah,” ucapnya sambil membetulkan kembali pakaiannya yang sempat terbuka. Lalu ia membelakangiku sambil memeluk erat guling. Kepalaku seketika dipenuhi kebimbangan yang begitu menyiksa. Suara Andra yang terdengar lemas kembali terngiang. Satu sisi aku tidak ingin membuat Rafif marah, tapi jujur perasaan khawatir pun sangat membuat dadaku menyesak. Perlahan kupeluk suamiku dari belakang. “Mas, jangan marah. Dia kan nggak tahu sekarang kita sedang ngapain. Dia sakit, Mas.” Rafif melepas paksa ikatan tanganku di pinggangnya. “Ri, dia bukan anak-anak. Dia sudah 20 tahun. Lagipula, memangnya kau dokter sampai-sampai dia harus meneleponmu?” Ia lalu bangkit dan keluar kamar lalu membanting pintu hingga membuatku
Lekas kutekan nomor Rafif. Tidak aktif. Ya Tuhan, dia ke mana si? Sontak, ragaku melorot ke lantai. Mengetahui kalau suamiku tidak ada di rumah di waktu selarut ini membuat aneka pikiran buruk mendatangi kepalaku. Aku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul satu. Tidak mungkin aku bangunkan Liana atau Bik Sumi untuk bertanya soal Rafif. Sedangkan untuk berbaring dan tidur pun aku tidak bisa. Rasa lelah yang tadi sempat kurasakan musnah sudah. "Mas, tolong aktifkan ponselnya." Sekali lagi kucoba untuk menghubunginya. Namun, nomornya masih dijawab oleh operator. Dadaku semakin sesak dan air mataku sudah menganak sungai. "Mas, maaf, apa kamu marah karena aku pergi ke tempat Andra? Tapi aku kan tadi sudah pamit, Mas," ucapku sambil menyeka wajah dengan punggung tangan. "Lho, Ibu? Ibu kenapa nangis di sini?" Bik Sumi tiba-tiba melongok masuk. Kehadirannya sontak membuatku terkejut dan lega dalam waktu bersamaan. "Bik, Bik Sumi belum tidur?""Ya sudah, Bu. Ini Bibik baru bangun, mau tah
Tangisku kian lama makin pecah. Makin lama oksigen makin sulit masuk ke dalam paru-paruku. "Ri, Riana! Kamu kenapa?" Suara Rafif terdengar tepat di telingaku. Cengkeraman kuat di kedua bahuku sontak membuat kesadaranku kembali. "Sayang, kamu mimpi?""Mas dari mana? Aku kira kamu pergi ninggalin aku," ucapku masih dengan air mata bercucuran. Tangisku pun kulanjutkan di atas dadanya. "Ngomong apa si kamu? Siapa yang mau ninggalin kamu?" Dia tertawa. "Lagian kamu kenapa? Mimpi buruk?"Aku mengangguk berkali-kali seraya memeluk erat tubuhnya. "Maafin aku, Mas. Maaf. Aku nggak nyangka kalau kamu bakal marah banget. Maaf, Mas." Rafif menarik napas dalam. Sontak, perasaanku langsung lega saat ia membalas pelukanku. Meski ia tidak mengatakan apa pun, aku yakin kalau dia sudah memaafkanku. "Ya sudah, sekarang kamu solat dulu." Rafif menyeka kedua sudut mataku dengan ibu jarinya. "Mas udah solat?""Udah, ni baru pulang dari masjid.""Tadi aku habis tahajud rencana pengen nunggu Subuh sa
Di tengah kebingunganku, tiba-tiba panggilan terputus, membuat moodku yang sempat membaik karena Rafif kembali jelek. "Iseng banget. Satu-satunya lelaki yang pernah kugilai ya cuma Mas Daffi. Ge er sekali dia."Meski menolak, toh tetap saja kalimat si penelepon asing tadi terus menggangguku. Sampai-sampai berkas yang harus aku bawa di sidang nanti tidak bisa kutemukan."Biiik! Bik Sumi!"Suara langkah cepat Bik Sumi terdengar mendekat. "Iya, Bu. Ada apa?""Bik, lihat berkas saya di atas meja ini nggak? Berkas dalam map cokelat."Bik Sumi mengerutkan dahi. "Enggak, Bu. Bibik nggak pernah nyentuh berkas-berkas ibu.""Duh, ke mana ya, Bik? Mana mau dipakai sidang lagi. Udah mepet waktunya.""Ya udah, Bibik bantu cari ya, Bu. Kayak apa berkasnya, Bu?""Dalam map cokelat, Bik. Di atasnya ada tulisan PT. Selaksa Abadi."Sekejap kemudian Bik Sumi dengan cepat sudah berkutat dengan aneka berkas di tangannya. Meski usianya sudah menginjak 60 tahun, tetapi penglihatannya masih berfungsi dengan
"Damar?" Mataku membesar bagai seukuran bola basket. Damar, senior masa SMUku yang dulu pernah kugilai setengah mati. Ya, iyalah, cewek mana yang tidak terpesona akan sosok Damartya Ananta. Sang ketua OSIS yang selain ganteng, pinter, ramah, pokoknya sempurna, deh. Tapi, kok, dia bisa tahu kalau dulu aku menggilainya? Seingatku hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang itu. Menurutku aku pun sangat pandai menyimpan perasaanku padanya dalam-dalam. Terlebih kami bersama dalam satu sekolah hanya satu tahun. Karena saat aku kelas 1 dia sudah kelas 3."Lagi ngeluhin apa, sih? Ampe tu mulut monyong-monyong gitu."Sontak, mataku yang tadi sudah kembali normal kembali membesar. Wajahku saat itu pasti sudah sewarna tomat matang. Aku pun menunduk. Duh, kenapa si ni jantung jadi mendadak jumpalitan begini? Pria matang di depanku semakin berumur malah kian menawan. Usianya yang sudah kepala 4 malah membuatnya terlihat muda. "Gue boleh duduk?" Aku hanya bergeser ke sebelah kiri. Ia pun langsung m
Rafif memandang tak suka ke arah Damar. Namjlun, tetap saja kami membiarkan pria itu bergabung di meja kami. "Suami kamu, Ri?" ucap Damar yang membuatku tersadar. "I-iya. Mas, kenalin, ini Damar. Dia hakim aku di kasus tadi. Dia juga alumni SMA Tunas Bakti."Damar mengulurkan tangannya ke Rafif, "Damar." Mereka pun saling berjabat erat. "Fif, lo angkatan berapa? Seingat gue di angkatan Riana tidak ada yang namanya Rafif." Kecanggungan kami bertiga akhirnya mencair dengan dimulainya Damar ber elo gue. "Eg, sorry, ya kalau gue manggilnya nggak formal. Lo seangkatan sama Riana, kan? Berarti dua tahun lebih muda dari gue."Sontak, aku memandang heran ke Damar. "Emangnya lo inget semua nama-nama angkatan gue, ya?""Ya nggak semua sih. Cuma nama yang gampang diinget aja. Rafif. Nggak mungkin gue lupa nama itu."Aku mengangguk. Benar juga, sih. Baru aku akan menjawab, Rafif sudah memotong. "Gue murid pindahan. Pas Riana kelas 3 gue baru masuk.""Oh, pantes.""Oh, ya, Mas. Damar ini d
"Damar," gumamku hingga Liana memicing. "Loh, ibu kenal dia?""Bukan cuma kenal. Dulu bahkan ibu ...." Aku cepat menjeda kalimatku saat melihat bola mata Liana yang kian membesar. "Ibu satu sekolah sama dia, Kak." Liana mengangguk. Syukurlah aku bisa mengerem mulutku ini. Kalau sampai Liana tahu bahwa dulu aku menyukai Damar, entah apa reaksinya."Ooh.""Kak, memangnya ada hubungan apa kakak sama Damar?""Yah, kami sudah dua bulan ini pacaran."Sontak, mataku membesar. "Apa? Kalian pacaran? Kak, dia itu seumuran Ibu. Bahkan, dua tahun lebih tua. Artinya dia lebih cocok jadi Bapak kamu dibandingkan pasangan."Liana mendecap hingga membuatku sedikit terkejut. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya kesal begitu. "Bu, apa si artinya perbedaan usia? Yang penting aku sama dia itu saling mengerti. Nyambung kalau ngomong.""Pokoknya Ibu nggak setuju kamu sama Damar. Hentikan hubungan kamu sama dia sekarang!" "Bu, apa sih? Liana udah besar! Nggak perlu diatur-atur kayak anak kecil. Lian
"Kakak?" ucapku terkejut seraya berdiri memandangi Liana. Ia sontak menjauh. Lalu dengan wajah tegang ia kembali menatapku. "Coba Ibu bilang terus terang sama Liana. Apa benar dulu Ibu pernah punya hubungan sama Damar?"Aku menggeleng cepat. "Bukan seperti itu ceritanya. sini duduk dulu. Kamu nggak boleh emosi gitu, dong." Untungnya gadis kecil itu menurut. Meski usianya sudah hampir kepala 3 tapi di mataku tetap saja dia seorang gadis Rafif yang masih belum selesai makan memilih diam. Mungkin ia merasa jika aku pasti bisa menyelesaikan masalahku dengan Liana tanpa campur tangannya. Padahal aku sangat ingin mendengarnya menasihati Liana, tapi ya sudahlah. Liana memilih duduk di hadapanku, di sebelah kanan Rafif. Fuh, tenang Riana. "Dulu, Ibu memang pernah suka sama Damar. Tapi cuma satu arah. Damarnya juga nggak tahu kalau Ibu suka sama dia. Waktu dia kelas 3 ibu baru kelas 1. Dia ketua OSIS, populer, ganteng, anak basket. Siapalah yang nggak suka, kan?" Kulirik Rafif yang memandan