Kendra! Mau apa dia? Dan dari mana dia tahu kalau aku menikah di sini hari ini? Aku kan tidak mengundangnya. "Maksud anda apa bicara begitu? Cepat jelaskan!" Rafif sudah berdiri seraya mengepalkan tangan. Wajahnya yang tampan terlihat tegang, entah karena akad nikah kami atau karena kehadiran Kendra."Yang jelas, ibu pengacara tidak bisa menikah dengan anda karena dia punya janji denganku."Aku menautkan alis. Janji? Janji apa yang dia maksud?Mendengar kalimat Kendra tadi, Om Sahid dan Rafif kompak menoleh ke arahku. Mereka mengerutkan dahi dengan raut wajah menuntut penjelasan. Tanpa berpikir lagi, aku menjawab dengan menggeleng beberapa kali. "Pak Penghulu kita lanjutkan aja ijab kabulnya." ucap Om Sahid dengan tegas. Rafif kemudian duduk kembali. Calon suamiku itu terlihat menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Namun, baru saja Pak Penghulu akan mulai bicara, Kendra kembali memotong. "Kendra! Hentikan! Keluar kamu!" Rafif sudah tak dapat menahan emosinya. Bahkan, ia s
"Saya terima nikah dan kawinnya Riana Amhad Hisyam dengan mas kawin sepuluh gram emas murni dibayar tunai."Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Rafif sontak membuat dadaku memanas. Tanpa bisa kubendung lagi air mata sudah mengalir deras di kedua pipiku saat sosok Mas Daffi tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah kami. Sembari tersenyum, ia berdiri di sampingku dan mengantarku kepada Rafif. "Mas Daffi," ucapku tanpa sadar. Hari itu ia begitu tampan dengan pakaian putih. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Namun, saat aku hendak memeluknya, aku hanya memeluk udara kosong. Terima kasih, Mas. Riana akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Lamunanku terhempas saat Pak Penghulu mengatakan kalau Rafif akan menyematkan cincin kawin di jariku. Sungguh, aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan perasaanku pagi itu. Bersanding dengan Rafif dengan restu sepenuhnya dari Mas Daffi dan kedua anakku membuatku bagaikan wanita yang paling bahagia di muka bumi. Pak Penghulu kemudian menu
Tanpa menunggu lama, aku, Rafif dan Bik Sumi lekas menuju tempat parkir. Setelah Rafif duduk di balik kemudi, aku segera mencari informasi mengenai letak warung es krim terdekat di mesin pencari. "Fif, di depan putar balik, terus balik kanan. Lurus terus sekitar 600 meter. Nanti di sebelah kanan jalan ada gerai es krim Ragusa. Semoga anak-anak ada di sana," ucapku pada Rafif dengan penuh harap. Kumohon Ya Tuhan. Setelah Rafif menanggapi, aku kembali mencoba menelepon Liana. Syukurlah kali ini tersambung. Bahkan, tanpa sadar kedua mataku sudah berair. "Fif, sebentar, tolong berhenti dulu di depan." "Kenapa, Ri?""Ponsel Liana nyambung, ni."Rafif lekas memutar setir ke kiri lalu menepi di bawah salah satu pohon trembesi. "Ayo dong, Liana angkat teleponnya!" Aku gemas bercampur panik. Karena sudah tiga kali nada dering, tapi Liana tak kunjung mengangkat ponselnya. "Hallo."Sontak, ikatan kuat di dadaku putus serentak. Aliran udara di tenggorokanku pun kembali lancar."Kak, kakak d
"Tuh kan bener, Ri firasatku tadi. Dasar penipu! Untung aja nggak ada yang percaya sama lo!"Kendra mengibaskan tangannya di depan Rafif, mungkin maksudnya menyuruh agar Rafif diam."Udah, Fif, biar dia cerita dulu sampe selesai.""Bisa gue terusin?" "Silakan," ucapku sambil menggenggam erat tangan Rafif. "Tempo hari waktu baru balik dari makamnya Friska, ban mobil saya kempes, akhirnya mampirlah ke bengkel. Setelah diperiksa ternyata kerusakannya lumayan, kayaknya habis kena ranjau. Ya udah sekalian ditambal. Nggak lama setelahnya, dateng mobil sedan putih. Di dalemnya ada tiga orang cowok, mereka ngedeketin orang di bengkel itu yang dipanggil, Bos." "Terus apa hubungannya sama pertanyaan bini gue tadi? Lama lo! Muter-muter!""Sayang, bisa diam sebentar nggak?" ucapku sekali lagi pada Rafif yang sudah tidak sabar. Untung saja dia mau menurut, apalagi saat tadi aku panggil sayang. Wajahnya langsung memerah. Lucu sekali. "Silakan dilanjutkan, Pak Kendra."Kendra mendesah. Jelas terl
Pagi itu saat aku baru tiba di kantor, di atas meja kerjaku ada sebuah amplop cokelat bertuliskan namaku di atasnya. Berbeda dengan surat yang biasa aku terima. Di atasnya hanya tercantum ‘Kepada Ibu Pengacara’, bukan kepada firma hukum Sahid Anwar, S.H. Jelas Kendra yang mengirim. Tanpa menunggu lama, lekas kubuka surat itu. “What? Apa-apaan si Kendra!” Di dalamnya ada passport Rajata beserta foto kopi tiket pesawat ke Amerika. Tanggalnya tinggal dua minggu lagi. Seketika itu pula kakiku lemas tak bertenaga. Konsentrasiku untuk bekerja langsung buyar dan moodku memburuk. “Ri, kau kenapa?” ucap Om sahid yang baru saja datang. Ia kemudian memangkas jarak denganku lalu mengambil passport milik Rajata yang masih berada di tanganku. “Kendra yang mengirim ini?” Aku mengangguk lesu. Air mata yang berusaha keras kutahan agar tidak keluar akhirnya jatuh juga. Di depan Om Sahid aku menangis seperti anak kecil. Sambil menutup wajahku dengan kedua tangan, masih bisa kudengar desahan kasar dar
Setibanya di rumah, sikapku pada Rafif masih cuek. Meski dia berusaha mendekat, tapi aku terus menghindar. Hingga pada saat jam dinding berdentang sepuluh kali dan aku baru keluar dari kamar mandi, ia menyergapku dan mengangkat tubuhku ke dadanya. "Rafif, apa-apaan, sih? Lepas!" Dia hanya memandangku lekat sambil tersenyum. Pelan-pelan ia meletakkanku di ranjang sambil menciumi wajahku. "Ini hukuman karena udah nyuekin suami," ucapnya dengan deru napas yang menderu. Sapuan udara dingin membelai wajah dan tubuh kami yang sudah tak berjarak. Lambat laun aku pun terbuai pada irama cinta yang sudah ia mainkan. Diiringi suara dedaunan yang tertiup angin, kami terus bersenandung hingga tengah malam. ***Hari kepergian Rajata pun tiba. Semalam anak kecil itu akhirnya mengetahui kenyataan yang sebenarnya kalau Friska adalah ibunya dan Kendra merupakan ayah kandungnya. Awalnya ia bingung dan tidak mengerti. Namun, setelah kujelaskan pelan-pelan, ia paham dan bisa menerima semuanya. Bahkan,
Pov AuthorSepuluh tahun kemudianLiana baru meninggalkan meja kerjanya saat telepon di mejanya berdering. Gadis itu mengerutkan dahi seraya mendecap. "Siapa, si? Baru juga mau pulang," ucapnya seraya kembali duduk. Sambil memasang raut wajah kesal ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Hallo, selamat sore, dengan pengacara Liana. Ada yang bisa dibantu?"Meski kesal, tapi ia tetap bersuara ramah. Maklum saja, jika ia ketus sudah pasti jasanya sebagai pengacara akan tidak terpakai. Bisa dimarahi oleh Ibu dan Opungnya dia nanti. "Kak, udah mau pulang belum?" ucap Riana di ujung telepon. "Oh, Ibu. Kirain siapa? Kok, nggak ke hp kakak aja, Bu?""Udah, Sayang. Udah ratusan kali," kata Riana sambil melebih-lebihkan. "Coba itu kenapa hp kamu susah banget dihubungin?"Liana menjauhkan gagang telepon lalu merogoh ke dalam tas tangan bucherrynya. Setelahnya ia kembali bicara pada Riana. "Ya Ampun, pantesan aja wong hapenya mati, Bu.""Tuh, kan. Kakak mah kebiasaan. Suka banget lupa ng
"Heh, cepetan keluar malah bengong! Jangan sampe gue panggilin orang-orang buat ngeroyok lu ya!""Rajata?" ucap Liana masih sambil membelalakkan mata. Meski pria di depannya masih mengomel, Liana malah memandangi wajah pemuda itu dengan lekat. Liana lalu keluar dari mobil lalu memeluk pemuda itu. "Rajata? Alhamdulillah kamu masih hidup, Dek." Liana mengendurkan pelukan lalu menangkup wajah pemuda yang dikiranya Rajata itu. "Apaan, sih, meluk-meluk? Lo mau lepas tanggung jawab? Sorry, gue nggak bakal ketipu. Lo tu bukan tipe gue. Lagian siapa itu Rajata? Nama gue Andra! Rajata! Rajata! Sekarang cepetan tanggung jawab! Lihat tuh, motor gue! Gue juga luka-luka!"Liana mengernyitkan dahi. Setelahnya ia menarik napas dalam lalu membuangnya. "Apa aku salah mengenali orang? Apa memang benar dia bukan Rajata? Kenapa mukanya mirip banget sama Rajata? Ah, Liana kamu jangan ngelindur! Rajata kan sudah meninggal! Anak itu pasti cuma berandal yang suka kebut-kebutan di jalan. Nggak mungkin Rajat