Ya Allah gimana nasib Rajata selanjutnya, ya?"
Berkali-kali kucoba lagi menekan nomor Kendra, tapi hasilnya tetap sama. Tidak tersambung. Ke mana orang itu? Setelah beberapa hari kemarin selalu menggangguku, kenapa sekarang malah menghilang. Arrgh! Tenang, Riana. Tenang. Melupakan Kendra sejenak, lekas kuhubungi nomor Om Sahid dan Rafif. Menanyakan apakah golongan darah mereka B negatif. Kepalaku kembali berputar saat mereka mengatakan tidak satu pun di antara keduanya yang memiliki golongan darah yang sama seperti Rajata. Kucoba lagi untuk menghubungi Kendra,tapi hasilnya masih sama. Jika biasanya memandang tanaman yang hijau membuatku merasa nyaman. Saat itu tidak lagi. Bahkan, suara air mancur yang bergemericik saat bersentuhan satu sama lain membuatku terganggu. Taman yang berada persis di sisi kanan ruang UGD tak lagi membuatku menikmati keindahannya. Pikiranku hanya berisi bagaimana cara mendapatkan dua kantung darah lagi untuk Rajata. Tak lama kemudian Rafif muncul. Lelaki itu duduk di sebelahku seraya menenteng dua ge
Waktu yang diberikan oleh dokter Marco hanya tersisa lima belas menit. Aku bersiap untuk kemungkinan yang paling buruk. Bahkan, bayangan Friska mendatangiku pun tergambar jelas di kepalaku. Ia memakiku karena tidak bisa menjaga anaknya dengan baik.Maafin gue, Fris. Kupanjangkan sujud sambil memohon keajaiban. Meski Rajata bukan anak yang kulahirkan dari rahimku, tetap saja aku tidak bisa membayangkan jika ia diambil dariku secepat ini. Tidak akan ada lagi senyum dan tingkah usilnya yang akan membuat hidupku berwarna sepeninggal bayi lelakiku yang wafat sepuluh tahun lalu. Namun, kalau Tuhan berkehendak demikian, aku bisa apa?Ponselku bergetar. Telepon dari Liana. "Assalamualaikum, Kak. Adek kenapa, Kak? Adek nggak pa-pa, kan?""Bu, orang yang bawa Rajata ke rumah sakit ada di sini. Katanya dia mau ketemu ibu," ujar Liana setelah menjawab salam. "Ya udah, Kak. Ibu ke sana."Sambil menuju tempat Rajata berbaring, kusempatkan untuk menghubungi Rafif. Sayangnya dia masih belum puny
"Enak saja! Sampai kapan pun Rajata tidak akan pernah kuserahkan padamu!"Kendra melipat tangan lalu memicing. "Ibu pengacara, harusnya anda lebih mengerti hukum daripada saya, kan? Tapi anda malah bersikap seperti ini, Anda juga berbohong." Nada suaranya terdengar merendahkanku. Aku diam tak bisa menjawab. Saat ini posisiku lemah. Tidak, kami berdua berada di posisi yang sama, tidak berhak atas Rajata secara hukum. Ah, andai saja aku sudah mengadopsi Rajata secara resmi. Bodohnya aku karena berpikir bahwa sosok Kendra sudah hilang ditelan bumi dan tidak akan muncul lagi!"Biar bagaimanapun saya akan tetap membawa Rajata.""Tuan Kendra, saya sudah menganggap Rajata seperti anak saya. Lagipula, anda kan hanya ayah biologisnya. Secara hukum, anda tidak berhak karena anda dan Friska tidak pernah menikah.""Itu hal yang mudah, aku bisa membuat Friska menikah denganku. Bukankah hanya perlu bukti selembar surat? Lagipula Friska sudah tidak ada di dunia ini. Dia tidak akan bisa protes seanda
"Dasar gila!" Aku bergegas pergi sambil menyentakkan kaki. Apa-apaan, sih, dia? Aku sedang bingung begini, dia malah bercanda. Nggak lucu! "Hei, ibu pengacara! Tunggu! Saya serius!" Teriakan Kendra tidak kutanggapi. Sambil setengah berlari aku bergegas kembali ke kamar Rajata. Untung saja dia tidak mengejar. "Ri, lo dari mana? Terus kenapa pucat gitu?" ujar Rafif yang sudah menunggu di depan kamar Rajata. Ia duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Aku senang sekali melihatnya. Sontak, kegundahan di hatiku bertukar dengan kenyamanan. "Eh, Fif. Udah lama? Sorry, tadi gue abis dari taman. Nggak pa-pa, biasalah, paling kepanasan," ucapku sambil menyeka dahi dengan telunjuk. "Nih, minum dulu.""Makasi, Fif." Aku duduk di sebelah Rafif sambil meminum isi botol air mineral yang ia berikan. "Terus lo kenapa nggak masuk? Malah sendirian di sini.""Nggaklah, Ri. Gue di sini aja. Nggak enak gue gangguin mereka. Kelihatannya lagi asyik." Ekor mata Rafif bergerak ke kiri, ke arah kamar
Aku menjejakkan kaki lebih kuat di posisiku, seraya berpikir sejenak langkah apa yang harus kuambil. Mereka pasti preman yang berasal dari wilayah dekat pemakaman ini. Kutarik napas panjang sebelum melangkah menuju mobilku. Semoga saja mereka hanya menginginkan uang. Kalau seratus dua ratus, rasanya bisa kuberikan. "Permisi." Dengan gerakan cepat kubuka pintu mobil dengan kunci di tanganku, kemudian bergegas masuk ke dalamnya. Namun, seseorang dari mereka menghalangiku. Tangannya yang penuh tato menahan pintu yang hendak kututup. "Kalian itu mau apa, sih?" Aku terpaksa keluar sambil menyerahkan tiga lembar uang berwarna merah. "Nih, ambil. Sekarang lepasin pintu mobil saya!""Santai, kami cuma mau kenalan," ucap pria yang berdiri di depan mobil. Ia berjalan mendekat sambil mengepulkan asap rokok tepat ke arahku. Sialan! Sontak, asap rokok yang menerobos masuk membuatku terbatuk. Dadaku pun mulai sesak. Sekejap kemudian pria bertato itu memaksaku masuk ke kursi belakang. Sedangkan d
"O-Om Sahid?" Wajahku yang menegang sontak meregang. Bahuku melorot seakan tak disangga belikat. Sambil mengucap syukur, kristal bening meluncur deras dari kedua mataku. "Loh, Ri. Kau sedang apa di situ? Kenapa bajumu robek-robek begitu?" ucapnya setelah keluar dari mobil. "Pak Sahid kenal ibu ini?" tanya penjaga warung yang langsung berdiri menyambut Om Sahid. Ia lalu mengambil gelas dan menyeduh kopi hitam favorit Om Sahid. "Iya, Gas. Dia itu anak angkatku. Pengacara juga.""Ri, ini Bagas. Kalau lagi sidang di PN JakSel, Om sering mampir ke sini. Kopinya juara, nggak kalah sama buatanmu." Om Sahid menjawab pertanyaan dalam kepalaku. "Om kenal dia waktu dia datang ke kantor dan minta Om jadi penasihat hukumnya, soal sengketa tanah warung ini.""Oh, jadi ibu pengacara juga?"ujar Bagas seraya memberikan segelas kopi yang sudah dialasi piring kecil kepada Om Sahid. "Iya, Pak Bagas.""Waduh maaf, saya nggak tahu. Kalau tahu saya pasti akan langsung menghubungi Pak Sahid. Pak Sahid in
Om Sahid menatapku dengan mata tuanya. "Om kok nanyanya gitu, sih? Ya jelas Riana nolaklah, Om. Lagian Rafif mau dikemanain. Dia kan udah ngelamar duluan."Beberapa menit kemudian mobil sedan Om Sahid memasuki pelataran rumah sakit. "Baguslah. Om hanya khawatir kau akan mengecewakan si Rafif lagi karena lebih memilih mempertahankan Rajata dengan cara apa pun. Satu lagi, kau dulu juga menyetujui untuk menikah dengan Daffi sebab merasa berhutang budi, kan, sama Om? Akibatnya, kau harus menderita selama tujuh tahun lebih karena perlakuan Daffi." Kalimat Om Sahid barusan sontak membuatku tercenung. Dia memang benar. Aku tentu akan melakukan semuanya agar Rajata bisa tetap di sisiku dan untuk membayar hutang budiku. Tapi kalau harus menikah dengan orang asing seperti Kendra, rasa-rasanya aku tidak sebodoh itu. Aku juga tidak mau mengulang masa laluku yang tidak menyenangkan dengan Mas Daffi karena harus menikah dengan seseorang yang tidak benar-benar mencintaiku. "Pernikahan itu kan buka
Liana memindai seluruh tubuhku dengan mata kucingnya. Terlihat jelas bahwa putriku satu-satunya itu meragukan semua yang kukatakan tadi. Sepertinya ia mewarisi sifatku sebagai pengacara yang selalu curiga pada seseorang dan sifat keras Mas Daffi yang tidak mau mengalah. “Mobil ibu kan minggu lalu baru diservis? Kenapa tiba-tiba diservis lagi?” Liana melipat tangannya seraya mengitariku bagaikan ibunya ini adalah seorang penjahat. Refleks, aku menyesali keputusanku karena sudah memberinya alasan yang bodoh macam tadi. Sudah pasti Liana ingat kapan terakhir kali mobilku diservis. “Um, mobilnya cuma mau nginep aja di bengkel.” Aku menyeringai sambil menaikkan satu alisku ke arah Bik Sumi. Namun, Bik Sumi malah mengedikkan bahu lalu memilih pergi. “Bu, Ibu itu nggak pandai bohong. Mendingan sekarang ibu bilang aja kenapa ibu baru pulang dan ….” Tiba-tiba ia melihat lenganku yang kututupi dengan telapak tangan. “Ya Tuhan, Bu, ini kenapa? Kenapa luka-luka begini?” Ibu nggak pa-pa, kan?”