"Menyatakan terdakwa Friska Ayudia Indira telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan bersalah melakukan tindak pidana pengedaran obat-obatan terlarang yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer oleh penuntut umum. Menyatakan terdakwa Friska Ayudia Indira telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan bersalah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan kepada Asmoro Wisaksana dan mendalangi penculikan terhadap Riana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tambahan oleh penuntut umum. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Friska Ayudia Indira dengan pidana mati."Seketika ruang sidang dipenuhi suara seperti dengung lebah. Kusempatkan juga melirik ke arah Friska. Ia yang semula duduk tegak di kursinya, seakan lunglai dan bersandar. Begitu pula dengan Om Indra yang langsung tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan sampai saat eksekusi dan membebankan biaya perkara sebesar dua ratus lima puluh ribu rupi
"Kau memikirkan apa sampai-sampai Om bicara barusan kau tak dengar?"Aku hanya tersenyum. "Si Rafif, besok dia dibebaskan," jawab Om Sahid lalu menghisap dalam cerutu di tangan. "Ga kerasa ya, Om, sudah sepuluh tahun berlalu. Perasaan hakim baru saja menjatuhkan vonis pada mereka kemarin. Riana masih ingat betapa shocknya wajah Friska saat menerima vonis mati dari hakim.""Kau masih menyalahkan dirimu atas vonis mati Friska?"Kutarik pelan kedua sudut bibir. "Kau, kan, sudah berusaha maksimal, Ri. Bahkan sudah sampai tahap kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, pengadilan tetap memvonis mati.""Iya, si, Om. Bahkan presiden juga menolak grasi yang kita ajukan. Riana cuma merasa tidak enak pada Rajata. Apa yang harus Riana sampaikan padanya saat nanti ia tahu kalau Riana gagal menyelamatkan ibunya dari hukuman mati.""Ri, Kau itu bukan malaikat. Kau tidak punya kewajiban untuk berhasil menyelamatkan semua orang yang ingin kau bantu seperti dulu kau menyelamatkan Daffi saat dia hampir saja d
Aku terduduk, menghadap langsung ke arahnya. "Ri, Mas ikhlash jika kamu ingin mencari pengganti Mas. Pilihlah seseorang yang akan selalu membuatmu bahagia.""Gak, Mas, sampai kapanpun, Riana ga akan pernah bisa melupakan, Mas." Kugelengkan kepala kuat-kuat. "Mas percaya. Mas hanya ingin melihatmu bahagia. Sudah saatnya kau memikirkan kebahagiaan diri sendiri, Ri. Mas akan sangat merasa bersalah jika sepeninggal, Mas, kamu justru lebih menderita.""Riana, gak, papa, Mas. Riana bahagia bersama anak-anak, sudah ga perlu yang lain.""Dasar keras kepala." Mas Daffi menjawil pelan hidungku, lalu membisikkan sesuatu di telinga. "Mas Mohon, lakukan demi, Mas. Karena hanya itu yang bisa membuat Mas tenang, jika Mas bisa melihatmu berbahagia dengan orang lain."Ia mengecup pelan keningku lalu beranjak dan meninggalkanku begitu saja. Bahkan panggilanku pun tak dihiraukannya. "Mas, Mas Daffiiii! Jangan pergi, Mas!" Dengan sekuat tenaga kukejar ia yang terus menjauh, tapi ia sudah menghilang en
Wajah Rafif yang semula cerah terlihat muram. Kepalanya pelan-pelan menunduk. "Tapi, Ri, apa lo nggak malu kalau punya suami bekas narapidana kayak gue? Apalagi lo itu pengacara. Dan Liana? Apa dia mau kalau jadi anak tiri seorang mantan penjahat?" tanya Rafif dengan suara sangat pelan. Meski begitu masih bisa terdengar olehku. "Daffi di atas sana juga pasti nggak akan setuju kalau gue jadi suami lo."Aku menyandarkan kepala di dinding sambil melipat tangan. Meja tempatku dan Rafif duduk memang berada di sudut. Sengaja aku memilih di sana karena dari tempatku duduk bisa lebih leluasa melihat ke arah pintu masuk dan juga taman yang ada di luar jendela. Pembicaraan kami terpaksa berhenti dengan tampilnya salah seorang pengunjung yang bernyanyi sambil memainkan gitar. Di kafe ini memang sengaja disediakan tempat khusus di sudut kiri ruanganbagian depan untuk penampilan live music. Beberapa menit lamanya aku dan Rafif terbuai dalam lagu dan permainan gitarnya yang merdu. "Tadi itu lo a
"Syarat apa, Nak?" tanyaku dengan hati yang sedikit dilanda rasa khawatir. "Ibu boleh menikah lagi dengan siapa pun itu, yang penting orangnya baik dan sayang sama Ibu. Asalkan orang itu bukan Om Rafif Liana pasti akan setuju."Mataku membulat, ternyata yang aku khawatirkan benar terjadi. Sambil mendengkus kasar, aku mencoba tersenyum. "Memangnya kalau Om Rafif kenapa, Sayang?"Gadis muda itu menatapku lekat. "Bu, jangan-jangan orang baik yang Ibu bilang tadi itu ... Om Rafif?" Aku menarik ketat bibir sambil mengangguk pelan. "Tapi Bu, apa nggak ada orang lain? Om Rafif itu kan mantan narapidana. Liana yakin, Papa dan Rajata juga pasti nggak bakal suka kalau dia yang jadi penggantinya.""Sayang, bukan begitu ....""Pokoknya Liana tetap nggak setuju."Aku masih mencoba tersenyum. "Ya sudah kalau pendapat Liana memang seperti itu. Sana dilanjut lagi baca bukunya. Ibu keluar dulu, ya."Liana hanya mengangguk sambil membuka buku bersampul biru yang ada di atas mejanya. ***"Ri, kasus
"Ra-Rafif? Kok lo udah ada di sini? Katanya kemarin mau pulang kampung dulu?"Lelaki yang masih berdiri di depan pintu masuk itu mengerutkan dahi. Eh, sebentar. Kalau dilihat sekilas, wajahnya memang sangat mirip Rafif, tapi jika dipandang lebih seksama, mereka berbeda. Wajah Rafif lebih lonjong sedangkan pria di depanku ini berwajah bulat. Pantas saja tadi reaksinya aneh saat kusebut nama Rafif. Tapi, siapa lelaki itu?"Rafif? Siapa yang anda maksud?" tanya lelaki yang wajahnya dipenuhi brewok itu. Aku dan Om Sahid saling pandang. Jelas terlihat jika Om Sahid pun sama bingungnya denganku. "Maaf, Anda cari siapa, ya? Ada perlu apa?" tanya Om Sahid. "Saya mau ketemu Riana."Dia mencariku? Tapi mau apa? Kenal aja enggak. "Oh, ya, apa saya boleh masuk?""Oh, silakan. Ri, tolong kau bilang ke office boy, suruh mereka buatkan minum untuk tamu kita.""Baik, Om." Dengan cepat aku segera menghubungi bagian pantry untuk memesan minum untuk tamu kami yang kami belum tahu siapa namanya."Kena
Mataku membola saat mendengar Kendra menyebut-nyebut soal Friska dan anaknya. itu berarti Rajata, kan? Apa jangan-jangan dia adalah ayah kandung Rajata? Wajah Rajata memang sedikit mirip dengan Rafif, dan artinya anak itu mirip dengan Kendra. Semoga saja pikiranku salah. "Sebelumnya boleh saya tahu apa hubungan anda dengan Friska?" tanyaku pada Kendra. Kendra menyilangkan kaki, meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Ia kemudian juga bersedekap. "Yah, bisa dibilang dulu kami cukup dekat.""Dan anak yang anda bilang anak Friska itu ...?""Iya, dia anakku. Kami memang tidak menikah, hanya dekat."Sialan. Kurang ajar sekali dia berbicara hal tabu seperti itu tanpa merasa berdosa sama sekali. "Sedekat apa hingga Friska sampai mengandung anakmu?""Yah, kau tahulah, namanya juga anak muda."Brengsek! "Kalau begitu, harusnya anda tahu kalau Friska sudah meninggal," ujar Om Sahid yang dari tadi hanya mendengarkan. Kendra seketika menegakkan tubuh. "Apa? Kapan? Kenapa?""Sudah cukup la
Selamat membaca. ***Kepalaku mendongak saat lelaki berwajah mirip Rafif itu mendekati meja kami. Begitu pun dengan Rafif yang merasa sedikit terkejut. "Hai, Ibu Pengacara, kita ketemu lagi," sapa Kendra yang sore itu berpenampilan lebih rapi daripada pertemuan pertama kami. Kali ini ia mengikat rambutnya yang panjang dan tak membiarkan rambut-rambut halus menghuni wajahnya. Kuakui dengan wajahnya yang seperti itu, ia terlihat lebih manusiawi. "Boleh saya bergabung dengan kalian?Aku masih terdiam dan mengamati penampilan Kendra, hingga dia mengulang pertanyaaanya tadi. Telapak tangannya ikut dilambaikan tepat di depan wajahku. Sebelum menjawab, aku melihat ke arah Rafif yang tampak tak suka dengan kehadiran Kendra. Jelas saja, kami kan sedang membicarakan hal pribadi. Akan sangat canggung rasanya jika tiba-tiba Kendra ikut duduk bersama kami. "Maaf, tapi saya sedang membicarakan hal yang penting dengan teman saya.""Owh, Oke. No problem, " jawab Kendra tampak kecewa. "Oh, iya, P