Kanaya sedang menidurkan Baby K ke atas ranjang bayi saat Bastian datang dan merangkulnya dari belakang. Ia terkekeh pelan saat bibir lembut dan hangat pria itu mendarat di tengkuk dan lehernya. Bastian tidak melepaskan pelukannya bahkan saat Kanaya lanjut menyelimuti Baby K, memastikan putra mereka tidur dengan nyaman. Tubuh Kanaya meremang saat Bastian kembali mendaratkan kecupan dibelakang telinganya. Ia bisa merasakan tidak hanya hembusan nafas hangat Bastian, namun juga saat hidung Bastian menghisap permukaan kulitnya dengan lembut, mengalirkan beribu satu rasa melalui ujung syaraf yang disentuh Bastian di permukaan indera perabanya. Beberapa malam terakhir sangat berat ia rasakan. Gairah yang timbul setiap kali mereka sedang bersama, rasanya sulit sekali untuk dibendung. Bastian kerap mandi di tengah malam untuk meredakan gairah yang ia rasakan. Dan bukan hanya Bastian, Kanaya pun merasakan tubuhnya menginginkan hal yang sama padahal ia masih harus berpuasa. Namun, tidak
Tenggorokan Bastian tercekat. Apa yang tadi Kanaya katakan? Bastian merasa telinganya salah mendengar. “Naya… apa kamu tadi mengatakan…” Kanaya mengangguk, dan sebelum Bastian menyadarinya, Kanaya telah beranjak dari duduknya. Ia berjalan mundur sambil memberi isyarat agar Bastian mengikutinya. Ekspresi wajah Bastian berubah tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang Kanaya coba katakan padanya, tetapi sangat berharap ajakan Kanaya itu nyata. “Kamu—sudah bersih? Serius?” Bastian bertanya dengan gugup untuk memastikan kembali. Kanaya kembali menjawabnya dengan senyuman dan terus melangkah mundur ke arah kamar mandi. Menyadari arti jawaban Kanaya, Bastian langsung beranjak dari duduknya dan berteriak, “YES!!” Kanaya tertawa melihat reaksi Bastian dan terus berjalan masuk ke dalam kamar mandi sambil memberi isyarat dengan jarinya. Bastian segera mengikuti Kanaya masuk ke dalam kamar mandi. Dan saat ia masuk ke dalam kamar mandi, Kanaya sed
“Aoo… oooaa aaa…” “Ooo…ooohh…a..oo…” Kanaya dan Clara tertawa melihat kedua anak mereka saling berceloteh. Clara dan Alea, anaknya yang berusia 3 bulan datang menengok Kanaya dan Kenzo di Sunset Summit. Dan kedua anak mereka berbaring berdampingan di atas ranjang, tampak berceloteh bersahutan seperti tengah mengobrol. Alea yang sudah bisa memiringkan tubuhnya, tampak memegangi baju onesie yang dipakai Kenzo, menariknya. Sementara Kenzo yang hanya bisa berbaring terlentang hanya bisa pasrah bajunya ditarik oleh Alea. “Bayangkan setahun lagi kalau mereka sudah bisa berlari, Kanaya….” ucap Clara diantara tawanya melihat kelakuan dua bayi imut di hadapan mereka. Kanaya tertawa membayangkannya. Mungkin jika saat itu tiba, Kenzo-lah yang akan menarik-narik baju Alea, menjahili baju gadis kecil itu. “Setahun tidak lama, Clara. Dan mungkin setahun lagi kita akan merindukan saat mereka seperti ini,” timpal Kanaya sambil menatap kedua bayi mungil di hadapan mereka. “Benar. Rasanya ba
“Kamu tahu kenapa Reno bisa seperti itu? Maksudku kenapa dia dan Bastian seperti—bermusuhan?” “Yang aku dengar… Reno seperti itu sejak ibunya meninggal dunia.” “Apa yang terjadi?” tanya Kanaya dengan penasaran. Ia serius menunggu penjelasan Clara. “Kenapa kamu tidak tanya Bastian saja?” Clara kembali ragu untuk bercerita. Ia takut salah mengatakan sesuatu. Kanaya menghela nafas. “Aku pernah menanyakannya, tapi saat itu Bastian sedang tidak mau membicarakan Reno,” jawab Kanaya. Rupanya Bastian masih saja cemburu dan kesal pada Reno perihal masalah “tunangan” waktu itu. “Tapi aku penasaran. Kenapa Reno sangat membenci Bastian? Memangnya apa yang Bastian lakukan padanya?” tanya Kanaya merasa heran, berharap Clara mau memberitahukannya. “Aku juga tidak tahu kejadian yang sebenarnya saat itu. Tapi yang aku dengar, Reno menyalahkan tidak hanya Bastian, tetapi juga seluruh keluarga Dwipangga atas kematian mamanya,” tutur Clara. “Serius? Karena apa? Bukankah Gema Dwipangga meninggal
“Bu Elsie, apa ibu mau melepas saham ini? Orang itu mengatakan hanya bisa menunggu keputusan sampai 1 jam lagi.” Pialang saham Elsie di bursa efek menghubunginya. Beberapa saat yang lalu dia memberitahu Elsie jika ada seseorang yang hendak membeli saham miliknya dan Agni yang berjumlah 51 persen di Ocean Express. “Menurutmu apakah harganya bisa kembali naik?” tanya Elsie dengan bimbang. Elsie belum memutuskannya. Pasalnya perusahaan itu adalah satu-satunya perusahaan peninggalan Papanya. Jika ia menjual sahamnya, maka perusahaan itu akan terlepas darinya dan Agni. “Saya tidak bisa memprediksi hal itu. Sebab, harga saham saat ini sudah jatuh cukup jauh dari satu minggu yang lalu. Apalagi semenjak investigator kepolisian memeriksa operasional Ocean Express, harga sahamnya terus menurun,” jawab pialang saham itu. “Bagaimana kalau saya hanya menjual sebagian?” “Maaf Bu Elsie. Orang itu menginginkan 51% saham, atau tidak sama sekali. Dan saat ini, Ibu Agni sudah menyetujui menjual 11
Elsie melirik ke arah teman-temannya. Ia sangat tidak nyaman dengan kehadiran Jono di sana. Apa kata orang-orang jika melihatnya berbicara dengan pria urakan, berperawakan tinggi besar khas preman? Namun sayangnya beberapa orang temannya sudah melihat Jono, dan mereka tampak berbisik-bisik sembari melirik ke arahnya dan Jono. Elsie semakin dongkol saja! Mau dibawa ke mana reputasinya? Ia berdehem dengan keras. “Bukankah asisten suami saya sudah memberikan donasinya? Apa masih ada yang kalian butuhkan?” Terpaksa ia berpura-pura. Elsie tidak mungkin membiarkan teman-temannya ataupun orang lain tahu jika ia memang berhubungan langsung dengan gerombolan Ravioli. Jono mengerutkan keningnya dan ia melihat ke arah mana lirikan mata Elsie. Walaupun enggan, akhirnya ia ikut bermain dalam sandiwara Elsie. “Nona, bisa kita bicara lebih lanjut mengenai “donasinya”, atau kita bisa bicara di sini saja?” ujar Jono mengkode Elsie sekaligus memberinya tatapan ancaman jika Elsie menolak untuk bic
“Tidak mungkin…. Ini pasti tidak benar!” Elsie terus menyangkal apa yang dilihatnya. Di layar telepon pria itu, terlihat foto Bastian dan Kanaya. Mereka sedang duduk berdekatan, sementara Kenzo duduk di pangkuan Kanaya. Foto yang tampak seperti sepasangan suami istri bahagia bersama anak mereka itu membakar hati Elsie. Bagaimana mungkin Kanaya bersama Bastian? Bukankah dia bertunangan dengan Reno? Dan ingatan Bastian… hasil rumah sakit menyatakan ia kehilangan sebagian memorinya. Terbukti ia tidak ingat Kanaya, dan bahkan dengan terang-terang mengatakan tidak kenal dengannya! Begitu syoknya Elsie, ia hampir saja terjatuh saat melangkah ke belakang. “Nona, aku tidak tahu bagaimana Nona akan berbicara dengan suami Anda, tetapi ingat, jika sampai besok pagi tidak ada tindakan untuk melepaskan Bos, maka Nona tanggung sendiri akibatnya!” Jono yang sama sekali tidak berempati, tetap mengancam Elsie. Sebab, Ravioli tidak peduli apa yang terjadi pada Elsie, selama dia bisa menghirup ud
Bastian duduk di dalam sebuah mobil SUV bersama Ezra. Mobil itu melaju dengan kencang melewati jalanan bebas hambatan yang mengarah ke pinggiran kota. Di tangannya, Bastian memegang selembar kertas yang berisi biodata serta foto seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tatapan mata Bastian tertuju pada foto dan print-an kartu identitas pria itu. Di kertas itu tertera nama pria itu adalah Amar. Bastian masih ingat dengan jelas wajah pria itu dari 11 tahun yang lalu. Akan tetapi, dulu ia bukan bernama Amar. Namanya saat itu adalah Andre. Dia adalah orang yang telah menculiknya saat ia berusia 18 tahun. Bastian menarik nafas dalam dan matanya menatap keluar jendela, di mana ia melihat hamparan tanah kosong di pinggir jalan tol yang dilaluinya. Menatap hamparan tanah kosong itu, pikirannya kembali pada kejadian 11 tahun yang lalu. *** flashback*** Hari itu setelah selesai sekolah, Bastian mengendarai sendiri mobil SUV miliknya. Saat itu, ia sudah berusia 18 tahun, sehing
Mendengar hal itu, Bastian mengangkat pandangannya dan menatap sahabatnya itu. Indra menghela nafas dan lanjut bicara. “Kalau pun aku memperhatikan dan mengkhawatirkan Kanaya, hal itu karena aku memiliki tanggung jawab sebagai orang yang membawa dia pada situasi ini.” “Aku—memiliki tanggung jawab moral untuk menjaganya karena aku yang mengenalkan dia pada kalian,” tambah Indra dengan nada serius. Untuk beberapa saat keduanya saling menatap seakan mencari kebenaran dalam hal itu. Bastian menghela nafas. Ia menepuk pundak Indra. “Aku berterima kasih, Ndra. Tetapi sekarang, itu bukan lagi tugasmu. Kanaya memiliki aku. Dan kamu tidak lagi perlu khawatir akan nasib Kanaya kedepannya. Aku yang akan memastikan dia baik-baik saja,” ujar Bastian sambil tersenyum. Ia sekarang mengerti alasan temannya itu datang menemui Kanaya dan ia bahkan menghargai kejujuran pengakuan Indra. Indra mengangguk menyetujui. “Tapi Bas, aku ingatkan lagi. Kalau kamu menyakiti dia—” “Never! Itu tidak akan p
“Kamu tidak perlu melakukan itu!” seru Bastian sambil berjalan menghampiri Kanaya dan Indra. Ia berjalan memotong diantara kedua orang itu kemudian melingkarkan tangannya di pinggang ramping Kanaya, memperlihatkan keposesifannya. “Itu adalah kewajibanku sebagai SUAMINYA. Kamu tidak perlu ikut campur dalam masalah ini!” Indra memutar bola matanya melihat reaksi berlebihan Bastian. Mengapa dia harus memotong jalan ditengah mereka dan bahkan menekankan kata suami? Tidak perlu diberitahu, Indra pun mengerti jika Bastian adalah suami Kanaya. Sebagai Dokter IVF dan sahabat Bastian, ia paling mengetahui hal itu. “Bas, aku hanya menguatirkan Kanaya. Kamu tahu kan bagaimana komentar yang beredar di luaran?” ujar Indra sambil mengangkat alisnya. Bastian menoleh pada istrinya. “Naya, kamu membaca komentar mereka? Tidak perlu membacanya, sayang. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Omongan mereka tidak ada artinya.” Bastian langsung teringat salah satu alasan kedatangannya siang
Ting! Ting! Ting! Ting! Suara notifikasi pesan yang masuk datang silih berganti. Kanaya yang baru selesai menyusui Kenzo, kembali ke kamarnya dan menemukan telepon genggamnya itu penuh dengan notifikasi pesan dan misscalled, salah satunya dari Bastian. Kanaya membuka satu persatu pesan singkat yang masuk, dan ia tampak kebingungan. Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini? Kenapa teman-teman kuliahnya banyak yang menghubunginya, bertanya dan bahkan ada yang menyebutnya simpanan, sugar baby-nya Bastian? Bahkan Profesor Zaky yang dulu pernah menjadi dosen pembimbingnya ikut bertanya padanya. “Kanaya, apa kamu baik-baik saja? Aku tahu apa yang orang lain pikirkan, tapi aku yakin semua berita itu tidak benar. Kamu bukanlah seperti yang mereka beritakan.” Beritakan? Berita apa? Batin Kanaya semakin heran. Tiba-tiba perasaannya tidak enak dan tangannya sedikit gemetar saat membuka browser pencarian. Namun sebelum Kanaya sempat membuka portal berita online, sebuah panggilan telepon ma
“Bos, saya punya berita buruk…” Ezra mendekati Bastian dan berbisik saat Bosnya baru saja selesai meeting dengan klien. Bastian berhenti membenahi dokumen-dokumen bisnisnya dan menoleh. “Berita buruk?” Ia menegakkan punggungnya dan memutar kursi swivelnya menghadap Ezra. Ezra tidak menjawab. Ia memberikan Bastian tablet yang ada di tangannya. Bastian merasa heran sebab Ezra tidak mau memberitahukannya dan justru memberinya tablet. Ia menatap Ezra dengan selidik sebelum menerima tablet itu dan membuka layarnya. Untuk beberapa saat Bastian memperhatikan tampilan layar tablet itu. Banyak sekali ditemukannya foto-foto kebersamaannya bersama Kanaya. Bastian ingat setiap moment yang ada dalam foto itu. Foto-foto itu memang real, bukan rekayasa. Namun memang sebagian foto telah mengalami pengeditan. Dalam foto-foto itu Kanaya tidak ditampakkan sedang dalam keadaan hamil. Padahal saat foto-foto itu diambil, justru saat Kanaya tengah mengandung Kenzo. Dengan melihatnya saja, Basti
Siang itu, Agni datang kembali untuk mengunjunginya dan membawakan keperluan Elsie. “Ah, Bastian sialan! Dia menjual semua perhiasanku!” umpat Elsie meluapkan kekesalannya dihadapan mamanya. Ia masih saja kesal, apalagi jika mengingat kembali semua perhiasan mahal itu. Rasanya penyesalannya tidak ada habisnya! “Ini semua karena ulahmu sendiri Els,” timpal Agni sambil menghela nafas berat. “Seandainya kamu mendengarkan omongan mama dan papa sejak dulu untuk berhenti berfoya-foya, bersenang-senang setiap malam, mungkin keadaanmu tidak begini!” Agni menggerutu. Kesal dengan kecerobohan dan kebodohan putrinya itu. Ia merasa jika saja Elsie bisa mengontrol pergaulannya dan hanya fokus menjalani rumah tangganya dengan Bastian, mungkin semua ini tidak terjadi. Bastian tidak akan tahu mengenai peristiwa dibalik penculikan itu, dan bahkan Elsie tidak akan mandul jika tidak menggugurkan kandungannya beberapa kali. “Aaahhh! Mama bisanya hanya menggerutu saja! Mama tahu? Hidup biasa-biasa
Apa dia tidak salah dengar? Bastian melelang dan menyumbangkan semua uang penjualan perhiasan itu? Batin Agni masih tidak percaya. “Ya, semua perhiasan itu terdaftar atas nama Bapak Bastian. Dan Bapak Bastian tidak lagi memerlukannya saat ini. Tentu saja dia menyumbangkan hasil penjualannya…” jawab Jay dengan menatap Agni, menikmati ekspresi wajah perempuan itu. Jay sangat yakin jika sejak awal Agni pun mengetahui rencana Elsie, Felix dan Ravioli untuk memperdaya Bastian. Sehingga melihat ekspresi wajah Agni saat itu sangatlah priceless! Dan benar saja. Agni begitu syok sehingga tubuhnya menjadi lemas, dan ia pun terjatuh pingsan. Bagaimana mungkin Bastian menyumbangkan semua hasil penjualan perhiasan itu? Sebab jika digabungkan, perhiasan yang Bastian lelang itu bisa bernilai trilyunan! “Nyonya? Nyonya?” Dila dan Sela segera menolong Agni, mencoba membangunkannya. Jay terpaksa mendatangi Agni dan memeriksa keadaannya. “Dia hanya pingsan saja. Berikan aromaterapi dan beri
Tangan Agni berhenti di tengah-tengah. Siapa yang berani berteriak seperti itu?! Batin Agni dengan kesal. Ia berdecak dengan keras dan membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa orang yang lancang menghentikannya! Namun saat ia melihat orang itu, Agni langsung berteriak. “Aaaarrrgghhh! H-hantuuuu!” Agni langsung berlari dan bersembunyi di balik Gino. Ia begitu ketakutan sehingga sampai berjongkok di belakang Gino, tidak berani melihat ke arah pintu. Tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. “Jangan! Jangan dekat-dekat!” teriaknya histeris. Semua yang ada di sana terkejut. ART yang bekerja di Sunnyside Estate juga ikut terkejut. Namun mereka langsung menahan tawanya begitu mengetahui apa yang menyebabkan Agni ketakutan. Jay yang berdiri di depan pintu bersama beberapa orang penjaga, memutar bola matanya dengan malas pada kelakuan Agni. Ia pun melangkah dan berhenti di depan Gino. Dengan tatapan tajam penuh ancaman ia mengisyaratkan Gino untuk menyingkir. Dan Gino pun men
Agni masuk ke dalam Sunnyside Estate bersama supir pribadi dan dua orang ART dari rumahnya. Agni terpaksa menjalankan rencana yang ia siapkan bersama Elsie. Sebab mereka tidak punya pilihan lain. Bastian tidak hanya menceraikan Elsie, tetapi juga menuntutnya secara hukum. Dan Agni juga baru mengetahui jika selama ini Elsie telah bekerjasama dengan Ravioli untuk menculik Kanaya, dan Bastian mengetahui itu semua. Walaupun ia kesal dan kecewa dengan apa yang dilakukan Elsie, namun ia harus membantu putrinya itu. Kalau bukan dirinya yang membantunya, siapa lagi? “Ibu Agni, maaf Ibu Elsie tidak ada di rumah,” Citra langsung menghampiri begitu melihat Agni masuk ke dalam rumah. Ia pikir Agni belum mengetahui berita penangkapan Elsie. Akan tetapi Agni dan rombongannya terus berjalan masuk. “Aku sudah tahu. Putriku sendiri yang memintaku datang untuk mengambil barang-barang miliknya. Dia bilang aku boleh langsung masuk.” Citra sempat terdiam tertegun sebelum ia kembali berjalan
“Dia pantas menerimanya, Naya. Apa yang dia telah lakukan padamu tidak bisa dimaafkan. Dan aku tidak akan membiarkannya lepas begitu saja.” Bastian langsung menjelaskan. Dari kalimat Bastian itu, sudah dipastikan jika Bastianlah yang menuntut Elsie sehingga dia ditahan oleh polisi. “Aku harap kamu tidak keberatan untuk bersaksi di pengadilan dan menceritakan apa yang kamu alami waktu itu,” tambah Bastian sambil menggenggam tangan Kanaya. Kanaya terus menatap Bastian, masih merasa ragu dengan permintaan Bastian itu. Apakah Bastian benar-benar tega memenjarakan Elsie? Sebab ia bisa menduga tuntutan yang diajukan bukan main-main. Bukan hanya penculikan, namun Elsie pun berniat menghabisi nyawanya saat itu. Hukumannya mungkin sangatlah berat. Apakah Bastian yakin ingin melakukan hal ini pada Elsie? Bastian sangat mengerti Kanaya dan apa yang sedang dipikirkannya. Gadis itu bahkan tidak tega melenyapkan seekor semut sekalipun, apalagi memenjarakan Elsie. “Naya, aku mengerti apa y